Search This Blog

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH BERBASIS KINERJA (STUDI EMPIRIS DI PEMERINTAH KABUPATEN X)

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH BERBASIS KINERJA (STUDI EMPIRIS DI PEMERINTAH KABUPATEN X)

(KODE : PASCSARJ-0047) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH BERBASIS KINERJA (STUDI EMPIRIS DI PEMERINTAH KABUPATEN X) (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Selama ini anggaran belanja pemerintah daerah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya ternyata telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran.
Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi. Sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun XXXX tentang Keuangan Negara, pada angka 6 yang menyebutkan :
"....Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan".
Undang-Undang Nomor 32 Tahun XXXX tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun XXXX tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Dengan berlakunya kedua undang-undang tersebut di atas membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat.
Hal tersebut dapat dipenuhi dengan menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD) seperti yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun XXXX tentang Keuangan Negara pasal 19 (1) dan (2) yaitu, pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan anggaran berbasis kinerja (ABK).
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut didiskripsikan pada seperangkat tujuan dan dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Seperti yang disebutkan dalam penelitian Suprasto (XXXX) bahwa "....Anggaran berbasis kinerja juga mengisyaratkan penggunaan dana yang tersedia dengan seoptimal mungkin untuk menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat".
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hotman Atiek (XXXX) di Lampung tentang melakukan penelitian tentang hubungan peranan Bappeda dalam melaksanakan perencanaan sesuai anggaran berbasis kinerja dengan pemahaman sumber daya manusia mengenai anggaran berbasis kinerja dan hubungan penerapan anggaran berbasis kinerja dengan arah kebijakan umum pemerintah kabupaten. Hasil penelitian Hotman Atiek menyebutkan terdapat hubungan antara sumber daya manusia masih sedikit yang mengerti dan memahami anggaran berbasis kinerja berpengaruh dalam pelaksanaan perencanaan dan terdapat penyimpangan program yang dilaksanakan dari arah kebijakan umum dengan belum diterapkan anggaran berbasis kinerja.
Demikian juga dengan penelitian Imam T. Raharto (XXXX) di Makasar dengan judul : Anggaran Berbasis Kinerja ( Pelaksanaan, Masalah dan Solusi di Indonesia) dengan hasil penelitian adanya hubungan antara keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran/out put dengan penerapan anggaran berbasis kinerja.
Pengelolaan keuangan daerah, dalam aspek operasionalnya tetap mengacu kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri. Hal tersebut memang telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun XXXX pasal 129 dan 130 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pembinaan tersebut meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan.
Kegiatan perencanaan dan penganggaran yang melibatkan seluruh unsur pelaksana yang ada di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), mulai dari penentuan program dan kegiatan, klasifikasi belanja, penentuan standar biaya, penentuan indikator kinerja dan target kinerja, sampai dengan jumlah anggaran yang harus disediakan, memerlukan perhatian yang serius bagi pimpinan satuan kerja perangkat daerah beserta pelaksana program dan kegiatan. Dokumen anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan.
Dalam buku Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun XXXX dinyatakan : tuntutan pentingnya pelaksanaan penyusunan anggaran berbasis kinerja, ternyata membawa konsekuensi yang harus disiapkan beberapa faktor keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu :
1. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang).
4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
Pemerintah Kabupaten X dalam menyusun APBD, belum sepenuhnya berdasarkan penganggaran berbasis kinerja, hal ini tampak pada pengisian pengukuran indikator kinerja pada RKA-SKPD dan DPA-SKPD belum menggambarkan kaitan yang erat dengan proses pengelolaan pencapaian (management for results). Juga belum ada standar analisis belanja, standar biaya, standar pelayanan minimal, perencanaan kinerja dan target kinerja. Hal ini disebabkan di pemerintah Kabupaten X belum menetapkan instrumen pengukuran capaian kinerja keberhasilan suatu program dan kegiatan. Demikian juga sumber daya yang cukup untuk peningkatan implementasi anggaran berbasis kinerja berupa adanya upaya penyediaan sarana dan prasarana peningkatan kualitas implementasi anggaran berbasis kinerja masih belum terselenggara secara berkelanjutan dalam upaya perbaikan penganggaran berbasis kinerja.
Berdasarkan hasil penelitian awal, maka peneliti menggunakan faktor komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan dan sanksi, sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBD yang berbasis kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten X).

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah faktor komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan dan sanksi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBD berbasis kinerja secara simultan dan parsial ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari bukti empiris bahwa komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan system administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan dan sanksi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan APBD yang berbasis kinerja secara simultan dan parsial.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan peneliti khususnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan penganggaran berbasis kinerja dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah,
2. Bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah, penelitian ini dapat sebagai bahan informasi tambahan, atau masukan dan sebagai bahan pertimbangan pejabat pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif untuk melakukan penyempurnaan dan perbaikan penyusunan anggaran untuk pencapaian visi dan misi Kepala Daerah yang terpilih, tentu dimulai dengan hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman tentang indikator anggaran berbasis kinerja yaitu indicator kinerja, capaian kinerja, standar analisis belanja dan standar harga/satuan harga dan standar pelayanan minimal.
3. Bagi Akademisi, penelitian ini dapat memperkaya hasil penelitian dan referensi bagi para akademisi sebagai sarana pengembangan bidang anggaran berbasis kinerja, perencanaan program dan kegiatan.
4. Sebagai tambahan informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya tentang gambaran pengembangan penelitian selanjutnya.

1.5 Originalitas Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan anggaran berbasis kinerja dalam penyusunan APBD yang terinspirasi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun XXXX tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta perubahannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun XXXX, dimana penyusunan APBD harus diawali dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja. Berdasarkan keterkaitan antara penyusunan APBD dengan pengganggaran berbasis kinerja, penulis tertarik melakukan penelitian tentang keterkaitan tersebut di atas dengan judul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berbasis Kinerja (Studi Empiris di Pemerintah Kabupaten X)".
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Imam T. Raharto (XXXX) di Pemerintah Kota Makasar dengan judul : Anggaran Berbasis Kinerja ( Pelaksanaan, Masalah dan Solusi di Indonesia) dengan hasil penelitian adanya hubungan dari unsur variabel independen yaitu antara keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran/out put dengan penerapan anggaran berbasis kinerja. Variabel independen penelitian Imam T. Raharto adalah keluaran dan hasil yang diharapkan serta efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran/out put merupakan bagian dari instrumen-instrumen pengukuran keberhasilan anggaran berbasis kinerja.
Sumber variabel independen yang diambil oleh Imam T. Raharto (XXXX) adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun XXXX tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun XXXX tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, serta perubahannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun XXXX.
Pengembangan yang penulis lakukan adalah faktor-faktor mempengaruhi (komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan (reward) dan hukuman/sanksi) dalam penyusunan APBD/anggaran berbasis kinerja dengan lokasi penelitian di pemerintah Kabupaten X.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Imam T. Raharto pada variabel independen yaitu komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, penghargaan (reward) dan hukuman/sanksi dalam penyusunan APBD/anggaran berbasis kinerja yang keseluruhan variabel ini menekankan komitmen dan perangkat sistem administrasi berdasarkan sumber daya yang ada serta penghargaan dan sanksi untuk menyusun dan mengimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan berbagai instrumen pengukuran keberhasilan anggaran berbasis kinerja.
Sumber variable independen yang diambil dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja diterbitkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP (XXXX).
Persamaan penelitian ini dengan Imam T. Raharto adalah variable dependen yaitu anggaran/APBD berbasis kinerja.
TESIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH DI KABUPATEN X

TESIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH DI KABUPATEN X

(KODE : PASCSARJ-0046) : TESIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH DI KABUPATEN X (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia tercinta. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada suatu perubahan adalah reformasi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang lebih dikenal dengan "Otonomi Daerah". Walaupun istilah otonomi daerah bukanlah hal yang baru karena sudah ada seiring dengan Undang-Undang Dasar 1945. Otonomi daerah saat ini dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun XXXX dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Pemberlakuan kedua Undang-Undang ini berkonsekuensi pada perubahan pola pertanggungjawaban daerah atas dana yang dialokasikan. Pola pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) kepada masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Otonomi daerah pada hakekatnya adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Bastian (XXXX:2) menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah tersebut. Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, salah satu bentuk pelayanan tersebut adalah memberikan informasi yang transparan dan akuntabel. Dalam konsep otonomi daerah maka diperlukan :
1. Pemberdayaan masyarakat.
2. Demokratisasi dalam arti pemberian tanggung jawab kepada seluruh masyarakat.
3. Peluang untuk mempercepat perolehan kesejahteraan masyarakat secara merata.
4. Peningkatan mutu layanan birokrasi.
5. Peningkatan mutu pengawasan melalui legislatif.
Pengendalian dan perencanaan juga berperan dalam keberhasilan otonomi daerah, Yuwono dkk, (XXXX:4) menyatakan bahwa sistem pengendalian manajemen merupakan salah satu aspek manajemen yang berperan dalam pengendalian seluruh aktivitas organisasi agar sesuai dengan perencanaan yang dilakukan secara sistematis. Keberhasilan pelaksanaan kewenangan daerah sangat bergantung pada kemampuan membiayai kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam wewenang. Daerah yang mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang besar akan memperoleh pendapatan yang relatif besar dibandingkan dengan daerah yang tidak mempunyai SDA.
Sebagai konsekuensi di dalam melaksanakan otonomi daerah, pemerintah kabupaten dituntut untuk mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangannya. Hal ini menandakan bahwa daerah harus berusaha untuk mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan tolak ukur bagi daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat. Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten X selama lima tahun terakhir yaitu periode tahun XXXX sampai dengan XXXX dapat dilihat pada Tabel 1.1 dibawah ini :

* TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN *

Mardiasmo dkk, (XXXX:3-4) menyatakan bahwa sisi pendapatan, kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan daerahnya secara berkesinambungan masih lemah. Bahkan masalah yang sering muncul adalah rendahnya kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi pendapatan daerah yang akurat, sehingga belum dapat dipungut secara optimal. Dalam hal ini penelitian akan meneliti pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah sebagai salah satu kriteria kesiapan pemerintah Kabupaten X di dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dari fenomena di atas dalam kontes otonomi daerah, semestinya kemampuan untuk menyelenggarakan otonomi tersebut ditunjukkan dengan peranan Pendapatan Asli Daerah yang signifikan di dalam membiayai Belanja Daerahnya yang tercermin pada kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD daerah yang bersangkutan. Melihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD daerah Kabupaten X, maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah di Kabupaten X.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang, maka masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah berpengaruh terhadap Belanja Daerah di Kabupaten X ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terhadap Belanja Daerah di Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pelatihan intelektual, mengembangkan wawasan berfikir yang dilandasi konsep ilmiah khususnya ilmu akuntansi sektor publik
2. Bagi praktisi, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah kabupaten X dan dapat menjadi acuan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3. Bagi akademik, Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wacana dalam perkembangan ilmu akuntansi sektor publik.

1.5 Originalitas Penelitian
Penelitian ini merupakan replikasi dan konstruksi pemikiran yang terdapat pada penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada daerah penelitian, waktu penelitian, lokasi serta karakteristik sosial ekonomi dan sumber daya alamnya.
TESIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, CAPITAL ADEQUACY RATIO, NET INTEREST MARGIN DAN DIVIDEN PAYOUT RATIO THD HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BEI

TESIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, CAPITAL ADEQUACY RATIO, NET INTEREST MARGIN DAN DIVIDEN PAYOUT RATIO THD HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BEI

(KODE : PASCSARJ-0045) : TESIS PENGARUH RETURN ON EQUITY, CAPITAL ADEQUACY RATIO, NET INTEREST MARGIN DAN DIVIDEN PAYOUT RATIO TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BURSA EFEK INDONESIA (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah mendatangkan perubahan yang kurang menguntungkan hampir di semua aspek kehidupan bangsa. Pada tahun itu juga pasar modal mengalami goncangan yang cukup berat yang ditandai dengan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dampak lain yang sangat serius juga dialami oleh sektor perbankan yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank pada tahun tersebut dan dibekukannya 10 bank pada tahun berikutnya.Keadaan tersebut membuat kepercayaan masyarakat terhadap bank mengalami penurunan dan implikasi yang muncul adalah menurunnya minat calon investor terhadap saham perusahaan perbankan yang dengan sendirinya membuat turunnya harga saham perbankan.
Fenomena tersebut dapat saja dimaklumi mengingat bahwa calon investor sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi selalu mempertimbangkan perkembangan harga saham.Hal itu disebabkan karena harga saham sebuah perusahaan menunjukkan kepercayaan para pelaku pasar terhadap perusahaan di pasar modal.Jadi sebelum memutuskan kemana akan berinvestasi calon investor biasanya melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham.
Untuk mengukur nilai saham dapat dilakukan dengan analisis fundamental dan analisis teknikal. Tujuan analisis fundamental adalah menentukan apakah nilai saham berada pada posisi undervalue atau overvalue. Saham dikatakan undervalue bilamana harga saham di pasar saham lebih kecil dari harga wajar atau nilai yang seharusnya, demikian juga sebaliknya.Dalam analisa fundamental dilakukan analisa terhadap kondisi keuangan dan ekonomi perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Analisanya dapat meliputi trend penjualan dan keuntungan perusahaan, kualitas produk, posisi persaingan perusahaan di pasar, hubungan kerja pihak perusahaan dengan karyawan, sumber bahan mentah, peraturan-peraturan perusahaan dan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai saham perusahaan tersebut.Analisis fundamental berkaitan dengan penilaian kinerja perusahaan, tentang efektifitas dan efisiensi perusahaan mencapai sasarannya. Umumnya faktor-faktor fundamental yang diteliti adalah nilai intrinsik, nilai pasar,return on total assets (ROA), return on equity (ROE), price to book value (PBV), debt equity ratio (DER), deviden earning, price earning ratio (PER), deviden payout ratio (DPR), deviden yield, dan likuiditas saham.
Analisis teknikal menggunakan data pasar yang dipublikasikan yaitu harga saham, volume perdagangan, indeks harga saham individual maupun gabungan untuk berusaha mengakses permintaan dan penawaran saham tertentu maupun pasar secara keseluruhan. Menurut Malkiel (1996), pendekatan ini pada intinya membuat serta menginterpretasikan grafik saham ditinjau dari pergerakan harga saham dan volume transaksinya untuk mendapatkan petunjuk tentang arah perubahan di masa yang akan datang.
Dari sudut pandang calon investor, untuk menilai prospek perusahaan di masa datang adalah dengan melihat sejauhmana pertumbuhan profitabilitas perusahaan.Indikator yang paling banyak dipakai adalah return on equity (ROE) yang menggambarkan sejauhmana kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang bisa diperoleh pemegang saham. Menurut Natarsyah S. (XXXX) faktor fundamental seperti return on equity berpengaruh terhadap harga saham perusahaan. Semakin tinggi nilai ROE menunjukkan semakin tinggi laba bersih dari perusahaan yang bersangkutan (Ang, 1997 : 18).Sementara itu Higgins (1990 :59) menyatakan ada hubungan yang positif antara ROE dengan harga saham perusahaan yang dapat meningkatkan nilai buku saham perusahaan.Faktor fundamental lainnya yang turut mempengaruhi harga saham adalah dividen.Fuller dan Farrell (1987) mengatakan bahwa variabilitas harga saham tergantung pada earning dan dividen suatu perusahaan.Teori the bird- in- the-hand menyatakan bahwa terdapat hubungan antara nilai perusahaan dan pembayaran dividen dimana bahwa dividen menunjukkan hal yang pasti berkaitan dengan apresiasi harga saham. Karena dividen diduga risikonya lebih kecil dibandingkan dengan capital gains maka perusahaan seharusnya menetapkan dividen payout ratio yang tinggi dan menawarkan dividend yield yang tinggi untuk memaksimumkan harga saham.
Dalam industri perbankan, faktor fundamental dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Faktor fundamental yang bersifat kualitatif dibagi atas enam pilar yaitu, struktur perbankan yang sehat, pengaturan perbankan yang efektif, sistem pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi dan perlindungan konsumen (Agus XXXX :2). Untuk faktor fundamental yang bersifat kuantitatif ada alat ukur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) berdasarkan peraturan nomor 6/10/PBI/XXXX yaitu CAMELS. Komponen CAMELS terdiri atas capital, asset, manajemen, earning, liquidity dan sensitivity to market risk.CAMELS biasanya dijadikan sebagai tolak ukur oleh Bank Indonesia untuk menilai tingkat kesehatan suatu bank.Jika dikaitkan dengan penilaian harga saham , khususnya analisis fundamental, maka calon investor akan mengaitkan tingkat kesehatan bank terhadap harga saham.Secara singkat dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi derajat kesehatan suatu bank maka akan semakin menunjukkan prospek yang baik terutama dalam hal harga sahamnya.
Penelitian-penelitian mengenai pengaruh faktor fundamental kuantitatif terhadap harga saham perusahaan perbankan telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Hadi (XXXX) menyatakan bahwa ROE, ROA, NIM, DER, LDS dan PER secara simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan. Sedangkan penelitian Sianipar (XXXX) menghasilkan kesimpulan bahwa CAR, PER, NPA to EA, ROA, ROE, NIM, LDR secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap harga saham perusahaan perbankan. Kusmiati (XXXX) menyatakan bahwa faktor internal CMAL mempunyai hubungan negatif terhadap harga saham perusahaan perbankan. Dari penelitian-penelitian sebelumnya masih ditemukan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya. Berangkat dari permasalahan tersebut peneliti ingin meneliti kembali pengaruh beberapa faktor-faktor fundamental terhadap harga saham perusahaan perbankan dan penelitian ini diberi judul "Pengaruh Return On Equity, Capital Adequacy Ratio, Net Interest Margin dan Dividen Payout Ratio terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI)"

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah,apakah return on equity (ROE), capital adequacy ratio (CAR), net interest margin (NIM) dan dividen payout ratio (DPR) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) ?

1.3 Tujuan Penelitian
Melihat kepada rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh return on equity (ROE), capital adequacy ratio (CAR), net income margin (NIM) dan dividen payout ratio (DPR) terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara simultan dan parsial.

1.4 Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti berikutnya dapat menjadi bahan masukan dalam penelitian selanjutnya
2. Bagi investor dapat menjadi bahan masukan atau informasi dalam pengambilan keputusan
3. Bagi peneliti dapat meningkatkan kompetensi keilmuan dan menambah wawasan

1.5 Originalitas
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Hadi (XXXX) tesis Pascasarjana Universitas Indonesia. Menurut Hadi (XXXX) ROE, ROA, NIM, DER, LDS dan PER secara simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan.Pada penelitian ini peneliti menghilangkan variable ROA, DER, LDS, PER dan tetap mempertahankan rasio ROE dan NIM dengan alasan kedua variabel tersebut telah terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap harga saham menurut penelitian-penelitian sebelumnya dan peneliti akan menguji kembali pengaruhnya terhadap harga saham. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1. Data sekunder yang digunakan peneliti sebelumnya menggunakan data tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX sedangkan penelitian ini menggunakan data tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX.
2. Penelitian ini menambah dua variabel independen lagi dalam pengukuran harga saham yaitu capital adequacy ratio (CAR) dan dividen payout ratio (DPR).
TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENERAPAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA X

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENERAPAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA X

(KODE : PASCSARJ-0044) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENERAPAN PERMENDAGRI NOMOR 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA X (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seluruh lapisan masyarakat telah memperjuangkan suatu reformasi, sehingga reformasi tersebut membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Satu diantara agenda reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan otonomi daerah. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, pemerintah telah mengeluarkan suatu paket kebijakan tentang otonomi daerah nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan proses yang memerlukan keterlibatan segenap unsur dan lapisan masyarakat, serta memberikan kekuasaan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah sehingga peran pemerintah adalah sebagai katalisator dan fasilitator karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran dan tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai katalisator dan fasilitator tentunya membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung dalam rangka terlaksananya pembangunan secara berkesinambungan.
Anggaran belanja operasi untuk kegiatan rutin merupakan salah satu alternatif yang dapat merangsang kesinambungan serta konsistensi pembangunan di daerah secara keseluruhan menuju tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, kegiatan rutin yang akan dilaksanakan merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pembangunan di daerah.
Bertitik tolak dari hasil pembangunan yang akan dicapai dengan tetap memperhatikan fasilitas keterbatasan sumber daya yang ada maka dalam rangka untuk memenuhi tujuan pembangunan baik secara nasional atau regional perlu mengarahkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berdaya guna dan berhasil guna dengan disertai pengawasan dan pengendalian yang ketat baik yang dilakukan oleh aparat tingkat atas maupun tingkat daerah serta jajarannya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) merupakan kebijaksanaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disusun berdasarkan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi APBD mudah dilakukan. Pada sisi yang lain APBD dapat pula menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk melihat atau mengetahui kemampuan daerah baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja.
Dalam rangka implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yang selanjutnya disebut dengan Permendagri 13, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka setiap pemerintah daerah harus dapat mempersiapkan diri untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tersebut.
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Penatausahaan keuangan daerah yang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah memegang peranan penting dalam proses pengelolaan keuangan daerah secara keseluruhan. Sedangkan keuangan daerah adalah hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah.
Dalam rangka keberhasilan pelaksanaan Permendagri 13, maka setiap pemerintah daerah diharuskan untuk melakukan pembenahan diri baik dalam hal Sumber Daya manusia (SDM) maupun dalam hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tersebut.
Dalam Tahun Anggaran XXXX, pemerintah daerah telah diwajibkan untuk membuat APBD sesuai dengan Permendagri 13 begitu juga dalam penatausahaan, pelaksanaan dan pelaporan. Berdasarkan data-data yang ada, belum ada daerah yang dapat menyelesaikan APBD sesuai dengan kalender anggaran. Rata-rata APBD baru dapat disyahkan oleh DPRD di bulan April Tahun XXXX yang seharusnya disyahkan pada akhir Tahun 2006. Begitu juga dalam hal penatausahaan, sebahagian besar daerah di X belum memiliki Sistem dan Prosedur (Sisdur) untuk penatausahaan sebagai acuan dalam melaksanakan APBD. Permendagri 13 Tahun 2006 juga mengharuskan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di pemerintah daerah membuat laporan keuangan untuk masing-masing SKPD. Kalau peraturan yang lama dalam hal pelaporan masih bersifat sentralisasi sedangkan Permendagri 13 telah mengharuskan desentralisasi dalam hal pelaporan keuangan. Berdasarkan kebutuhan tersebut, diharapkan agar setiap pemerintah daerah memiliki SDM yang mampu menghasilkan laporan keuangan untuk masing-masing SKPD. Karena adanya perubahan metode pencatatan dari single entry menjadi double entry maka kemungkinan terjadi keterbatasan SDM yang mampu mengikuti perubahan metode tersebut.
Untuk itu dalam rangka pelaksanaan APBD Tahun Anggaran XXXX, perlu disusun Pedoman Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD yang mencakup kebijakan akuntansi, pelaporan, pengawasan dan pengendalian serta pertanggungjawaban keuangan daerah.
Khusus dalam penyusunan laporan keuangan daerah, pemerintah daerah disamping harus memiliki kebijakan akuntansi sebagai dasar dalam menyusun laporan keuangan, pemerintah daerah juga harus memiliki SDM yang mampu menyusun laporan keuangan daerah yang sesuai dengan Permendagri 13 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun XXXX tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dari Permendagri 13 Tahun 2006 dimana setiap SKPD harus menyusun laporan keuangannya masing-masing.
Berdasarkan hasil penelitian awal, rata-rata pemerintah daerah belum dapat menerapkan Permendagri 13 Tahun 2006 sesuai dengan ketentuan. Disamping itu, ada indikasi rendahnya SDM yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengimplementasikan peraturan tersebut, serta masih rendahnya komitmen mereka untuk melaksanakan perubahan peraturan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan Permendagri 13 Tahun 2006 pada pemerintah daerah. Penelitian yang akan dilaksanakan dibatasi pada satu kota saja yaitu Kota X. Berdasarkan hasil penelitian awal, maka peneliti menggunakan faktor regulasi, komitmen, SDM, dan perangkat pendukung sebagai faktor-faktor yang diduga akan mendukung keberhasilan pemerintah daerah dalam menerapkan Permendagri 13 Tahun 2006.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan sebagai berikut: "Apakah regulasi, komitmen, SDM, dan perangkat pendukung mempengaruhi keberhasilan penerapan Permendagri 13 Tahun 2006" ?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari bukti empiris bahwa regulasi, komitmen, SDM, dan perangkat pendukung mempengaruhi keberhasilan penerapan Permendagri 13 Tahun 2006.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat bagi pemerintah daerah, Depdagri, peneliti dan lainnya. Manfaat penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pemerintah daerah agar menjadi acuan dalam membuat keputusan khususnya dalam membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan Sisdur Penatausahaan. Disamping itu, pemerintah daerah dapat melakukan pembenahan terhadap SDM yang ada.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi Depdagri dalam membuat suatu peraturan.
c. Bagi peneliti lanjutan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam melakukan penelitian lanjutan.
TESIS PENGARUH PENGETAHUAN PEGAWAI PEMDA TTG ANGGARAN, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK THD PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN

TESIS PENGARUH PENGETAHUAN PEGAWAI PEMDA TTG ANGGARAN, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK THD PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN

(KODE : PASCSARJ-0043) : TESIS PENGARUH PENGETAHUAN PEGAWAI PEMERINTAH DAERAH TENTANG ANGGARAN, PARTISIPASI MASYARAKAT DAN TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK TERHADAP PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN (PRODI : AKUNTANSI)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perubahan sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi yang dibawa oleh arus reformasi telah menimbulkan tuntutan yang beragam terhadap pengelolaan pemerintah yang baik (good government governance). Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsip-prinsip good governance. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara (Lembaga Administrasi Negara, XXXX). Tuntutan ini perlu dipenuhi dan disadari langsung oleh para pelaksana pemerintahan daerah.
Dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintah dengan mengedepankan partisipasi masyarakat dan transparansi. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan pemerintahan mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD. Transparansi anggaran adalah APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat. Informasi yang disajikan meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis belanja. korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan itu juga perlu di sampaikan kepada masyarakat. Selain itu good governance yang efektif menuntut adanya koordinasi yang baik, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam pelaksanaannya proses penyusunan APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun XXXX tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Kepala Daerah menyusun rancangan kebijakan umum APBD berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun XXXX tentang Pedoman Penyusunan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran XXXX.
Untuk mewujudkan good governance yang efektif di bidang pengelolaan keuangan daerah telah terjadi desentralisasi. Desentralisasi di sektor publik terjadi dari kepala daerah kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD), satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD) dan sekretaris daerah. Masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyusun format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Hal ini diatur dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun XXXX tentang Keuangan Negara bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyusun rencana kerja dan anggaran dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, yang biasa disebut dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Anggaran berbasis kinerja yang dimaksud dalam penyusunan RKA-SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Untuk dapat menyusun Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) berdasarkan anggaran berbasis kinerja (ABK) diperlukan pegawai yang mempunyai kemampuan analisis kinerja program. Tentu saja hal ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran untuk menyediakan sumber daya manusia yang memadahi. Agar dapat mengelola anggaran secara ekonomis, efisien, efektif dan yang benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat. Penilaian kinerja Pemerintah Daerah sangat ditentukan oleh kinerja SKPD dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Penelitian yang meneliti hubungan pengetahuan anggaran dengan partisipasi penyusunan anggaran dilakukan oleh Chong (XXXX), Yuen (XXXX), Yahya (XXXX). Hasil penelitian mereka mengatakan bahwa pengetahuan mempunyai peran penting dalam memotivasi partisipasi anggaran. Mereka juga mendapati bahwa para manajer yang memiliki pengetahuan inovasi yang tinggi dan ikut serta dalam pengaturan anggaran, ternyata mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan kinerja. Sedangkan penelitian yang meneliti tentang hubungan pengetahuan anggaran dengan pengawasan dan menguji adanya partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik sebagai variabel moderating dilakukan oleh Mardiasmo dan Sopanah (XXXX), Coryanata (XXXX), Werimon et.al (XXXX). Dari hasil penelitian mereka, pengetahuan anggaran berpengaruh signifikan terhadap pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Partisipasi masyarakat mampu memoderasi hubungan pengetahuan pegawai dengan pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Pengetahuan anggaran dengan transparansi kebijakan publik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui Pengaruh Pengetahuan Pegawai Pemerintah Daerah Tentang Anggaran, Partisipasi Masyarakat Dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Partisipasi Penyusunan Anggaran.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain : Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai penyusun anggaran yang ada di SKPD Pemda Kabupaten X yang berjumlah 150 aparat pemerintahan, sedangkan penelitian Coryanata (XXXX) menggunakan sampel 30 anggota Komisi C DPRD di Kota Bengkulu. Lokasi penelitian ini dilakukan pada Pemda Kabupaten X, sedangkan penelitian Coryanata (XXXX) dilakukan pada DPRD di Kota Bengkulu. Variabel independen penelitian ini pengetahuan pegawai tentang penyusunan anggaran, partisipasi masyarakat, transparansi kebijakan publik dan variabel dependennya adalah partisipasi penyusunan anggaran sedangkan penelitian Coryanata (XXXX) menggunakan variabel independen pengetahuan dewan tentang anggaran, variabel dependen yaitu pengawasan keuangan daerah (APBD) serta variabel pemoderating yaitu akuntabilitas, partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik.

B. Perumusan Masalah
Untuk mewujudkan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) berdasarkan anggaran berbasis kinerja (ABK) dengan memperhatikan prinsip-prinsip parti sipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas memerlukan partisipasi aktif dari aparat pemerintah daerah. Dukungan aparat pemerintah yang terlatih merupakan faktor yang sangat penting keberhasilan partisipasi penyusunan anggaran secara maksimal yang berorientasi pada pencapaian hasil kinerja. Terkait dengan tuntutan itu maka peneliti merumuskan pertanyaan, sebagai berikut ini :
1. Apakah pengetahuan pegawai tentang anggaran berpengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran ?
2. Apakah partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran ?
3. Apakah transparansi kebijakan publik berpengaruh terhadap partisipasi penyusunan anggaran ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan pegawai tentang anggaran terhadap partisipasi penyusunan anggaran.
2. Untuk mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat terhadap partisipasi penyusunan anggaran.
3. Untuk mengetahui pengaruh transparansi kebijakan publik terhadap partisipasi penyusunan anggaran.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan literatur pada pengembangan akuntansi sektor publik terutama sistem pengendalian manajemen di sektor publik.
2. Bagi pemerintah daerah Kabupaten X diharapkan menjadi masukan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good government).
TESIS THE IMPLEMENTATION OF GENRE-BASED APPROACH IN THE TEACHING OF ENGLISH AT SMAN X AND ITS EFFECTS IN PROMOTING STUDENTS CRITICAL THINKING

TESIS THE IMPLEMENTATION OF GENRE-BASED APPROACH IN THE TEACHING OF ENGLISH AT SMAN X AND ITS EFFECTS IN PROMOTING STUDENTS CRITICAL THINKING

(KODE : PASCSARJ-0042) : TESIS THE IMPLEMENTATION OF GENRE-BASED APPROACH IN THE TEACHING OF ENGLISH AT SMAN X AND ITS EFFECTS IN PROMOTING STUDENTS CRITICAL THINKING

CHAPTER I
INTRODUCTION

A. Background of Study
Twenty-first centuries comes and spreads great fear upon society to the changes it brings. The fast changing information, huge development of high technology devices and rapid growing economic condition cause worries among parents and teachers. Skills that were appropriate 20 years ago no longer prepare children for the world beyond school. Technological change has both created and destroyed jobs. Changes in society are accelerating so rapidly that it is difficult to assess what factual knowledge will be needed for the future. To be prepared for the challenge of the future, children will need skills that will give them control over their lives and their learning, for of their learning will be no end (Fisher, XXXX: vii).
The fact that society has also changed its worldviews, values and norms, urges the educational institutions to search and establish the most suitable way to educate the young generation. In order to prepare the students facing their future, students must have the skills to respond to their rapidly changing and increasingly complex environments. The educational implication of this is that teachers should focus on teaching skills essential to the gaining, using organizing and using information.
Through evaluation upon the world's past theories on education, the educators came up to the notion that it is time to teach students thinking skills. As Fisher states that the teaching of thinking skills is potentially one of the most valuable areas of educational research and development today. He also states (Fisher, XXXX: vii) that past theories tended to focus on simpler forms of learning. Children are often expected to learn scientific, mathematical and aesthetics skills and concepts without being helped to develop the tools of critical, independent, and rational thought, even though they were successful in generating many improvements in the teaching of basic skills. Today there is a greater emphasis on the process of learning, on investigation and problem solving, on reading for meaning, on the use of reasoning in writing, on study skills and on developing autonomous ways of learning. Reasons for this lie in the changing view of children, school, and society.
Regarding human life as a problem solving process and the long winding path that our next generation must successfully pass through, it can be concluded that they need to learn to think creatively, so they will be able to solve any kinds of problems in this unpredictable fast changing world, and for being able to think and become successful problem solver, they must involve and train critical and creative aspects of their minds, both the use of reason and the generation of ideas. Creative thinking supplies the context of discovery and the generation of hypothesis. Critical thinking provides the context of justifications, testing the acceptability of reason and proof.
In productive problem solving, one generates ideas (by creativity) and evaluates ideas (by criticality). Although creativity occurs first in the process, it's best to begin with a foundation of critical thinking because wise evaluation, in critical thinking, can prevent "creativity plus enthusiasm" from converting questionable ideas into unwise action. Critical thinking is "reasonably and reflectively deciding what to believe or do."... Critical thinking means making reasoned judgments. Basically, it is using criteria to judge the quality of something. In essence, critical thinking is a disciplined manner of thought that a person uses to assess the validity of something: a statement, news story, argument, research, etc (Ennis paraphrased by Beyer on www.asa3.org/ASA/education/thinkcritical.htm).
Critical thinking is an important and vital topic in modern education, as Piaget states,
The principal goal of education is to create men who are capable of doing new things, not simply repeating what other generations have done - men who are creative, inventive and discoverers. The second goal of education is to form minds which can be critical, can be verify and not accept everything they are offered (cited in Fisher, XXXX: 29)
Dewey pointed out that learning to think is the central purpose of education. More recently, at the XXXX education summit, the National Education Goals Panel identified the need for a substantial increase in "the proportion of college graduates who demonstrate an advanced ability to think critically, communicate effectively, and solve problems" (National Education Goals Panel, XXXX: 62).
The goal of improving critical thinking is also fundamental to environmental educators' efforts to create an environmentally literate citizen. In the face of complex environmental issues, environmental education does not advocate a particular solution or action, but instead facilitates a student's ability to draw on and synthesize knowledge and skills from a variety of subject areas to conduct inquiries, solve problems, and make decisions that lead to informed and responsible actions (UNESCO, 1978). Furthermore, being a critical thinker also consists in developing certain attitudes, such as desire to reason, willingness to challenge and a passion for truth (Fisher, XXXX: 66).
Unfortunately, in her landmark book The Skills of Argument (XXXX), psychologist Deanna Kuhn reported intensively studying hundreds of people from all walks of life. She found that over half the population cannot reliably exhibit even the most basic skills of general reasoning and argument.
In Indonesian academic discourse, critical thinking has also become a new educational issue, and this has been reflected in the National Development Program for the year XXXX-XXXX on education development. Section A of the program, about General Problems, paragraph six, mentions that one of the problems in the national education is that "the culture of critical thinking is not yet socialized...." (Depdiknas, XXXXf, WWW.DEPDIKNAS.GO.ID).
It seems educational system in Indonesia has not yet promoted this critical thinking skill as seen on http://www.pendis.depag.go.id webmaster@pendis.depag.go.id,
Sistem pendidikan di Indonesia tidak memberi ruang bagi anak didik untuk berpikir kritis. Hal ini berimplikasi pada rendahnya kreativitas pelajar di Indonesia. Demikian diungkapkan dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Yasraf Amir Piliang, pada talkshow 100 Tahun Kebangkitan Nasional "Selamatkan Indonesia dari Kemiskinan" di Kampus ITB Jln. Ganeca, Bandung, Kamis (22/5).
Menurut Yasraf, iklim belajar-mengajar yang tidak mengarahkan anak didik pada pembelajaran yang kritis akan mematikan hasrat siswa untuk kreatif. "Perlu ada strategi untuk memperbaiki pendidikan dasar dan menengah yang belum membuat anak-anak Indonesia menjadi seorang yang kritis," ungkapnya.
Hal serupa dikatakan staf ahli Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Asep Saefudin. Menurutnya, sistem pendidikan Indonesia cenderung mengarah pada feodalisme. Akibatnya, sistem pendidikan tersebut membuat anak didik kehilangan sarana untuk mengembangkan kreativitasnya. Sejatinya kreativitas dihasilkan dari pemikiran kritis anak didik
The description above tells us that students in Indonesia do not yet show their critical thinking skill which is very important to promote and improve their ways of learning and thinking in order to face the unpredictable challenge of the future. It's very regrettable fact since Indonesian's pluralistic society needs citizens who can fair-mindedly evaluate the relevance of different perspectives on complex problems. Additionally, making sound personal and civic decisions requires the ability to interpret accurately information filtered by media that emphasize promotion and imagery over reason.
Meanwhile, another urgent topic in the field of education in Indonesia is the importance and the need for English and the teaching of English in Indonesia, that have been explicitly stated in several official documents released by the government, especially those related to education. The first document is the Competence-Based English Curriculum released by the Department of National Education of Indonesia (Depdiknas, XXXX). In the rationale of this curriculum, it is stated,
Sebagai Bahasa yang digunakan oleh sebagian penduduk dunia, Bahasa Inggris telah siap untuk memegang peranan sebagai bahasa dunia. Selain menjadi bahasa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, bahsa ini dapat menjadi alat untuk tujuan ekonomi dan perdagangan, hubungan antar Negara, tujuan sosial budaya, pendidikan dan pengembangan karir bagi masyarakat. Penguasaan bahasa inggris merupakan syarat utama bagi kesuksesan perseorangan, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menjawab tantangan jaman di tingkat dunia. Penguasaan bahasa Ingrid dapat diperoleh dengan berbagai car a, namun kelihatannya pendidikan bahasa Inggris di sekolah merupakan media yang utama bagi siswa di Indonesia (Depdiknas, XXXX).
The curriculum further mentions the role of English in Indonesia as described below:
Di Indonesia, bahasa Inggris merupakan alat untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetehuan, teknologi, seni dan kebudayaan. Lebih lanjut, bahasa Inggris memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara lain di berbagai bidang seperti perekonomian, perdagangan dan politik. Oleh karena itu, bahasa Inggris merupakan jalan untuk mempercepat kemajuan bangsa dan negara Indonesia (Depdiknas, XXXX; see a similar statement from the Director General of Secondary Education in Depdiknas XXXX, http://www.pdk.go.id/publikasi/Masadepan/I XVIII XXXX/bahasa inggris -1-thXVIII-XXXX)
Moreover, the rationale of the Competence-Based Curriculum also explicitly states:
Hasil penelitian membuktikan bahwa pendidikan bahasa Inggris di Indonesia masih jauh dari tujuan penguasaan keahlian bahasa yang diharapkan. Lulusan sekolah menengah masih belum mampu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Lulusan sekolah tinggi masih belum mampu membaca buku teks berbahasa Inggris. Ada bebereapa faktor yang menyebabkan kegagalan ini dan banyak hal pula yang harus dilaksanakan untuk memperbaikinya. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan silabus yang tepat sesuai perkembangan jaman (Depdiknas, XXXX).
In order to overcome this problem, Department of National Education released the recent concept curriculum in XXXX to apply on Indonesian secondary education level (Senior High School) as followed:
Salah satu model terkini yang ada di dalam system pendidikan bahasa adalah yang dikemukakan oleh Celce-Murcia, Dornyei dan Thurrell (XXXX) yang kompatibel dengan pandangan teoritis bahwa bahasa adalah komunikasi, bukan sekedar seperangkat aturan. Implikasinya adalah bahwa model kompetensi berbahasa yang dirumuskan adalah model yang menyiapkan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa untuk berpartisipasi dalam masyarakat pengguna bahasa. Model ini dirumuskan sebagai Communicative Competence atau Kompetensi Komunikatif (KK)
It is further mentioned that
Dalam Kompetensi Komunikatif, kompetensi utama yang dituju oleh pendidikan bahasa adalah Discourse Competence atau Kompetensi Wacana (KW). Artinya, jika seseorang berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis orang tersebut terlibat dalam suatu wacana. Yang dimaksud dengan wacana ialah sebuah peristiwa komunikasi yang dipengaruhi oleh system yang dikomunikasikan, hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi dan jalur komunikasi yang digunakan dalam satu konteks budaya. Makna apapun yang ia per oleh dan ia ciptakan dalam komunikasi selalu terkait dengan konteks budaya dan konteks situasi yang melingkupinya. Berpartisipasi dalam percakapan, membaca dan menulis secara otomatis mengaktifkan kompetensi wacana yang berarti menggunakan seperangkat strategi atau prosedur untuk merealisasi nilai-nilai yang terdapat dalam system-unsur bahasa, tata bahasa, isyarat-isyarat pragmatiknya dalam menafsirkan dan mengungkapkan makna (McCarthy dan Carter XXXX: 88).
This model of language teaching and learning has also offered another model as cited below,
Selain model kompetensi, sebuah model bahasa yang memandang bahasa sebagai komunikasi atau sebagai system (Halliday 1978) juga digunakan dalam kurikulum ini. Menurut pandangan ini, ketika seseorang berpikir tentang bahasa, minimal ada tiga aspek penting yang harus diperhitungkan, yakni konteks, teks, dan system bahasa.
The decision to use the model of language teaching above emerged through consideration and notification that during the final quarter of the twentieth century, cognitive revolution spelt its influence on second language education. Active construction of knowledge on the side of the learners was considered the core of learning, and language learning was viewed as active rule generation and transformation through exposure to large amount of input, rather than habit formation. Individualized, learner-centered learning was given an unprecedented emphasis under this perspective, and a cognitive, problem-solving approach was advocated as a viable language teaching approach. Despite the popularity of cognitive/constructive perspective to second language education, researchers like Hymes and Halliday pointed out the limitations of this perspective in downplaying the social aspect of language learning and initiated the sociocognitive perspective to second language education. Under this perspective, language learning was regarded as socially constructed, and its purpose was to enable self-expressing and get learners prepared for dealing with the authentic social interactions and discourse communities that learners would later encounter. Furthermore, learning is no longer restricted to linguistic aspects, but rather social, discourse and cultural aspects are also considered crucial components of learning (Gui Suk Park: XXXX on web.utk.edu genreteaching.doc).
The release of the XXXX English curriculum, which is underpinned by systemic functional linguistics (SFL) and involves the genre-based approach (GBA), indicates the Indonesian government's awareness of the necessity for the teaching of English which is functional and which can lead to students' ability in using the language in context. In another sense, Indonesian's Department of National Education realized that genre-based writing instructions as the heir of Hymes' communicative approaches to language teaching that emerged in the 1970s would be the best choice of a curriculum as it had worked very successfully in other big countries.
In Australia, as Cope, Kalantzis, et al. (cited in Myra Barrs on www.teachthinking.com) explain in their historical account, the genre movement began as a group of academic genre linguists who were critical of 'progressivist pedagogy' in teaching writing. This came up from the growing realization that writing was a key area of literacy learning and an essential route to educational achievement. Writing is a skill that is acquired more slowly and with more difficulty than reading, in addition, putting thoughts into writing involves embarking on what Vygotsky calls 'the longest journey that thought has to travel'. Translating inner speech, which is condensed and abbreviated in character, into writing, the most elaborate and detailed form of language requires the writer to spell out meanings as well as words.
Even though in its development, the genre linguists had their view reduced of what is involved in writing and in teaching writing, as they put all the emphasis on textual structures and linguistic features and left out the most essential element of writing: the writer's subject, the content, what is to be communicated. It was reformed by some revisionist genre linguists in Australia by promoting a more curriculum-based way of working: in Callaghan, et al. 'process-based' approach to teaching genre.
The aim is not just to teach the class to produce a generic text type. Rather it aims to use language to help teach the abstraction of the content knowledge and the skills of generalizing and synthesizing and hypothesizing (Callaghan XXXX: 201).
This recognition that writing has an important cognitive dimension, and is a basic means of thinking and learning is a positive move. Learning to write, in Halliday's words, is 'learning how to mean' - on paper. Meaning-making is at the heart of the process, and since these are the learner's meanings we are talking about, the learner needs to be engaged with the learning and with the writing.
Emig (1983 cited in Myra Barrs on www.teachthinking.com) describes writing as the 'complex evolutionary development of thought, steadily and graphically visible and available throughout as a record of the journey from jottings and notes to full discursive formulation.' This focuses on the development of a text, viewed not as routine drafting but as the development of thinking, suggests why a 'process writing' approach could be a helpful part of learning in any curriculum area.
This statement about writing as the development of thinking clearly provides teachers a media for teaching thinking to students through English language learning at school. So it can be concluded that by teaching writing to students, in the same time there is a chance to foster and develop thinking skill.
Additionally, genre pedagogies promise very real benefits for learners as they pull together language, content, and contexts, while offering teachers a means of presenting students with explicit and systematic explanations of the ways writing works to communicate (Christie & Martin, XXXX cited in Hyland, XXXX: 15). One advantage from using GBA, according to Hyland is that Genre-Based teaching facilitates critical understanding, GBA has the potential for aiding students to reflect on and critique the way that knowledge and information are organized and constructed in written English text. Understanding how texts are socially constructed and ideologically shaped help students to distinguish differences and provide them with the means of understanding their varied experiential frameworks.
In order to accomplish their purpose, genres generally move through a number of stages (Martin 1985 cited in Deriawanka on RELC Journal 32, XXXX: 38). And when GBA is implemented in Indonesian English language class using this Martin's 'wheel' model of genre literacy pedagogy, in one of its stage; the modellilng stage: presenting a text as an example of a genre and then analyzing its generic features (which may include function, structure, language, grammar, use of tenses and so on), students are required to understand contents of the text.
The process of understanding the text involves critical thinking skill. For example when telling a story such as Goldilocks and the three bears (Narrative genre), a teacher might ask the following questions: What did you think of the story? Was Goldilocks good or bad? Why? These kinds of questions are categorized as evaluation process which Bloom (in Bloom's taxonomy of cognitive goals) associates to be synonymous with the term critical thinking (Fisher, XXXX: 69). Modeling stage is followed by 'joint construction of a new text in the same genre' (or shared writing) and then by 'independent construction of text', in this final stage students are required to be able producing a text, the writing process which experienced writers use are the processes will help young children develop their writing/thinking skills
The writing process begins with thinking about the nature of the message writing should take. At this initial stage such as audience, purpose and form should be considered. Writing activities should have a purpose. Such purposes for writing might include: to amuse, to argue, to discuss, to describe, to recount, to remind, to report, to persuade or to touch the emotions (Fisher, XXXX: 202). This statement is line with the theory of genre pedagogy, genre theorists place participant relationships at the heart of language use and assume that every successful text will display the writers' awareness of its context and the readers who form part of that context (Hyland, XXXX in Gui Suk Park: XXXX on web.utk.edu genreteaching.doc).
And when it comes to the Exposition genre or Argumentative genre, the students will be challenged to find facts and construct arguments for why a thesis has been proposed. Skill in argumentation and, spoken and written has been considered as one of critical thinking disposition (Ennis, 1987 cited in Emilia, XXXX: 59) and argumentative writing has thus been considered to be critical to challenge student's critical thinking.
The above explanation about the need for teaching students thinking skill, critical thinking particularly and Indonesian Department of National Education's decision to involve Genre-Based Approach as the right curriculum to apply in English language learning in secondary level of education in Indonesia, can be seen as two related subjects. In other words, GBA as a writing product oriented can be a media to promote thinking skill, since writing involve thinking capacity in its process, especially when the students learn about argumentative genre such as Analytical and Hortatory Exposition and Discussion Genre text. They are required to construct arguments, argument is the offering of reasons for a belief, and it also aims at discovering the truth by exposing belief to the light of reason. To weigh arguments before reaching a balance judgment, to carefully examine experience, asses' knowledge and ideas, students must be able think critically (Fisher, XXXX: 66). In addition, GBA helps the students to understand and criticize how information written and produced in English text.
This study with the title "The Implementation of Genre-Based Approach in the Teaching of English at SMA Negeri 1 X and Its Effects in Promoting Students' Critical Thinking" tries to see and reveal the clear description on how the Genre-Based approach when implemented in Indonesia's senior high school, especially in SMA Negri 1 X. And how does the implementation of GBA affect the promotion of student's critical thinking. The reason in choosing this school is, as the writer lives in X as a teacher, highly believes that the teachers and the students of SMA Negri 1 X are capable to understand and to apply GBA in their English class. Their capability is proven as SMA N 1 X is considered to be the best school in local district of X viewed from the fact that it has the highest rank of score for almost all of academic subject matters especially in English in X regency examination in XXXX/XXXX among high schools. Another proof is SMA Negri 1 X has succeeded to win the X high school debate competition for several years. This success was a result of their professional and progressive development.
Furthermore, the study describes to what extent Genre-Based Approach is understood and implemented in the teaching of English and to what extent does it affect students' critical thinking. Thus, this reaserach was conducted on each component included in GBA such as: (1) The teaching and learning objectives; (2) Model of syllabus; (3) The strategies and procedure in teaching of Exposition and Discussion genre in the process of teaching and learning activities; (4) The teachers' role, and (5) The students' role in the process of teaching and learning activities using GBA. To get further description, the research also observed teachers' perception on Genre-Based Approach in the teaching and learning of English and in promoting students' critical thinking. And at last, the research observed indicators of students' critical thinking ability.

B. Problem Statements
Based on the background of study the problem statements in this study are:
1. How is the implementation of Genre-Based Approach in the teaching of English in SMA Negri 1 X?
2. To what extent does the implementation GBA promote students' critical thinking?

C. The Objectives of the Study
Answering the problem statements above, this research has certain objectives. Those are:
1. To get the clear description of the implementation and identifies effectiveness teaching learning activities of Genre-Based Approach in the teaching of English.
2. To know the effects of the implementation of Genre-Based Approach in promoting high school students' critical thinking skill.
3. To figure out the influence of this critical thinking skill on developing student's attitudes to think critically or reasonably to the extent that students are able carefully to examine experience, assess knowledge and ideas, and to weigh arguments before reaching a balanced judgment

D. The Benefits of the Study
Hopefully, from this study, there is a complete description about the implementation of Genre-Based Approach in SMA Negri 1 X, for the writer; certainly this study will enrich her life with such good experience in searching and developing knowledge to be a better person. For the school, it can give a clear view of the strengths and weaknesses of this approach in the teaching and learning English, it will also enable the school, the headmaster, the teachers and students to decide next strategies or the right steps in developing the teachers and students English competence, specially strategies on how to develop and increase students' critical thinking.
In a broader field, I hope this study will give a contribution on changing the way teaching students about English, not just provide the students to master the language skill but it is also important for teachers to teach students to think and specially to think critically.
TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING DENGAN SOFTWARE COMPUTER ALGEBRAIC SYSTEM (CAS) TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING DENGAN SOFTWARE COMPUTER ALGEBRAIC SYSTEM (CAS) TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

(KODE : PASCSARJ-0041) : TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING DENGAN SOFTWARE COMPUTER ALGEBRAIC SYSTEM (CAS) TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sekarang ini, menyebabkan semakin berkembangnya dunia pendidikan. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan manusia berkualitas. Sesuai dengan fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. (UU RI No. 20 Tahun XXXX)
Menurut Laporan The Third International Mathematics and Science Study (IEA, XXXX) yang menyatakan bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi siswa Indonesia pada urutan ke-33 untuk IPA dan ke-34 untuk Matematika. Kemampuan lainnya ditunjukkan melalui data UNESCO (XXXX) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun XXXX, ke-99 pada tahun XXXX, ke-107 pada tahun XXXX, dan ke-109 pada tahun XXXX. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (XXXX), menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Sementara itu, hasil pengukuran daya serap kurikulum secara nasional oleh Direktorat Pendidikan tahun XXXX/XXXX menunjukkan bahwa rata-rata daya serap kurikulum secara nasional masih rendah, yaitu 5,1 untuk lima mata pelajaran, termasuk mata pelajaran matematika.
Jika dianalisis penyebab bisa dari siswa, guru, sarana dan prasarana maupun model pembelajaran yang digunakan. Motivasi siswa yang rendah, kinerja guru yang kurang baik dapat juga sebagai penyebab kurang berhasilnya pembelajaran. Proses pembelajaran yang kurang ditunjukkan dengan kurang aktifnya siswa dalam berinteraksi dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pembelajaran matematika tidak boleh diartikan hanya terdapat keharusan menyampaikan konsep, prinsip, hukum dan teori tetapi juga harus menekankan bagaimana cara untuk memperoleh konsep, prinsip, hukum, dan teori tersebut. Agar dapat memperoleh konsep, prinsip, hukum dan teori dengan baik maka siswa perlu dilatih untuk mampu mengamati, mengelompokkan, menafsirkan, meramalkan, meneliti dan mengkomunikasikan.
Guru dalam proses belajar untuk meningkatkan prestasi belajar siswa seharusnya tidak hanya memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih pada memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi siswa. Menurut Sugiyanto (XXXX) tugas seorang guru adalah menjadikan pelajaran yang sebelumnya tidak menarik menjadikan menarik, yang dirasakan sulit menjadi mudah, yang tadinya tak berarti menjadi bermakna. Peran guru dalam pembelajaran diharapkan dapat dilaksanakan secara optimal sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola demonstrator, pembimbing, motivator dan evaluator.
Model atau strategi pembelajaran yang dikembangkan para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Diantaranya adalah Model Pembelajaran Quantum Learning. DePorter dkk (XXXX) Quantum Learning adalah Orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan sekitar momen belajar. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur belajar efektif yang mempengaruhi kesusksesan siswa. Interaksi-interaksi ini dapat mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi siswa sendiri dan orang lain. Menurut Sugiyanto (XXXX) Tujuan jangka panjang kegiatan pembelajaran adalah membantu siswa mencapai kemampuan secara optimal untuk dapat belajar lebih mudah dan efektif di masa datang. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman pembelajaran dalam segala kegiatan proses aktivitas pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan.
Salah satu media pembelajaran untuk mengatasi menurunnya prestasi belajar matematika, dengan media pembelajaran modern yang sangat populer digunakan dalam dunia pendidikan adalah komputer. Komputer digunakan sebagai salah satu pilihan penggunaan media pendidikan yang sifatnya dapat mengakses berbagai macam data. Palgunadi (XXXX) menyebutkan bahwa Software Computer Algebraic System (CAS) adalah perangkat lunak yang mampu menghitung (secara numeric atau simbolik) berdasarkan kaidah matematika dan dapat menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata. Komputer mempunyai kemampuan yang tinggi sekali untuk pengajaran, lebih-lebih dalam hal pengukuran dan pemberian tes yang merupakan bagian dari pengajaran. Berbagai kemudahan dengan fasilitas yang ada di dalamnya dapat memotivasi siswa untuk belajar. Fasilitas yang ada dalam komputer diantaranya adalah media software Computer Algebraic Sistem. Sofware pembelajaran komputer ini sudah banyak didapatkan dan dapat dibuat melalui pelatihan-pelatihan. Dengan pembelajaran menggunakan software pembelajaran komputer ini siswa akan terlibat secara aktif dan belajar mandiri untuk mengamati di pokok bahasan Trigonometri.
Pokok bahasan trigonometri dianggap oleh sebagian siswa pelajaran yang sulit, banyak rumus-rumus yang harus dihafal sehingga nilai prestasi dalam pokok bahasan trigonometri banyak yang menurun.

B. Identifikasi Masalah
Suatu kegiatan belajar mengajar hendaknya menggunakan model yang sesuai dengan pengajaran dan materi yang diajarkan. Pembelajaran dengan berbagai model mengajar telah diterapkan selama ini ternyata memungkinkan munculnya berbagai masalah. Di antara masalah-masalah yang mungkin muncul dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Rendahnya prestasi belajar matematika siswa, ada kemungkinan disebabkan oleh model pembelajaran yang dilakukan guru. Terkait dengan hal tersebut muncul permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu apakah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dan tepat oleh guru dapat meningkatkan kualitas hasil belajar matematika siswa.
2. Pembelajaran yang selama ini berjalan masih bersifat pembelajaran strukturalistik : guru memimpin, subyek-subyek terpisah, mengingat- menghafal, motivasi eksternal (nilai), tergantung aturan-aturan otokritik, terpisah sekolah terpisah dari kehidupan nyata, memperlakukan setiap siswa secara merata. Terkait dengan hal ini, dapat diteliti bagaimana merancang model pembelajaran menyenangkan dengan media pembelajaran, sehingga meningkatkan prestasi belajar matematika.
3. Suatu model pembelajaran yang digunakan oleh guru belum tentu efektif untuk semua siswa. Bisa jadi model pembelajaran tersebut efektif untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar siswa tinggi tetapi tidak efektif untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar siswa sedang dan rendah atau pun sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, perlu diteliti apakah pengaruh model pembelajaran Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System (CAS) terhadap prestasi belajar ditinjau dari motivasi belajar siswa SMA Kabupaten X.

C. Pemilihan Masalah
Suatu penelitian tidak mungkin dilakukan dengan banyak pertanyaan penelitian dalam waktu yang sama. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti hanya ingin melakukan penelitian yang terkait dengan permasalahan ketiga, yaitu yang terkait dengan model pembelajaran yang menyenangkan dengan media pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika.

D. Pembatasan Masalah
Dari masalah diatas, ada dua hal yang perlu dipersoalkan. Hal pertama adalah model pembelajaran dan yang kedua motivasi belajar siswa. Untuk penelitian ini akan diteliti pengaruh model pembelajaran matematika dan motivasi siswa terhadap prestasi pokok bahasan trigonometri. Agar penelitian dapat dijalankan dengan baik, maka dilakukan pembatasan-pembatasan sebagai berikut :
1. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 2 X, SMA Negeri 1 Y, SMA Negeri 1 Z dan SMA Negeri 1 R pada tahun ajaran XXXX/XXXX semester genap.
2. Karakteristik sekolah yang dilihat adalah berdasarkan hasil prestasi Ujian Nasional Tahun pelajaran XXXX/XXXX yaitu tinggi, sedang dan rendah.
3. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System (CAS) dan model pembelajaran matematika strukturalistik. Model pembelajaran Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System (CAS) adalah pendekatan pembelajaran yang membuat situasi pembelajaran menyenangkan menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata. Sedangkan model pembelajaran Strukturalistik adalah yaitu seorang guru aktif mengajarkan matematika kemudian memberi contoh dan latihan, siswa berfungsi pendengar, mencatat dan mengerjakan latihan yang diberikan guru.
4. Penggunaan media software komputer dalam pembelajaran matematika dibatasi pada materi yang sesuai dengan menggunakan Computer Algebraic System yang telah ada dan program tersebut siap pakai salah satunya dengan program Maple.
5. Hasil belajar matematika siswa dibatasi kemampuan siswa dalam mengerjakan seperangkat soal latihan pada materi Trigonometri untuk siswa kelas X semester genap tahun pelajaran XXXX/XXXX.

E. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran strukturalistik ?
2. Apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai motivasi tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang motivasi sedang atau rendah dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai motivasi sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai motivasi rendah ?
3. Pada masing-masing klasifikasi motivasi siswa, apakah model pembelajaran Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System lebih baik dari pada model pembelajaran strukturalistik pada prestasi belajar siswa ?

F. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Apakah penggunaan model pembelajaran Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System (CAS) dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan trigonometri menghasilkan prestasi yang lebih baik dibandingkan menggunakan model pembelajaran strukturalistik terhadap hasil belajar matematika.
2. Manakah yang memberikan prestasi yang lebih baik, antara siswa yang mempunyai motivasi tinggi, sedang dan rendah dalam mempelajari pokok bahasan trigonometri.
3. Apakah ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika pada pokok bahasan trigonometri.

G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi kepada guru atau calon guru matematika tentang penggunaan model pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
Quantum Learning dengan software Computer Algebraic System (CAS) dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
2. Memberikan informasi tentang pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika siswa.
3. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi peneliti sejenis.
TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE KOMPUTER TERHADAP HASIL BELAJAR PADA BIDANG STUDI MATEMATIKA

TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE KOMPUTER TERHADAP HASIL BELAJAR PADA BIDANG STUDI MATEMATIKA

(KODE : PASCSARJ-0040) : TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE KOMPUTER TERHADAP HASIL BELAJAR PADA BIDANG STUDI MATEMATIKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ruang lingkup pembangunan nasional di bidang pendidikan, salah satu jenis pendidikan pada tingkat menengah atas adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UUSPN nomor : 20 tahun XXXX, Pasal 3) Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (UUSPN nomor : 20 tahun XXXX, Pasal 15 penjelasan).
Tujuan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah Sekolah Menengah Kejuruan bagian subsistem dari pendidikan menengah bertujuan menyiapkan siswa/ tamatan : (1) Memasuki lapangan kerja serta dapat mengembangkan sikap profesional; (2) Mampu memilih karir, mampu berkompetensi, dan mampu mengembangkan diri; (3) Menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mengisi kebutuhan dunia kerja pada saat ini maupun masa yang akan datang; (4) Menjadi warga Negara yang produktif, adaptif, dan kreatif. (Kurikulum SMK, Edisi XXXX :1).
Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita. David W. Johnson. and Roger T (XXXX:26 ), mengatakan bahwa pola interaksi dengan berkompetisi adalah yang paling dominan, dimana siswa akan mencoba melakukan yang lebih baik dari siswa lain. Kompetisi ini diharapkan sudah mulai ketika siswa masuk sekolah dan tumbuh lebih kuat karena kemajuan sekolah.
Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, dimana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tantangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
Oleh karena itulah, kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang semula berbasis sekolah (school based) dan mata pelajaran (subject matter), mulai tahun XXXX disesuaikan menjadi kurikulum berbasis kompetensi ditekankan agar siswa yang mengikuti pendidikan di sekolah memperoleh kompetensi yang diinginkan sesuai dengan tuntutan dunia kerja, serta kecenderungan perkembangan IPTEK di masa yang akan datang dengan tetap mengacu kepada ketentuan-kententuan yang berlaku.
Sejalan dengan pemikiran di atas, dengan (Peraturan Mendiknas No.24 Tahun XXXX : 181) Tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah antara lain:
(1) Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, (2) Matematika merupakan sarana komunikasi sains tentang pola-pola yang berguna untuk melatih berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, (3) Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, (4) Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), (5) Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, (6) Penguasaan mata pelajaran matematika bagi peserta didik untuk melatih berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif dan inovatif yang difungsikan untuk mendukung pembentukan kompetensi program keahlian.
Realisasi di lapangan secara umum dirasakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), antara lain : (1) Dalam rangka standar kompetensi matematika SMK minimal yang harus dimiliki dan dikuasai oleh siswa SMK adalah materi-materi matematika dengan memperhatikan struktur keilmuan, tingkat kedalaman materi, serta sifat esensial materi dan keterpakaiannya dalam kehidupan sehari-hari. (2) Materi yang perlu dipelajari dan dikuasai siswa adalah operasi bilangan real, aproksimasi kesalahan, persamaan dan pertiksamaan, matriks, program linier, logika matematika, relasi dan fungsi, barisan dan deret geometri, dimensi dua dan tiga, peluang, statistika materi tersebut merupakan materi minimum yang harus dipelajari dan dikuasai oleh seluruh siswa SMK pada semua program keahlian.
Setiap objek pengajaran matematika memiliki tingkat kesulitan yang menunjuk kemampuan kognitif yang berbeda. Perlu diketahui, standar kelulusan Sekolah Menengah kejuruan (SMK) secara nasional sangat rendah dibandingkan dengan negara berkembang lain. Hasil penelitian Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS, XXXX) menunjukkan bahwa penguasaan matematika siswa Indonesia berada di peringkat 13 terbawah yaitu ranking 37 dari 49 negara. (http://nees.ed.gov/timss /results07 math07.asp). Garfield, J. (XXXX), mengatakan bahwa salah satu cara bagi para guru agar siswa belajar secara aktif dalam kelas adalah dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. 1 (1)
Diakui atau tidak, matematika adalah sesuatu hal yang tidak mudah untuk dimengerti oleh setiap siswa, sehingga mereka lebih sering membuat kesalahan yang menyebabkan lebih sering pula mereka mendapat nasehat, peringatan, atau mungkin hukuman atau sanksi dari pada mendapat pujian. Yang menjadi masalah adalah masih banyak proses pembelajaran yang menggunakan paradikma mengajar, yaitu guru sebagai sumber belajar yang mengajari siswa sehingga siswa cenderung pasif yang akibatnya sering mengalami kesulitan dalam memahami konsep, menerapkan rumus-rumus dan kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal atau bahkan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka pengajaran matematika memerlukan strategi mengajar tersendiri yang sesuai dengan objek yang dipelajari. Dengan demikian siswa akan memiliki ketrampilan operasional dalam menyelesaikan matematika. Seperti pada materi logika. Sebenarnya materi ini tidaklah sulit untuk dipahami apabila peserta didik menguasai konsep, namun kebanyakan siswa masih banyak melakukan kesalahan. Model Pembelajaran yang seharusnya senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi guru dan siswa (Sardiman, XXXX:14).
Setiap pengajar diharapkan tidak hanya menggunakan satu macam model pembelajaran. Hendaknya lebih bervariasi agar siswa lebih mudah dalam memahami suatu materi tanpa harus dipaksa untuk mendengarkan, mencatat atau menghafal kemudian mengerjakan sesuai contoh. Salah satu model pembelajaran yang banyak digunakan pendidik yaitu model pembelajaran langsung di dalam pendekatan konvensional, guru memegang peranan utama dalam menentukan isi dan urutan langkah penyampaian isi atau materi pelajaran tersebut pada siswa. Kegiatan proses belajar mengajar terpusat kepada guru sebagai pemberi informasi. Dalam mengajar, guru cenderung mengandalkan metode ceramah dan guru sangat mendominasi karena guru menjadi pusat informasi. Yang selama ini dipakai tentu tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan yang ada, salah satu kelemahannya didesain untuk mencapai pengetahuan deklaratif maupun pengetahuan prosedural.
Robert Q. Berry, Linda Bol, Suennane E. McKinney (XXXX), mengatakan bahwa ada enam prinsip yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam rangka meningkatkan SDM yang berkualitas. yakni : penguasaan, kurikulum, pengajaran, pelajaran, penilaian dan tehnologi. 4 (1)
Untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi diperlukan upaya misalnya dengan menggunakan alat bantu media pembelajaran dengan software komputer. Karena pengetahuan yang tinggi lebih abstrak sehingga perlu upaya guru untuk menjadikan sesuatu yang abstrak tersebut menjadi lebih kongkrit. Sedangkan media pembelajaran dengan software komputer akan memungkinkan sesuatu yang abstak lebih kongkrit. Dalam kenyataan pada diri siswa sering terjadi kejenuhan dalam belajar matematika. Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan media. Namun media pendidikan hanya untuk verbalisme belaka sehingga sifat media yang hanya digunakan sebagai alat bantu dan siswa hanya sebagai penonton dari media yang digunakan gurunya. Dalam hal ini media hanya dianggap sebagai alat bantu visual, yaitu gambar, model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman kongkrit, motivasi belajar serta mempertinggi day a serap dan retensi belajar siswa. Alat bantu yang demikian masih terdapat kelemahan yaitu : 1) Terlalu memusatkan perhatian pada alat bantu, 2) Kurang memperhatikan aspek desain, pengembangan pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasi (Arief S.Sadiman, dkk XXXX:7). Oleh karena itu media pembelajaran yang digunakan sebaiknya bersifat sebagai alat bantu pembelajaran dan dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran.
Media pembelajaran yang baik diharapkan dapat mencangkup aspek visual, auditif dan motorik. Hal ini bertujuan agar memudahkan siswa dalam belajar dan menanamkan konsep. Semakin banyak indera anak yang terlibat dalam proses belajar maka semakin mudah anak belajar dan semakin bermakna. Materi pelajaran matematika yang bersifat deduktif dengan pendekatan yang logis akan sangat bermanfaat jika menggunakan multimedia sebagai sarana pembelajaran.
Salah satu media pembelajaran modern yang sangat populer digunakan dalam dunia pendidikan adalah komputer. Komputer digunakan sebagai salah satu pilihan penggunaan media pendidikan karena sifatnya yang dapat mengakses berbagai macam data. John J Longkutoy (1985:23), menyebutkan bahwa Komputer diciptakan untuk membatu manusia dalam hal pemecahan persoalan, terutama yang rumit dan banyak jumlahnya serta jenisnya. Mempunyai kemampuan yang tinggi sekali untuk pengajaran, lebih-lebih dalam pengukuran dan pemberian tes yang merupakan bagian dari pengajaran. Berbagai kemudahan dengan berbagai fasilitas yang ada di dalamnya dapat merangsang (motivasi) siswa untuk belajar. Fasilitas yang ada dalam komputer diantaranya adalah software pembelajaran. Software pembelajaran komputer ini sudah banyak didapatkan dan dapat pula dibuat melalui pelatihan-pelatihan. Dengan pembelajaran menggunakan software pembelajaran komputer ini siswa akan terlihat secara aktif dan mandiri untuk mengamati, menemukan konsep pokok bahasan matematika.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang "Efektifitas pembelajaran dengan menggunakan software komputer terhadap hasil belajar bidang studi matematika ditinjau dari motivasi belajar siswa SMK Kabupaten X".

B. Identifikasi Masalah
Suatu kegiatan belajar mengajar hendaknya menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan pengajaran dan materi yang diajarkan. Pembelajaran dengan berbagai metode mengajar yang telah diterapkan selama ini ternyata memungkinkan munculnya berbagai masalah. Di antara masalah-masalah yang mungkin muncul dapat diindentifikasi sebagai berikut :
1. Pembelajaran matematika di kelas pada umumnya guru mendominasi proses belajar mengajar dengan menerapkan strategi klasikal, ceramah dan siswa menerima materi pelajaran secara pasif. Ada kemungkinan hal tersebut disebabkan model Pembelajaran yang kurang tepat. Terkait dengan hal ini, muncul permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu apakah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dan tepat oleh guru dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa?
2. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa, baik dari dalam diri siswa maupun faktor dari luar siswa, sehingga faktor mana yang sangat berpengaruh perlu dicari (dideteksi) untuk mengatasinya. Ada kemungkinan faktor yang sangat berpengaruh disebabkan rendahnya motivasi belajar siswa. Berkenaan dengan hal ini, perlu diteliti apakah motivasi berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa ?
3. Pembelajaran matematika di SMK pada umumnya disajikan tanpa menggunakan media/peraga. Jika dengan menggunakan media/peraga pada umumnya hanya sederhana sehingga siswa kurang memahami materi yang dipelajari. Berkenaan dengan hal ini, perlu diteliti apakah penggunaan media dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa lebih baik ?

C. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan masalah-masalah di atas, agar permasalahan tidak berkembang lebih jauh, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut :
1. Penggunaan media komputer dalam model pembelajaran langsung dibatasi pada penggunaan software komputer microsoft office power point pada pokok bahasan logika.
2. Motivasi belajar dalam pembelajaran matematika dibatasi pada motivasi siswa (tinggi, sedang, rendah) dalam mempelajari dan mengikuti pembelajaran matematika di sekolah.
3. Hasil belajar matematika siswa dibatasi kemampuan siswa dalam mengerjakan seperangkat soal latihan matematika pada materi kelas X SMK semester 2 pada pokok bahasan logika tahun pelajaran XXXX/XXXX.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Di antara pembelajaran dengan menggunakan software komputer dan pembelajaran konvensional, pembelajaran yang manakah yang dapat memberikan hasil belajar matematika yang lebih baik pada materi logika ?
2. Pada masing-masing kategori motivasi (tinggi, sedang, rendah) manakah yang memberikan hasil belajar matematika lebih baik ?
3. Di antara kedua pembelajaran (pembelajaran menggunakan software komputer dan pembelajaran konvensional), manakah yang memberikan hasil belajar matematika yang lebih baik pada siswa yang bermotivasi belajar tinggi, sedang atau rendah ?

E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Manakah diantara penggunaan pembelajaran dengan software komputer dan pembelajaran konvensional yang dapat memberikan hasil belajar matematika lebih baik.
2. Pengaruh tingkat motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar matematika siswa.
3. Apakah efektivitas pembelajaran software komputer tergantung dengan kategori motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar matematika pada materi logika.

F. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis dalam pendidikan, sebagai berikut :
1. Secara teknis untuk memberikan gambaran tentang pemilihan pendekatan dan metode pengajaran dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar ilmu matematika.
2. Secara praktis untuk memberikan alternatif pemilihan pendekatan dan metode yang optimal dalam meningkatkan hasil belajar matematika.
3. Bahan masukan kepada pendidik tentang berbagai kelebihan kekurangan antara pembelajaran matematika dengan media software komputer dan pembelajaran secara konvensional.
4. Bahan masukan kepada orang tua siswa agar selalu mendorong siswa untuk meningkatkan motivasi dalam mata pelajaran matematika.
5. Memberikan masukan kepada peneliti selanjutnya, khususnya peneliti dalam bidang matematika.
TESIS PENGARUH PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN OHP DAN KOMPUTER MENGGUNAKAN PROGRAM POWER POINT TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA

TESIS PENGARUH PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN OHP DAN KOMPUTER MENGGUNAKAN PROGRAM POWER POINT TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA

(KODE : PASCSARJ-0039) : TESIS PENGARUH PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN OHP DAN KOMPUTER MENGGUNAKAN PROGRAM POWER POINT TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dituntut pula peningkatan kualitas pendidikan untuk mengimbanginya, sehingga akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk menguasai teknologi itu. Akan tetapi kenyataan yang dapat kita jumpai saat ini pendidikan di Indonesia masih ketinggalan untuk mengimbanginya. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain rendahnya kualitas pendidikan saat ini. Sebenarnya pihak pemerintah telah mengupayakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang meliputi peningkatan kualitas edukatif, sistem, kurikulum maupun sarana. Dalam peningkatan kualitas edukatif telah dilakukan berbagai upaya, seperti: workshop, penataran, pelatihan, temu karya, bahkan pemerintah telah memberikan kesempatan kepada guru untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi yang dibeayai oleh pemerintah dalam bentuk beasiswa. Demikian juga dalam hal kurikulum juga telah dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan, misalnya KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi) yang disempurnakan menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) bahkan meningkatkan sekolah-sekolah unggul dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), Kelas Percepatan (mewadahi anak-anak berbakat istimewa), Kelas Khusus Olimpiade termasuk berbagai sarana yang diperlukan. Namun mengingat adanya keterbatasan kemampuan Pemerintah khususnya dalam hal sarana pendidikan, maka perlu adanya langkah guru yang kreatif dan inovatif untuk menyiasatinya dengan melaksanakan proses pembelajaran yang variatif sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan masing-masing, sehingga terjadi proses belajar mengajar secara optimal pada diri peserta belajar. Guru yang berkualitas adalah guru yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalan UU RI N0.14 Tahun XXXX tentang Guru dan Dosen dituliskan bahwa: "Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak (e) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan". Misalnya, dalam melaksanakan kompetensi pembelajaran guru dituntut memiliki kemampuan secara metodologis dalam hal perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, termasuk di dalamnya penguasaan dan penggunaan media pembelajaran. Penggunaan alat bantu atau media pembelajaran diharapkan dapat mengoptimalkan proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Sehingga bisa memotivasi siswa untuk belajar dengan senang yang akhirnya dapat meningkatkan prestasi siswa.
Tujuan dalam proses pembelajaran merupakan komponen pertama yang harus ditetapkan dalam proses pembelajaran, sekaligus berfungsi sebagai indikator keberhasilan dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dipilih atas dasar bahan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk menetapkan apakah tujuan telah tercapai atau tidak, maka penilaian yang harus memainkan fungsi dan perannya. Akan tetapi pelaksanaan proses pembelajaran di lapangan sering berhadapan dengan banyak kendala ketika guru akan menggunakan metode eksperimen/kegiatan praktikum, khususnya untuk mata pelajaran fisika. Karena ketika guru akan melaksanakan pembelajaran dengan praktikum, sering menyita waktu yang cukup lama/banyak menggunakan waktu dalam proses belajar mengajar, dan diperlukan tambahan pekerjaan untuk mempersiapkan, proses pelaksanaan dan merapikan kembali peralatan yang telah digunakan. Metode eksperimen ini akan menjadi lebih berat bebannya bagi guru yang mengajar lebih dari 20 jam perminggu dengan tiga tingkatan/program, beban itu akan semakin berat bila sekolah tempat dia mengajar belum memiliki tenaga laboran atau ada laboran tetapi merangkap sebagai tenaga tata usaha.
Apalagi kalau alat yang digunakan untuk kegiatan praktek tidak ada atau materi bahan ajar tidak bisa dipraktekkan karena terlalu besar, terlalu kecil, proses sulit diamati atau sangat berbahaya kalau dipraktekkan, misalnya reaktor. Sehingga proses pembelajaran kembali menggunakan metode tradisional, yang akibatnya dapat mengurangi motivasi belajar siswa. Motivasi belajar siswa dapat diperoleh dengan proses belajar mengajar yang optimal dengan metode yang variatif. Fisika merupakan salah satu pelajaran yang pada umumnya kurang diminati siswa, karena fisika banyak konsep yang bersifat abstrak sehingga siswa sukar membayangkannya dan rumus-rumus yang sebagian besar siswa menganggapnya rumit tentu sangat membosankan. Bila konsep-konsep yang bersifat abstrak itu dapat dibuat animasi yang dapat memperlihatkan seolah-olah nyata dapat memotivasi dan siswa dapat merasa senang untuk belajar fisika. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga penguasaan konsep fisika lebih optimal dan siswa juga selalu merasa senang belajar fisika, tetapi pelaksanaan pembelajaran menggunakan waktu yang efisien. Salah satu metode yang dapat menarik adalah pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran OHP dan Komputer. OHP adalah alat untuk memproyeksikan visual baik berupa huruf, lambang, gambar, grafik atau gabungannya pada lembaran bahan tembus pandang atau plastik yang dipersiapkan untuk diproyeksikan ke sebuah layar. Media berbasis Komputer, yaitu media yang berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima yang dituangkan ke dalam audio, visual, audiovisual. Komputer dapat menampilkan konsep-konsep fisika yang abstrak menjadi nyata dengan visualisasi statis maupun visualisasi dinamis. Guru dapat membuat animasi dengan komputer tanpa menguasai bahasa pemrograman, guru cukup menggunakan program aplikasi yang sering disebut sistem authoring tool. Misalnya: program Power point, Tool Box, Neo Book, Authorware dan Director.
Dengan memerhatikan keadaan di atas maka penulis perlu melakukan penelitian apakah pemanfaatan media pembelajaran OHP dan komputer menggunakan program power point pada mata pelajaran fisika dapat meningkatkan prestasi belajar fisika ditinjau dari motivasi belajar fisika di SMA Negeri Kecamatan X Kabupaten X.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang maslah yang telah diungkapkan di atas, maka masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran dengan memanfaatan media komputer dapat memberikan hasil prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan OHP ?.
2. Apakah pembelajaran dengan memanfaatkan media komputer dapat mengoptimalkan proses pembelajaran fisika ?.
3. Apakah pembelajaran dengan memanfaatkan media komputer dapat meningkatkan motivasi belajar siswa ?.
4. Apakah pembelajaran dengan memanfaatkan media OHP dapat meningkatn motivasi belajar siswa ?.
5. Apakah pembelajaran dengan memanfaatkan media komputer dapat memberikan motivasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan OHP ?.

C. Pembatasan masalah
Penelitian ini akan dibatasi hanya pada aspek media OHP dan komputer yang berkenaan dengan motivasi dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran fisika di SMA Negeri Kecamatan X Kabupaten X pada tahun pelajaran XXXX/XXXX.
OHP adalah salah satu media pembelajaran yang berupa alat untuk memproyeksikan visual baik berupa huruf, lambang, gambar, grafik atau gabungannya pada lembaran bahan tembus pandang atau plastik yang dipersiapkan untuk diproyeksikan ke sebuah layar.
Media pembelajaran komputer program power point adalah, salah satu media pembelajaran yang menggunakan perangkat komputer, sedangkan untuk menjalankan visualisasi medianya menggunakan program power point.
Motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku.
Prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang dicapai. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang ditunjukkan dengan nilai atau angka yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar merupakan hasil atau kecakapan yang dicapai oleh seseorang dalam waktu tertentu setelah melakukan belajar.

D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara pemanfaatan media OHP dan komputer (menggunakan program power point) terhadap prestasi belajar fisika?
2. Apakah terdapat perbedaaan pengaruh antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan siswa yang memiliki motivasi rendah terhadap prestasi fisika?
3. Apakah terdapat interaksi pengaruh antara pemanfaatan media pembelajaran dan motivasi terhadap prestasi belajar fisika ?.

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui:
1. Apakah terdapat perbedaaan pengaruh antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan siswa yang memiliki motivasi rendah terhadap prestasi fisika?.
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara pemanfaatan media pembelajaran OHP dengan pemanfaatan media pembelajaran komputer menggunakan program power point terhadap prestasi belajar fisika ?.
3. Apakah terdapat pengaruh interaksi media pembelajaran dan motivasi terhadap prestasi belajar fisika ?.

F. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait terutama bagi pelaksanan pendidikan di lapangan maupun penentu kebijakan:
1. Bagi Siswa.
Siswa akan merasa senang dalam mengikuti pelajaran fisika, sehingga diharapkan motivasi siswa meningkat. Sehingga prestasi siswa yang selama ini belum optimal bisa naik atau optimal.
2. Bagi Guru.
Bagi para Guru terutama Guru Fisika SMA Negeri di kecamatan X untuk meningkatkan proses pembelajaran di kelas yang diampu. Bagi Guru-guru yang tergabung dalam MGMP Fisika SMA di Kabupaten X, sehingga dapat mengembangkan proses pembelajaran di sekolah masing-masing.
3. Bagi Sekolah.
Dengan dilaksanakannya proses pembelajaran dengan media yang menarik, maka sekolah hendaknya selalu terpacu untuk memfasilitasi sarana-sarana yang dibutuhklan guru dalam rangka untuk peningkatkan kualitas proses pembelajaran.
4. Bagi Dinas Pendidikan.
Sebagai masukan bagi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten X, Kepala SMA di Kabupaten X sehingga dapat dikembangkan pada sekolah yang ada di Kabupaten X.
5. Bagi Calon Peneliti/Peneliti
Penelitian ini dapat dikembangkan atau ditindaklanjuti bagi calon peneliti/peneliti lainnya untuk media pembelajaran komputer. Misalnya mengembangkan berbagai jenis software komputer yang diperlukan dalam proses pembelajaran.