Search This Blog

TESIS PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL DI SD PLUS X

TESIS PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL DI SD PLUS X

(KODE : PASCSARJ-0051) : TESIS PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL DI SD PLUS X (PRODI : MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman dan pandangan tentang mutu pendidikan selama ini sangat beragam. Orang tua memandang pendidikan yang bermutu adalah lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah dan seterusnya. Para ilmuwan memandang pendidikan bermutu adalah sekolah yang siswanya banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata pelajaran bahasa asing bagi anak-anaknya. Orang kaya tentu memiliki pandangan yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh anaknya dengan membayar uang sekolah yang tinggi untuk memperoleh berbagai paket kegiatan ekstra kurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah telah lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul bak jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day school, sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam dan sekolah berwawasan internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan aspek mutu pendidikan yang akan diraihnya.
Sekolah ternyata, tidak saja menjadi laboratorium masyarakat1 sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey, tapi adakalanya juga menjadi korban masyarakat. Dikatakan korban masyarakat karena ada beberapa sekolah yang didesain untuk menyiasati kondisi masyarakat yang happen saat itu. Ketika para orang tua sudah mulai kekurangan waktu untuk mendidik anak-anak mereka, sebagian sekolah tampil menyiasati kesenjangan itu dengan menambah jam sekolah.
Bagi sebagian orang mungkin full day school memiliki manfaat yang sangat signifikan. Terutama untuk orang yang memiliki sisa uang banyak untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah tersebut. Pertama, anak-anak jelas akan mendapatkan metode pembelajaran yang bervariasi dan lain daripada sekolah dengan program reguler. Kedua, orang tua tidak akan merasa khawatir, karena anak-anak akan berada seharian di sekolah yang artinya sebagian besar waktu anak adalah untuk belajar. Ketiga, orang tua tidak akan takut anak akan terkena pengaruh negatif. Keempat, obsesi orang tua akan keberhasilan pendidikan anak (karena mereka berpikir jika anak mau pandai harus dicarikan sekolah yang bagus, dan sekolah bagus itu adalah yang mahal) memiliki peluang besar untuk tercapai. Jelas kondisi-kondisi tersebut akan muncul dan menjadi pilihan yang menjanjikan bagi anak dan orang tua.
Tapi di sisi lain dari kacamata anak-anak, hanya anak 'hebat' yang kuat dengan stimulus sekolah yang beragam dan mendominasi waktu mereka sehari-hari. Mereka rela kehilangan waktu bermain dan mengeksplor hal-hal lain yang lebih liar tanpa dibatasi aturan-aturan formal yang seringkali menjemukan bagi anak. Sistem pendidikan tersebut memang seolah-olah menyesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak, tapi penerapan full day sendiri sebenarnya sudah tidak adaptif lagi dengan karakteristik perkembangan anak-anak. Anak-anak akan banyak kehilangan waktu di rumah dan belajar tentang hidup bersama keluarganya. Sore hari anak-anak akan pulang dalam keadaan lelah dan mungkin tidak berminat lagi untuk bercengkrama dengan keluarga. Padahal sesungguhnya sekolah terbaik itu ada di dalam rumah dan pada keluarga.
Full day school adalah salah satu karya cerdik para pemikir dan praktisi pendidikan untuk menyiasati minimnya control orang tua terhadap anak di luar jam-jam sekolah formal sehingga sekolah yang awalnya dilaksanakan 5 sampai 6 jam berubah menjadi 8 bahkan sampai 9 jam. Namun demikian, problema-problema pendidikan bukan berarti selesai sampai di situ, melainkan timbul problem-problem baru yang perlu dikaji secara serius sehingga pendidikan dapat memproses bibit-bibit generasi (input) menjadi pribadi-pribadi (out put) yang mempunyai kematangan mental, intelektual dan skill yang mumpuni.
Menurut Sismanto, full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat Dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 16.00 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB. Definisi di atas tidak sepenuhnya benar, karena faktanya jam-jam tambahan agama tidak mesti dilaksanakan setelah shalat Dhuhur. Bahkan di beberapa sekolah full day, jam mengaji terbimbing dilakukan sebelum Dhuhur.
Pada dasarnya, kita boleh berasumsi bahwa Pendidikan tidak pernah dapat dipisahkan dari keadaan sosial, karena sejatinya para praktisi di Pendidikan adalah pelaku sosial. Kalau kita memahami Pendidikan sebagai sub sistem kita dapat menginternalisasikan nilai-nilai kepada peserta didik dengan diadakannya beberapa kebiasaan menjalankan perintah-perintah agama bersama di sekolah, seperti; shalat berjama'ah di sekolah, kebiasaan berdo'a bersama di pagi hari sebelum dan sesudah proses belajar mengajar berlangsung secara independen. Namun pada kenyataannya ternyata ada batasan-batasan tertentu dimana Pendidikan kita berada dibawah pengawasan kekuatan eksternal yang nyata, seperti; Komite Sekolah, pemerintah dan pengaruh kekuatan eksternal lainnya,3 yang itu semua juga turut ikut andil dalam menentukan kebijakan terhadap pendidikan.
Jadi sekolah full day school sebenarnya memiliki kurikulum inti yang sama dengan sekolah umumnya, namun mempunyai kurikulum lokal seperti leadership, Green Education, Teknologi Informatika, mengaji dan lain-lain. Dengan demikian kondisi anak didik lebih matang dari segi materi akademik dan non akademik. Dengan berbagai strategi yang dikembangkan oleh sekolah full day school, peserta didik lebih rileks, tidak terburu-buru dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan memberikan pengalaman yang bervariasi. Sedangkan guru dapat memberikan kesempatan untuk mengukur dan mengobservasi perkembangan anak secara leluasa, dan terbinanya kualitas interaksi antara figur guru dan murid secara lebih baik, sehingga tidak akan muncul murid takut dengan guru, bahkan figur guru benar-benar seseorang yang dapat digugu dan ditiru.
Sekolah full day secara historis merupakan pengembangan dari sekolah unggul (excellent school) yang muncul pada pertengahan tahun 1990 an. Selain menjadi sekolah full day, sekolah unggul (excellent school) juga berevolusi menjadi sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan "unggul". Sekolah-sekolah tersebut memiliki ciri dan karakteristik yang hampir mirip yaitu biaya yang tinggi, fasilitas yang serba mewah, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional.
Secara umum, full day school didirikan karena beberapa tuntutan, diantaranya adalah: Pertama, minimnya waktu orang tua di rumah, lebih-lebih karena kesibukan di luar rumah yang tinggi (tuntutan kerja). Hal ini kalau tidak disiasati dengan tambahan jam sekolah maka akan berimplikasi pada kurangnya kontrol orang tua terhadap anak di rumah (di luar jam sekolah). Kedua, perlunya formalisasi jam-jam tambahan keagamaan karena dengan minimnya waktu orang tua di rumah maka secara otomatis pengawasan terhadap hal tersebut juga minim. Ketiga, perlunya peningkatan mutu pendidikan sebagai solusi alternatif untuk mengatasi berbagai problematika kehidupan. Peningkatan mutu tidak akan tercapai tanpa terciptanya suasana dan proses pendidikan yang representatif dan profesional. Maka kehadiran full day school diharapkan dapat mengakomodir tuntutan-tuntutan di atas.
SD Plus X, merupakan salah satu sekolah yang melaksanakan model full day school. Sistem full day di SD Plus X dilaksanakan melalui pendekatan integrated curriculum dan integrated activity. Dengan pendekatan ini maka seluruh program dan aktivitas anak di sekolah mulai dari belajar, bermain, makan dan ibadah dikemas dalam suatu sistem pendidikan. Dengan sistem ini pula diharapkan mampu memberikan nilai-nilai kehidupan yang islami pada anak didik secara utuh dan terintegrasi dalam tujuan pendidikan. Konsep pendidikan yang dijalankan sebenarnya adalah konsep "effective school," yakni bagaimana menciptakan lingkungan yang efektif bagi anak didik. Sebagai konsekuensinya, anak-anak didik diberi waktu lebih banyak di lingkungan sekolah. Perpanjangan waktu inilah yang kemudian disebut full day school (sekolah sepanjang hari), karena siswa menghabiskan waktunya di sekolah hampir sepanjang hari. Dengan demikian, diharapkan bahwa lingkungan luar sekolah tidak banyak mempengaruhi peserta didik.
SD Plus X juga menawarkan keunggulan tertentu, yakni mendidik siswa berakhlakul karimah dan berprestasi akademik secara maksimal. Dari sini, X tampil dengan sejumlah konsep unggulan seperti jaminan mutu, yang dirumuskan dalam beberapa poin berikut; siswa dapat membaca al-Qur'an dengan baik, dapat menghafal Juz 'Amma dengan baik yang merupakan modal untuk berdakwah, seperti siswa dapat menjadi imam shalat di masjid-masjid, siswa dapat menguasai Bahasa Arab untuk dapat memahami al-Qur'an dan Hadis. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, X adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah banyak berprestasi. Hal ini telah terbukti dengan banyaknya prestasi kejuaraan yang diperoleh.
Kurikulum SD Plus X memadukan antara Kurikulum Diknas dan kurikulum khas. Kurikulum Diknas meliputi PPKN, IPA, IPS, Bhs. Indonesia dan Matematika, ditambah dengan materi penunjang yaitu Pendidikan Jasmani, Keterampilan-Kesenian dan Bhs. Inggris. Adapun Kurikulum khasnya adalah al-Qur'an, Bhs. Arab Tarjamah dan Ibadah Praktis. Disamping itu, untuk menyalurkan bakat dan minat siswa dilaksanakan program Ekstra Kurikuler.
Penerapan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari dikemas sedemikian rupa sehingga siswa tidak merasa jenuh. siswa memulai pelajarannya dengan membaca al-Qur'an setiap hari yang dibimbing oleh wali kelas. Demikian juga dengan praktis shalat Dhuha, Dhuhur dan Ashar berjama'ah4
Kendati demikian, sekolah full day bukan berarti tidak mempunyai problem atau - kalau kita melihatnya dengan kacamata apriori - sekolah full day sendiri adalah bagian dari problematika pendidikan Indonesia. Ada beberapa kasus yang perlu ditelaah lebih jauh: Pertama, kurangnya eksplorasi anak di dunia bebas, dunia yang tidak terikat dengan desain pendidikan. Padahal di dunia itu anak sering kali menemukan dan mengembangkan talentanya. Menurut teori piaget pikiran anak bukanlah suatu kotak yang kosong sebaliknya anak memiliki sejumlah gagasan tentang dunia fisik dan alamiah, yang berbeda dengan gagasan orang dewasa. Anak-anak datang ke sekolah dengan gagasan-gagasan mereka sendiri. pada dasarnya anak adalah makhluk yang berpengetahuan yang selalu termotivasi untuk memperoleh pengetahuan. Cara terbaik untuk memelihara motivasi akan pengetahuan ini ialah membiarkan anak untuk secara spontan berinteraksi dengan lingkungan. Pendidikan harus menjamin bahwa pendidikan tidak akan menumpulkan rasa keingintahuan anak dengan menyusun suatu kurikulum yang sangat kaku yang merusak irama dan langkah belajar anak itu sendiri5 Kedua, ada sebagian sekolah full day yang kurang memperhatikan kondisi fisik dan psikis anak. Penulis melihat adanya materi-materi yang lebih beroreintasi kognitif pada jam-jam siang. Ketiga, adanya sebagian sekolah full day yang minim fasilitas, sehingga kemungkinan terjadinya kebosanan belajar tinggi. Keempat, Mahalnya biaya pendidikan sekolah full day, menyebabkan terjadinya dikotomi pendidikan; sekolah eksklusif dan sekolah biasa. Masyarakat berekonomi lemah jelas-jelas tidak mungkin melirik sekolah full day. Kelima, kerja guru diforsir 8 sampai 9 jam di sekolah. Apakah hal tersebut juga dimungkinkan terjadi di SD Plus X, khususnya terkait dengan perkembangan sosial peserta didik? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan suatu penelitian.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut yang menjadi fokus penelitian ini adalah problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X. Kemudian fokus penelitian tersebut terinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X, khususnya terhadap perkembangan sosial peserta didik?
2. Apa saja yang melatarbelakangi timbulnya masalah perkembangan sosial peserta didik?
3. Kendala yang dihadapi guru dalam membantu perkembangan sosial peserta didik?
4. Bagaimana solusinya yang dilakukan guru untuk membantu perkembangan sosial peserta didik?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X, khususnya terhadap perkembangan sosial peserta didik
2. Untuk mendeskripsikan latarbelakang terjadinya masalah perkembangan sosial peserta didik
3. Untuk mendiskripsikan kendala yang dihadapi guru dalam membantu perkembangan sosial peserta didik
4. Untuk mendeskripsikan solusi apa saja yang dilakukan guru dalam membantu perkembangan sosial peserta didik

D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran berupa masukan dan evaluasi untuk proses pendidikan selanjutnya
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan khazanah keilmuan yang bermanfaat, sebagai tolak ukur maupun referensi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan khususnya yang terkait dengan pendidikan
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti yang lain khususnya yang terkait dengan pendidikan

E. Penelitian Terdahulu
Pendidikan sebagai obyek yang dapat ditelaah dari berbagai perspektif memberikan daya tarik tersendiri terhadap para peneliti untuk melakukan penelitian atau kajian tentang pendidikan tersebut. Sejauh penelusuran penulis terhadap beberapa literatur sebelumnya baik berupa buku, jurnal, artikel, dan lain-lain, dalam paparan mereka hanya diungkapkan sekilas mengenai peranan full day school. Hal itu sebagaimana yang ditulis oleh: Bairus (Makalah)6, None (Skripsi)7, Nur Mahfudlorin (Skripsi)8, Uswatun Hasanah (Skripsi)9, Ainul Yaqin H.A (Skripsi)10, Sehudin (Skripsi)11, Muhammad Abdul Hofir (Skripsi)12
Adapun penelitian ini secara fokus dan mendalam berusaha menelusuri dengan lebih detail dan terinci mengenai problematika pelaksanaan full day school khususnya tentang perkembangan sosial peserta didik.

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Berdasarkan obyek penelitiannya, baik tempat maupun sumber datanya, maka penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), sehingga metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, artinya obyek penelitian tidak hanya didekati pada hal-hal yang empirik saja, tetapi juga mencakup fenomena yang tidak menyimpang dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek, ada sesuatu yang transendent disamping yang aposteriotik.13 Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif dimana seorang peneliti berusaha menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada obyek tertentu secara jelas dan sistematis.14 Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan sepanjang hari (full day school) X sebagai gejala yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati.15 dan dalam situasi lapangan yang bersifat wajar sebagaimana adanya tanpa manipulasi.16 Dengan demikian, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka.17
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi. Pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya yang terjadi dalam satu situasi-situasi tertentu, maka menurut pemahaman pandangan tersebut peneliti harus masuk dalam dunia konseptual obyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian itu dibangun.18
2. Jenis dan sumber data
Dalam penelitian dengan paradigma naturalistik, data di kumpulkan terutama oleh peneliti sendiri dengan memasuki lapangan. Peneliti menjadi instrumen utama yang terjun ke lokasi serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi melalui observasi, atau wawancara.19 Pada penelitian ini data utamanya adalah berupa orang yang diamati atau diwawancarai. Data tersebut diperoleh melalui kegiatan mengamati dan bertanya.20
Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah tempat atau gudang yang menyimpan data orisinil dan merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi mata.21 Data primer berupa keterangan-keterangan yang langsung dicatat oleh penulis bersumber dari Kepala sekolah, para guru, orang tua, peserta didik dan juga masyarakat. serta para informan yang mengetahui secara jelas dan rinci tentang permasalahan yang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah catatan tentang adanya sesuatu yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil.22
Data ini bersumber dari data (non-lisan) berupa catatan-catatan rekaman dan dokumen-dokumen yang dapat digunakan sebagai data pelengkap.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut: observasi langsung, wawancara terbuka, dan studi dokumen.
Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.23 Hal ini dipergunakan untuk memperoleh data dengan melalui pengamatan secara langsung terhadap obyek yang sedang diteliti. Observasi pertama kali dilakukan secara menyeluruh terhadap fenomena yang akan diteliti dengan melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu melalui kajian pustaka dan fenomena lapangan yang akan diteliti guna memperoleh fokus penelitian dan mempertajam masalah penelitian.
Wawancara, yaitu dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara,24 seperti kepala sekolah dan guru sebagai orang yang terlibat langsung dalam melaksanakan tugas di sekolah.Wawancara yang terjadi dibiarkan berlangsung secara alami dan direkam dalam bentuk catatan lapangan (field note) ataupun dalam bentuk rekaman elektronik. Data yang dihasilkan melalui wawancara dari satu subyek setelah diinterpretasi peneliti, kemudian diperiksakan kembali pada subyek lain. Demikian seterusnya sampai menemui kejenuhan yakni sumber data yang didatangi tetap memberikan data yang berkisar pada data yang telah dimiliki.
Dokumentasi, adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.25 Hal ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang kondisi obyektif pelaksanaan pendidikan dengan model full day school. Dokumen sebagai sumber data akan berfungsi sebagai indikator dari produk tingkat komitmen subyek yang diteliti dan sebagai informasi sekunder yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Pengambilan data dilakukan secara simultaneous cross sectional (studi yang singkat tetapi dapat menjangkau populasi yang relatif lebih luas) atau member chek (dalam arti berbagai kegiatan kelakuan subyek penelitian tidak diambil pada subyek yang sama namun pada subyek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan kemampuan peneliti melihat kecenderungan, pola, arah, interaksi faktor-faktor serta hal lainnya yang memacu atau memperhambat perubahan untuk merumuskan hubungan baru berdasarkan unsur-unsur yang ada.26
Yang dijadikan informan dalam penelitian ini kepala sekolah dan guru yang mengajar di SD Plus X dan juga siswa, akan tetapi dalam proses pelaksanaan di lapangan tidak mungkin secara keseluruhan satu persatu akan di mintai keterangan atau informasi tentang data yang diperlukan. Oleh sebab itu sistem snowball sampling sangat diperlukan untuk diterapkan, sehingga peneliti akan mendapatkan petunjuk awal tentang data yang akan diperoleh dari siapa, ada di mana, dan tentang apa yang kemudian dikumpulkan untuk dianalisa.
4. Teknik analisis data
Dalam penelitian ini terdapat dua corak analisis. Pertama; analisis saat mempertajam keabsahan data melalui simultaneous cross sectional, dan kedua; melalui interpretasi data secara keseluruhan yang bertujuan untuk menangkap makna dari sudut pandang pelaku dengan menghayati kejadian tersebut melalui pengamatan peneliti yang bersifat partisipatoris. Pada analisis corak pertama dilakukan penyusunan data, yakni penyusunan paparan (transkrip) hasil wawancara dengan kepala sekolah, para guru, siswa yang menjadi informan hasil observasi dan dokumen-dokumen, berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan masalah penelitian.
Berdasarkan data yang diperoleh dikembangkan penajaman data melalui pencarian data selanjutnya. Dalam penelitian ini, data tidak dianggap sebagai error reality yang dipermasalahkan oleh teori yang ada sebelumnya, tapi dianggap sebagai another reality. Dalam hal ini peneliti mencatat data apa adanya, tanpa intervensi dari teori yang terbaca atau paradigma peneliti yang selama ini dimiliki.27 Secara rinci langkah-langkah analisis data dilakukan dengan mengikuti cara yang disarankan oleh Miles dan Huberman yaitu: reduksi data, display data dan mengambil kesimpulan, dan verifikasi.28
Reduksi data ialah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal yang pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. sehingga dapat dianalisis dengan mudah. Reduksi data ini bukanlah suatu kegiatan yang terpisah dan berdiri sendiri dari proses analisis data, akan tetapi merupakan bagian dari proses analisis itu sendiri.
Display data ialah suatu proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis dan disimpulkan. Proses ini dilakukan dengan cara membuat matrik, diagram, atau grafik. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang begitu banyak.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi merupakan langkah ketiga dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan mencapai pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang mengarah pada konsep pelaksanaan pendidikan dengan full day school dan diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil temuan lapangan. Kesimpulan yang pada awalnya masih sangat tentatif, kabur, dan diragukan, maka dengan bertambahnya data, menjadi lebih sistematis (grounded). Proses ini dilakukan mulai dari pengumpulan data dengan terus menerus dilakukan verifikasi sehingga kesimpulan akhir didapat setelah seluruh data yang diinginkan didapatkan.
Dalam rangka menghilangkan bias pemahaman peneliti dengan si pelaku diadakan pengecekan berupa triangulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.29 Metode pengecekan dilakukan dengan bentuk pertanyaan yang berbeda atau dengan cara pengamatan yang berlainan, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan dapat melahirkan kebenaran yang betul-betul konvergen sebagai akibat dari proses pemeriksaan silang, dan pensiklusan kembali.
5. Pemeriksaan keabsahan data
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan paradigma naturalistik, pengecekan keabsahan data menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap tingkat kepercayaan dan kebenaran hasil penelitian. Agar memperoleh temuan penelitian yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka hasil penelitian perlu diuji keabsahannya. Ada tujuh teknik pengujian keabsahan data yaitu;
a. Perpanjangan kehadiran peneliti;
b. Observasi yang di perdalam;
c. Trianggulasi;
d. Pembahasan sejawat;
e. Analisis kasus negatif;
f. Kecukupan referensial;
g. Dan pengecekan anggota.
Namun karena keterbatasan waktu dan lain-lain, maka dalam penelitian ini hanya menempuh beberapa teknik saja dalam pemeriksaan keabsahan data yaitu: triangulasi, dan pengecekan anggota (member chek).
Dalam rangka menghilangkan bias pemahaman peneliti dengan si pelaku diadakan pengecekan berupa triangulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.30 Metode pengecekan dilakukan dengan bentuk pertanyaan yang berbeda atau dengan cara pengamatan yang berlainan, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan dapat melahirkan kebenaran yang betul-betul konvergen sebagai akibat dari proses pemeriksaan silang, dan pensiklusan kembali
6. Langkah-langkah penelitian
Berikut dikemukakan langkah-langkah penelitian yang telah dilakukan mulai dari tahap pra survei hingga tahap pengujian validitas data penelitian yaitu:
a. Pra survei di SD X
b. Wawancara dan observasi
c. Triangulasi31
d. (Pengecekan anggota) Member chek
e. Studi dokumentasi
f. Pengolahan data
g. Penulisan laporan

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam memahami hasil penelitian secara sistematis dan agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh dalam penelitian ini, maka penulis perlu menguraikan sistematika pembahasan. Adapun sistematika susunan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama membahas pendahuluan. Pendahuluan di sini, sebagai pertanggung jawaban secara metodologi. Pada bab ini terdiri dari beberapa sub bab yaitu di antaranya; (1) latar belakang masalah yang mengupas tentang pelaksanaan full day school sehingga menimbulkan pemikiran tentang pentingnya masalah ini untuk dikaji; (2) identifikasi dan batasan masalah yang menyajikan permasalahan yang dikaji dalam konteks yang diinginkan oleh peneliti sehingga memperjelas wilayah kerja penelitian; (3) rumusan masalah yang berisi permasalahan spesifik yang dikaji oleh obyek penelitian tujuan penelitian, kegunaan penelitian; (4) tujuan penelitian yang berisi hal-hal yang ingin dicapai dalam penelitian; (5) kegunaan penelitian yang menyajikan nilai penting penelitian bagi berbagai pihak; (6) penelitian terdahulu yang menyajikan kajian sebelumnya yang serupa sehingga memberikan perbedaan yang jelas dengan penelitian yang akan dilakukan; (7) metode penelitian; (8) sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas landasan teori. Landasan teori berfungsi sebagai basis atau komparasi analisis dalam melakukan penelitian, meliputi; (1) Kajian tentang full day school; (2) Dampak pelaksanaan full day school terhadap perkembangan sosial peserta didik.
Bab ketiga membahas penyajian data. Penyajian data berfungsi memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan Paparan hasil penelitian yang telah penulis temukan di lapangan setelah melalui proses pengamatan langsung, wawancara dan dokumentasi yang penulis terima, disini membahas tentang gambaran umum obyek penelitian yang meliputi; lokasi, letak geografis SD Plus X, Struktur organisasi, Visi dan Misi, Sejarah berdirinya, tujuan pembelajaran, program unggulan, Struktur kurikulum, Sarana dan Prasarana pendidikan, keadaan peserta didik dan pendidik, kegiatan belajar pembiasaan, susunan program pengajaran, system pengajaran, bimbingan belajar dan tahap pelaksanaan kurikulum, Dampak full day school terhadap perkembangan sosial peserta didik, apa saja yang melatarbelakangi masalah perkembangan social peserta didik, kendala yang dihadapi guru serta bagaimana solusinya sehingga dapat memberikan pemahaman mendalam tentang kasus yang diteliti dengan obyek penelitian
Bab keempat membahas analisis data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis oleh penulis yang terdiri dari empat sub bab, sub bab pertama mencakup problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X Dan sub bab ke kedua adalah apa saja yang melatarbelakangi masalah perkembangan sosial peserta didik di SD Plus X. Sub bab ketiga kendala apa saja yang dihadapi guru SD Plus X sub keempat bagaimana solusinya. Analisis data yang menyajikan bahasan tentang konsep pendidikan full day school. Pada analisis ini akan diketahui juga indikasi positif dan negatifnya penerapan sistem full day school sehingga mampu dikaji efektifitasnya dan keberhasilannya
Bab kelima penutup. Penutup, merupakan kumpulan terakhir dari tesis secara keseluruhan yang meliputi kesimpulan, saran, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
TESIS TRADISIONALISASI DAN MODERNISASI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

TESIS TRADISIONALISASI DAN MODERNISASI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

(KODE : PASCSARJ-0049) : TESIS TRADISIONALISASI DAN MODERNISASI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN (PRODI : MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Disadari maupun tidak di kalangan masyarakat Indonesia muncul adanya dualisme pendidikan: Pendidikan Umum dan Pendidikan Keagamaan. Salah satu jenis pendidikan keagamaan (dalam hal ini Islam) adalah "Pondok Pesantren".
Menurut Fuad Jabali dan Jamhari, pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan keagamaan memiliki akar sejarah yang panjang. Jauh sebelum merdeka, di kalangan masyarakat telah berdiri ke dua lembaga ini. Setelah melalui interaksi dengan sistem1 pendidikan modern yang disosialisasikan oleh pemerintah penjajah Belanda, maka pesantren dan madrasah akhirnya muncul sebagai lembaga pendidikan modern.2
Kemunculan sistem dan lembaga pendidikan yang berada di pesantren dan madrasah, bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan Islam itu sendiri yang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous yang dimodernisasi3 Disadari bahwa eksistensi lembaga pendidikan modern ini, tidak bersumber dari kelangan kaum muslimin sendiri, tetapi bersumber dari pemerintah kolonial Belanda yang bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paro kedua abad 19 untuk mendapatkan pendidikan.4
Sikap rakyat Indonesia dalam merespon sistem pendidikan kolonial Belanda, pada awalnya tidak semuanya menerima secara terbuka. Hal ini terbukti bahwa pemrakarsa pertama gerakan modernisasi pendidikan adalah organisasi-organisasi modernis Islam.
Guna menyesuaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi, yang menjadi motor penggerak modernisasi dewasa ini, serta keserasian dalam masyarakat (social equilibbrium) terhadap perubahan dan kemajuan,6 modernisasi pesantren dipandang sangat perlu terutama oleh para pengelola lembaga pesantren (pada umumnya menjadi Kyai di pondok pesantren tradisional)7 dengan tanpa menafikan pola-pola tradisional yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut cukup beralasan, karena kebanyakan orang tua saat ini lebih suka memasukkan anaknya ke kelas lembaga pendidikan umum di banding kelas pesantren, meningkat relevansinya dengan lapangan kerja di kemudian hari.8
Alasan yang lain cukup membuktikan bahwa pada tahun 1905 an banyak pesantren besar dapat bertahan hanya setelah memasukkan lembaga-lembaga pendidikan umum.9 Disamping itu, para pengelola lembaga pesantren semakin menyadari bahwa tidak semua alumni pesantren ingin menjadi ulama, ustadh ataupun da'i. Kebanyakan dari mereka justru menjadi warga biasa yang tidak terlepas dari kebutuhan mencari pekerjaan yang tentu saja memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tertentu.10 Bahkan Wahid Hasyim dalam hal ini pernah mengatakan sejak pesantren pelajaran Agama, santri akan mengalami kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat.11
Walaupun ada anggapan bahwa pembaharuan yang dilakukan oleh pondok pesantren tradisional sekedar suatu masalah penyesuaian diri dengan tuntutan zaman. Para Kyai di jawa sekedar tukang tadah atau perantara budaya yang mewakili kebudayaan Timur Tengah atau kebudayaan metropolitan dari kota-kota besar di Indonesia.12 Untuk menyikapi kondisi tersebut, akhirnya sekarang ini, banyak pondok pesantren tradisional yang memodernisasi pendidikan di pesantrennya di satu sisi dan di sisi lain masih tetap mempertahankan pola-pola tradisionalitasnya karena dipandang masih sangat relevan dengan kondisi ekonomi kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal ini Suprayitno mempertegas dengan berpendapat bahwa adanya tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan di pesantren disebabkan karena tanggap dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat di samping bertujuan untuk memenuhi tuntutan terciptanya harmoni antara kebutuhan spiritualisme dan kebutuhan materialisme.13
Dapat dikatakan bahwa keberadaan pesantren yang sekarang ini banyak yang memodernisasikan sistem pendidikannya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tertentu.14 Walaupun ada anggapan bahwa pembaharuan yang dilakukan pondok pesantren tradisional sekedar suatu masalah penyesuai diri dengan tuntutan zaman,15 berkaitan dengan pendapat tersebut Suprayitno mempertegas dengan pendapatnya bahwa adanya tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pondok pesantren disebabkan karena tanggap dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat di samping bertujuan untuk memenuhi tuntutan terciptanya harmoni antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan material.16
Pondok pesantren X merupakan pondok pesantren yang saat sekarang tetap hidup dan diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan berbagai daerah di X bahkan di seluruh Indonesia. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim pada tahun 1956 ini masih mempertahankan tradisi lama di antaranya sistem sorogan dan wetonan, sistem ini Kyai dapat mengetahui langsung kemampuan para muridnya apa ia bisa membaca kitab kuning atau tidak, di sisi lain sistem ini juga bisa diikuti oleh warga masyarakat sekitar, sehingga dimungkinkan adanya hubungan yang baik antara pesantren dengan masyarakat sekitar, dengan demikian ajaran agama tidak saja diajarkan di pesantren akan tetapi juga di luar pesantren.
Di samping masih mempertahankan tradisi lama secara "tradisional" pondok pesantren X ini juga menyerap berbagai pola pendidikan baru yang sekarang berkembang, hal ini dilakukan agar Islam maupun lulusan pesantren masih tetap diterima masyarakat dengan tidak mengurangi sedikitpun nilai-nilai ajaran Islam.
Hal ini dilakukan karena kalangan pesantren memandang bahwasannya seiring dengan perkembangan zaman diperlukan keilmuan ganda baik ilmu formal maupun informal (keagamaan), serta ketrampilan tertentu. Sehingga dengan cara mendirikan Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsa’nawiyah, Madrasah A’liyah dan Perguruan Tinggi, serta program lainnya, Pondok Pesantren X ini tetap diterima oleh masyarakat, bahkan berkembang sangat pesat.
Dari paparan inilah penulis tertarik lebih jauh untuk meneliti secara konkrit tentang bentuk-bentuk tradisionalisasi yang masih terpelihara oleh pesantren serta bentuk-bentuk modernisasi yang di serap oleh Pesantren X di X.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk tradisionalisasi dan modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren X?
2. Kenapa tradisionalisasi pendidikan tetap dipertahankan di samping ada upaya memodernisasi pendidikan di Pondok Pesantren X tersebut?

C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini terfokus pada inti dan tidak menimbulkan bias dengan rumusan masalah di atas, begitu juga sesuai dengan kemampuan peneliti baik dari segi waktu, tenaga dan finansial, maka penelitian ini hanya meneliti bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan yang terdapat pada lembaga pendidikan formal keagamaan dengan menerapkan kurikulum nasional, seperti MI, MTs, MA dan PT. Agama Islam dan lembaga pendidikan formal keagamaan seperti pengajian kitab, yang berada di bawah tanggung jawab pondok pesantren X. Serta komponen lainnya yang dilakukan dalam proses pendidikan di pondok tersebut seperti; (1) jenjang pendidikan, (2) guru/tenaga pendidik, (3) kurikulum, (4) metode pembelajaran (5) sistem penerimaan santri, (6) sistem ujian dan sarana pendidikan. Dan perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini, Peneliti tidak mendeskripsikan tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan dari sisi historis secara menyeluruh akan tetapi kalaupun ada dari sis historis, hal itu hanya sebagai pengantar dan pelengkap saja.

D. Penegasan Judul
Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul penelitian di atas, berikut ini dijelaskan beberapa kata kunci yang terdapat dalam judul tersebut.
Tradisionalisasi berasal dari kata "tradisional" yang artinya menurut adat, turun temurun,17 kemudian mendapat tambahan "isasi". Maka pengertiannya dapat dirumuskan sebagai kecenderungan atau sikap untuk selalu mempertahankan tradisi warisan masa lalu.18
Modernisasi berasal dari kata "Modern" (kata sifat) yang artinya baru kemudian mendapat tambahan "isasi" (menjadi kata benda) artinya secara etimologis memperbaharui (Tajdi’d),19 menginovasi.20 Adapun pengertiannya secara istilah dapat dirumuskan pikiran, gerakan, aliran dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern.21
Berangkat dari pengertian secara etimologi dan terminologi dapat digarisbawahi bahwa keduanya mempunyai persamaan yakni proses menuju hal yang baru. Sedangkan berpijak pada pengertian secara terminologi pengertiannya lebih bersifat melanjutkan dari sistem atau pola yang sudah ada menuju kontekstualisasi sistem itu sendiri.
Pendidikan maksudnya adalah sistem22 pendidikan yang meliputi komponen-komponen terkait seperti, pendidik, siswa, kurikulum, jenjang pendidikan, dan sumber daya pendidikan.23 Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia24 dan merupakan bentuk kebudayaan asli (indigenous culture) Indonesia.25
Jadi maksud dari judul penelitian tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan di pondok pesantren X, yang berpijak pada istilah-istilah di atas dengan melihat gejala yang terjadi di pesantren tersebut, dalam tulisan ini adalah mempertahankan dan melestarikan faham-faham adat istiadat, institusi-institusi lama dalam sistem pendidikan pesantren yang sudah ada sebelumnya dan berupaya memperbaharui atau mengenalkan sistem baru dalam pendidikan,26 untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern di pesantren tersebut.

E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pondok pesantren X.
2. Mengetahui alasan tradisionalisasi pendidikan yang tetap dipertahankan di samping ada upaya memodernisasi pendidikan di Pondok Pesantren X tersebut.

F. Manfaat Penelitian
1. Memberikan kontribusi pemikiran pendidikan bagi perkembangan dunia pendidikan pondok pesantren pada umumnya.
2. Menjadi masukan bagi para pengelola dunia pendidikan pondok pesantren dalam mengambil kebijakan pendidikan di pesantren.
3. Memberikan contoh bagi dunia pendidikan untuk diteladani.

G. Kajian Kepustakaan
Sepanjang pengetahuan Peneliti, kajian dan penelitian tentang tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pesantren memang sudah ada beberapa penulis yang mengkaji dan menelitinya.
Beberapa kajian dan penelitian tersebut misalnya, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam oleh Imam Bawani, Modernisasi Pondok Pesantren Dalam Pandangan K.H. Imam Zarkasi oleh M. Munir Mansur27 dan Pendidikan Islam: tradisi dan modernisasi menuju Millinium Baru oleh Azyumardi Azra,28 dari sejumlah tulisan yang ada, terutama sekali, tulisan tentang Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam oleh Imam Bawani, mengapresiasikan dengan cukup jelas tentang bentuk pendidikan tradisional, karena dalam tulisan tersebut mendiskripsikan tentang bentuk studi kasus pendidikan tradisional pada sebuah lembaga pesantren tradisional yang bernama "Mamba'ul Hikam" di Mantenan, Udanawu, Blitar, Jawa Timur.29
Demikian halnya kajian tentang modernisasi pendidikan sudah pernah dikaji oleh beberapa orang akan tetapi secara praktis modernisasi pendidikan pada masing-masing pondok pesantren mempunyai bentuk yang berbeda walaupun secara historis mempunyai akar sejarah yang sama yaitu pengaruh model pendidikan Hindia Belanda.
Seperti tesis yang ditulis oleh M. Munir Mansur tentang Modernisasi Pesantren dalam Pandangan K.H. Imam Zarkasi. Sedangkan Azra juga telah banyak menyoroti sisi modernisasi pendidikan dan sisi tradisionalisasinya,
walaupun secara praktis masih bersifat umum (kurang memberikan contoh bentuk-bentuk pendidikan modern pada suatu pondok tertentu).
Dari beberapa tulisan tentang tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan yang telah ada, peneliti mengakui akan kesempurnaan karya-karya tersebut, baik dari sisi materi, metodologi dan sejarahnya sehingga karya yang telah ditulis oleh beberapa Penulis tersebut cukup membantu Peneliti dalam membuat tesis ini.
Masih dalam kerangka kontek bentuk-bentuk tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan pesantren, Peneliti mempunyai asumsi tentang perlunya meneliti bentuk-bentuk pendidikan tradisional dan modern yang ada di pondok Pesantren X. Walaupun penelitian di pondok X ini sudah pernah ada (sebagaimana pondok pesantren lainnya seperti, Pondok Tebuireng dan Pondok Darul Ulum Peterongan Rejoso, Bahkan kedua pondok tersebut datanya sudah banyak terdapat di buku-buku yang telah terbit, terutama buku tentang kepesantrenan (Tradisi Kyai oleh Zamaksari Dhofer) oleh saudara Khoirul Zuhdi dengan judul tesis "Profesionalisme Kyai".30 Diperkirakan bentuk pendidikan tradisional dan pendidikan modern seperti yang ada di Pondok X ini jauh lebih dulu dipraktikkan oleh pondok-pondok lain seperti pondok Tebuireng, Darul Ulum dan lain-lain.

H. Metodologi Penelitian
1. Pemilihan Lokasi Penelitian
Tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan di pesantren sangat mungkin tidak hanya terjadi di Pondok Pesantren X saja, namun dimungkinkan kasus ini juga dapat ditemukan di pondok pesantren yang lain. Untuk itulah karena keterbatasan Penulis dari segi waktu, pikiran, biaya dan tenaga, maka penelitian ini dibuat dalam bentuk studi kasus pada lembaga pendidikan Pondok Pesantren X di X.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut: Pondok Pesantren X sebagai salah satu pondok terbesar di Indonesia; merupakan Pondok Pusat yang mempunyai pondok cabang di daerah-daerah dan masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya dengan kitab-kitab klasik sebagai materi-materi pokoknya.
Pada awal berdirinya Pondok Pesantren X merupakan pondok pesantren tradisional, namun dalam perkembangan berikutnya pondok ini memodernisasi sistem pendidikannya dengan pendidikan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan tetap melestarikan sistem pendidikan tradisionalnya. Dengan landasan al-Muha’fadah ala qadi’mi al-sa’lih wa al-akhdhu bi al-jadi’d al-aslah. Kemudian, secara kualitas jumlah santri yang peduli dengan pendidikan formal semakin banyak dengan tanpa meninggalkan pendidikan salafnya. Jadi ada semacam keseimbangan antara pendidikan tradisional dan pendidikan modern di kalangan kaum santri.
Secara pribadi Penulis sudah pernah belajar di pondok modern. Untuk itu, penulis ingin mengenal lebih dekat bagaimana bentuk tradisionalisasi dan modernisasi di pondok tersebut.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang tradisionalisasi dan modernisasi pendidikan Pondok Pesantren X menggunakan metode kualitatif. Karena riset ini bersifat deskriptif, data digambarkan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya31 dan data yang dikumpulkan berbentuk kata atau gambar dari pada angka.32 Walaupun dalam beberapa hal Peneliti juga menggunakan data kuantitatif, tetapi hal itu dimaksudkan untuk pelengkap saja, bukan sebagai cara untuk menguji sebuah hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Di samping itu penggunaan data kuantitatif dalam penelitian ini untuk menggambarkan kondisi pondok dan segala apa yang ada di dalamnya. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan etnografis, yaitu sebuah pendekatan yang berusaha menggambarkan dan membangun struktur social dan budaya suatu masyarakat dari sudut pandang masyarakat itu sendiri.33 Adapun tujuan utama etnografi ini adalah memahami suatu cara hidup dari pandangan orang-orang yang terlibat di dalamnya.34
Dalam pendekatan ini peneliti bertindak selaku seorang etnografer dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas dalam kurun waktu tertentu untuk mendapatkan tiga aspek pengalaman manusia yaitu apa yang
dikerjakan, apa yang diketahui, dan benda-benda apa yang dibuat dan dipergunakan sesuai dengan pokok permasalahan dan tujuan.35
3. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data. Pertama, sumber non-manusia termasuk buku-buku primer ataupun sekunder, majalah, diktat dan sumber data lain yang dikategorikan non-manusia. Kedua, sumber data yang berasal dari manusia, yaitu kyai, kepala sekolah, praktisi pendidikan serta santri/siswa/siswi pondok pesantren X.
4. Teknik Penggalian Data
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung di lapangan (observasi partisipan), wawancara, dan metode dokumenter. Dalam wawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan dan alat perekam data yang berupa tape recorder dan alat tulis lainnya.
1. Observasi partisipan, artinya peneliti terlibat langsung keseluruh kegiatan yang ada di pondok pesantren X.
2. Wawancara yaitu tanya jawab yang diajukan kepada sumber data manusia.
3. Dokumentasi yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui sumber non-manusia.
5. Analisis data
Adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik, transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan semuanya kepada orang lain.36
Dalam penelitian kualitatif ini menggunakan dua corak analisis yaitu, analisa data selama pengumpulan data dan analisa data setelah pengumpulan data. Pada analisis corak pertama peneliti mondar-mandir antara berpikir tentang data yang ada dan mengembangkan strategi untuk mengumpulkan data baru (yang biasanya berkualitas lebih baik): melakukan koreksi terhadap informasi yang kurang jelas; dan mengarahkan analisis yang sedang berjalan berkaitan dengan dampak pembangkitan kerja lapangan.
Beberapa langkah yang ditempuh selama pengumpulan data adalah penyusunan lembar rangkuman kontak (contact summary sheet), pembuatan kode-kode, pengkodean pola (pattern codding), dan pemberian memo.37
Pada analisis corak kedua peneliti banyak terlibat dalam kegiatan penyajian atau penampilan (display) dari data yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya, mengingat bahwa peneliti kualitatif banyak menyusun teks naratif.
6. Langkah-Langkah Penelitian
Berikut ini dikemukakan langkah-langkah penelitian yang telah dilakukan, meliputi delapan tahap dari pra surve dengan sampai tahap pengujian validitas data hasil penelitian.
1. Pra survey (studi pendahuluan)
2. Izin Penelitian
3. Wawancara dan Observasi
4. Triangulasi
5. Studi Dokumentasi
6. Member Chek
7. Pengolahan Data
8. Penulisan Laporan

I. Sistematika Pembahasan
Bab I. Pada bab ini terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Kepustakaan, Batasan Masalah, Penegasan Judul, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Sistematika Pembahasan.
Bab II. Berisi Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren, yang berisi tentang; Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren
Bab III. Gambaran Umum Pondok Pesantren X yang memuat tentang, Nama dan Letak Geografis, Visi dan Misi Pondok Pesantren, Struktur Organisasi, Historisitas Pesantren
Bab IV. Penyajian dan Analisis, yang memuat tentang; Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren X, serta Analisis terhadap Bentuk Tradisionalisasi dan Modernisasi Pendidikan di Pondok Pesantren X.
Bab V. Merupakan penutup dari penulisan tesis ini yang berisi Kesimpulan dan Saran.
TESIS IMPLEMENTASI MULTIPLE INTELLIGENCES SYSTEM PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP X

TESIS IMPLEMENTASI MULTIPLE INTELLIGENCES SYSTEM PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP X

(KODE : PASCSARJ-0048) : TESIS IMPLEMENTASI MULTIPLE INTELLIGENCES SYSTEM PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP X (PRODI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas bangsa tersebut. Di Indonesia pendidikan sangat diutamakan, karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting terhadap terwujudnya peradaban bangsa yang bermartabat. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga tujuan pendidikan telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Nomor 20 tahun 2003 pasal 3;
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartarbat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Berdiskusi tentang tujuan pendidikan nasional dan fenomena saat ini di Indonesia, maka yang patut digaris bawahi adalah "manusia yang berakhlak mulia". Mengapa demikian? karena sudah menjadi rahasia umum jika akhir-akhir ini banyak peristiwa yang memalukan dan memilukan, yang mana peristiwa tersebut sangat berkaitan dengan "kemerosotan akhlak". Betapa tidak, hampir setiap hari layar kaca kita dihiasi dengan berita-berita yang tragis yang dihadirkan dari seluruh pelosok tanah air, seperti: pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, korupsi, dan masih banyak lagi lainnya. Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa moral/akhlak anak bangsa kita cukup memperihatinkan.
Terkait dengan fenomena tersebut di atas, penulis berasumsi bahwa moral/akhlak sebagaian anak bangsa di negeri ini berada di titik yang sangat rendah, dan oleh karenanya harus segera dicari solusinya agar tidak berlarut-larut yang pada akhirnya dikuatirkan menganggu stabilitas nasional.
Salah satu wahana perubahan tingkah laku manusia adalah "pendidikan", baik formal, nonformal, maupun informal. Jika tujuan pendidikan nasional ingin dicapai dengan maksimal, maka seluruh lembaga pendidikan yang ada harus dapat mengoptimalkan fungsi mereka sebagai agen of change sekaligus pembimbing2 bagi pendidikan moral peserta didiknya.
Di dalam agama Islam, "akhlak" merupakan hal yang sangat penting3, karena muara dari diciptakannya ruh dan jasad adalah "perbuatan"4, dan perbuatan yang bagaimana yang dikehendaki oleh Allah? Sebagaimana tersebut di bawah ini:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".6
Pendidikan akhlak adalah termasuk rumpun dari Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Urgensi Pendidikan Agama Islam tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri. Secara umum, Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk "meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara". Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu :
1. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
2. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual)
3. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan Ajaran Islam.
4. Dimensi pengamalanya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berbicara tentang pendidikan Agama Islam, di X, terdapat sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan menggunakan pendekatan yang cukup menarik.7 Sekolah tersebut adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) X Sekolah tersebut menganggap bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada seleksi kualitas calon siswanya. Adapun sistem pembelajaran yang digunakannya adalah Multiple Intellegences System. Sebuah konsep yang meyakini bahwa setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila kelebihan tersebut dapat dideteksi dari awal, otomatis kelebihan itu adalah potensi kepandaian sang anak.
Lebih lanjut, konsep Multiple Intellegences, kiranya sangat bersinggungan dengan UU RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum pada Bab I pasal 1 ayat 1, yang berbunyi:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.8
Dalam UU RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum pada Bab I pasal 1 telah disebutkan dengan jelas, bahwa Pendidikan Nasional adalah terbentuknya suasana pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik. Sedangkan Multiple Intellegences System adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang sangat menghargai setiap potensi yang dimiliki oleh anak didik.
Pada dasarnya, konsep yang dikemukakan oleh Dr. Howard Gardner, yakni Multiple Intellegences ini adalah sebuah perubahan konsep tentang makna kecerdasan secara mendasar yang berbeda sama sekali dengan konsep-konsep sebelumnya. Setidaknya ada tiga paradigma mendasar yang menjadikan teorinya, Multiple Intellegences, mendapat banyak perhatian dunia psikologi dan pendidikan, yaitu:
Pertama, bahwa kecerdasan tidak dibatasi tes formal. Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (test formal). Sebab setelah diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis), tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai seseorang, praktis hanya menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi sepuluh tahun lagi. Menurut Gardner, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang9. Padahal, kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang.
Kedua, kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya kecerdasan verbal (berbahasa) atau kecerdasan logika. Gardner dengan cerdas memberi label "multiple" (jamak atau majemuk) pada luasnya makna kecerdasan. Gardner sepertinya sengaja tidak memberikan lebel tertentu pada makna kecerdasan seperti yang dilakukan oleh para penemu teori kecerdasan lain, misalnya Alfred Binet dengan IQ, Emotional Quotien oleh Daniel Goleman, dan Adversity Quotient oleh Paul Scholtz. Namun Gardner menggunakan istilah "multiple" sehingga memungkinkan ranah kecerdasan tersebut terus berkembang.10
Ketiga, bahwa kecerdasan merupakan proses discovering ability, yaitu proses menemukan kemampuan seseorang. Gardner meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan tersebut harus ditemukan melalui pencarian kecerdasan. Tentu, dalam menemukan kecerdasannya, seorang anak harus dibantu oleh lingkungannya, baik orang tua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan di suatu negara.11
Menurut Limas Susanto, seorang psikiater dan konsultan psikoterapi, pendidikan kita belum mencerdaskan, terlalu bertitik berat pada pendayagunaan kecerdasan linguistik dan kecerdasan logik-matematik. Itu pun banyak dilakukan dengan cara tidak benar. Akibatnya, insan dan bangsa Indonesia tidak mampu menjalani kehidupan dengan kecerdasan yang menyeluruh.12
Frase "mencerdaskan kehidupan bangsa" dalam tujuan pendidikan kita, tentu tidak bisa dipahami dalam satu atau dua dimensi kecerdasan saja. Sebagaimana lazim terjadi di negeri ini, ukuran kecerdasan seseorang adalah seberapa besar nilai IQ-nya. Padahal nilai IQ tidak mencerminkan seluruh kecerdasan manusia, melainkan hanya satu atau dua aspek saja, yaitu aspek kecerdasan logika-matematika.dan bahasa.
Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut di atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinestetis, musical, visual-spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Jenis-jenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983.
Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang "Learning Disabled" atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.13
Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Menurut Munif Chatib, sumber kecerdasan seseorang adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budaya (kreativitas) dan kebiasaannya menyelesaikan masalah-masalah secara mandiri (problem solving).14
Senada dengan itu, Charlotte Priatna mengajukan konsep tentang kecerdasan sebagai berikut:
a. Kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat tetap;
b. Ia bagaikan kumpulan kemampuan atau ketrampilan yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan;
c. Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan suatu masalah; kemampuan untuk menciptakan masalah baru untuk dipecahkan; kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat.15
Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7-8 tahun).16
Thomas Armstrong, seorang pakar dan praktisi Multiple Intellegences, menyebutkan dalam situsnya, delapan jenis kecerdasan yang dintrodusir Gardner,
yaitu: Linguistic intelligence (word smart); Logical-mathematical intelligence (number/reasoning smart); Spatial intelligence (picture smart); Bodily-Kinesthetic intelligence (body smart) Musical intelligence (music smart)' Interpersonal intelligence (people smart); Intrapersonal intelligence (self smart); dan Naturalist intelligence (nature smart).17
Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar yang lebih efektif, seperti:18
a. Angka atau logika (Logical -Mathematical Intelligence)
b. Kata-kata (Linguistic Intelligence)
c. Gambar (Visual -Spatial Intelligence)
d. Musik (Musical Intelligence)
e. Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence)
f. Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence)
g. Refleksi diri (Intrapersonal Intelligence)
h. Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence)
Sebagai contoh, jika kita mengajarkan tentang zakat, maka siswa diharapkan membaca materi yang akan disampaikan (Linguistic), mempelajari formula matematika untuk mengetahui perhitungan tentang jumlah uang atau beras yang harus dibayar (Logical-Mathematical), membuat grafik yang mengilustrasikan dinamika pembeyaran zakat pada daerah dan waktu tertentu (Visual-Spatial), mengamati/mengobservasi secara langsung di daerah yang dijadikan sampel (Naturalist), mengamati sistem pembayaran zakat yang dilakukan oleh orang-orang pada daerah yang dijadikan sampel (Interpersonal).
Dengan menggunakan metode yang demikian, maka diharapkan siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang berbeda-beda bisa mendapatkan akomodasi yang sama.
Sehubungan dengan pemikiran di atas, penulis berkeinginan untuk meneliti pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Pertama X, untuk selanjutnya penulis abadikan dalam sebuah bingkai tesis dengan judul Implementasi Multiple Intellegences System Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Di SMP X".

B. Fokus Penelitian
Pada dasarnya yang menjadi pokok permasalahan pada penelitian ini adalah "pembelajaran". Mengingat begitu luasnya komponen yang ada dalam sebuah pembelajaran, kiranya penulis perlu memberi batasan/menetapkan fokus terhadap masalah yang akan diteliti.
Pembatasan dalam penelitian kualitatif didasarkan pada tingkat kepentingan, urgensi dan fleksibelitas masalah yang akan dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu.19 Begitu juga dalam penelitian ini, peneliti
mencoba mencari domain yang sesuai dengan urgensi penelitian20. Adapun fokus dalam penelitian ini adalah: (1) pengembangan Lesson Plan, (2) Pengelolaan pembelajaran, meliputi: pengelolaan materi, media/metode, pengelolaan guru, pengelolaan evaluasi, dan pengelolaan proses pembelajaran, (3) kelebihan dan kekurangan penerapan MIS.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (meliputi: materi, metode/media, guru, evaluasi, proses pembelajaran) berbasis Multiple Intellegenes System di SMP X?
2. Apa kelebihan dan kekurangan penerapan Multiple Intellegences System pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP X?

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (materi, metode/media, guru, evaluasi, proses pembelajaran) berbasis Multiple Intellegenes System di SMP X.
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penerapan Multiple Intellegences System pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP X.

E. Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan setidaknya memiliki dua manfaat, yakni :
1. Manfaat teoritis
a. Memperkaya khazanah keilmuan terkait dengan system pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
b. Untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai informasi berharga bagi para praktisi pendidikan, baik lembaga yang diteliti maupun pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
b. Sebagai referensi baru dalam penerapan system pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang lebih baik sehingga dapat mengoptimalkan segenap potensi dan instrument pendidikan yang ada.

F. Kerangka Teori
Multiple Intelligences adalah sebuah teori kecerdasan yang memandang bahwa setiap manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan, dan setiap orang dimungkinkan memiliki lebih dari satu kecerdasan. Gardner mengatakan bahwa manusia lebih rumit daripada apa yang dijelaskan dari tes IQ atau tes sejenisnya21. Menurut Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai dalam suatu budaya/masyarakat22.
Adapun Multiple Intelligences System (MIS), adalah pedoman atau sistem untuk menerapkan Multiple Intelligences di sekolah-sekolah di Indonesia, dimulai dari INPUT, PROSES, dan OUTPUT23. Adapun maca-macam dari kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner adalah:
a. Kecerdasan verbal (Bahasa)
b. Kecerdasan logika/matematika
c. Kecerdasan spasial/visual
d. Kecerdasan kinestetis-jasmani
e. Kecerdasan musik
f. Kecerdasan interpersonal
g. Kecerdasan intrapersonal
h. Kecerdasan naturalis.
Dalam dunia pendidikan, teori Multiple Intellegences memberikan pendekatan pragmatis pada bagaimana kita mendefinisikan kecerdasan dan mengajari kita memanfaatkan kelebihan siswa untuk membantu mereka belajar.
Pendidikan Agama Islam adalah sebuah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.25

I. Sistematika pembahasan
Agar pembahasan dalam penelitian ini sistematis, maka pembahasannya diatur dalam beberapa bab, sebagaimana berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, uji keabsahan data, dan sistematika pembahasan.
Bab II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang: pertama: konsep Multiple Intellegences, meliputi: pengertian Multiple Intelligences, pengertian Multiple Intellegences System, Multiple Intellegences dan perkembangan kepribadian, Multiple Intellegences dan pengembangan kurikulum, Multiple Intellegences dan dengan strategi pengajaran, Multiple Intellegences dan manajemen kelas, Multiple Intellegences dan komunitas pembelajar, Multiple Intellegences dan penilaian, kedua: Pembelajaran PAI, meliputi: pengertian pendidikan Pendidikan Agama Islam (PAI), tujuan, fungsi, pendekatan, ruang lingkup, standart kompetensi, dan penilaian.
Bab III : PENYAJIAN DATA
Pada bab ini akan diuraiakan tentang hasil penelitian yang terdiri dari dua sub bab: (1) Gambaran umum obyek penelitian meliputi: Identitas Sekolah Menengah Pertama X, Strategi Edukasi, Prestasi, visi dan misi, struktur organisasi, jumlah guru dan staf, jumlah siswa dan klasifikasi kelas, kegiatan ekstra, jumlah sarana dan prasarana, waktu pembelajaran (2) Data tentang pembelajaran PAI di SMP X, yakni: pengelolaan pembelajaran PAI (meliputi: penyusunan Lesson Plan, materi, metode/media, guru, penilaian, proses pembelajaran), dan kelebihan dan kekurangan penerapan MIS pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP X .
Bab IV : ANALISA DATA
Berisi tentang analisa data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
Bab V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran
TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH BERBASIS KINERJA (STUDI EMPIRIS DI PEMERINTAH KABUPATEN X)

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH BERBASIS KINERJA (STUDI EMPIRIS DI PEMERINTAH KABUPATEN X)

(KODE : PASCSARJ-0047) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH BERBASIS KINERJA (STUDI EMPIRIS DI PEMERINTAH KABUPATEN X) (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Selama ini anggaran belanja pemerintah daerah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya ternyata telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran.
Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi. Sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun XXXX tentang Keuangan Negara, pada angka 6 yang menyebutkan :
"....Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan".
Undang-Undang Nomor 32 Tahun XXXX tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun XXXX tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Dengan berlakunya kedua undang-undang tersebut di atas membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat.
Hal tersebut dapat dipenuhi dengan menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD) seperti yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun XXXX tentang Keuangan Negara pasal 19 (1) dan (2) yaitu, pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan anggaran berbasis kinerja (ABK).
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut didiskripsikan pada seperangkat tujuan dan dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Seperti yang disebutkan dalam penelitian Suprasto (XXXX) bahwa "....Anggaran berbasis kinerja juga mengisyaratkan penggunaan dana yang tersedia dengan seoptimal mungkin untuk menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat".
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hotman Atiek (XXXX) di Lampung tentang melakukan penelitian tentang hubungan peranan Bappeda dalam melaksanakan perencanaan sesuai anggaran berbasis kinerja dengan pemahaman sumber daya manusia mengenai anggaran berbasis kinerja dan hubungan penerapan anggaran berbasis kinerja dengan arah kebijakan umum pemerintah kabupaten. Hasil penelitian Hotman Atiek menyebutkan terdapat hubungan antara sumber daya manusia masih sedikit yang mengerti dan memahami anggaran berbasis kinerja berpengaruh dalam pelaksanaan perencanaan dan terdapat penyimpangan program yang dilaksanakan dari arah kebijakan umum dengan belum diterapkan anggaran berbasis kinerja.
Demikian juga dengan penelitian Imam T. Raharto (XXXX) di Makasar dengan judul : Anggaran Berbasis Kinerja ( Pelaksanaan, Masalah dan Solusi di Indonesia) dengan hasil penelitian adanya hubungan antara keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran/out put dengan penerapan anggaran berbasis kinerja.
Pengelolaan keuangan daerah, dalam aspek operasionalnya tetap mengacu kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri. Hal tersebut memang telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun XXXX pasal 129 dan 130 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pembinaan tersebut meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan.
Kegiatan perencanaan dan penganggaran yang melibatkan seluruh unsur pelaksana yang ada di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), mulai dari penentuan program dan kegiatan, klasifikasi belanja, penentuan standar biaya, penentuan indikator kinerja dan target kinerja, sampai dengan jumlah anggaran yang harus disediakan, memerlukan perhatian yang serius bagi pimpinan satuan kerja perangkat daerah beserta pelaksana program dan kegiatan. Dokumen anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan.
Dalam buku Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun XXXX dinyatakan : tuntutan pentingnya pelaksanaan penyusunan anggaran berbasis kinerja, ternyata membawa konsekuensi yang harus disiapkan beberapa faktor keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu :
1. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang).
4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
Pemerintah Kabupaten X dalam menyusun APBD, belum sepenuhnya berdasarkan penganggaran berbasis kinerja, hal ini tampak pada pengisian pengukuran indikator kinerja pada RKA-SKPD dan DPA-SKPD belum menggambarkan kaitan yang erat dengan proses pengelolaan pencapaian (management for results). Juga belum ada standar analisis belanja, standar biaya, standar pelayanan minimal, perencanaan kinerja dan target kinerja. Hal ini disebabkan di pemerintah Kabupaten X belum menetapkan instrumen pengukuran capaian kinerja keberhasilan suatu program dan kegiatan. Demikian juga sumber daya yang cukup untuk peningkatan implementasi anggaran berbasis kinerja berupa adanya upaya penyediaan sarana dan prasarana peningkatan kualitas implementasi anggaran berbasis kinerja masih belum terselenggara secara berkelanjutan dalam upaya perbaikan penganggaran berbasis kinerja.
Berdasarkan hasil penelitian awal, maka peneliti menggunakan faktor komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan dan sanksi, sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBD yang berbasis kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten X).

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah faktor komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan dan sanksi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBD berbasis kinerja secara simultan dan parsial ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari bukti empiris bahwa komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan system administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan dan sanksi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBD yang berbasis kinerja secara simultan dan parsial.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan peneliti khususnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan penganggaran berbasis kinerja dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah,
2. Bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah, penelitian ini dapat sebagai bahan informasi tambahan, atau masukan dan sebagai bahan pertimbangan pejabat pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif untuk melakukan penyempurnaan dan perbaikan penyusunan anggaran untuk pencapaian visi dan misi Kepala Daerah yang terpilih, tentu dimulai dengan hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman tentang indikator anggaran berbasis kinerja yaitu indicator kinerja, capaian kinerja, standar analisis belanja dan standar harga/satuan harga dan standar pelayanan minimal.
3. Bagi Akademisi, penelitian ini dapat memperkaya hasil penelitian dan referensi bagi para akademisi sebagai sarana pengembangan bidang anggaran berbasis kinerja, perencanaan program dan kegiatan.
4. Sebagai tambahan informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya tentang gambaran pengembangan penelitian selanjutnya.

1.5 Originalitas Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan anggaran berbasis kinerja dalam penyusunan APBD yang terinspirasi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun XXXX tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta perubahannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun XXXX, dimana penyusunan APBD harus diawali dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja. Berdasarkan keterkaitan antara penyusunan APBD dengan pengganggaran berbasis kinerja, penulis tertarik melakukan penelitian tentang keterkaitan tersebut di atas dengan judul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berbasis Kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten X)".
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Imam T. Raharto (XXXX) di Pemerintah Kota Makasar dengan judul : Anggaran Berbasis Kinerja ( Pelaksanaan, Masalah dan Solusi di Indonesia) dengan hasil penelitian adanya hubungan dari unsur variabel independen yaitu antara keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran/out put dengan penerapan anggaran berbasis kinerja. Variabel independen penelitian Imam T. Raharto adalah keluaran dan hasil yang diharapkan serta efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran/out put merupakan bagian dari instrumen-instrumen pengukuran keberhasilan anggaran berbasis kinerja.
Sumber variabel independen yang diambil oleh Imam T. Raharto (XXXX) adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun XXXX tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun XXXX tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta perubahannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun XXXX.
Pengembangan yang penulis lakukan adalah faktor-faktor mempengaruhi (komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan (reward) dan hukuman/sanksi) dalam penyusunan APBD/anggaran berbasis kinerja dengan lokasi penelitian di pemerintah Kabupaten X.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Imam T. Raharto pada variabel independen yaitu komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan (reward) dan hukuman/sanksi dalam penyusunan APBD/anggaran berbasis kinerja yang keseluruhan variabel ini menekankan komitmen dan perangkat sistem administrasi berdasarkan sumber daya yang ada serta penghargaan dan sanksi untuk menyusun dan mengimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan berbagai instrumen pengukuran keberhasilan anggaran berbasis kinerja.
Sumber variable independen yang diambil dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja diterbitkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP (XXXX).
Persamaan penelitian ini dengan Imam T. Raharto adalah variable dependen yaitu anggaran/APBD berbasis kinerja.
TESIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH DI KABUPATEN X

TESIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH DI KABUPATEN X

(KODE : PASCSARJ-0046) : TESIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH DI KABUPATEN X (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia tercinta. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada suatu perubahan adalah reformasi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang lebih dikenal dengan "Otonomi Daerah". Walaupun istilah otonomi daerah bukanlah hal yang baru karena sudah ada seiring dengan Undang-Undang Dasar 1945. Otonomi daerah saat ini dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun XXXX dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Pemberlakuan kedua Undang-Undang ini berkonsekuensi pada perubahan pola pertanggungjawaban daerah atas dana yang dialokasikan. Pola pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) kepada masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Otonomi daerah pada hakekatnya adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Bastian (XXXX:2) menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah tersebut. Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, salah satu bentuk pelayanan tersebut adalah memberikan informasi yang transparan dan akuntabel. Dalam konsep otonomi daerah maka diperlukan :
1. Pemberdayaan masyarakat.
2. Demokratisasi dalam arti pemberian tanggung jawab kepada seluruh masyarakat.
3. Peluang untuk mempercepat perolehan kesejahteraan masyarakat secara merata.
4. Peningkatan mutu layanan birokrasi.
5. Peningkatan mutu pengawasan melalui legislatif.
Pengendalian dan perencanaan juga berperan dalam keberhasilan otonomi daerah, Yuwono dkk, (XXXX:4) menyatakan bahwa sistem pengendalian manajemen merupakan salah satu aspek manajemen yang berperan dalam pengendalian seluruh aktivitas organisasi agar sesuai dengan perencanaan yang dilakukan secara sistematis. Keberhasilan pelaksanaan kewenangan daerah sangat bergantung pada kemampuan membiayai kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam wewenang. Daerah yang mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang besar akan memperoleh pendapatan yang relatif besar dibandingkan dengan daerah yang tidak mempunyai SDA.
Sebagai konsekuensi di dalam melaksanakan otonomi daerah, pemerintah kabupaten dituntut untuk mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangannya. Hal ini menandakan bahwa daerah harus berusaha untuk mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan tolak ukur bagi daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat. Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten X selama lima tahun terakhir yaitu periode tahun XXXX sampai dengan XXXX dapat dilihat pada Tabel 1.1 dibawah ini :

* TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN *

Mardiasmo dkk, (XXXX:3-4) menyatakan bahwa sisi pendapatan, kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan daerahnya secara berkesinambungan masih lemah. Bahkan masalah yang sering muncul adalah rendahnya kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi pendapatan daerah yang akurat, sehingga belum dapat dipungut secara optimal. Dalam hal ini penelitian akan meneliti pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah sebagai salah satu kriteria kesiapan pemerintah Kabupaten X di dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dari fenomena di atas dalam kontes otonomi daerah, semestinya kemampuan untuk menyelenggarakan otonomi tersebut ditunjukkan dengan peranan Pendapatan Asli Daerah yang signifikan di dalam membiayai Belanja Daerahnya yang tercermin pada kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD daerah yang bersangkutan. Melihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD daerah Kabupaten X, maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah di Kabupaten X.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang, maka masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah berpengaruh terhadap Belanja Daerah di Kabupaten X ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terhadap Belanja Daerah di Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pelatihan intelektual, mengembangkan wawasan berfikir yang dilandasi konsep ilmiah khususnya ilmu akuntansi sektor publik
2. Bagi praktisi, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah kabupaten X dan dapat menjadi acuan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3. Bagi akademik, Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wacana dalam perkembangan ilmu akuntansi sektor publik.

1.5 Originalitas Penelitian
Penelitian ini merupakan replikasi dan konstruksi pemikiran yang terdapat pada penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada daerah penelitian, waktu penelitian, lokasi serta karakteristik sosial ekonomi dan sumber daya alamnya.
TESIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, CAPITAL ADEQUACY RATIO, NET INTEREST MARGIN DAN DIVIDEN PAYOUT RATIO THD HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BEI

TESIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, CAPITAL ADEQUACY RATIO, NET INTEREST MARGIN DAN DIVIDEN PAYOUT RATIO THD HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BEI

(KODE : PASCSARJ-0045) : TESIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, CAPITAL ADEQUACY RATIO, NET INTEREST MARGIN DAN DIVIDEN PAYOUT RATIO TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BURSA EFEK INDONESIA (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah mendatangkan perubahan yang kurang menguntungkan hampir di semua aspek kehidupan bangsa. Pada tahun itu juga pasar modal mengalami goncangan yang cukup berat yang ditandai dengan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dampak lain yang sangat serius juga dialami oleh sektor perbankan yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank pada tahun tersebut dan dibekukannya 10 bank pada tahun berikutnya.Keadaan tersebut membuat kepercayaan masyarakat terhadap bank mengalami penurunan dan implikasi yang muncul adalah menurunnya minat calon investor terhadap saham perusahaan perbankan yang dengan sendirinya membuat turunnya harga saham perbankan.
Fenomena tersebut dapat saja dimaklumi mengingat bahwa calon investor sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi selalu mempertimbangkan perkembangan harga saham.Hal itu disebabkan karena harga saham sebuah perusahaan menunjukkan kepercayaan para pelaku pasar terhadap perusahaan di pasar modal.Jadi sebelum memutuskan kemana akan berinvestasi calon investor biasanya melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham.
Untuk mengukur nilai saham dapat dilakukan dengan analisis fundamental dan analisis teknikal. Tujuan analisis fundamental adalah menentukan apakah nilai saham berada pada posisi undervalue atau overvalue. Saham dikatakan undervalue bilamana harga saham di pasar saham lebih kecil dari harga wajar atau nilai yang seharusnya, demikian juga sebaliknya.Dalam analisa fundamental dilakukan analisa terhadap kondisi keuangan dan ekonomi perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Analisanya dapat meliputi trend penjualan dan keuntungan perusahaan, kualitas produk, posisi persaingan perusahaan di pasar, hubungan kerja pihak perusahaan dengan karyawan, sumber bahan mentah, peraturan-peraturan perusahaan dan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai saham perusahaan tersebut.Analisis fundamental berkaitan dengan penilaian kinerja perusahaan, tentang efektifitas dan efisiensi perusahaan mencapai sasarannya. Umumnya faktor-faktor fundamental yang diteliti adalah nilai intrinsik, nilai pasar,return on total assets (ROA), return on equity (ROE), price to book value (PBV), debt equity ratio (DER), deviden earning, price earning ratio (PER), deviden payout ratio (DPR), deviden yield, dan likuiditas saham.
Analisis teknikal menggunakan data pasar yang dipublikasikan yaitu harga saham, volume perdagangan, indeks harga saham individual maupun gabungan untuk berusaha mengakses permintaan dan penawaran saham tertentu maupun pasar secara keseluruhan. Menurut Malkiel (1996), pendekatan ini pada intinya membuat serta menginterpretasikan grafik saham ditinjau dari pergerakan harga saham dan volume transaksinya untuk mendapatkan petunjuk tentang arah perubahan di masa yang akan datang.
Dari sudut pandang calon investor, untuk menilai prospek perusahaan di masa datang adalah dengan melihat sejauhmana pertumbuhan profitabilitas perusahaan.Indikator yang paling banyak dipakai adalah return on equity (ROE) yang menggambarkan sejauhmana kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang bisa diperoleh pemegang saham. Menurut Natarsyah S. (XXXX) faktor fundamental seperti return on equity berpengaruh terhadap harga saham perusahaan. Semakin tinggi nilai ROE menunjukkan semakin tinggi laba bersih dari perusahaan yang bersangkutan (Ang, 1997 : 18).Sementara itu Higgins (1990 :59) menyatakan ada hubungan yang positif antara ROE dengan harga saham perusahaan yang dapat meningkatkan nilai buku saham perusahaan.Faktor fundamental lainnya yang turut mempengaruhi harga saham adalah dividen.Fuller dan Farrell (1987) mengatakan bahwa variabilitas harga saham tergantung pada earning dan dividen suatu perusahaan.Teori the bird- in- the-hand menyatakan bahwa terdapat hubungan antara nilai perusahaan dan pembayaran dividen dimana bahwa dividen menunjukkan hal yang pasti berkaitan dengan apresiasi harga saham. Karena dividen diduga risikonya lebih kecil dibandingkan dengan capital gains maka perusahaan seharusnya menetapkan dividen payout ratio yang tinggi dan menawarkan dividend yield yang tinggi untuk memaksimumkan harga saham.
Dalam industri perbankan, faktor fundamental dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Faktor fundamental yang bersifat kualitatif dibagi atas enam pilar yaitu, struktur perbankan yang sehat, pengaturan perbankan yang efektif, sistem pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi dan perlindungan konsumen (Agus XXXX :2). Untuk faktor fundamental yang bersifat kuantitatif ada alat ukur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) berdasarkan peraturan nomor 6/10/PBI/XXXX yaitu CAMELS. Komponen CAMELS terdiri atas capital, asset, manajemen, earning, liquidity dan sensitivity to market risk.CAMELS biasanya dijadikan sebagai tolak ukur oleh Bank Indonesia untuk menilai tingkat kesehatan suatu bank.Jika dikaitkan dengan penilaian harga saham , khususnya analisis fundamental, maka calon investor akan mengaitkan tingkat kesehatan bank terhadap harga saham.Secara singkat dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi derajat kesehatan suatu bank maka akan semakin menunjukkan prospek yang baik terutama dalam hal harga sahamnya.
Penelitian-penelitian mengenai pengaruh faktor fundamental kuantitatif terhadap harga saham perusahaan perbankan telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Hadi (XXXX) menyatakan bahwa ROE, ROA, NIM, DER, LDS dan PER secara simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan. Sedangkan penelitian Sianipar (XXXX) menghasilkan kesimpulan bahwa CAR, PER, NPA to EA, ROA, ROE, NIM, LDR secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap harga saham perusahaan perbankan. Kusmiati (XXXX) menyatakan bahwa faktor internal CMAL mempunyai hubungan negatif terhadap harga saham perusahaan perbankan. Dari penelitian-penelitian sebelumnya masih ditemukan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya. Berangkat dari permasalahan tersebut peneliti ingin meneliti kembali pengaruh beberapa faktor-faktor fundamental terhadap harga saham perusahaan perbankan dan penelitian ini diberi judul "Pengaruh Return On Equity, Capital Adequacy Ratio, Net Interest Margin dan Dividen Payout Ratio terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI)"

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah,apakah return on equity (ROE), capital adequacy ratio (CAR), net interest margin (NIM) dan dividen payout ratio (DPR) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) ?

1.3 Tujuan Penelitian
Melihat kepada rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh return on equity (ROE), capital adequacy ratio (CAR), net income margin (NIM) dan dividen payout ratio (DPR) terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara simultan dan parsial.

1.4 Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti berikutnya dapat menjadi bahan masukan dalam penelitian selanjutnya
2. Bagi investor dapat menjadi bahan masukan atau informasi dalam pengambilan keputusan
3. Bagi peneliti dapat meningkatkan kompetensi keilmuan dan menambah wawasan

1.5 Originalitas
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Hadi (XXXX) tesis Pascasarjana Universitas Indonesia. Menurut Hadi (XXXX) ROE, ROA, NIM, DER, LDS dan PER secara simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan.Pada penelitian ini peneliti menghilangkan variable ROA, DER, LDS, PER dan tetap mempertahankan rasio ROE dan NIM dengan alasan kedua variabel tersebut telah terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap harga saham menurut penelitian-penelitian sebelumnya dan peneliti akan menguji kembali pengaruhnya terhadap harga saham. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1. Data sekunder yang digunakan peneliti sebelumnya menggunakan data tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX sedangkan penelitian ini menggunakan data tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX.
2. Penelitian ini menambah dua variabel independen lagi dalam pengukuran harga saham yaitu capital adequacy ratio (CAR) dan dividen payout ratio (DPR).
TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENERAPAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA X

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENERAPAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA X

(KODE : PASCSARJ-0044) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENERAPAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA X (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seluruh lapisan masyarakat telah memperjuangkan suatu reformasi, sehingga reformasi tersebut membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Satu diantara agenda reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan otonomi daerah. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, pemerintah telah mengeluarkan suatu paket kebijakan tentang otonomi daerah nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan proses yang memerlukan keterlibatan segenap unsur dan lapisan masyarakat, serta memberikan kekuasaan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah sehingga peran pemerintah adalah sebagai katalisator dan fasilitator karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran dan tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai katalisator dan fasilitator tentunya membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung dalam rangka terlaksananya pembangunan secara berkesinambungan.
Anggaran belanja operasi untuk kegiatan rutin merupakan salah satu alternatif yang dapat merangsang kesinambungan serta konsistensi pembangunan di daerah secara keseluruhan menuju tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, kegiatan rutin yang akan dilaksanakan merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pembangunan di daerah.
Bertitik tolak dari hasil pembangunan yang akan dicapai dengan tetap memperhatikan fasilitas keterbatasan sumber daya yang ada maka dalam rangka untuk memenuhi tujuan pembangunan baik secara nasional atau regional perlu mengarahkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berdaya guna dan berhasil guna dengan disertai pengawasan dan pengendalian yang ketat baik yang dilakukan oleh aparat tingkat atas maupun tingkat daerah serta jajarannya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) merupakan kebijaksanaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disusun berdasarkan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi APBD mudah dilakukan. Pada sisi yang lain APBD dapat pula menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk melihat atau mengetahui kemampuan daerah baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja.
Dalam rangka implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yang selanjutnya disebut dengan Permendagri 13, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka setiap pemerintah daerah harus dapat mempersiapkan diri untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tersebut.
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Penatausahaan keuangan daerah yang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah memegang peranan penting dalam proses pengelolaan keuangan daerah secara keseluruhan. Sedangkan keuangan daerah adalah hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah.
Dalam rangka keberhasilan pelaksanaan Permendagri 13, maka setiap pemerintah daerah diharuskan untuk melakukan pembenahan diri baik dalam hal Sumber Daya manusia (SDM) maupun dalam hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tersebut.
Dalam Tahun Anggaran XXXX, pemerintah daerah telah diwajibkan untuk membuat APBD sesuai dengan Permendagri 13 begitu juga dalam penatausahaan, pelaksanaan dan pelaporan. Berdasarkan data-data yang ada, belum ada daerah yang dapat menyelesaikan APBD sesuai dengan kalender anggaran. Rata-rata APBD baru dapat disyahkan oleh DPRD di bulan April Tahun XXXX yang seharusnya disyahkan pada akhir Tahun 2006. Begitu juga dalam hal penatausahaan, sebahagian besar daerah di X belum memiliki Sistem dan Prosedur (Sisdur) untuk penatausahaan sebagai acuan dalam melaksanakan APBD. Permendagri 13 Tahun 2006 juga mengharuskan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di pemerintah daerah membuat laporan keuangan untuk masing-masing SKPD. Kalau peraturan yang lama dalam hal pelaporan masih bersifat sentralisasi sedangkan Permendagri 13 telah mengharuskan desentralisasi dalam hal pelaporan keuangan. Berdasarkan kebutuhan tersebut, diharapkan agar setiap pemerintah daerah memiliki SDM yang mampu menghasilkan laporan keuangan untuk masing-masing SKPD. Karena adanya perubahan metode pencatatan dari single entry menjadi double entry maka kemungkinan terjadi keterbatasan SDM yang mampu mengikuti perubahan metode tersebut.
Untuk itu dalam rangka pelaksanaan APBD Tahun Anggaran XXXX, perlu disusun Pedoman Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD yang mencakup kebijakan akuntansi, pelaporan, pengawasan dan pengendalian serta pertanggungjawaban keuangan daerah.
Khusus dalam penyusunan laporan keuangan daerah, pemerintah daerah disamping harus memiliki kebijakan akuntansi sebagai dasar dalam menyusun laporan keuangan, pemerintah daerah juga harus memiliki SDM yang mampu menyusun laporan keuangan daerah yang sesuai dengan Permendagri 13 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun XXXX tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dari Permendagri 13 Tahun 2006 dimana setiap SKPD harus menyusun laporan keuangannya masing-masing.
Berdasarkan hasil penelitian awal, rata-rata pemerintah daerah belum dapat menerapkan Permendagri 13 Tahun 2006 sesuai dengan ketentuan. Disamping itu, ada indikasi rendahnya SDM yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengimplementasikan peraturan tersebut, serta masih rendahnya komitmen mereka untuk melaksanakan perubahan peraturan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan Permendagri 13 Tahun 2006 pada pemerintah daerah. Penelitian yang akan dilaksanakan dibatasi pada satu kota saja yaitu Kota X. Berdasarkan hasil penelitian awal, maka peneliti menggunakan faktor regulasi, komitmen, SDM, dan perangkat pendukung sebagai faktor-faktor yang diduga akan mendukung keberhasilan pemerintah daerah dalam menerapkan Permendagri 13 Tahun 2006.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan sebagai berikut: "Apakah regulasi, komitmen, SDM, dan perangkat pendukung mempengaruhi keberhasilan penerapan Permendagri 13 Tahun 2006" ?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari bukti empiris bahwa regulasi, komitmen, SDM, dan perangkat pendukung mempengaruhi keberhasilan penerapan Permendagri 13 Tahun 2006.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat bagi pemerintah daerah, Depdagri, peneliti dan lainnya. Manfaat penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pemerintah daerah agar menjadi acuan dalam membuat keputusan khususnya dalam membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan Sisdur Penatausahaan. Disamping itu, pemerintah daerah dapat melakukan pembenahan terhadap SDM yang ada.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi Depdagri dalam membuat suatu peraturan.
c. Bagi peneliti lanjutan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam melakukan penelitian lanjutan.
TESIS PENGARUH PENGETAHUAN PEGAWAI PEMDA TTG ANGGARAN, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK THD PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN

TESIS PENGARUH PENGETAHUAN PEGAWAI PEMDA TTG ANGGARAN, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK THD PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN

(KODE : PASCSARJ-0043) : TESIS PENGARUH PENGETAHUAN PEGAWAI PEMERINTAH DAERAH TENTANG ANGGARAN, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK TERHADAP PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perubahan sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi yang dibawa oleh arus reformasi telah menimbulkan tuntutan yang beragam terhadap pengelolaan pemerintah yang baik (good government governance). Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsip-prinsip good governance. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara (Lembaga Administrasi Negara, XXXX). Tuntutan ini perlu dipenuhi dan disadari langsung oleh para pelaksana pemerintahan daerah.
Dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintah dengan mengedepankan partisipasi masyarakat dan transparansi. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan pemerintahan mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD. Transparansi anggaran adalah APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat. Informasi yang disajikan meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis belanja. korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan itu juga perlu di sampaikan kepada masyarakat. Selain itu good governance yang efektif menuntut adanya koordinasi yang baik, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam pelaksanaannya proses penyusunan APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun XXXX tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Kepala Daerah menyusun rancangan kebijakan umum APBD berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun XXXX tentang Pedoman Penyusunan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran XXXX.
Untuk mewujudkan good governance yang efektif di bidang pengelolaan keuangan daerah telah terjadi desentralisasi. Desentralisasi di sektor publik terjadi dari kepala daerah kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD), satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD) dan sekretaris daerah. Masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyusun format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Hal ini diatur dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun XXXX tentang Keuangan Negara bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyusun rencana kerja dan anggaran dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, yang biasa disebut dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Anggaran berbasis kinerja yang dimaksud dalam penyusunan RKA-SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Untuk dapat menyusun Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) berdasarkan anggaran berbasis kinerja (ABK) diperlukan pegawai yang mempunyai kemampuan analisis kinerja program. Tentu saja hal ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran untuk menyediakan sumber daya manusia yang memadahi. Agar dapat mengelola anggaran secara ekonomis, efisien, efektif dan yang benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat. Penilaian kinerja Pemerintah Daerah sangat ditentukan oleh kinerja SKPD dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Penelitian yang meneliti hubungan pengetahuan anggaran dengan partisipasi penyusunan anggaran dilakukan oleh Chong (XXXX), Yuen (XXXX), Yahya (XXXX). Hasil penelitian mereka mengatakan bahwa pengetahuan mempunyai peran penting dalam memotivasi partisipasi anggaran. Mereka juga mendapati bahwa para manajer yang memiliki pengetahuan inovasi yang tinggi dan ikut serta dalam pengaturan anggaran, ternyata mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan kinerja. Sedangkan penelitian yang meneliti tentang hubungan pengetahuan anggaran dengan pengawasan dan menguji adanya partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik sebagai variabel moderating dilakukan oleh Mardiasmo dan Sopanah (XXXX), Coryanata (XXXX), Werimon et.al (XXXX). Dari hasil penelitian mereka, pengetahuan anggaran berpengaruh signifikan terhadap pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Partisipasi masyarakat mampu memoderasi hubungan pengetahuan pegawai dengan pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Pengetahuan anggaran dengan transparansi kebijakan publik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui Pengaruh Pengetahuan Pegawai Pemerintah Daerah Tentang Anggaran, Partisipasi Masyarakat Dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Partisipasi Penyusunan Anggaran.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain : Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai penyusun anggaran yang ada di SKPD Pemda Kabupaten X yang berjumlah 150 aparat pemerintahan, sedangkan penelitian Coryanata (XXXX) menggunakan sampel 30 anggota Komisi C DPRD di Kota Bengkulu. Lokasi penelitian ini dilakukan pada Pemda Kabupaten X, sedangkan penelitian Coryanata (XXXX) dilakukan pada DPRD di Kota Bengkulu. Variabel independen penelitian ini pengetahuan pegawai tentang penyusunan anggaran, partisipasi masyarakat, transparansi kebijakan publik dan variabel dependennya adalah partisipasi penyusunan anggaran sedangkan penelitian Coryanata (XXXX) menggunakan variabel independen pengetahuan dewan tentang anggaran, variabel dependen yaitu pengawasan keuangan daerah (APBD) serta variabel pemoderating yaitu akuntabilitas, partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik.

B. Perumusan Masalah
Untuk mewujudkan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) berdasarkan anggaran berbasis kinerja (ABK) dengan memperhatikan prinsip-prinsip parti sipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas memerlukan partisipasi aktif dari aparat pemerintah daerah. Dukungan aparat pemerintah yang terlatih merupakan faktor yang sangat penting keberhasilan partisipasi penyusunan anggaran secara maksimal yang berorientasi pada pencapaian hasil kinerja. Terkait dengan tuntutan itu maka peneliti merumuskan pertanyaan, sebagai berikut ini :
1. Apakah pengetahuan pegawai tentang anggaran berpengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran ?
2. Apakah partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran ?
3. Apakah transparansi kebijakan publik berpengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan pegawai tentang anggaran terhadap partisipasi penyusunan anggaran.
2. Untuk mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat terhadap partisipasi penyusunan anggaran.
3. Untuk mengetahui pengaruh transparansi kebijakan publik terhadap partisipasi penyusunan anggaran.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan literatur pada pengembangan akuntansi sektor publik terutama sistem pengendalian manajemen di sektor publik.
2. Bagi pemerintah daerah Kabupaten X diharapkan menjadi masukan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good government).