Search This Blog

TESIS ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA X

TESIS ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA X

(KODE : PASCSARJ-0027) : TESIS ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA X (PRODI : PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PEDESAAN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan suatu proses yang terus-menerus dilaksanakan melaui suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Dengan kata lain pembangunan merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus dari kondisi yang sebelumnya tidak baik menjadi lebih baik.
Berbicara masalah pembangunan, fokus perhatian kita selama ini selalu ditujukan kepada ukuran-ukuran kuantitatif seperti pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan peningkatan pendapatan perkapita. Keberhasilan suatu proses pembangunan pun sering diasumsikan sebagai meningkatnya dan terjadinya redistribusi fisik dari membaiknya indikator-indikator perekonomian di atas.
Pembangunan seharusnya merupakan arena untuk perluasan kebebasan subtantif (subtantive freedom) bagi setiap orang. Artinya pembangunan mengharuskan berbagai sumber non-kebebasan (non freedom sources) sudah seharusnya disingkirkan, yakni kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis, penelataran sarana umum dan intoleransi serta campur tangan rezim refresif yang berlebihan (Sen dalam Teddy, XXXX: 1).
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa tantangan pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin. Kualitas hidup yang baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi, namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari kesekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya (Bank Dunia dalam Tadaro, 2000: 19).
Pembangunan yang kita lakukan sejak orde baru hingga menjelang krisis yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang lalu telah menunjukkan hasil yang sangat signifikan dengan tujuan pembangunan, di mana Indonesia dapat dikatakan tergolong ke dalam negara yang berhasil dalam pembangunan. Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia telah mencatat prestasi yang mengesankan dalam pembangunan manusia. Kemampuan dicapai di berbagai bidang, mulai dari pengurangan kemiskinan, kesenjangan pendapatan hingga peningkatan harapan hidup dan kemampuan membaca dan menulis. Angka kematian bayi misalnya, menurun tajam sejalan dengan peningkatan akses terhadap sarana kesehatan dan sanitasi. Pada periode yang sama juga terjadi peningkatan peranan perempuan, perbedaan rasio pria dengan wanita di berbagai tingkat pendidikan semakin mengecil dan kontribusi wanita dalam pendapatan keluarga juga semakin membesar.
Akan tetapi keberhasilan pembangunan itu hanya berlangsung pada tiga dekade itu saja. Keberhasilan pembangunan mulai kembali tidak dapat dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu pada tahun 1997. Di mana pada tahun itu pula telah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan bangsa Indonesia kembali terperangkap ke dalam kungkungan kemiskinan dan ketertinggalan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Krisis ekonomi tersebut telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin di Indonesia secara drastis. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari seluruh penduduk. Dan pada tahun XXXX jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 36,2 juta jiwa atau sekitar 16,7 persen dari seluruh penduduk (Kuncoro, XXXX: 117).
Selanjutnya pada tahun XXXX-XXXX, angka penduduk miskin di Indonesia adalah: tahun XXXX sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen. Kondisi ini memburuk di tahun XXXX jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75 persen, yang disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi dan kenaikan harga BBM. Namun berangsur-angsur kondisi ini terus membaik. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret XXXX sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen. jumlah penduduk miskin sudah berkurang sebesar 2,21 juta jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret XXXX, yang berjumlah 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen (Sensenas, XXXX).
Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan, di mana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (Martadiningrat dalam Antara, XXXX: 1). Padahal negara Indonesia adalah negara bahari yang pulau-pulaunya di kelilingi oleh lautan yang di dalamnya mengandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan.
Di sisi lain nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam modernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern (Sudrajad, XXXX: 2). Namun dalam perkembangannya, justru nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti sebagaimana kelompok masyarakat yang lain. Keberadaan mereka sebagai agent of development ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Malah nelayan menjadi persoalan sosial yang paling dominan dihadapi di daerah pesisir oleh kemiskinannya.
Sejak krisis moneter mulai merambah ke berbagai pelosok wilayah di Indonesia, salah satu golongan nelayan yang menerima efek langsung oleh krisis tersebut adalah nelayan tradisional boleh dikatakan adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang datangnya tiba-tiba dan berkepanjangan (Sudarso, XXXX: 1). Sedangkan bila dilihat dari tempat tinggalnya, pada umumnya nelayan tradisional berada dalam lingkungan sumberdaya laut yang kaya raya, namun mereka miskin. Sehingga Sudjatmoko (1995: 47) menyatakan kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional adalah kemiskinan struktural.
Kusnadi (XXXX: 19) menyatakan kemiskinan yang diderita oleh masyarakat nelayan bersumber dari faktor-faktor sebagai berikut:
Pertama; faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Kedua; faktor non-alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abat terakhir.
Selanjutnya Kusnadi (XXXX: 2) menyatakan kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
Faktor internal, yakni; 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia;
2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan;
3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang
menguntungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha
penangkapan; 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut;
dan 6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke
masa depan.
Faktor eksternal, 1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3) kerusakan akan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir; 4) penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen;7) terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.
Kehidupan mereka sungguh memprihatinkan karena sebagai nelayan tradisional yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin mereka seringkali dijadikan objek ekploitatif oleh para pemilik modal. Harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak, sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan tradisional terpinggirkan, seperti munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan teknologi moderen. Mereka mampu menangkap ikan lebih banyak dibandingkan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.
Kehadiran lembaga ekonomi seperti koperasi belum sepenuhnya dapat membantu peningkatan taraf hidup nelayan tradisional. Hal ini ditandai dengan tidak adanya akses nelayan tradisional terhadap lembaga tersebut dalam memperoleh modal usaha. Ditambah lagi dengan pendapatan mereka yang tidak menentu membuat nelayan tergatung kepada pemilik modal yang tidak hanya sebatas kebutuhan modal usaha dan alat produksi, malah sampai kepada biaya kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Di Propinsi X pada tahun 2000 penduduk miskin berjumlah 1.101.368 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk. Kemudian kemiskinan di X sedikit meningkat pasca terjadinya bencana alam tsunami, yakni dari 28,4 persen pada tahun XXXX mencapai 32,6 persen pada tahun XXXX. Selanjutnya tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun XXXX hingga mencapai 26,5 persen, lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas rekonstruksi yang dilakukan oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) X-Nias, NGO dan lembaga sosial internasional lainnya. Walaupun demikian, kemiskinan di X tetap jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kemiskinan tingkat kabupaten menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi merupakan daerah yang berada di pedalaman pedesaan dan kabupaten-kabupaten yang lebih terpencil, sementara wilayah-wilayah sekitar X memiliki tingkat kemiskinan paling rendah (Amsberg, XXXX: 8).
Kabupaten X sebagai salah satu kabupaten di Propinsi X, pada tahun XXXX mempunyai penduduk miskin berjumlah 30.919 jiwa atau 23 persen dari jumlah penduduk (Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, XXXX). Persentase angka kemiskinan ini lumayan tinggi bila dibandingkan dengan persentase angka rata-rata penduduk miskin di Indonesia pada tahun XXXX yang berjumlah 15,42 persen.
Salah satu kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin tertinggi di Kabupaten X adalah Kecamatan X. Menurut Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten X (XXXX), penduduk miskin di Kecamatan X pada tahun XXXX berjumlah 6.450 jiwa atau 37,11 persen dari jumlah penduduk. Untuk memberikan informasi yang lebih jelas tentang angka-angka jumlah penduduk miskin di masing-masing kecamatan dalam Kabupaten X, maka data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini:

* TABEL SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN *

Desa X merupakan salah satu desa dalam Kecamatan X Kabupaten X dengan jumlah penduduk 718 jiwa, yang terdiri dari 167 kepala keluarga. Dari 167 kepala keluarga terdapat 86 kepala keluarga tergolong sebagai masyarakat miskin, dan dari 86 kepala keluarga tersebut di dalamnya terdapat 51 kepala keluarga nelayan tradisional (Propil Desa).

1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada nelayan tradisional di Desa X?
2. Apa bentuk kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan permasalahan dan latar belakang di atas, kemudian dirumuskan beberapa tujuan penelitian seperti di bawah ini:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan tradisional di Desa X.
2. Untuk mengetahui bentuk kemiskinan nelayan tradisional di Desa X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penyempurnaan kebijakan lanjutan di wilayah tersebut dan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan sejenis di wilayah lain.
2. Bagi akademisi dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan nelayan tradisional.
TESIS ANALISIS DAMPAK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN X

TESIS ANALISIS DAMPAK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN X

(KODE : PASCSARJ-0026) : TESIS ANALISIS DAMPAK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN X (PRODI : EKONOMI PEMBANGUNAN)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomena sepanjang sejarah Indonesia. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit (Sahdan, 2004).
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat
untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2004).
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan (Sahdan, 2004).
Indonesia sedang berada di ambang era yang baru. Sesudah mengalami krisis multi-dimensi (ekonomi, sosial, dan politik) pada akhir tahun 1990-an, Indonesia sudah kembali bangkit. Secara garis besar, negeri ini telah pulih dari krisis ekonomi yang menjerumuskan kembali jutaan warganya ke dalam kemiskinan pada tahun 1998 dan telah menurunkan posisi Indonesia menjadi salah satu negara berpenghasilan rendah. Belum lama ini Indonesia telah berhasil kembali menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Angka kemiskinan yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama masa krisis telah kembali pada kondisi sebelum krisis. Sementara itu, Indonesia telah mengalami transformasi besar di bidang sosial dan politik, berkembang dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan masa lalu (Steer, 2006).
Penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan atas dua hal, yaitu (1) faktor alamiah: kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain yang bermakna bahwa mereka miskin karena memang miskin, dan (2) faktor non alamiah:akibat kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam. Jadi untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, langkah yang dilakukan tidak lain daripada mempertimbangkan kedua faktor tersebut, yaitu mengubah kondisi lingkungannya menjadi lebih baik, meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, dan melakukan perbaikan terhadap sistem yang ada melalui pemberantasan korupsi dan menetapkan pengelola yang kompeten baik dari kemampuan, integritas, maupun moral (Lubis, 2006).
Penanganan kemiskinan tentunya harus dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual. Menyeluruh berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan, sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan si miskin. Beberapa di antaranya yang menjadi bagian dari penanggulangan kemiskinan tersebut yang perlu tetap ditindaklanjuti dan disempurnakan implementasinya adalah perluasan akses kredit pada masyarakat miskin, peningkatan pendidikan masyarakat, perluasan lapangan kerja dan pembudayaan entrepeneurship (Hureirah, 2005).
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri (Hureirah, 2005).
Pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan dari 16% di tahun 2005 menjadi 8,2% terhadap jumlah penduduk di tahun 2009. Selain itu, menurunkan tingkat pengangguran dari 10,4 % tahun 2006 menjadi 5,1% terhadap 106,3 juta orang jumlah angkatan kerja tiga tahun 2007 (Bappenas, 2004).
Dalam rangka mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 September 2005 melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2005 membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang merupakan penyempurnaan dan kelanjutan dari Keppres No. 124 Tahun 2001 jo. Keppres No. 8 tahun 2002 jo. Keppres No. 34 Tahun 2002 mengenai Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) ini merupakan forum lintaspelaku - forum nasional, forum regional dan/atau forum nasional-regional - yang terdiri dari semua unsur, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan dan perbankan, usaha nasional, kelompok swadaya masyarakat, akademisi, dan unsur masyarakat lainnya, untuk menggalang kontribusi gagasan dan saran implementasi yang konstruktif dan maju, bagi peningkatan keberhasilan penanggulangan kemiskinan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan investasi Pemerintah RI dalam bentuk aset, sistem pembangunan partisipatif dan kelembagaan. Program ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di perdesaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah, serta perwujudan prinsip-prinsip good governance. Melalui program ini diharapkan terwujud sistem pengaturan dan pengurusan (governance system) segala bentuk sumberdaya secara sehat, dimana semua pelakunya bersikap saling memberdayakan, memperkuat dan melindungi (Indroyono, 2003).
Selama tiga tahun pertama disebut sebagai fase I PPK, dan pada masa yang akan datang sebagai fase II, maka persoalan pada fase II perlu ditekankan pada masalah-masalah pelembagaan dari tiga lembaga yang ditangani dalam program PPK, yaitu: Musyawarah Antar Desa (forum UDKP), UPK (Unit Pengelola Keuangan) di tingkat kecamatan, dan kelompok-kelompok masyarakat (target group). Dari sisi kelembagaan, menurut moderator, perlu diperkuat keberadaan lembaga-lembaga yang telah diberdayakan selama fase pertama (institutional strenghtening). Di samping itu, saat ini muncul pemikiran tentang masa depan bentuk UPK (yang sekarang berubah dari Unit Pengelola Keuangan menjadi Unit Pengelola Kegiatan) yang telah bertugas melayani masyarakat selama 3-4 tahun terakhir. Terdapat 3 pilihan yang berkembang diantara para pelaksana program PPK, yakni: berbadan usaha bank, koperasi, atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) (Indroyono, 2003).
Keberhasilan program PPK dapat dilihat dari hasil penelitian Fajar (2006), menyimpulkan Prasarana transportasi jalan mempunyai peran yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan perdesaan,hal ini disebabkan dengan prasarana transportasi jalan yang baik mobilitas angkutan komoditi dari lokasi produksi ke pusat perdagangan berjalan lancar. Proporsi volume produksi terhadap volume perdagangan lebih unggul pada kawasan perdesaan dengan prasarana transportasi memadai atau setiap komoditi yang dihasilkan lebih berpeluang untuk dapat dipasarkan dibandingkan pada kawasan perdesaan yang mempunyai prasarana transportasi jalan kurang memadai. Pada desa yang memiliki prasarana transportasi jalan memadai, mempunyai pertumbuhan ekonomi masyarakat yang lebih tinggi,hal ini nampak dari tingginya proporsi persentase volume produksi terhadap volume perdagangan dari semua komoditi andalan yang dihasilkan, yaitu setiap pertumbuhan volume produksi sebesar 1,06%,akan mempunyai peluang untuk dapat diperdagangkan sekitar 3,33%, dimana laju pertumbuhan perdagangan adalah gambaran jumlah komoditi yang dapat dinilai dengan penerimaan, sehingga peningkatan ekonomi masyarakat juga lebih baik. Sedangkan pada desa yang memiliki prasarana transportasi jalan kurang memadai, mempunyai pertumbuhan ekonomi masyarakat lebih lambat, hal ini nampak dari rendahnya proporsi persentase pertumbuhan volume produksi terhadap volume perdagangan dari semua komoditi andalan yang dihasilkan yaitu dari setiap pertumbuhan volume produksi sebesar 1,46%, akan mempunyai peluang untuk dapat diperdagangkan sebesar 2,67%, dimana peluang terjualnya suatu komoditi merupakan gambaran penerimaan masyarakat Nampak bahwa terjadi perbedaan pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan perdesaan yang disebabkan oleh perbedaan peluang perdagangan sebagai akibat dari keadaan kondisi prasarana transportasi jalan.
Hasil survei pendahuluan di Kecamatan X dan X Kabupaten X sebagai lokasi pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan untuk menggerakkan perekonomian di kedua kecamatan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan penduduk.
Kecamatan X mempunyai penduduk dengan mata pencaharian terbesar adalah petani dan nelayan, sehingga dana bantuan melalui progam PKK digunakan untuk menunjang peningkatan kegiatan ekonomi para nelayan seperti: peningkatan sarana dan prasarana irigasi dan peralatan penangkap ikan, sedangkan di Kecamatan X sebagian masyarakat mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian dan buruh, sehingga dana yang bersumber dari program PPK dikembangkan untuk menunjang peningkatan kegiatan ekonomi pertanian dan buruh.

1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak latar belakang diatas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
2. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
3. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan lapangan kerja terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini:
1. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan lapangan kerja terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam evaluasi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kabupaten X.
2. Bahan perbandingan bagi peneliti lain.
TESIS KESIAPAN GURU MATEMATIKA SMP DALAM MELAKSANAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI KOTA X

TESIS KESIAPAN GURU MATEMATIKA SMP DALAM MELAKSANAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI KOTA X

(KODE : PASCSARJ-0025) : TESIS KESIAPAN GURU MATEMATIKA SMP DALAM MELAKSANAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI KOTA X (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seiring waktu perubahan kurikulum ke arah yang lebih sempurna terus dilakukan oleh pemerintah. Kurikulum terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan ini sebenarnya adalah penyempurnaan dari Kurikulum 2004. KTSP harus dilaksanakan mulai tahun 2007 sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah menyelesaikan Standar Isi dan Standar Kelulusan kemudian dikukuhkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaannya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kelanjutan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dikeluarkan pemerintah tahun 2004. Namun pelaksanaan kurikulum 2004 sendiri masih belum seperti yang diharapkan. Menurut Sugiyem (2006 : 76-77) kendala dari pelaksanaan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Gunungkidul di antaranya adalah masih rendahnya motivasi di kalangan guru Matematika untuk melaksanakan kurikulum Matematika secara benar. Pada umumnya guru terlanjur menyukai rutinitas dan tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan perkembangan meskipun secara teori seharusnya mereka mampu untuk melakukan perubahan.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus dilaksanakan mulai tahun 2007 yang telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Jadi mau tidak mau, siap tidak siap pada tahun 2007 semua komponen pendidikan harus menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pertanyaan yang muncul adalah apabila kurikulum terdahulu saja belum terlaksana dengan benar bagiamana kesiapan guru Matematika dalam melaksanakan kurikulum terkini ?
Tentunya dalam awal pelaksanaan KTSP sendiri menghadapi berbagai masalah dan kendala di lapangan. Namun perubahan ini harus dipahami dan dilaksanakan oleh berbagai pihak karena kurikulum memiliki kedudukan yang strategis dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran yang menentukan proses dan hasil pendidikan.
Menurut Indri Yuli Widya Rulanti (2008 : 78) kendala dari pelaksanaan KTSP untuk mata pelajaran Matematika di SMK jurusan Bisnis Manajemen di Kabupaten Magetan adalah siswa belum siap belajar dengan tuntutan KTSP yang menekankan kepada keaktifan siswa pada proses pembelajaran dan guru kesulitan dalam mencari materi bahan ajar karena terbatasnya materi bahan ajar untuk SMK jurusan Bisnis Manajemen serta minimnya literature terkini yang dapat digunakan guru untuk memperluas wawasan pembelajaran.
Matematika merupakan salah satu bagian dari kurikulum. Sehingga kurikulum matematika sendiri harus menyesuaikan dengan perubahan kurikulum yang ada saat ini. Dengan adanya perubahan kurikulum Matematika maka semua unsur pelaksana kurikulum tentunya harus mempunyai kesiapan dalam pelaksanaannya. Guru sebagai tokoh utama dalam pelaksanaan kurikulum harus mampu menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Seperti halnya manusia lain guru juga tidak mudah berubah, karena telah terbiasa dengan cara-cara yang lama. Guru cenderung bersifat konsrvatif. Untuk menyesikaikan diri dengan perubahan maka perlu timbul kebutuhan dan motivasi untuk menerima perubahan yang dapat memberi perbaikan. Setiap guru mempunyai reaksi individual terhadap perubahan kurikulum. Pada umumnya guru akan bersikap kritis dan menilai apakah perubahan itu hanya bersifat teori, apakah dapat dilakukan dalam kelasnya, atau menganggap cara yang lama lebih bermanfaat dari yang baru atau terlampau banyak menuntut waktu dan tenaga.
Dalam perubahan kurikulum hendaknya diselidiki sikap dan reaksi guru terhadap perubahan. Perubahan hendaknya diterima dengan rasa komotmen agar berhasil baik. Guru memiliki pandangan sendiri tentang kurikulum dan keberhasilan perubahan tergantung pada kesesuaian dan nilai-nilai guru serta taraf partisipasinya dalam perubahan tersebut.
Dalam perubahan kurikulum maupun dalam pembinaan kurikulum hendaknya bekerja dalam pola yang terdiri atas komponen-komponen kurikulum. Setiap kurikulum memuat empat komponen, yaitu; 1) Tujuan, 2) Kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan, 3) Pengetahuan, yaitu isi atau bahan pelajaran yang diperoleh dan digunakan dalam proses belajar, 4) Penilaian atau evaluasi hasil belajar.
Kesiapan guru matematika SMP dalam melaksanakan KTSP dapat dilihat dari pengelolaan pembelajaran yang terdiri atas : (a) menyusun rencana pembelajaran yang meliputi : mampu membuat silabus, program tahunan, program semester, rencana pembelajaran dan perangkat pembelajaran lain yang dibutuhkan, (b) pelaksanaan interaksi belajar terdiri dari : memahami materi pelajaran, memilih alat peraga yang tepat dan memilih metode mengajar yang sesuai dengan masing-masing pokok bahasan, (c) penilaian prestasi belajar peserta didik dalam arti mampu melakukan evaluasi baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil pembelajaran, (d) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik (Depdiknas, 2007 : 18-19).

B. Identifikasi Masalah
Penelitian ini dilakukan dalam rangka melihat kesiapan guru matematika dalam peaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Adapun masalah yang dapat diidentifikasikan dalam penelitian ini adalah :
1. Tidak semua guru matematika memahami Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
2. Adanya perbedaan pemahaman tentang profesi guru Matematika.
3. Masih banyak guru Matematika yang tidak menyiapkan perangkat mengajar secara lengkap.
4. Adanya kekhawatiran guru Matematika dalam pengembangan Silabus (Analisis Materi Pengajaran) pada KTSP.
5. Masih banyak guru yang belum siap melaksanakan KTSP.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian dengan judul guru matematika SMP di Kota X dalam pelaksanaan KTSP dibatasi pada bagaimana kesiapan guru dalam:
1. Menyusun rencana pembelajaran yang meliputi : a) membuat silabus, b) program tahunan, c) program semester, dan d) rencana pelaksanaan pembelajaran.
2. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang terdiri dari : a) memahami materi pelajaran, b) memilih media pembelajaran yang tepat, dan c) memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar.
3. Penilaian prestasi belajar peserta didik yang meliputi : a) evaluasi proses, dan b) evaluasi hasil pembelajaran.
4. Pelaksanaan tindak lanjut penilaian prestasi belajar peserta didik yang meliputi: a) perbaikan hasil penilaian prestasi belajar, dan b) pengayaan bagi peserta didik yang telah tuntas belajar.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kesiapan guru dalam menyusun rencana pembelajaran?
2. Bagaimana kesiapan guru dalam kegiatan pembelajaran?
3. Bagaimana kesiapan guru dalam pelaksanaan penilaian prestasi belajar peserta didik?
4. Bagaimana kesiapan guru dalam pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana :
1. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam menyusun rencana pembelajaran
2. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam kegiatan pembelajaran
3. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam pelaksanaan penilaian prestasi belajar peserta didik
4. Kesiapan guru matematika SMP di Kota X dalam pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar

F. Manfaat Penelitian
1. Bagi dinas pendidikan pemuda dan olah raga kota X, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru yang berprofesi sebagai guru matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP), sehingga dapat memberikan solusi terbaik dalam peningkatan kualitas guru Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota X.
2. Bagi pengawas, penelitian ini diharapkan dapat memerikan masukan tentang pelaksanaan pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) sehingga pelaksanaan pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) sehingga pelaksanaan pembelajaran berikutnya menjadi lebih baik.
3. Bagi kepala sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang apa yang sudah dilaksanakan oleh guru dalam rangka menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk mata pelajaran matematika.
4. Bagi guru, sebagai tenaga terampil yang berhubungan langsung dengan peserta didik, penelitian ini bermanfaat sebagai alat evaluasi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan dan sebagai alat evaluasi proses pembelajaran yang telah dilaksanakan dan sebagai informasi untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
5. Bagi siswa, penelitian ini bermanfaat memberikan tambahan pengetahuan tentang kurikulum yang baru saja diperoleh terutama untuk pelajaran matematika sekaligus sebagai sarana bagi mereka untuk dapat memberikan penilaian bagi guru matematika di sekolah mereka.
TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS XI

TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS XI

(KODE : PASCSARJ-0024) : TESIS KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS XI (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam yang banyak dan melimpah pada suatu negara belum merupakan jaminan bahwa negara tersebut akan makmur, jika pendidikan sumber daya manusianya terabaikan. Suatu negara yang memiliki sumber daya alam yang banyak jika tidak ditangani oleh manusia yang berkualitas maka pada suatu saat akan mengalami kekecewaan.
Upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia merupakan tugas besar dan memerlukan waktu yang panjang. Meningkatkan sumber daya manusia tidak lain harus melalui proses pendidikan yang baik dan terarah. Masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh bagaimana negara tersebut memperlakukan pendidikan.
Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan, pendidikan merupakan aspek yang sangat penting karena dengan pendidikan diharapkan mampu membentuk sumber daya manusia yang terampil, kreatif dan inovatif. Untuk membentuk sumber daya manusia sesuai dengan perkembangan jaman diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan menekankan pada proses belajar yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pendidikan formal yang dilakukan di sekolah-sekolah sampai sekarang tetap merupakan lembaga pendidikan utama yang merupakan pusat pengembangan sumber daya manusia dengan didukung oleh pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.
Pada kenyataannya mutu pendidikan kita saat ini masih rendah. Jika hal ini dibiarkan dan berlanjut terus maka lulusan kita sebagai generasi penerus bangsa akan sulit bersaing dengan lulusan dari negara lain. Lulusan yang dibutuhkan tidak sekedar mampu mengingat dan memahami informasi saja tetapi harus dapat menerapkan secara kontekstual melalui beragam kompetisi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran, yaitu dari teacher centered learning beralih ke student centered learning.
Matematika sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah adalah sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kritis dalam diri peserta didik. Demikian pula matematika merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan oleh peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajarnya dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan matematika diperlukan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, peserta didik perlu memiliki pengetahuan matematika yang cukup untuk menghadapi masa depan.
Menyadari akan pentingnya peranan matematika, baik dalam penataan nalar dan pembentukan sikap maupun dalam penggunaan matematika, maka peningkatan prestasi belajar matematika di setiap jenjang pendidikan perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Oleh karena di dalam memasuki era globalisasi dan tinggal landas pembangunan nasional, semakin terasa adanya tuntutan yang tinggi akan kualitas manusia Indonesia.
Pada saat ini masih banyak dijumpai prestasi matematika di sekolah-sekolah mulai tingkat SD, SLTP, SMA maupun SMK yang masih rendah. Padahal nilai matematika memegang peranan penting dalam menentukan syarat kelulusan siswa karena matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang di ujikan pada ujian nasional. Rendahnya nilai matematika siswa disebabkan oleh sebagian besar siswa menganggap bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit dan kurang diminati karena banyak memuat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sukar dipelajari. Juga memuat banyak rumus-rumus dan hitungan-hitungan dalam pemecahan masalah yang rumit.
Dengan mengetahui masalah seperti tersebut di atas maka sebagai guru matematika perlu memahami dan mengembangkan berbagai metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar matematika. Guru hendaknya dapat menyusun program pengajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa sehingga siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian penghayatan terhadap matematika akan lebih mantap dan dapat menghilangkan anggapan siswa bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit.
Salah satu penyebab prestasi matematika siswa masih rendah adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang terdapat dalam matematika dan masih sulitnya siswa berkomunikasi secara matematik. Hal ini dikarenakan guru pada waktu mengajar belum menggunakan metode pembelajaran yang dapat mendorong siswa berpikir dan melibatkan siswa secara aktif. Masih banyak guru dalam mengajar menggunakan metode pembelajaran secara konvensional, yaitu suatu metode pembelajaran yang berpusat pada guru.
Guru dalam mengajar untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara lisan atau ceramah, diselingi dengan tanya jawab dan pemberian tugas atau pekerjaan rumah. Dalam metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru dari pada siswa sebagai peserta didik sehingga siswa kurang aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa hanya mendengarkan, memperhatikan dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru, sehingga siswa tidak terlatih untuk berpikir mengembangkan ide untuk lebih memantapkan pemahaman tentang suatu konsep. Kenyataan lainnya adalah sering dijumpai sehari-hari di kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung banyak siswa yang belum belajar tentang materi yang akan diajarkan oleh guru.
Masih ada guru yang terpaku pada satu metode pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar secara terus menerus tanpa pernah memodifikasinya atau menggantikannya dengan metode lain walaupun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai berbeda. Hal ini dapat mengakibatkan pencapaian tujuan pembelajaran oleh para siswa tidak optimal. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan pembelajaran tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial. Pada pembelajarn matematika hendaknya disesuaikan dengan kekhasan pokok bahasan/subpokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa.
Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mendorong siswa berpikir dan meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran matematika adalah metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW). Metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) adalah metode pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa. Pada metode pembelajaran TTW ini siswa terdorong untuk berpikir dan terlibat secara langsung dalam proses belajar mengajar. Siswa didorong untuk berpikir dengan cara menyuruh siswa membaca teks materi pelajaran, kemudian membuat catatan tentang ide yang diperoleh dari proses membaca. Tahap ini merupakan aktivitas siswa pada think. Catatan yang telah dibuat nantinya akan dibawa ke forum diskusi kelompok untuk dibacakan, dijelaskan dan dibagikan idenya kepada teman kelompoknya. Tahap ini merupakan cara komunikasi siswa dalam matematika dan merupakan aktivitas siswa pada talk. Kemudian setelah diskusi selesai setiap siswa mengungkapkan hasil diskusinya melalui tulisan. Berdasarkan tulisan yang telah dibuat siswa dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa tentang materi yang telah dipelajari. Tahap ini merupakan aktivitas siswa pada write.
Selain metode pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar, terdapat faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa. Salah satu faktor lain tersebut adalah motivasi belajar siswa. Motivasi merupakan faktor internal yang dimiliki oleh setiap siswa dan sangat mempengaruhi dalam mencapai prestasi belajar. Motivasi belajar adalah dorongan dari dalam diri siswa agar berperilaku mau mengikuti pembelajaran untuk mencapai tujuan seperti apa yang kita kehendaki atau dapat diartikan sebagai usaha memberikan dorongan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya dengan tujuan agar mereka mau belajar dengan rasa penuh kesadaran, semangat tinggi, keikhlasan untuk mencapai tujuan organisasi sekolahan.
Penggunaan metode pembelajaran yang tepat dapat membuat siswa lebih kreatif. Dengan demikian akan tercipta pembelajaran yang lebih menekankan pada pemberdayaan siswa secara aktif. Pembelajaran tidak hanya sekedar menekankan pada penguasaan pengetahuan (logos), tetapi terlebih pada penekanan internalisasi tentang apa yang dipelajari, sehingga terbentuk dan terfungsikan sebagai milik nurani siswa yang berguna dalam kehidupannya (etos). Motivasi belajar seperti ini akan tercipta jika guru mengkondisikan situasi pembelajaran yang tidak membosankan. Melalui motivasi belajarnya, guru dan siswa mengkondisikan pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Jadi motivasi belajar yang efektif dan efisien adalah memotivasikan para siswa untuk belajar giat berdasarkan kebutuhan ilmu mereka masing-masing secara memuaskan, yakni kebutuhan akan pengetahuan yang cukup bagi keperluan siswa, kebahagiaan hidup, kemajuan diri dan sebagainya.
Berdasarkan latar belakang seperti yang dikemukakan di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dalam pembelajaran matematika berdasarkan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika.

B. Identifikasi Masalah
1. Masih rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang terdapat pada pelajaran matematika sehingga siswa kesulitan dalam belajar matematika dan berakibat prestasi matematika siswa menjadi rendah.
2. Masih banyak siswa yang kurang aktif dalam proses belajar mengajar matematika sehingga diperlukan metode pembelajaran yang dapat mendorong siswa berpikir dan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan pemahaman matematika. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep matematika adalah metode Think-Talk-Write.
3. Masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa mungkin disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar matematika siswa.
4. Pada penerapan metode pembelajaran matematika dengan metode TTW diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga prestasi belajar matematika siswa juga akan meningkat.

C. Pembatasan Masalah
1. Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) untuk kelompok eksperimen dan metode pembelajaran konvensional untuk kelompok kontrol.
2. Motivasi belajar siswa adalah petunjuk pada tingkah laku belajar yang menggerakkan aktivitas belajar pada siswa. Motivasi belajar siswa dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah.
3. Prestasi belajar matematika siswa yang dimaksud adalah hasil belajar siswa pada pokok bahasan Persamaan dan Pertidaksamaan yang telah dicapai pada akhir penelitian ini.
4. Pada penelitian ini metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dan Konvensional diberikan pada siswa SMK dengan jurusan Mesin, Listrik, Elektro dan Bangunan.

D. Perumusan Masalah
1. Apakah prestasi belajar matematika pada siswa yang mendapatkan metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang mendapatkan dengan metode pembelajaran Konvensional?
2. Apakah prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi lebih baik daripada siswa yang mempunyai motivasi sedang dan rendah serta siswa yang mempunyai motivasi belajar sedang lebih baik daripada siswa yang mempunyai rendah? 3. Apakah terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika?

E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbedaan prestasi matematika bagi siswa yang menggunakan metode pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dengan metode pembelajaran Konvensional.
2. Mengetahui perbedaan prestasi matematika bagi siswa yang mempunyai tingkat motivasi belajar yang berbeda.
3. Mengetahui interaksi antara metode pembelajaran dengan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika.

F. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan pada guru atau calon guru matematika dalam menentukan strategi mengajar yang sesuai dengan materi ajar, sebagai alternatif untuk memberi variasi dalam pembelajaran.
2. Bahan pertimbangan dalam perbaikan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru matematika.
3. Bahan masukan bagi guru dan siswa bahwa motivasi belajar siswa memberi pengaruh pada prestasi belajar siswa.
4. Sebagai bahan pertimbangan dan bahan masukan serta tambahan referensi bagi guru matematika dan guru mata pelajaran lainnya guna memperluas wawasan pembelajarannya.
TESIS HUBUNGAN PENGUASAAN KOSAKATA DAN PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA DENGAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS V SD X

TESIS HUBUNGAN PENGUASAAN KOSAKATA DAN PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA DENGAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS V SD X

(KODE : PASCSARJ-0022) : TESIS HUBUNGAN PENGUASAAN KOSAKATA DAN PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA DENGAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS V SD X (PRODI : BAHASA INDONESIA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan kita untuk selalu belajar. Proses belajar yang efektif adalah membaca. Dengan membaca akan memperoleh pengetahuan dan informasi baru yang kita harapkan. Semakin banyak membaca, semakin banyak pengetahuan dan informasi yang kita dapatkan.
Membaca sebagai suatu aktifitas dalam memperoleh pengetahuan dan informasi sangat penting untuk semua orang, apalagi pelajar. Menurut Burns (dalam Farida Rahim, 2007: 1) kemampuan membaca merupakan sesuatu yang vital dalam suatu masyarakat terpelajar. Bahkan tidak hanya pelajar, masyarakat umum pun harus gemar melakukan kegiatan membaca untuk meningkatkan diri. Membaca merupakan tuntutan realitas kehidupan sehari-hari agar tidak ketinggalan.
Salah satu unsur penting dalam meningkatkan diri adalah membangun kebiasaan untuk terus-menerus belajar atau menjadi manusia pembelajar yang senantiasa haus akan informasi dan pengetahuan. Tidak peduli berapa pun usia kita, jika kita berhenti belajar berarti kita sudah tua, sedangkan jika senantiasa belajar kita akan merasa tetap awet muda. Karena hal yang terbaik di dunia akan kita peroleh dengan memelihara pikiran kita agar tetap muda.
Salah satu cara paling efektif untuk belajar adalah dengan membaca. Namun sayangnya, sebagian besar kita tidak pernah punya waktu untuk membaca. Alasan utama yang sering kita sampaikan adalah kesibukan pekerjaan. Kita terjebak dalam rutinitas dan tekanan pekerjaan sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengasah pikiran kita dengan membaca.
Membaca merupakan salah cara kita untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan diri kita. Meskipun kita memiliki "keterbatasan waktu", kita tetap perlu mengasah pikiran kita. Caranya adalah dengan menguasai cara membaca yang efektif sehingga waktu yang kita gunakan menjadi efisien.
Menurut R. Masri Sareb Putra (2008: vii) membaca dapat mengubah bukan hanya sudut pandang atau mind set seseorang, tapi juga bisa mengubah hidup secara total. Oleh karena itu kebiasaan membaca haruslah ditanamkan sejak masuk sekolah , akan lebih baik bila dilakukan setiap saat.
Burke Hedges (dalam R Masri Sareb Putra, 2008: 56) mengatakan bahwa jika Anda ingin sukses, Anda harus melakukan apa yang orang-orang sukses lakukan. Dan yang dilakukan orang sukses adalah membaca dan menjadi kaya.
Meskipun sekarang ini informasi/berita bisa kita dengarkan melalui media lain, yaitu media elektronik yang berupa TV dan radio, namun peran membaca belum tergantikan. Banyak informasi/ilmu/berita yang hanya disampaikan oleh media cetak, dan harus dengan membaca untuk mendapatkannya. Selain itu membaca juga kegiatan yang menyenangkan, karena kita bisa menelusuri wilayah mana saja yang kita inginkan. Membaca adalah jendela dunia. Untuk mengetahui isi bacaan diperlukan pemahaman, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Namun untuk memahami suatu bacaan tidaklah mudah, sehingga rata-rata anak sekolah khususnya siswa SD pemahaman bacaannya sangat rendah.
Rendahnya minat baca siswa, boleh jadi, disebabkan kurang menariknya cara pengajaran/metode membaca.
Pengajaran membaca seringkali hanya dilakukan sekadar menjawab pertanyaan, mencari kata-kata sulit, atau menentukan ide pokok. Padahal dengan membaca dapat kita lakukan dengan diskusi/debat, menanggapi bacaan, atau bahkan sebagai acuan dalam kegiatan keterampilan yang lain, seperti menulis atau berbicara.
Pembelajaran membaca merupakan bagian yang sangat esensial dalam pembelajaran bahasa Indonesia, namun dalam kenyataannya pembelajaran membaca kurang mendapat perhatian yang sewajarnya. Sebagian guru lebih menfokuskan materi teoritik yang mengarah keberhasilan siswa dalam pencapaian nilai Ujian Nasional. Hal ini membuat keterampilan membaca siswa kurang memadai.
Kurangnya perhatian dalam pembelajaran membaca inilah, yang menjadi penyebab salah satu dari rendahnya minat baca siswa. Padahal minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan.
Membaca adalah kegiatan fisik dan mental yang dapat berkembang menjadi kebiasaan, untuk membentuk sebagai suatu kebiasaan dibutuhkan waktu yang lama. Selain itu diperlukan faktor-faktor lain yang mendukung kebiasaan, seperti: minat, kemauan, serta keterampilan membaca.
Di zaman sekarang ini, nampaknya sebagian besar pelajar kurang memiliki minat membaca, terutama membaca buku pelajaran. Ini diakibatkan karena sebagian pelajar tidak memiliki metode dalam membaca, sehingga pada saat membaca timbul rasa malas, bosan, menjemukan, serta munculnya rasa mengatuk.
Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam membaca, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal antara lain: penguasaan diksi, penguasaan kosakata, penguasaan kalimat, minat baca, bakat, prestasi belajar bahasa Indonesia, mental dan sebagainya. Faktor eksternal misalnya: metode pembelajaran, guru, kelengkapan buku yang ada di sekolah, lingkungan, kurikulum. Faktor sosial budaya serta ekonomi keluarga juga berpengaruh terhadap kegiatan membaca siswa.
Begitu pentingnya membaca maka sebagai pendidik haruslah dapat memberikan contoh dan memberikan dukungan kepada siswa untuk sering-sering membaca. Dengan membaca selain segala informasi bisa didapatkan juga terbuka cakrawala pandangan serta pemikiran.
Hal yang paling mudah kita lakukan untuk mengembangkan keterampilan dalam belajar adalah dengan banyak membaca. Meluangkan waktu sedikitnya satu jam sehari untuk membaca buku merupakan kebiasaan yang baik bagi kita untuk mulai mengembangkan diri kita. Banyak metode yang digunakan untuk meningkatkan kecepatan membaca (speed reading) maupun pemahaman (comprehension) terhadap isi dari suatu buku. Keterampilan inilah yang amat kita perlukan untuk meningkatkan daya serap dan kecepatan kita dalam membaca sebuah buku yang dibaca.
Membaca membutuhkan konsentrasi yang baik agar dapat menangkap isi yang ada dalam bacaan. Selain konsentrasi, penguasaan kosakata, minat, maupun fasilitas, sangat menentukan keberhasilan membaca. Selain itu proses membaca agar dapat memahami bacaan dengan baik dibutuhkan keterampilan maupun kepandaian/prestasi seseorang.
Selain dihadapkan pada keterbatasan waktu dan bagaimana dapat membaca dalam waktu yang singkat tetapi memperoleh informasi dan pengetahuan semaksimal mungkin, masalah sarana/buku yang dibaca juga menjadi persoalan. Berbagai alasan dikemukakan, antara lain: buku mahal, buku yang ada kurang menarik, atau tidak tersedianya buku yang memadai di perpustakaan sekolah.
Persoalan bagaimana dapat membaca dengan baik dan efektif dalam waktu yang singkat hendaknya dapat kita selesaikan. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan sering membaca.
Kegiatan membaca dapat dilakukan secara bebas, seperti membaca dalam hati, membaca cepat, membaca intensif/pemahaman, maupun membaca kritis. Kegiatan ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok.
Kegiatan belajar-mengajar di sekolah hampir tidak bisa lepas dengan kegiatan membaca. Semakin sering kegiatan membaca dilaksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kemampuan siswa. Karena pentingnya membaca, maka dalam penelitian ini akan meneliti tentang membaca pemahaman.
Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan upaya untuk memberi bekal kepada siswa terutama mengenai keterampilan berbahasa, khususnya keterampilan membaca. Bahasa sebagai sarana yang sangat penting dalam berkomunikasi. Komunikasi akan lancar apabila perbendaharaan katanya cukup memadai. Sebagai salah satu unsur bahasa, kosakata memegang peranan yang sangat penting.
Dengan perbendaharaan kata yang banyak, seseorang dapat mengungkapkan perasaan, keinginan, maupun gagasannya dengan lancar dan baik. Kualitas berbahasa seseorang sangat bergantung pada kuantitas dan kualitas kosakata yang dikuasainya.
Keterampilan membaca harus dikuasai oleh siswa SD, keterampilan ini sangat berkaitan dengan seluruh proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Siswa harus dapat memahami bacaan dengan baik, karena siswa yang tidak dapat memahami bacaan dengan baik pasti mengalami kesulitan dalam kegiatan belajarnya. Akibatnya akan lamban dalam menerima pelajaran.
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di depan, dapatlah diidentifikasikan beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca siswa antara lain: (1) penguasaan kosakata, (2) prestasi belajar bahasa Indonesia, (3) minat baca siswa, (4) guru, (5) fasilitas buku-buku yang tersedia di perpustakaan, maupun (7) metode pembelajaran di sekolah.
Berdasarkan beberapa identifikasi masalah yang dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman di depan, dan tidak mungkin semua faktor di depan dapat kita gunakan dalam penelitian ini, maka untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman dalam penelitian ini akan dibatasi pada variabel (1) Penguasaan Kosakata, (2) Prestasi Belajar Bahasa Indonesia.
Pembatasan masalah pada variabel pertama dan kedua tersebut lebih lanjut akan diteliti selanjutnya dengan kemampuan membaca pemahaman. Apakah benar secara empiris variabel penguasaan kosakata dan prestasi belajar bahasa Indonesia berhubungan dengan kemampuan membaca pemahaman.
Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Negeri Kecamatan X Kabupaten X kelas V.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di depan maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
- Apakah ada hubungan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan membaca pemahaman?
- Apakah ada hubungan antara prestasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca pemahaman?
- Apakah ada hubungan antara penguasaan kosakata dan prestasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca pemahaman?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penguasaan kosakata dan prestasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca pemahaman.
2. Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Ada tidaknya hubungan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan membaca pemahaman.
b. Ada tidaknya hubungan antara prestasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca pemahaman.
c. Ada tidaknya hubungan antara penguasaan kosakata dan prestasi belajar bahasa Indonesia terhadap kemampuan membaca pemahaman.

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan khasanah pengetahuan serta lebih mendukung teori-teori yang sudah ada.
Sehubungan dengan variable-variabel dalam penelitian ini, yaitu penguasaan kosakata dan prestasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca pemahaman.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Siswa
Untuk mengetahui kemampuan membaca pemahaman, penguasaan kosakata, dan prestasi belajar bahasa Indonesia. Dengan mengetahui hal tersebut, mereka dapat mengukur seberapa baik kemampuan yang dimiliki, sehingga diharapkan mereka mampu meningkatkan bila dirasa masih kurang.
b. Guru
Sebagai bahan acuan untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dan sebagai umpan balik demi pembelajaran membaca, sehingga mendorong guru untuk melaksanakan pembelajaran secara integral dan optimal.
c. Kepala Sekolah
Sebagai bahan acuan untuk pengambilan keputusan dan bahan untuk memberikan dorongan kepada guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan.
d. Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan alternatif dalam meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia dan memberikan dorongan kepada peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis yang lebih luas dan mendalam.
TESIS HUBUNGAN MINAT MEMBACA DAN PENGUASAAN KOSAKATA DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VI SDN X

TESIS HUBUNGAN MINAT MEMBACA DAN PENGUASAAN KOSAKATA DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VI SDN X

(KODE : PASCSARJ-0021) : TESIS HUBUNGAN MINAT MEMBACA DAN PENGUASAAN KOSAKATA DENGAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS VI SDN X (PRODI : BAHASA INDONESIA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP (2007 : 73) di Sekolah Dasar, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan Bangsa Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek : mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Kemampuan atau keterampilan berbicara merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar (2007 : 74) dijelaskan bahwa tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia adalah agar siswa memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulis, menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
Esensi bahasa adalah berbicara (berkomunikasi). Bahasa saat ini merupakan sesuatu yang dianggap penting akan keberadaannya dan peranannya. Bahasa merupakan alat komunikasi yang bisa dinikmati oleh semua makhluk di belahan bumi ini, karena dengan bahasa, kita akan mengetahui berbagai macam informasi.
Bloomfield (1977 : 42) mengatakan bahwa semua aktivitas manusia yang terencana didasarkan pada bahasa. Bahasa sendiri mempunyai bentuk dasar berupa ucapan atau lisan. Jadi jelas bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi, dan komunikasi itu adalah berbicara.
Hal senada disampaikan oleh Bygate (1987 : 26) bahwa dalam berbicara sesorang harus mempunyai pengetahuan keterampilan perspektif motorik, dan keterampilan interaktif. Maka, agar dapat bercerita dengan baik seseorang harus mempunyai kompetensi kebahasaan yang memadai serta unsur-unsur yang menjadi syarat agar proses berbicaranya dapat lancar, baik dan benar. Unsur-unsur tersebut adalah lafal, intonasi, ejaan, kosakata dan sebagainya.
Sementara itu kemampuan atau keterampilan berbicara, dianggap sebagai salah satu kemampuan berbahasa yang dijadikan tolok ukur dalam menentukan kualitas kemampuan berpikir seseorang. Berbicara merupakan ekspresi dari gagasan-gagasan seseorang yang menekankan komunikasi yang bersifat dua arah, yaitu memberi dan menerima.
Apabila dicermati dalam keseharian, tidak semua siswa dalam berbicara memiliki kemampuan yang baik dalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain. Kemampuan itu adalah kemampuan dalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan tepat antara apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya, sehingga orang lain yang mendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang sama atau pas dengan keinginan si pembaca.
Pada hakikatnya, siswa telah menyadari bahwa kemampuan berbicara merupakan sarana untuk berkomunikasi, atau bekal melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Namun perlu diketahui bahwa setiap mendapat tugas berbicara siswa seringkali mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut dapat berupa kesulitan dalam pemilihan kosakata yang tepat, kurang lancar berbicara, maupun kurang jelas dalam mengungkapkan gagasannya.
Kosakata sebagai salah satu unsur bahasa memegang peranan penting dalam kegiatan berbicara. Melalui kata-kata, kita dapat mengekspresikan pikiran, gagasan, serta perasaan terhadap orang lain.
Keluhan tentang rendahnya keterampilan berbicara siswa, juga sering dilontarkan oleh beberapa guru Sekolah Dasar (SD). Padahal di jenjang Sekolah Dasar inilah merupakan awal dan dasar dalam pembinaannya. Namun, di sisi lain berdasarkan kondisi objektif yang ada harus diakui bahwa guru atau pengajar kurang intensif terhadap penanganan pembelajaran berbicara. Pemilihan metode yang kurang tepat, pengelolaan pembelajaran yang kurang optimal, rendahnya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk berlatih dalam mengutarakan pendapatnya merupakan penyebab lain dari kegagalan siswa dalam berbicara.
Apabila dicermati lebih mendalam, faktor dalam diri siswa sebagai faktor dominan dalam pembelajaran berbicara. Faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya keterampilan berbicara adalah rendahnya pengetahuan tentang kaidah bahasa yang berlaku, minimnya penguasaan kosakata siswa, dan terbatasnya pengetahuan atau pengalaman yang akan disampaikan kepada lawan bicara atau pendengar. Selaras dengan hal tersebut, Henry Guntur Tarigan (1993 : 2) mengatakan bahwa kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung kepada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya.
Faktor lain yang diduga mempengaruhi keterampilan berbicara adalah minat membaca. Minat membaca yang tinggi, siswa akan senang membaca dan pada gilirannya siswa memperoleh sejumlah konsep, pengetahuan, maupun teknologi. Dengan perolehan seperti itu akan mendukung siswa untuk terampil berbicara.
Satu di antara beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terwujudnya minat membaca yang tinggi adalah peranan perpustakaan sekolah. Perpustakaan sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan harus benar-benar dapat memainkan peranannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perpustakaan merupakan jantung sekolah. Sekolah yang perpustakaannya hidup akan berkembang pesat dan lebih maju, sebaliknya sekolah yang perpustakaannya mati, pengembangan ilmu pengetahuan dari sekolah tersebut juga akan terhambat. Seiring dengan keberadaan perpustakaan sekolah, pemerintah menaruh perhatian terhadap perkembangannya. Oleh karena itu digalakkan lomba perpustakaan sekolah. Semua itu untuk mendukung terciptanya pembelajar yang cerdas, terampil dan berkualitas.
Kegiatan membaca dapat bermakna dan berkualitas apabila didorong oleh minat membaca yang tinggi. Sayangnya, tidak semua siswa mempunyai minat membaca yang tinggi. Minat membaca yang rendah diduga sebagai pemicu rendahnya penguasaan kosakata. Dengan demikian siswa yang minat bacanya rendah akan rendah pula penguasaan kosakatanya. Hal itu akan berlanjut pada kegiatan berbahasa yang lain yang berbentuk berbicara.
Henry Guntur Tarigan (1984 : 53), menyatakan bahwa tanpa kemampuan berbicara yang memadai, siswa tidak dapat mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan dengan baik. Keterampilan berbicara siswa tidak dapat dimiliki dengan tiba-tiba, tetapi harus melalui latihan yang teratur.
Mengacu beberapa perkiraan-perkiraan jawaban di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian guna menguji ada tidaknya hubungan signifikan antara minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara.
Untuk itu, penelitian ini bertolak dari anggapan bahwa minat membaca berpengaruh terhadap keterampilan berbicara. Keduanya diduga mempunyai hubungan yang sangat erat. Selain itu penguasaan kosakata seseorang juga dianggap berpengaruh terhadap keterampilan berbicara sehingga antara minat membaca, penguasaan kosakata, dan keterampilan berbicara saling berhubungan dan mempengaruhi.

B. Identifikasi Masalah
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang sangat penting dimiliki oleh siswa. Namun demikian masih banyak keluhan tentang ketidakmampuan siswa berkomunikasi dengan lancar dan baik.
Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keterampilan berbicara siswa ?
Apakah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah benar-benar sudah mencakup beberapa keterampilan berbahasa ?
Apakah minat membaca dan penguasaan kosakata siswa berpengaruh terhadap keterampilan berbicara ?
Adakah faktor-faktor lain mempengaruhi keterampilan berbicara siswa ?
Apakah setiap siswa dalam berinteraksi menyebabkan rendahnya nilai berbicara ?
Apakah faktor lingkungan keluarga dan masyarakat sudah mendukung kegiatan berbicara siswa ?
Sejauh mana peranan perpustakaan sekolah dalam membangkitkan motivasi membaca siswa ?

C. Pembatasan Masalah
Berhubung banyak masalah yang timbul, maka dalam penelitian ini perlu dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar lebih tajam dan mendalam dalam pembahasannya. Adapun masalah dalam penelitian ini dibatasai pada : Keterampilan berbicara khusunya berpidato dan kaitannya dengan minat membaca dan penguasaan kosakata.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Adakah hubungan antara minat membaca dengan keterampilan berbicara ?
2. Adakah hubungan antara penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara ?
3. Adakah hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ada tidaknya hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri 2 X di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya :
a. hubungan antara minat membaca dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI SDN X;
b. hubungan antara penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI SDN X;
c. hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara siswa kelas VI SDN X.

F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis kepada guru khusunya guru mata pelajaran bahasa Indonesia dan kepada siswa SDN X, Kecamatan X, Kabupaten X serta para pembaca pada umumnya.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
a. memberikan informasi tentang ada tidaknya hubungan signifikan antara minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berbicara baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
b. memberikan masukan tentang sejauh mana hubungan antara minat membaca dan penguasaan kosakata secara bersama-sama dengan keterampilan berbicara.
c. memberikan sumbangan kepada teori pembelajaran tentang berbicara serta variabel-variabel yang mendukung keterampilan berbicara.
d. menambah wawasan ilmu khususnya bidang pembelajaran bahasa Indonesia sehingga mendorong peneliti lain untuk melaksanakan penelitian sejenis yang lebih luas dan mendalam.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada :
a. Siswa
Manfaat penelitian ini bagi siswa adalah untuk mengetahui kemampuannya dalam hal keterampilan berbicara, minat membaca dan penguasaan kosakata sehingga mereka dapat mengukur kemampuannya.
b. Guru
Sebagai bahan pertimbangan tentang arti penting minat membaca dan penguasaan kosakata siswa bagi pengembangan keterampilan berbicara, sehingga mendorong para guru untuk mengajarkan empat keterampilan berbahasa secara merata.
Memberi masukan kepada guru bahasa Indonesia tentang komponen-komponen bahasa dan komponen lainnya yang mendukung keterampilan berbicara bahasa Indonesia.
Memberikan masukan kepada guru bahasa Indonesia dalam menentukan strategi pembelajaran berbicara yang tepat sehingga tujuan pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai.
c. Kepala Sekolah
Manfaat penelitian ini bagi kepala sekolah adalah untuk memberikan dorongan kepada guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran agar menerapkan pembelajaran yang integral.
d. Pengelola Pendidikan
Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi faktual pembelajaran keterampilan berbicara di SD, khususnya di SDN X Kecamatan X Kabupaten X. Untuk pengembangannya, tambahan buku bacaan baru sangat diperlukan guna membangkitkan motivasi siswa dalam membaca.
TESIS HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI X

TESIS HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI X

(KODE : PASCSARJ-0020) : TESIS HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI X (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia begitu kompleks, selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dituntut untuk mengikuti perkembangan tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan masalah pendidikan dan pengajaran. Dalam mencapai tujuan pendidikan atau pembelajaran harus memperhatikan prinsip-prinsip dalam pembelajaran, yang salah satunya, tujuan pembelajaran akan dapat tercapai apabila si pebelajar memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Kehidupan manusia adalah dinamis, setiap orang dalam hidupnya selalu didorong oleh keinginan-keinginan yang harus dipuaskan. Dalam hidupnya ia selalu berjuang untuk memperoleh makanan, kehangatan, afeksi, kepuasan seks, keamanan ekonomi dan emosional, penghargaan dsb. Hal ini seperti dikemukakan oleh Maslow, sebagai aktualisasi diri.
Di sisi lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan orang lain. Sehingga dalam menjalin hubungan sosial manusia harus dapat saling memberi dan menerima satu dengan yang lain. Dalam interaksi sosial juga diperlukan toleransi antar sesama agar tidak terjadi hal yang merugikan atau menyakitkan pihak lain. Untuk itu perlu adanya penyesuaian diri dengan orang lain ataupun lingkungan. Sebagian orang memiliki ketahanan psikis yang berbeda-beda, kebiasaan yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda pula. Ini akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Sunarto dan Ny. B Agung Hartono (2006 : 221) menyebutkan salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan pada umumnya, tujuan pendidikan pada khususnya diperlukan sikap disiplin. Kedisiplinan seseorang terkadang dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Disamping disiplin sangat bermanfaat bagi diri seseorang juga memberikan kontribusi dalam pergaulan dengan orang lain. Karena biasanya seseorang akan merasa kecewa terhadap perilaku yang tidak disiplin dari orang lain.
Kedisiplinan di kalangan pelajar pada sebagian pelajar cenderung kurang. Hal ini dapat kita lihat adanya siswa yang datang terlambat di sekolah, tidak masuk tanpa ijin, membolos dari sekolah, tidak mengerjakan tugas sekolah dsb. Timbul pertanyaan dalam benak kita, bagaimana motivasi belajar bagi siswa-siswa yang melakukan tindak indisipliner tersebut ?.
Tertarik pada permasalahan tersebut dan sesuai dengan bidang tugas penulis sebagai Guru Pembimbing ( konselor ) penulis memberanikan diri untuk mencoba mengadakan penelitian dengan tema kedisiplinan. Adapun judul yang penulis pilih adalah :
“HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI DI KECAMATAN X KABUPATEN X TAHUN PELAJARAN XXXX/XXXX”

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian pada latar belakang masalah di depan, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
Kesehatan mental adalah kondisi jiwa dimana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan dengan lingkungan dimana ia berada. Perilaku orang yang sehat mentalnya ; ceria, percaya diri, humoris, bahagia, memiliki keseimbangan emosi dsb. Dalam kaitannya dengan kedisiplinan siswa yang sehat mentalnya akan mampu menyesuaikan diri terhadap diri sendiri, orang lain dan dengan aturan yang ada di sekolah. Senantiasa ada kepatuhan dalam dirinya terhadap praturan yang ada dan dimanifestasikan dalam bentuk sikap dalam pergaulan.
Motivasi belajar adalah dorongan untuk melakukan aktivitas belajar untuk berprestasi atau mencapai kompetensi. Dorongan itu dapat bersumber murni dari siswa yang disebut instrinsik, atau karena rangsangan dari luar diri siswa yang disebut ekstrinsik.
Motivasi merupakan proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. ( Wahjosumidjo, 1984 : 174 ).
a. Sebagai proses psikologis dalam bentuk sikap, kedisiplinan akan ikut mewarnai bentuk sikap tesebut. Apakah ia suka gerak cepat atau perlahan-lahan asal sampai, suka ketertiban atau masa bodoh, dsb.
b. Sebagai proses psikologis dalam bentuk sikap, kesehatan mental juga ikut mempengaruhi bentuk sikap yang ditampilkan. Apakah ia minder, tegar, emosional, merasa bahagia, dapat bertanggung jawab, dsb.
3. Kedisiplinan adalah sikap mematuhi peraturan yang ada dan melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam konteks kedisiplinan siswa, adalah kepatuhan terhadap aturan yang ada di sekolah, meliputi :
a. Kepatuhan terhadap tata tertib sekolah untuk tidak melakukan kegiatan yang dilarang oleh sekolah.
b. Kepatuhan melaksanakan kegiatan-kegiatan di sekolah ; hadir di sekolah tepat waktu, mengikuti kegiatan - kegiatan sekolah ( upacara, SKJ, ekstra kurikuler, dsb.) dan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Dalam kaitannya dengan motivasi belajar, siswa yang berdisiplin tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh sekolah, karena hal itu akan menyurutkan motivasi belajarnya. Disamping hal tersebut ia akan melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan ketentuan sekolah ; ia tidak menunda-nunda pekerjaan/tugas yang diberikan oleh sekolah, ia berani bersaing secara positif dalam meraih prestasi. Keberhasilannya akan menimbulkan kepuasan sehingga lebih mendorong penyelesaian tugas-tugas berikutnya. Dari uraian identifikasi masalah di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah siswa yang sehat mentalnya akan memiliki kedisiplinan yang tinggi ?
2. Apakah siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi juga memiliki kedisiplinan yang tinggi ?
3. Apakah siswa yang memiliki kesehatan mental dan motivasi belajar yang tinggi akan memiliki kedisiplinan yang tinggi ?

C. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi kesesatan dalam pemahaman terhadap hasil penelitian, penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini terbatas pada :
1. Variabel penelitian :
Banyak aspek yang berhubungan dengan kedisiplinan, namun penulis batasi pada :
a. Variabel kesehatan mental
b. Variabel motivasi belajar
c. Variabel kedisiplinan
2. Waktu penelitian
Penelitian ini terbatas pada tahun pelajaran XXXX/XXXX
3. Tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMA Kecamatan X yang terdiri dari SMA Negeri 1 X dan SMA Negeri 2 X. Sasaran penelitian siswa kelas XI.

D. Perumusan Masalah
Dari beberapa pertanyaan dalam identifikasi masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dengan kedisiplinan siswa ?
2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara motivasi belajar siswa dengan kedisiplinan siswa?
3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dan motivasi belajar siswa secara bersama-sama dengan kedisiplinan siswa ?

E. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah tersebut maka dalam penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dengan kedisiplinan siswa.
2. Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara motivasi belajar siswa dengan kedisiplinan siswa
3. Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dan motivasi belajar siswa secara bersama-sama dengan kedisiplinan siswa.

F. Manfaat Penelitian.
Temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat teoritis :
a. Apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara kesehatan mental dan motivasi belajar siswa dengan kedisiplinan, akan merupakan temuan untuk menambah khasanah dunia ilmu.
b. Merupakan langkah awal untuk penelitian selanjutnya tentang aspek psikologis meliputi variabel kesehatan mental, motivasi belajar dan kedisiplinan.
2. Manfaat praktis :
a. Bagi guru
Khususnya guru BK dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa dengan cara menjaga dan mengembangkan kesehatan mental dan kedisiplinan siswa.
b. Bagi siswa
Menyadari betapa pentingnya kesehatan mental dan motivasi belajar untuk mengembangkan kedisiplinan.
c. Bagi Sekolah
Dapat merekomendasikan dan memfasilitasi tentang pentingnya kesehatan mental, motivasi belajar siswa dan kedisiplinan.
d. Bagi orang tua/wali siswa
Dapat membantu putra-putrinya menciptakan kondisi yang kondusif tentang kesehatan mental, kedisiplinan dan motivasi belajar putra-putrinya.
TESIS HUBUNGAN ANTARA DISIPLIN KERJA, MOTIVASI KERJA, DAN PERSEPSI GURU TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU SLB DI KAB X

TESIS HUBUNGAN ANTARA DISIPLIN KERJA, MOTIVASI KERJA, DAN PERSEPSI GURU TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU SLB DI KAB X

(KODE : PASCSARJ-0019) : TESIS HUBUNGAN ANTARA DISIPLIN KERJA, MOTIVASI KERJA, DAN PERSEPSI GURU TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU SLB DI KABUPATEN X (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan pengajaran di sekolah merupakan suatu proses kegiatan yang semakin kompleks, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi. Pendidikan perlu diselenggarakan secara optimal untuk menghasilkan lulusan sesuai apa yang kita harapkan. Tak terkecuali bagi siswa Sekolah Luar Biasa.
Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa adalah yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental, sebab tujuan pendidikan luar biasa adalah membantu peserta didik agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Untuk itu peningkatan kualitas lulusan merupakan misi pokok pendidikan. Sementara itu lulusan sekolah diharapkan menjadi daya manusia yang produktif.
PP No. 72 tahun 1991 bab X pasal 20 ayat (2) menyebutkan : "tenaga pendidik pada satuan pendidikan luar biasa merupakan tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pada satuan pendidikan luar biasa." Menurut Hasibuan (2001 : 67) pengembangan sumber daya manusia adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral SDM sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU No. 20/2003; pasal 1 : 4).
Pendidikan juga dapat dipandang sebagai kegiatan antisipatoris di masa depan. Artinya, semua kegiatan tersebut untuk menyongsong perkembangan-perkembangan yang diperhitungkan akan terjadi di masa depan (Buchori, 1994 : 44). Sementara masa depan yang akan dihadapi peserta didik penuh dengan tantangan dan persaingan yang semakin komplek dengan semakin canggihnya IPTEK. Oleh karena itu seorang guru dituntut untuk mengembangkan diri dan mengoptimalkan profesionalitas secara memadai dengan mengembangkan disiplin kerja, dan motivasi kerja yang dapat dicontoh peserta didiknya.
Selain tersebut di atas seorang pendidik juga dituntut untuk dapat menciptakan kondisi baru, memotivasi diri dan mengembangkan diri di dalam kehidupan yang berbasis pengetahuan, hingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bermakna (useful meaning). Dalam menciptakan pengetahuan yang bermakna (useful meaning knowledge) seorang guru harus mengembangkan diri melalui disiplin kerja, dan motivasi kerja yang seimbang dalam pencapaian kinerja yang profesional.
Seseorang yang profesional akan selalu berpegang pada teori-teori yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dalam prakteknya, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki diturunkan dan didukung oleh teori-teori, sebab teori dan praktek merupakan suatu perpaduan yang harmonis, bagaikan sisi mata uang. Untuk menghasilkan teori yang sahih, yang akan menyediakan dasar yang kuat bagi teknik-teknik profesional diperlukan penerapan metode ilmiah. Kewenangan profesional menunjukkan adanya otonomi dan tanggung jawab dalam pekerjaan sebagai pendidik.
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terutama bagi pendidikan di perguruan tinggi (UU No. 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2 : 22). Namun dalam satuan pendidikan luar biasa tenaga kependidikan terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar (PP 72 tahun 1991 pasal 20 ayat 1). Adapun tugas utama guru adalah mengajar, membimbing dan melatih peserta didik serta menilai hasil pembelajaran.
Untuk itu, guru merupakan salah satu komponen pendidikan yang mempunyai peranan dalam proses peningkatan mutu pendidikan serta menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan.
Mengajar bukanlah suatu hal yang mudah karena merupakan proses kegiatan yang sangat komplek. Mengajar perlu direncanakan dengan baik agar mencapai tujuan yang ditetapkan, pelaksanaannya harus ditunjang oleh kemampuan guru dalam menetapkan strategi yang efektif, hasilnya perlu dievaluasi secara obyektif. Di samping mengajar, salah satu masalah yang menuntut perhatian guru di sekolah adalah masalah disiplin kerja. Oleh karena itu, kemampuan profesional dan disiplin kerja seorang guru mempengaruhi pencapaian tujuan pendidikan. Disiplin kerja seorang guru mempunyai pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan pengajaran. Hal ini ditegaskan dalam GBHN (1993 : 97) bahwa salah satu ciri tenaga kerja yang berkualitas adalah disiplin, yang berarti setiap tenaga pelaksana termasuk guru-guru SLB di Kabupaten dan Kota X harus mempunyai disiplin dalam melaksanakan tugasnya.
Sementara disiplin kerja guru dilihat sebagai satu hal yang penting dalam mencapai tujuan pengajaran, tampaknya banyak kesenjangan di lapangan, khususnya yang dihadapi oleh guru-guru SLB di Kabupaten dan Kota X. Pengamatan sementara peneliti melihat banyak guru yang berprestasi, namun tidak sedikit guru yang bekerja tanpa adanya motivasi dan disiplin kerja yang memadai. Hal ini akan memberikan dampak terhadap tugas guru-guru menciptakan disiplin kerjanya dalam mengemban tugas. Di samping itu, juga guru-guru SLB di Kabupaten dan Kota X mempunyai perasaan positif dan negatif terhadap fungsi dan tugasnya. Dimana perasaan positif tersebut muncul karena adanya respon yang diberikan itu memberikan kepuasan pada guru yang bersangkutan, sedangkan munculnya perasaan negatif guru, karena respon yang diberikan itu tidak memberi kepuasan bagi guru tersebut, karena respon yang diberikan itu tidak memberi kepuasan bagi guru tersebut, terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Menurut Indrakusuma (1985 : 105) motivasi kerja (work motivation) adalah sikap atau perasaan yang timbul pada diri seseorang terhadap pekerjaannya dalam rangka memenuhi kebutuhannya yang dapat menyebabkan naik dan turunnya semangat dan kegairahan kerja. Motivasi kerja dapat menjadi positif apabila, merasa senang, cinta, tertarik pada pekerjaan, dan motivasi kerja menjadi negatif apabila benci, bosan dan tertekan. Menurut Stoner (1982 : 92) orang-orang yang berhasil dalam pekerjaannya adalah orang yang rata-rata mempunyai motivasi tinggi.
Dikaitkan dengan profesi keguruan, motivasi kerja guru, menurut Ofoegbu (2005 : 81) dikatakan "has to do with teachers' desire to participate in the pedagogical processes within the school environment. It has to do with teachers' interest in student discipline and control particularly in the classroom." Dengan demikian maka guru yang memiliki motivasi tinggi akan memiliki keterlibatan tinggi dalam aktivitas persekolahan baik yang bersifat akademik maupun non-akademik.
Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja guru adalah kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini dijelaskan oleh Ubben dan Hughes yang menyatakan bahwa "principals could create a school climate that improves the productivity of both staff and students and that the leadership style of the principal can foster or restrict teacher effectiveness" (Kelley, et al., 2005 : 19).
Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru menurut Uben dan Hughes berupa penciptaan iklim sekolah yang dapat memacu atau menghambat efektivitas kerja guru. Hal yang sama dikemukakan oleh Harris, et al., (2003 : 70) yang menjelaskan bahwa peranan kepemimpinan kepala sekolah adalah sebagai "giving the school direction, having an overview, setting standards, and making tough decision."
Sebagai pimpinan suatu instansi pendidikan, kepala sekolah seharusnya merupakan motor penggerak bagi berjalannya proses pendidikan. Akan tetapi fungsi kepemimpinan yang belum menyentuh kebutuhan dasar bagi yang dipimpinnya tentu akan berdampak lain. Kurang berfungsinya kepemimpinan kepala sekolah, kurangnya motivasi dari pimpinan sekolah dapat menjadi penyebab menurunnya mutu pendidikan.
Kepemimpinan Kepala Sekolah yang baik adalah kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kematangan dari guru dan karyawan, yaitu semakin berpengalaman seseorang dalam pekerjaan, semakin matang pula dalam berorganisasi. Gaya kepemimpinan tersebut oleh Hersey dan Blanchard seperti dikutip Robbin (2005 : 49) meliputi empat gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan direktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif.
Gaya kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah dapat mempengaruhi kepuasan kerja dari guru dan karyawan. Dengan kepuasan kerja yang baik dari guru dan karyawan tersebut akan menambah motivasi dan kinerja dari guru dan karyawan dalam menjalankan tugas yang diembannya setiap hari. Pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi prestasi dari anak didik, sehingga akan tercapailah tujuan nasional yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka kualitas yang dimiliki kepala sekolah menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan sekolah.
Pentingnya kualitas kepemimpinan kepala sekolah dijelaskan oleh Webb, et al.. Menurut Webb dikatakan bahwa :
"The quality of the head teacher is a crucial factor in the success of the school. ... Good heads can transform a school; poor heads can block progress and achievement. It is essential that we have measures in place to strengthen the skills of all new and serving heads." (Webb, et al., 2006 : 407).
Sementara ditemukan beberapa masalah penting yang berkaitan dengan pekerjaan guru, yaitu : kurangnya minat guru dalam meningkatkan mutu mengajar disebabkan murid-muridnya relatif pasif dalam belajar dan disinyalir ada sebagian guru yang mengajar seadanya, serta kurangnya kedisiplinan dan motivasi guru dalam menjalankan tugasnya, sehingga antusiasme guru memprihatinkan. Sedangkan faktor kinerja guru sangat penting, khususnya dalam pengelolaan pendidikan, disinilah yang menjadi pertanyaan peneliti adalah sejauh mana gambaran kinerja guru dan faktor-faktor yang mempengaruhi, khususnya guru-guru SLB di Kabupaten dan Kota X. Sebab diketahui bahwa kinerja guru dipengaruhi oleh berbagai faktor, selain kemampuan guru dan manajerial kepala sekolah, juga faktor yang lain yaitu faktor disiplin kerja dan faktor motivasi kerja yang menentukan juga keberhasilan guru dalam kinerjanya.
Berdasarkan uraian di atas peneliti lebih memfokuskan kepada sumber masalahnya yaitu bagaimana hubungan antara disiplin kerja, motivasi kerja dan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam mengatur kegiatan belajar mengajar dengan kinerja guru, khususnya pada guru-guru SLB di Kabupaten dan Kota X.

B. Identifikasi Masalah
Berhubungan kinerja guru merupakan kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas atau pekerjaannya, yakni kualitas belajar dan membelajarkan kepada peserta didik. Kualitas perilaku belajar, membelajarkan merupakan serangkaian perilaku yang dicerminkan dalam kegiatan guru mengajar.
Berkaitan dengan hal tersebut muncul beberapa masalah, antara lain sebagai berikut. Kinerja, dalam Kamus Bahasa Indonesia, adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan kerja (performance) (Poerwodarminto, 1997 : 203). Oleh karena itu, guru yang mempunyai kinerja yang baik atau guru yang profesional memiliki ciri-ciri : (1) Ahli (ekspert), artinya guru tersebut ahli dalam bidang pengetahuan atau ketrampilan yang diajarkan, (2) memiliki rasa tanggung jawab (responsibility) dan otonomi, artinya guru memiliki rasa tanggung jawab moral dan intelektual terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan dan memiliki kemandirian dalam menegakkan prinsip-prinsip pendidikan, (3) memiliki rasa kesejawatan, artinya guru menjunjung tinggi martabat dan kode etik guru, sehingga ia senantiasa berusaha menjaga dan memeliharanya (Suhertian : 1994 : 29).
Bersamaan dengan hal tersebut, seorang guru dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki disiplin kerja dan motivasi kerja untuk merealisasikan tugasnya. Untuk itu dalam penelitian ini hanya mencermati kinerja guru yang berkaitan dengan disiplin kerja dan motivasi kerja.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, timbul beberapa masalah yang sangat kompleks berkaitan dengan kinerja guru, antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Apakah jarak tempuh yang jauh dari tempat tinggal dengan tempat tugasnya akan mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya?
2. Apakah keharmonisan rumah tangga itu akan mempengaruhi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya?
3. Apakah sosial ekonomi yang sudah mapan akan mempengaruhi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya?
4. Apakah gaji yang diterima saat ini akan berpengaruh pada kinerja guru dalam menjalankan tugasnya?
5. Apakah disiplin kerja guru mempengaruhi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya?
6. Apakah motivasi kerja guru mempengaruhi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya?
7. Apakah persepsi guru mengenai gaya kepemimpinan yang ditunjukkan kepala sekolah mempengaruhi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya?

C. Pembatasan Masalah
1. Penelitian ini dilaksanakan pada guru-guru SLB di Kabupaten dan Kota X.
2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja guru dalam penelitian ini dibatasi pada faktor disiplin kerja, motivasi kerja, dan gaya kepemimpinan kepala sekolah.
Dasar pertimbangannya adalah karena :
a. Ketiga faktor tersebut di atas dipandang sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap kinerja guru.
b. Adanya keterbatasan pada peneliti sendiri, baik yang berkaitan dengan kemampuan, waktu maupun biaya.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara disiplin kerja dengan kinerja guru pada SLB di Kabupaten dan Kota X?
2. Apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja guru pada SLB di Kabupaten dan Kota X?
3. Apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru pada SLB di Kabupaten dan Kota X?
4. Apakah terdapat hubungan positif antara disiplin kerja, motivasi kerja dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru secara bersama-sama pada SLB di Kabupaten dan Kota X?

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan penelitian ini untuk mendiskripsikan dan untuk mengetahui hubungan antara disiplin kerja, motivasi kerja dan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru SLB di Kabupaten dan Kota X. Tujuan penelitian ini, dijabarkan lagi menjadi tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menemukan hubungan yang signifikan antara disiplin kerja dengan kinerja guru pada SLB di Kabupaten dan Kota X.
2. Untuk mengetahui dan menemukan hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja guru SLB di Kabupaten dan Kota X.
3. Untuk mengetahui dan menemukan hubungan yang signifikan antara persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru pada SLB di Kabupaten dan Kota X.
4. Untuk mengetahui dan menemukan hubungan yang signifikan antara disiplin kerja, motivasi kerja dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru SLB secara bersama-sama di Kabupaten dan Kota X.

F. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian minimal memiliki manfaat atau kegunaan secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara variabel disiplin kerja, motivasi kerja dan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru-guru SLB dapat digunakan sebagai masukan bagi pelaksanaan, baik Kepala Sekolah maupun Kepala Dinas dan Departemen Pendidikan Nasional pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam mengkaji kembali dan sekaligus memperbaiki disiplin kerja, motivasi kerja dan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam tugas sebagai pendidik.
b. Diharapkan temuan penelitian ini dapat menjadi informasi masukan pihak-pihak terkait dalam pendidikan untuk meningkatkan kualitas prestasi guru.
c. Diharapkan temuan penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang menaruh minat terhadap penelitian terhadap manajemen sumber daya manusia pendidikan.