Search This Blog

Showing posts with label tesis pendidikan dasar. Show all posts
Showing posts with label tesis pendidikan dasar. Show all posts
TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0185) : TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat membutuhkan adanya manusia-manusia yang unggul dan siap berkompetisi. Untuk menjadi manusia yang unggul, salah satu syaratnya adalah memiliki kecerdasan. Dengan kecerdasan ini, manusia dapat menggali ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Bila hal ini tidak dimiliki, maka dengan sendirinya manusia itu akan tersingkir dan terbawa oleh arus globalisasi itu sendiri.
Untuk menjadi cerdas, seseorang harus meningkatkan ilmu pengetahuannya. Membaca merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan itu. Membaca tidak bisa dilepaskan dari proses memiliki pengetahuan. Dengan banyak membaca, maka wawasan dan pengetahuan seseorang akan semakin bertambah. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa membaca itu adalah jembatan ilmu. Makin banyak seseorang membaca, maka akan semakin bertambah ilmunya. Dengan demikian, kecerdasan seseorang menjadi semakin bertambah pula.
Membaca menjadi demikian penting mengingat berbagai informasi dan pengetahuan tidak hanya tersaji melalui media elektronik, tetapi juga banyak terdapat pada media cetak seperti buku, koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Penguasaan ilmu pengetahuan melalui media elektronik mungkin bisa dilakukan.
Akan tetapi, cara seperti ini memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya ialah tidak semua orang bisa menyerap dengan cepat informasi yang disajikan itu. Bagi beberapa orang, mungkin informasi tersebut bisa langsung ditangkap. Namun, bagi sebagian orang lagi, butuh waktu untuk mengendapkan informasi tersebut sebelum kemudian memahaminya. Lain halnya dengan membaca, seseorang dapat menyerap informasi dari apa yang dibacanya sesuai dengan kecepatan pemahamannya masing-masing.
Kelemahan selanjutnya dari informasi yang tersedia pada media elektronik ialah ketersediaan media itu sendiri. Beberapa daerah yang mungkin masih terisolir masih sulit memperoleh informasi melalui media tersebut. Lagi pula, informasi atau pun ilmu pengetahuan itu lebih banyak dan lebih mudah diperoleh melalui media cetak. Dengan demikian, membaca merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, membaca hendaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Jika sudah terbiasa membaca, maka kegiatan ini akan menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Kebiasaan membaca ini harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang mengembangkan kebiasaan membaca yang baik, akan menjadi pembaca yang baik pula di kemudian hari. Kebiasaan membaca akan lebih mudah dilakukan ketika anak sudah memiliki kemampuan membaca.
Namun, kemampuan membaca pada anak-anak saat ini menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak Indonesia memiliki kemampuan membaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan anak-anak di negara lain. Penelitian lembaga internasional tentang kemampuan membaca pada murid sekolah dasar menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya menduduki peringkat kedua dari bawah dari 30 negara yang diteliti (Prasetyono, 2008 : 27). Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar anak senang membaca dan mengembangkan minat bacanya.
Mengingat demikian pentingnya membaca bagi kehidupan seseorang, maka lebih cepat seseorang memiliki kemampuan membaca akan semakin baik. Untuk itu, banyak di antara orang tua dan guru yang mulai mengajarkan anaknya agar mampu membaca di usia dini. Namun, keterbatasan pengetahuan dari orang tua mau pun guru serta warisan dari cara-cara lama (sewaktu belajar membaca mereka diajari seperti itu), menyebabkan mereka mengajarkan membaca dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Misalnya dengan cara menghafal huruf-huruf alfabet, mengeja, dan sebagainya. Cara-cara seperti itu kini dipandang sudah tidak sesuai lagi, karena cara seperti itu dinilai membebani anak dan kurang mengembangkan proses berpikir anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, kini bermunculan berbagai macam metode yang ditujukan bagi penguasaan kemampuan membaca bagi anak usia dini khususnya. Ada yang mengajarkan membaca dengan memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian membaca dengan suku kata-suku kata yang membentuk suatu pola, misalnya ba, bi bu, be, bo atau ma, mi, mu, me, mo, dan sebagainya. Lalu, ada pula yang mengajarkan membaca lewat pengenalan kata secara utuh. Salah satu dari ketiga metode itu tidak lebih baik daripada metode yang lainnya. Metode-metode mengajarkan membaca tersebut memiliki kelebihan atau pun kelemahannya masing-masing. Namun, yang paling penting pada saat mengajarkan anak membaca, apa pun metodenya, pastikan anak senang dan menyukai kegiatan membaca tersebut. Sehingga anak secara alami akan mampu membaca dan menyukai membaca sepanjang hidupnya.
Dewasa ini, mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) bagi anak usia dini menjadi sebuah polemik. Sebagian pihak menuding bahwa hal itu dapat merampas kebebasan anak. Anak dipandang belum memiliki kesiapan untuk mempelajari calistung, oleh sebab itu calistung belum boleh diperkenalkan. Pendapat ini dilandasi oleh adanya sejumlah ahli yang mengatakan bahwa anak usia prasekolah tidak boleh belajar dan diajari membaca. Hal ini disebabkan usia anak adalah usia bermain dan anak secara mental belum siap membaca hingga usia enam tahun. Orang tua diingatkan untuk tidak mengajari anak membaca sebelum anak mencapai usia tersebut. Para ahli berpendapat, ketika anak diajari membaca mereka akan cenderung tertekan karena belum siap menerima pengajaran yang diberikan.
Di lain pihak, ada pula pendapat para ahli yang mengatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak usia prasekolah bisa saja dilakukan. Calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak agar dapat memperoleh berbagai keterampilan selanjutnya. Semakin awal seorang anak menguasainya akan semakin baik. Kemampuan membaca khususnya, dapat memperkaya dan memperluas kemampuan berpikir anak. Pendapat ini diperkuat dengan berbagai penelitian oleh para ahli. Team Dafa Publishing (2010 : 12-13) merinci beberapa hasil penelitian tersebut seperti yang dipaparkan sebagai berikut.
1. Penelitian mengenai otak oleh Diamond menyimpulkan bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati adalah mungkin untuk meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan. Ungkapan use it or lose it menunjukkan bahwa semakin banyak otak terangsang oleh aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, maka akan semakin banyak sambungan yang dibuat oleh sel-sel otak. Dalam hal ini, potensi otak dianggap tidak terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa jika otak semakin jarang digunakan, maka otak tidak akan berkembang.
2. Dilihat dari sisi perkembangan anak, perkembangan pada aspek bahasa terjadi dengan pesat pada usia prasekolah. Terdapat hubungan antara bahasa dan membaca. Sebenarnya, kesiapan anak untuk membaca sudah dimulai sejak lahir. Sejak bayi ia sudah dimulai diajak berbicara. Anak belajar mengenal bahasa dari lingkungannya. Artinya, belajar membaca merupakan kelanjutan dari bahasa berbicara atau mengenal bahasa yang sudah dikenal anak.
3. Anak usia prasekolah mulai mengenal hubungan tulisan, bunyi, dan maknanya, sehingga ia memahami fungsi tulisan dan bacaan. Ia mungkin senang membolak-balik buku, berpura-pura membacanya, serta mulai bertanya mengenai kata-kata tertentu yang tidak diketahuinya.
4. Menurut Hainstock, anak-anak usia prasekolah boleh diajari membaca, apalagi usia mereka adalah masa puncak alamiah menyerap berbagai kemampuan dan keterampilan. Termasuk menyerap kecakapan-kecakapan membaca.
Terlepas dari kontroversi di atas, mengajarkan calistung pada anak usia dini, khususnya membaca dapat dilakukan asalkan dengan cara yang menyenangkan. Cara tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, serta tidak menuntut hasil yang instan pada anak. Sehingga diharapkan anak akan menyukai membaca dan memiliki minat baca sejak dini.
Menumbuhkan minat baca pada anak tidaklah mudah. Namun, aktivitas ini harus ditumbuhkan sejak lahir hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari University of Leicester, bahwa pengalaman membaca anak sejak dini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan membaca di kemudian hari. Lebih lanjut menurut hasil penelitian ini menegaskan bahwa : 'Usia saat seseorang belajar kata-kata adalah kunci untuk memahami bagaimana seseorang mampu membaca di kemudian hari' (Olivia, 2009 : 3).
Menurut Prasetyono (2008 : 12), "Masa awal kehidupan anak hingga usia prasekolah, merupakan masa dimana anak memiliki rasa keingintahuan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa". Masa ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, tidak terkecuali kemampuan membaca. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru hendaknya dapat memanfaatkan masa emas ini dengan sebaik mungkin.
Berbagai upaya mungkin telah dicoba oleh orang tua maupun guru agar anak bisa membaca. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak dapat mengikuti metode standar yang bagi anak lain bukan masalah. Beberapa di antara mereka masih saja mengalami kesulitan dalam membaca. Menurut Olivia (2009 : 13), "Kesulitan membaca pada anak secara umum bersumber pada beberapa hal antara lain kejenuhan, keterbatasan daya ingat (memori), serta lemahnya konsentrasi anak".
Membaca merupakan kegiatan yang menuntut adanya ketekunan, sehingga hal ini terkesan membosankan bagi anak. Anak akan lebih tertarik pada aktivitas lain yang lebih menyenangkan, misalnya menggambar atau bermain. Ini sangat mungkin terjadi karena pada saat belajar membaca, yang dihadapi anak adalah huruf, huruf, dan huruf. Kejenuhan yang dialami anak ini sangatlah mungkin terjadi karena otak mereka mengalami kelelahan dalam menerima materi dalam suasana yang monoton.
Selain itu, tidak semua anak memiliki memori (daya ingat) yang baik. Sehingga mereka merasa bahwa belajar membaca merupakan suatu beban yang berat. Anak-anak juga terkenal dengan konsentrasinya yang pendek. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak yang mengalami masalah kurangnya konsentrasi, begitu pula dalam belajar membaca. Untuk itulah guru maupun orang tua hendaknya memiliki strategi yang tepat ketika mengajarkan anak, tidak hanya membaca tetapi juga kemampuan lain.
Selain kecerdasan yang salah satu cara memperolehnya melalui kegiatan membaca, arus globalisasi juga membutuhkan adanya manusia-manusia yang kreatif. Kehidupan yang kita nikmati saat ini, yang penuh dengan hasil-hasil kemajuan teknologi merupakan buah dari pemikiran kreatif sebelum kita. Mereka berhasil mewujudkan mimpi yang oleh sebagian besar orang merupakan sesuatu yang mustahil.
Arus transportasi dan komunikasi berkembang demikian pesatnya, sehingga jarak yang dulu hanya bisa ditempuh dalam jangka berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan kini hanya ditempuh dalam jangka waktu beberapa menit saja. Demikian pula dalam komunikasi, jarak yang jauh bukan lagi menjadi masalah. Kemajuan-kemajuan itu tidak lain adalah hasil dari kreativitas manusia yang didahului dengan adanya mimpi atau khayalan. Namun, adanya kecenderungan dalam masyarakat yang menilai bahwa bermimpi dan berkhayal merupakan sesuatu yang negatif, menyebabkan kreativitas menjadi tidak berkembang.
Kecenderungan yang ada saat ini di kalangan pelajar maupun mahasiswa ialah sulitnya membuat atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat melalui ide-ide kreatif. Hal ini merupakan manifestasi dari pendidikan yang telah kita diterima sebelumnya. Sistem pendidikan kita kurang memperhatikan pengembangan kreativitas dari siswa itu sendiri. Di sekolah, siswa mempelajari sesuatu sebatas yang diajarkan gurunya. Sementara itu, kecenderungan yang terjadi di lapangan, para guru hanya mengajar apa yang diharapkan dan digariskan oleh kurikulum. Mereka kurang memiliki keberanian dalam mengambil keputusan untuk membuat insiatif-inisiatif yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitasnya. Yang menjadi tujuan bagi sebagian besar guru adalah ketercapaian target kurikulum.
Sistem pendidikan seperti ini telah menghambat proses kreativitas anak, sehingga yang muncul hari ini adalah anak-anak yang miskin dengan ide-ide kreatif, anak yang takut tampil beda dengan ide kreatif tersebut. Padahal, seharusnya pendidikan itu hendaknya dapat mengembangkan segala potensi yang dibawa manusia sejak lahir. Potensi-potensi tersebut merupakan bekal bagi setiap individu untuk menjalani rentang kehidupannya. Terutama potensi kreativitas yang memungkinkan kita menemukan berbagai alternatif solusi ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peran pendidikan sebagai salah satu elemen yang turut serta dalam mengembangkan potensi anak perlu terus ditingkatkan.
Belum lagi di rumah, orang tua sering tanpa disadari telah mematikan daya kreativitas anak. Persepsi orang tua tentang bermain, ketidaktahuan tentang makna bermain bagi anak seringkali membuat orang tua melarang anaknya bermain. Hal ini justru dapat mematikan daya kreativitas anak, karena salah satu sarana mengembangkan kreativitas adalah melalui bermain.
Dari beberapa definisi kreativitas dari para ahli dapat diketahui bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gordon & Brown. Menurut Gordon & Browne (Moeslichatoen, 2004 : 19), 'Kreativitas merupakan kemampuan anak mencipta gagasan baru yang asli dan imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi gagasan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki'. Bila guru ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu mereka mengembangkan kelenturan, dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil resiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 11), "Anak TK cenderung mengekspresikan diri bila harus menanggapi sesuatu situasi". Misalnya bila ditanyakan kepada anak TK apakah mereka menyukai adik kecilnya ? Ia tidak menjawab ya atau tidak, melainkan : "Saya suka bila adik nyanyi bintang kecil dan tidak rewel". Hal ini mengindikasikan jawaban yang benar-benar terjadi dalam diri anak. Jadi, ia menambahkan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya dengan perkataan lain. Oleh sebab itu, ia dikatakan telah menciptakan sesuatu. Bila anak mengemukakan sesuatu yang diwarnai oleh kepribadiannya dan diperkaya dengan gagasan-gagasan sendiri inilah suatu kreativitas.
Pada dasarnya setiap manusia telah dikaruniai potensi kreatif sejak ia dilahirkan. Potensi kreatif ini dapat kita amati melalui keajaiban alamiah seorang bayi yang mampu mengeksplorasi sesuatu yang ada di sekitarnya. Jika bayi saja bisa memanfaatkan potensi kreatif dengan segala keterbatasannya, apalagi anak-anak maupun orang dewasa yang sudah memiliki fasilitas yang lengkap untuk mengembangkan potensi kreatif tersebut. Oleh sebab itu, kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.
Namun, pada kenyataannya perlakuan yang diterima anak usia dini baik di rumah maupun di lembaga prasekolah pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat mengembangkan kreativitas pada anak usia dini. Kebanyakan di antara mereka dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis dan penurut, duduk manis dan tidak banyak bicara. Belum lagi di rumah, kesibukan orang tua telah menyita waktu mereka dalam menjawab keingintahuan anak. Hal-hal inilah yang disinyalir dapat menghambat berkembangnya kreativitas pada diri anak.
Supriadi (Rahmawati dan Kurniati, 2003 : 8-9) memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jellen dan Urban pada tahun 1987 berkenaan dengan tingkat kreativitas anak usia 10 tahun di berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang mengejutkan. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari sembilan negara yang diteliti. Tingkat kreativitas anak Indonesia ternyata berada jauh di bawah Filipina, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Bahkan di bawah negara India, RRC, Kamerun dan Zulu. Berbagai faktor diperkirakan menjadi penyebab rendahnya kreativitas anak Indonesia.
Beberapa faktor tersebut diantaranya ialah pola asuh orang tua yang otoriter dan sistem pendidikan yang kurang mendukung.
Dewasa ini, di Indonesia berkembang suatu bentuk pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini. Lahirnya bentuk pendidikan ini dilandasi oleh semangat pendidikan untuk semua {education for all) sebagai hasil dari konferensi Dakkar. Hasil konferensi ini memberikan kesadaran bagi semua pihak dalam dunia pendidikan, khususnya orang tua, guru, dan pemerintah. Bahwa pendidikan itu sebaiknya dimulai sejak usia dini. Kesadaran ini juga ditunjang oleh adanya penemuan para ahli neurolagi yang menyatakan bahwa kemampuan otak anak berkembang pesat justru pada saat mereka berusia 0-8 tahun, dan mencapai titik kulminasi pada usia 18 tahun. Oleh karena itu, masa yang sering disebut sebagai masa emas ini {golden age) merupakan masa yang paling tepat untuk menstimulasi perkembangan anak dalam berbagai aspek.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sistem Pendidikan Nasional, 2003 : Pasal 1 ayat 14).
Oleh sebab itu, pendidikan untuk usia dini perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik. Untuk itu, perlu diupayakan suatu proses pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini untuk memfasilitasi pengembangan berbagai aspek tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Pada hakekatnya, semua anak senang bermain. Mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk bermain, baik sendiri, dengan teman sebayanya, maupun dengan orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan bermain merupakan faktor penting dalam kegiatan pembelajaran dan esensi bermain harus menjadi jiwa dari setiap kegiatan pembelajaran anak usia dini.
Bermain merupakan bagian dari perkembangan kognitif anak. Piaget (Suyanto, 2005 : 116) menyatakan 'Bermain dengan objek yang ada di lingkungannya merupakan cara anak belajar'. Berinteraksi dengan objek dan orang, serta menggunakan objek itu sendiri untuk berbagai keperluan membantu anak memahami tentang objek, orang, dan situasi tersebut. Sementara itu, Erikson (Suyanto, 2005 : 116) seorang penganut teori psikoanalis berpendapat 'Bermain juga mengembangkan rasa percaya diri'. Bermain juga merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak. "Melalui bermain, anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup" (Moeslichatoen, 2004 : 32). Melalui kegiatan bermain pula, anak dapat melatih kemampuan bahasanya dengan berbagai cara, seperti : mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Saat ini berbagai bentuk lembaga pendidikan anak usia dini mulai bermunculan di tengah masyarakat. Apalagi setelah perhatian pemerintah terhadap pendidikan ini mulai dirasakan cukup baik. Lembaga-lembaga tersebut tergolong menjadi tiga bagian, PAUD formal, nonformal dan informal. Yang tercakup dalam PAUD formal antara lain Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA), sedangkan PAUD nonformal ialah Kelompok Bermain (KB) dan Busthanul Athfal (BA). Sementara itu, PAUD informal meliputi pendidikan keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini, TK mengemban sejumlah tugas mulia untuk membantu mengembangkan segenap aspek perkembangan anak. Tugas-tugas tersebut tercantum dalam tujuan pendidikan TK. Salah satu dari tujuan pembelajaran di TK adalah meningkatkan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan sebagai sarana untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman berbahasa anak yang diperoleh melalui proses interaksi baik dengan teman sebaya, orang tua, maupun dengan orang dewasa lainnya dapat menambah perbendaharaan kata anak. Dengan banyaknya perbendaharaan kata tersebut, anak akan menjadi mudah dan lancar dalam berkomunikasi. Sehingga ia dapat menyampaikan maksud, tujuan atau pun keinginannya tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah diperoleh anak ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.
Berbagai macam metode dan teknik dapat diterapkan untuk membantu anak agar bisa membaca dan sekaligus mengembangkan kreativitasnya. Belakangan ini ditemukan suatu teknik untuk belajar membaca, yakni pemetaan pikiran atau lebih dikenal dengan mind mapping. Mind mapping sendiri adalah suatu metode visualisasi pengetahuan secara grafis untuk mengoptimalkan eksplorasi seluruh area kemampuan otak. Mind mapping diperkenalkan oleh Buzan dan telah digunakan oleh jutaan orang pintar di dunia. Pada dasarnya mind mapping dihasilkan dari perpaduan antara pola berpikir lurus dan pola berpikir memencar.
Pola berpikir lurus dilakukan dengan menentukan kata atau objek, dilanjutkan dengan mencari kata yang berkaitan dengan objek sebelumnya. Setiap kata akan dihubungkan dengan tanda panah yang berarti kata tersebut akan mengarah pada persepsi kata berikutnya. Sedangkan pola berpikir memencar adalah mencari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tema yang diberikan, yang dalam pemetaan akan muncul sebagai cabang-cabang. Pola berpikir memencar akan membantu anak untuk belajar menghubungkan serta melihat gambaran secara menyeluruh tentang sebuah objek.
Pada peta pikiran terdapat unsur kata-kata, gambar serta warna. Huruf dan kata-kata melibatkan kerja otak kiri dapat digunakan untuk memperkenalkan sebanyak mungkin kata kepada anak usia dini. Sedangkan gambar dan warna melibatkan otak kanan, yang lebih cenderung mengasah kreativitas pada diri anak. Dengan demikian, terjadilah sinergi antara kedua belahan otak. Sehingga kerja otak menjadi lebih rileks dan tidak mudah mengalami kejenuhan. Makin banyak sambungan antara kedua belahan otak, akan semakin terasah kecerdasan anak. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Semiawan (Olivia, 2009 : 1) bahwa 'Otak anak yang berbakat juga mampu menghasilkan sinyal-sinyal dalam jumlah besar serta lebih tinggi lalu lintas antara belahan otak kiri dan kanannya'. Pada akhirnya akan dirasakan manfaat dari belajar dengan mind mapping, yakni mengoptimalkan pengembangan ide dan kreativitas serta meningkatkan daya nalar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca dan kreativitas adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Mengingat demikian pentingnya kedua hal tersebut, maka semakin dini seseorang memiliki kemampuan tersebut tentu akan semakin baik. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh guru maupun orang tua agar anak memiliki kedua keterampilan tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk dapat mengetahui sejauh mana penerapan mind mapping ini dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak. Maka penulis memfokuskan judul tesis ini, yaitu : "Penerapan Mind mapping dalam Rangka Menstimulasi Kreativitas dan Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Usia Dini". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimanakah guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?
3. Apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?

C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, yang merupakan tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah penerapan mind mapping itu dapat menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca pada anak usia dini. Oleh sebab itu, maka berbagai kegiatan dalam penelitian ini diarahkan untuk menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan tadi. Adapun tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui bagaimana guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X. 
2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).
3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait di dalamnya, seperti : guru, siswa, dan peneliti sendiri. Khususnya bagi para praktisi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam praktik pendidikan sehari-hari. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.
1. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai teknik yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak TK. Guru-guru mungkin telah memiliki banyak pengetahuan, khususnya berkenaan dengan peningkatan kemampuan membaca dini dan pengembangan kreativitas pada anak. Namun, melalui penelitian ini guru dapat memperkaya wawasannya tentang mengajarkan membaca dini melalui cara-cara yang lebih menyenangkan dan disukai oleh anak, serta dapat menstimulasi perkembangan otak kiri dan otak kanan anak secara seimbang.
2. Bagi Siswa
Anak-anak yang pada umumnya (sering ditemukan di lapangan) belajar membaca dengan cara-cara yang konvensional dimana guru memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian mereka diminta menghafalkannya. Kegiatan ini sama sekali tidak bermakna bagi siswa, sehingga mereka akan merasa terbebani.
Melalui penelitian ini, siswa akan mendapat manfaat terutama dalam pengembangan kemampuan membaca yang diperoleh melalui kegiatan yang menyenangkan. Dengan demikian, anak akan cenderung mampu membaca dan akan menyukai kegiatan ini seumur hidupnya. Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan kreativitasnya, terutama dalam kegiatan membaca. Perkembangan otak kiri dan otak kanan anak juga akan menjadi seimbang dengan penerapan mind mapping ini, karena dalam mengajarkan membaca, kedua wilayah otak ini akan dirangsang atau distimulasi secara seimbang. 
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti sendiri ialah memperoleh pengetahuan lebih dalam, khususnya mengenai pembelajaran membaca dini bagi anak, sehingga penulis juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti khususnya mengenai pengembangan kreativitas anak usia dini. 

TESIS PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MELALUI BERMAIN PADA ANAK USIA DINI

TESIS PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MELALUI BERMAIN PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0177) : TESIS PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM MELALUI BERMAIN PADA ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kondisi sosial yang diakselerasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pesatnya teknologi serta informasi yang begitu cepat menyentuh kehidupan masyarakat, dapat membawa perubahan diseluruh aspek kehidupan. Fondasi mental, moral dan Agama yang kuat mutlak diperlukan sebagai antisipasi kecenderungan imitasi suatu perilaku masyarakat kita.
Masyarakat modern cenderung memiliki perilaku yang serba instan, praktis, ingin segala sesuatu serba cepat, tidak jarang sistem instan ini dilakukan tanpa memperdulikan nilai-nilai dan norma-norma moral keagamaan. Sedangkan pemberdayaan masyarakat untuk mampu memegang teguh nilai-nilai bukanlah perkara yang mudah. Ketepatan waktu, disiplin, bersedia untuk antri, tidak menyuap untuk mendapatkan prioritas dan sebagainya bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh masyarakat kita.
Diperlukan penanaman nilai-nilai dan norma-norma Agama yang kuat terhadap bangsa ini agar tidak mudah terpengaruh dan mempunyai filter ketika pengaruh-pengaruh bangsa lain masuk. Supaya penanaman nilai dan norma tersebut kuat, maka harus dilakukan sejak usia dini, sebagaimana disampaikan oleh Hasan A. (dalam Barr A.tt : 357) bahwa mencari ilmu pada saat kecil seperti memahat di atas batu dan mencari ilmu di waktu tua bagaikan mengukir diatas air. Ungkapan ini menekankan pentingnya belajar pada usia dini, sebab belajar yang dilakukan walaupun melalui proses yang tidak mudah namun apabila sudah dikuasai, maka akan tetap diingat sepanjang hidupnya.
Untuk itu pendidikan Agama Islam dapat dipelajari sejak usia dini agar dapat tercipta generasi yang memiliki moral Agama yang kuat dan ber-akhlakul karimah, sehingga mereka mampu membentengi dirinya dari pengaruh negatif dari era globalisasi.
Pendidikan Agama Islam harus dilakukan sejak usia dini dalam hal ini melalui pendidikan anak usia dini yaitu pendidikan yang ditujukan bagi anak sejak lahir hingga usia 6 tahun. Pendidikan tersebut sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini.
Dengan diberlakukannya UU No. 20 tahun 2003 maka sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan atau informal. Pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Agar pendidikan yang ditanamkan kepada anak usia dini dapat berhasil secara maksimal, maka diperlukan materi dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan anak usia dini. Soemantri P (2003 : 101) mengemukakan bermain merupakan cara belajar terbaik pada anak prasekolah. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pendekatan yang tepat dalam pembelajaran anak usia dini adalah pembelajaran melalui bermain. Melalui bermain dapat dikembangkan aspek sosial emosional anak, melalui bermain anak mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada.
Pada konsep belajar melalui bermain ini menempatkan anak sebagai subjek dan orang tua atau guru menjadi fasilitator. Dalam konsep ini anak akan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan imajinasi dan kreativitas berfikirnya, dan akan merangsang daya cipta dan berfikir kritis. Jika dua hal ini terbangun anak akan menjadi orang yang percaya diri dan mandiri. Anak tidak mejadi menghafal tetapi justru analis yang handal.
Belajar melalui bermain adalah satu pendekatan pembelajaran yang berkesan kepada kanak-kanak. Melalui pendekatan ini juga akan mendatangkan kegembiraan dan kepuasan bagi mereka dalam sesuatu pengajaran yang hendak disampaikan. Dengan bermain juga anak-anak akan dapat menguasai perkembangan dan keterampilan fisik serta penguasaan bahasa dari segi perbendaharaan dan tatabahasa.
Mengenai cara belajar pada anak usia dini, mereka belajar dengan caranya sendiri. Seringkali guru dan orang tua mengajarkan anak sesuai dengan jalan pikiran orang dewasa. Akibatnya apa yang diajarkan orang tua sulit diterima anak. Gejala itu antara lain tampak dari banyaknya hal yang disukai oleh anak tetapi dilarang oleh orang tua dan sebaliknya banyak hal yang disukai oleh orang tua tidak disukai oleh anak. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebenarnya jalan pikiran anak berbeda dengan jalan pikiran orang dewasa. Untuk itu orang tua dan guru anak usia dini perlu memahami hakikat perkembangan anak dan hakikat PAUD agar dapat memberi pendidikan yang sesuai dengan jalan pikiran anak.
Pembelajaran pada anak usia dini menggunakan esensi bermain, meliputi perasaan senang, demokratis, aktif, tidak terpaksa dan merdeka. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga menyenangkan, membuat anak tertarik untuk ikut serta dan tidak terpaksa. guru memasukkan unsur-unsur edukatif dalam kegiatan bermain, sehingga anak secara tidak sadar telah belajar berbagai hal. Anak-anak tidak merasa cepat bosan dengan apa yang akan dipelajari atau disampaikan oleh guru, sehingga dapat menangkap dengan baik materi apa yang dipelajari pada saat itu.
Salah satu prinsip pembelajaran pada pendidikan anak usia dini adalah belajar melalui bermain. Hal tersebut disebabkan karena pada hakikatnya semua anak suka bermain. Mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk bermain baik sendiri, dengan teman sebaya ataupun dengan orang yang lebih dewasa. Berdasarkan fenomena tersebut, maka para ahli menentukan bahwa bermain merupakan faktor yang cukup penting dalam kegiatan pembelajaran anak usia dini. Selain itu esensi bermain harus menjadi jiwa dari setiap kegiatan pembelajaran anak usia dini.
Kegiatan bermain pada anak perlu mendapat perhatian dari para pendidik anak usia dini. Semakin banyak anak yang tertekan mengikuti kegiatan sekolah dan tampaknya lebih banyak membebani anak didik. Begitu banyak tugas-tugas yang diberikan guru termasuk pekerjaan rumah dan les. Selain itu anak seringkali mendapat tuntutan yang lebih tinggi dari lingkungan untuk berhasil terutama di bidang akademik.
Pembelajaran anak usia dini kebanyakan sangat terstruktur dan formal sehingga terkesan kaku dan monoton, sehingga celah bagi anak untuk bermain semakin sempit. Begitu pentingnya aktivitas bermain bagi pendidikan anak usia dini, maka hal tersebut perlu diadakan perubahan disesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak usia dini.
Dari uraian diatas, penulis merasa perlu dan tertarik meneliti tentang pembelajaran Agama Islam melalui bermain pada anak usia dini, sehingga dari hasil penelitian ini dapat dideskripsikan pembelajaran Agama Islam melalui bermain pada anak usia ini yang dilaksanakan di TK X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas penulis mendapatkan gambaran bahwa pembelajaran Agama Islam haruslah mulai diajarkan sejak anak usia dini dengan tidak mengesampingkan karakter anak dengan strategi pembelajaran yang digunakan pada pendidikan anak usia dini. Itulah sebabnya, peneliti memfokuskan untuk mengetahui bagaimana pembelajaran Agama Islam pada anak usia dini melalui bermain di TK X. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimana proses perencanaan pembelajaran Agama Islam melalui bermain di TK X ?
2. Bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran Agama Islam melalui bermain di TK X ?
3. Bagaimana hasil yang dicapai dalam pembelajaran Agama Islam melalui bermain di TK X ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban atau data mengenai pembelajaran Agama Islam melalui bermain yang diterapkan di TK X. Tujuan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perencanaan pembelajaran Agama Islam melalui bermain di TK X.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan pembelajaran Agama Islam melalui bermain di TK X.
3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hasil pembelajaran Agama Islam melalui bermain di TK X.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian dan informasi tentang konsep pembelajaran Agama Islam melalui bermain pada anak usia dini yang di TK X.
2. Mengembangkan konsep-konsep yang terkait pada pembelajaran Agama Islam melalui bermain pada pendidikan anak usia dini.
3. Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan pembelajaran Agama Islam melalui bermain pada anak usia dini.
4. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu dan sebagai dukungan upaya penelitian yang akan datang.
b. Secara Praktis
1. Sebagai masukan bagi pengelola program studi pendidikan dasar dalam rangka mengembangkan konsentrasi pendidikan anak usia dini.
2. Sebagai masukan bagi pengelola TK X khususnya dalam rangka peningkatan pembelajaran Agama Islam melalui bermain pada anak usia dini.
3. Sebagai masukan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat serta lembaga/tenaga kependidikan dalam melaksanakan perannya masing-masing sehingga dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan pada TK yang bersangkutan.

D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif analisis studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, rekaman video dan lain-lain.
Tahapan penelitian yang dilakukan adalah persiapan, pelaksanaan dan pengolahan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara, observasi dan studi dokumen dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat perekam.

TESIS MANFAAT SHARING PENGALAMAN MENGAJAR DALAM FORUM KKG BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBUKA DAN MENUTUP PELAJARAN SERTA PENGUASAAN KONSEP GURU

TESIS MANFAAT SHARING PENGALAMAN MENGAJAR DALAM FORUM KKG BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBUKA DAN MENUTUP PELAJARAN SERTA PENGUASAAN KONSEP GURU

(KODE : PASCSARJ-0175) : TESIS MANFAAT SHARING PENGALAMAN MENGAJAR DALAM FORUM KKG BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBUKA DAN MENUTUP PELAJARAN SERTA PENGUASAAN KONSEP GURU (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu reformasi bidang pendidikan adalah meningkatkan mutu pengajar atau pendidik agar menghasilkan output yang bermutu dan mampu bersaing dengan negara-negara maju. Dalam rangka meningkatkan kompetensi mengajar guru SD agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang semakin pesat, maka perlu dilakukan peningkatan kompetensi guru. Peningkatan kompetensi dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan keterampilan mengajar. Hal tersebut dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, baik yang diupayakan oleh guru-guru sendiri maupun yang diupayakan oleh pimpinannya (kepala sekolah dan pengawas).
Proses belajar-mengajar yang berkualitas adalah guru yang memiliki kompetensi mengajar yang memadai dalam hal merencanakan dan mengelola kegiatan belajar mengajar, serta menilai hasil belajar siswa. guru sebagai pengajar berperan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh sebab itu guru dituntut untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan keterampilan mengajar.
Guru merupakan komponen penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Berdasarkan Standar Nasional Kependidikan, guru harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional. Namun, kompetensi-kompetensi yang dimiliki guru saat ini masih terbatas, sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengoptimalkan kompetensi-kompetensi tersebut. guru dapat dinilai profesional ketika dia melakukan pengembangan wawasan dan ilmu, mampu menelaah secara kritis, serta kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi.
Para pengamat pendidikan menilai bahwa kualitas kemampuan profesionalisme guru SD belum memadai. Karena itu perlu terus ditingkatkan. Berbagai studi tentang kualitas guru, menyimpulkan bahwa kemampuan profesionalisme guru menguasai bahan pelajaran memberikan efek yang positif terhadap prestasi belajar. Menurut Saud (2009 : 54) penelitian dalam bidang pendidikan kependidikan di Indonesia menunjukkan bahwa 26,17% dari hasil belajar siswa dipengaruhi oleh penguasaan guru dalam hal materi pelajaran. Berkaitan hal itu Purwanto (Kotten, 2005 : 77) mengemukakan kekurangmampuan guru SD menguasai bidang studi antara lain disebabkan oleh standar kualitas kelulusan guru yang menurun, sikap dan cara mengajar guru yang tidak berubah-ubah selama bertahun-tahun mengajar. Banyak guru yang tidak pernah berupaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya sehingga sulit menyesuaikan did dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Menurut Widodo (2007 : 17) kenyataan banyak ditemukan di banyak sekolah guru belum mampu melaksanakan salah satu keterampilan dasar mengajar yaitu membuka dan menutup pelajaran, karena hakikat dari membuka pelajaran adalah kemampuan guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari.
Sedangkan menutup pelajaran adalah kegiatan yang bersifat memberikan umpan balik bagi siswa segera setelah pembelajaran usai serta memberikan penguatan maupun revisi terhadap segala sesuatu yang menjadi pengalaman belajar saat itu. Membuka dan menutup pelajaran merupakan salah satu dari beberapa keterampilan pembelajaran yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Seperti dimaklumi, bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui teknik komunikasi oral. Praktik pembelajaran konvensional semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centre) dari pada bagaimana siswa belajar (student-centre), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan.
Keadaan kualitas pendidikan seperti ini, menimbulkan keluhan dan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat yang dialamatkan kepada guru. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa guru merupakan komponen yang layak mendapat perhatian, karena baik ditinjau dari posisi yang ditempati dalam struktur organisasi pendidikan maupun dilihat dari tugas yang diemban, guru merupakan pelaksana operasional terdepan yang menentukan dan mewarnai proses belajar-mengajar. Guru merupakan pusat dari produktivitas sekolah. Guru merupakan kunci bagi seluruh upaya pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan satu-satunya komponen yang dapat merubah komponen-komponen lainnya menjadi bervariasi (Arikunto, 1990).
Upaya meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yakni pendekatan internal dengan memanfaatkan guru yang lebih berpengalaman sebagai pelatih, pendekatan eksternal dengan mengirimkan guru untuk mengikuti pelatihan ataupun studi lanjut, dan dengan pendekatan kemitraan melalui kerjasama antara perguruan tinggi dan sekolah. Karakteristik program kemitraan adalah dikembangkannya prinsip kolaborasi yang memberikan keuntungan pihak-pihak yang terlibat. Prinsip kolaborasi juga dapat dilakukan antar sesama guru dalam suatu sekolah juga dapat menjadi ajang yang efektif untuk meningkatkan mutu guru.
Melalui sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG, antara guru-guru dalam sekolah, bertujuan agar para guru bergabung dalam satu kelompok saling tukar menukar pikiran dan pengalaman mengajar, saling membantu sesama guru, mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar (Satori, 1989 : 317). Jadi KKG merupakan suatu wadah tempat berhimpunnya guru-guru untuk membahas berbagai hal yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar. Melalui forum KKG ini juga bisa diselenggarakan belajar bersama dalam pengajaran, dalam hal ini bukan hanya guru yang melaksanakan pembelajaran saja yang dapat memetik manfaat, namun terlebih lagi rekan sejawat yang hadir pada saat pembelajaran. Dengan mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang guru, pengamat didorong untuk merefleksikan pembelajaran yang dilaksanakannya dan serta memikirkan bagaimana meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu forum KKG ini sesungguhnya merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar dari pengalaman mengajar guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Berpijak dari adanya kesadaran dan keinginan untuk meningkatkan SDM maka peranan guru khususnya di SD perlu diperkuat dan didukung oleh tersedianya tenaga kependidikan yang berkualitas yaitu guru yang sehingga dapat melaksanakan tugasnya, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun mengevaluasi kegiatan belajar mengajar, serta terus berupaya mengembangkan diri sesuai kebutuhan perkembangan zaman.
Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa memang tidak mudah, terutama di kalangan guru yang tergolong pada kelompok laggard (penolak perubahan/inovasi). Dalam hal ini, melalui sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif. Hal ini sesuai pendapat Oliva (1984) bahwa upaya pengembangan tingkat pengetahuan dan keterampilan mengajar dapat dilakukan melalui in-service training.
Dari kenyataan diatas maka diperlukan sebuah alternatif untuk peningkatan kemampuan kompetensi mengajar guru dalam peningkatan kompetensi selain dalam bentuk pelatihan, salah satunya adalah dengan forum KKG sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran menuju ke arah yang jauh lebih efektif, juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru (Mulyasa, 2007).
Refleksi guru terhadap rekaman pembelajarannya dapat menemukan kelebihan dan kekurangannya sehingga memungkinkan ada perubahan cara mengajar guru setelah melakukan refleksi atas pembelajaran mereka yang direkam melalui video (Widodo, 2007 : 19). Tentunya semakin banyak refleksi itu dilakukan diharapkan akan mampu lebih memperbaiki profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran. Ini berarti metode ini dapat menjadi alternatif bagi peningkatan mutu pendidikan.
Pendidikan IPA seyogianya diarahkan untuk mengembangkan individu-individu yang melek sains (scientific literacy) yang meliputi pengetahuan tentang usaha ilmiah dan aspek-aspek fundamental tentang konsep, prinsip serta keterampilan ilmiah untuk memecahkan masalah sehari-hari dan dalam pengambilan keputusan (Amin, 1997). Dalam hal ini Buchori (2007 : 184) menyatakan bahwa menciptakan masyarakat yang menguasai teknologi inovatif baik dibidang produksi maupun konsumsi, hanya dapat diwujudkan apabila kepada mereka diberikan dasar kemampuan IPA yang mencukupi meliputi kemampuan : kognitif, keterampilan, sikap, atau nilai-nilai. Berkaitan dengan hal tersebut Abruscato (1982 : 19) menyatakan bahwa tujuan khusus pendidikan Sains harus mencakup tiga domain yang meliputi : kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa pembelajaran IPA harus lebih ditekankan dalam mengembangkan potensi manusia, karena IPA dianggap mampu melatih orang berpikir secara logis dan sistematis. Pada hakikatnya pembelajaran Sains harus ditekankan pada tiga hal yaitu produk, proses, dan sikap.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang menunjukkan bahwa guru sebagai pendidik harus berusaha meningkatkan terus kompetensinya, baik melalui pelatihan maupun melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) di Sekolah Dasar. Pembinaan kompetensi guru adalah usaha memberikan bantuan kepada guru agar bertambah luas pengetahuannya, meningkatkan keterampilan mengajarnya serta menumbuhkan sikap profesional sehingga guru menjadi lebih ahli dalam mengelola proses belajar mengajar untuk membelajarkan anak didik (Depdikbud, 1994).
Kompetensi untuk guru SD yang mengajarkan IPA menurut Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru mencakup : 1) Mampu melakukan observasi gejala alam baik secara langsung maupun tidak langsung. 2) Memanfaatkan konsep-konsep dan hukum-hukum ilmu pengetahuan alam dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari. 3) Memahami struktur ilmu pengetahuan alam, termasuk hubungan fungsional antar konsep, yang berhubungan dengan mata pelajaran IPA.
Pernyataan diatas mempunyai arti bahwa tugas guru SD tidaklah mudah, apalagi peranan SD sebagai jenjang pendidikan formal yang pertama dan merupakan peletak dasar usaha pendidikan yaitu pembentukan sumber daya manusia. Perlu disadari pula bahwa seorang guru terikat oleh ruang, tempat dan waktu. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu pembinaan secara berkala, simultan dan komprehensif melalui gugus sekolah agar setiap pribadi guru tumbuh subur rasa pengabdian dan tanggung jawab, karena profesi guru adalah jabatan kunci dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Disamping itu harus tetap komitmen terhadap upaya pengembangan kualitas profesinya.
Fokus penelitian ini adalah mencoba menggali tentang manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru dalam mata pelajaran IPA SD pada materi energi dan perubahannya.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah yang telah dipaparkan, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : "Sejauhmanakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG dapat meningkatkan keterampilan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru pada mata pelajaran IPA SD ?".
Untuk lebih rincinya masalah yang akan diteliti dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG dapat meningkatkan keterampilan membuka dan menutup pelajaran ?
2. Apakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG dapat meningkatkan guru terhadap penguasaan konsep ?

D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sampai sejauhmanakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru pada mata pelajaran IPA SD. Dalam meningkatkan kompetensi guru agar dapat menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih berkualitas. Sedangkan tujuan khusus yang lebih operasional, penulis merumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan kemampuan membuka dan menutup pelajaran.
2. Untuk mengetahui manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan guru terhadap penguasaan konsep.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil belajar IPA di SD. Manfaat yang akan dipetik dari penelitian ini adalah dapat dijadikan pedoman upaya peningkatan keterampilan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru pada materi energi dan perubahannya melalui sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG, dengan peningkatan kompetensi guru dalam hal keterampilan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep yang nantinya akan berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa.

TESIS KONTRIBUSI POLA ASUH ORANGTUA DAN BIMBINGAN GURU TERHADAP PERILAKU SOSIAL ANAK SD

TESIS KONTRIBUSI POLA ASUH ORANGTUA DAN BIMBINGAN GURU TERHADAP PERILAKU SOSIAL ANAK SD

(KODE : PASCSARJ-0173) : TESIS KONTRIBUSI POLA ASUH ORANGTUA DAN BIMBINGAN GURU TERHADAP PERILAKU SOSIAL ANAK SD (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia adalah homo socius, yaitu mahluk sosial, yang mau-tidak mau pasti melakukan berbagai hubungan dan interaksi sosial dengan sesamanya dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Menurut para ahli, interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu yang satu dengan individu yang lain, yang ditandai dengan adanya saling mempengaruhi, saling mengubah, dan saling memperbaiki. Adapun faktor-faktor minimal yang menjadi dasar terjadinya interaksi sosial dikemukakan oleh Bonner, sebagaimana dikutip oleh Gerungan (1988 : 56), yaitu : 1) faktor imitasi, 2) faktor identifikasi, 3) faktor sugesti, dan 4) faktor simpati (Supriatna, 2008).
Terkait interaksi sosial dalam lembaga pendidikan dan pembelajaran antara siswa dengan sesamanya atau antara siswa dengan guru di sekolah, faktor-faktor inilah yang dapat mengembangkan pola-pola interaksi sosial dalam upaya meningkatkan pengembangan diri dan pencapaian nilai-nilai yang dibutuhkan siswa, baik kognitif, afektif ataupun psikomotor, kelak ketika siswa kembali kepada lingkungan keluarga dan masyarakat atau lingkungannya.
Pengembangan diri dan nilai-nilai yang dibutuhkan siswa atau anak harus dimulai dari lingkungan keluarga, sebagai unit sosial terkecil. Keluarga harus merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama karena tugasnya meletakkan dasar-dasar pertama bagi perkembangan anak.
Sebagai salah satu lingkungan pendidikan, keluarga (dalam hal ini orang tua) berkewajiban memberikan dasar-dasar bagi perkembangan kepribadian dan potensi anak selanjutnya (kognitif, afektif, dan psikomotor), serta turut menunjang perwujudan Sumber Daya Manusia (SDM) seutuhnya, beriman, bertaqwa, berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Upaya ini harus diterapkan sejak usia dini, baik di lingkungan formal (sekolah), informal (keluarga), maupun non formal (masyarakat).
Hal ini berdasarkan pendapat Berk (2003), sebagaimana dikutip oleh Juwitaningrum (2008) yang mengemukakan bahwa : 
Masa pra-sekolah merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan seorang individu. Masa ini diyakini oleh para ahli psikologi sebagai sebuah periode keemasan (golden age). Segala sesuatu yang terjadi dalam fase ini diyakini akan memiliki dampak jangka panjang yang bersifat menetap pada kehidupan seorang individu.
Salah satu upaya meraih masa keemasan tersebut adalah melalui pendidikan bagi anak usia dini yang berlangsung dalam jalur formal, yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA). Hal ini tercantum dalam Penjelasan UU No. 20/2003 Pasal 28 (1), yang menyatakan bahwa : 
"TK menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan anak didik."
Berdasarkan uraian tersebut, maka terdapat dua wadah tempat berlangsungnya proses pengembangan kepribadian dan potensi anak, yaitu keluarga dan sekolah. Dua wadah ini menegaskan keberadaan peran sebagai pendidik dari orang tua dan guru dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua dan guru harus secara bersama-sama mendidik anak.
Pada posisi ini, masing-masing saling memperlakukan diri sebagai mitra yang sejajar. Artinya, di saat fungsi edukatif dari masing-masing hilang karena anak berada bukan dalam wadahnya, maka salah satu pihak adalah yang paling bertanggung jawab. Untuk itu, masing-masing harus bertindak kooperatif, koordinatif dan komunikatif dalam memfasilitasi aktivitas belajar anak.
Dengan demikian, ke duanya harus saling menjalin komunikasi, saling kerja sama, saling memberi dan menerima masukan tentang kemajuan perkembangan dan belajar anak, saling bertukar pikiran, saling berpartisipasi, saling berkontribusi, baik secara periodik atau insidental, serta saling memperhatikan harapan-harapan dan preferensi masing-masing. Harapan-harapan ini tergambar dalam eratnya hubungan dan cara interaksi antara guru dengan anak didik (siswa) sebagai hal yang sangat esensial dalam pembelajaran berbasis bimbingan, sebagaimana dikemukakan oleh Solehuddin (2008), bahwa : 
Guru harus menampilkan sikap dan perilaku yang mendukung aktualisasi berbagai potensi dan minat anak dengan cara menghargai setiap pribadi anak tanpa kecuali, memperlakukan anak secara wajar dan tidak berlebihan, memberikan dukungan positif terhadap upaya-upaya belajar anak, serta berhubungan secara hangat dan terbuka dengan anak.
Guru harus berupaya memahami sudut pandang anak dan menanggapi perilaku anak secara logis sesuai dengan kapasitas berpikir anak. Guru memperhatikan dan menghargai pendapat dan prakarsa anak, serta responsif terhadap pengalaman-pengalaman emosional anak. Guru juga bersikap permisif dengan mempersilahkan anak untuk berinisiatif, berkreasi, dan terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Dengan kata lain, semua guru, termasuk guru TK berperan penting bagi perkembangan pribadi anak, baik sosial, emosional maupun intelektualnya, sehingga mampu menumbuhkan keceriaan, kesadaran diri, identitas, serta kekuatan yang penting sebagai dasar-dasar pendidikan lebih lanjut.
Selain itu, guru TK dituntut bersikap lebih hangat, penuh senyum, sabar dan ramah melalui sikap mendidik dengan pelayanan yang ramah, menghargai dan menyayangi para siswanya, sehingga anak mampu merekam pembelajaran dengan hasil yang bagus. Apalagi potensi yang dimiliki oleh anak TK ibarat menulis di atas batu, sehingga berhasil-tidaknya orang tua dan guru dalam membimbing dan mendidik akan tercermin pada perilaku anak di kemudian hari.
Dengan demikian, di saat anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, yang ditandai dengan perubahan pola perilaku, maka guru dan orang tua harus memahami bagaimana pertumbuhan dan perkembangan perilaku sosial anak, melalui pola dan gaya pembimbingan tertentu. Untuk itulah, pembelajaran berbasis bimbingan guru dan pola asuh (peran) orang tua di TK harus mengakui bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah (guru).
Pembelajaran di rumah dan di sekolah, bukan mengembangkan kognitif semata, tapi juga memacu perkembangan motorik, emosi dan sosial. Agar perkembangan sosial anak tidak terhambat, maka orangtua perlu untuk melibatkan mereka dalam setiap aktivitas kehidupan di rumah. Tidaklah tepat untuk mengkondisikan mereka hanya untuk belajar semata, tanpa pernah memberi mereka tanggung jawab dan keterampilan sosial. Hal ini disebabkan, pendidikan anak usia TK ditekankan pada segi pengembangan berbagai potensi, pembentukan sikap dan perilaku, serta pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar sebagai bekal menghadapi kebutuhan dan tantangan hidupnya kelak di masa yang akan datang, baik di masyarakat maupun di lingkungannya.
Hal ini sesuai dengan beberapa karakteristik anak usia TK, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli psikologi, yaitu unik, egosentris, aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, eksploratif, dan berjiwa petualang, mengekspresikan perilaku secara relatif spontan, kaya dengan fantasi, mudah frustasi, kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu, memiliki daya perhatian yang masih pendek, bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman, serta semakin menunjukkan minat terhadap teman (Solehuddin, 2008).
Kesalahan bimbingan guru dan pola asuh (peran) orang tua dalam memahami potensi anak dikhawatirkan akan mengakibatkan bergesernya perilaku sosial anak ke arah yang tidak diharapkan. Pergeseran ini menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sini muncul sejumlah konflik (permasalahan), yang bisa mengganggu perkembangan perilaku sosial anak di TK. Untuk itu, diperlukan konsistensi bimbingan guru dan pola asuh orangtua yang tepat dan bijak.
Konsep ini sangat sejalan dengan konsep bimbingan yang sangat peduli terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan bersifat memfasilitasi perkembangan belajarnya secara individual agar mencapai taraf perkembangan yang optimal, serta berhasil melalui fase-fase perkembangan yang sukses. Berdasarkan konsep inilah, penulis beranggapan bahwa jenjang pra sekolah, yang dikenal dengan Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudatul Athfal (RA) mempunyai karakteristik tertentu, sehingga membutuhkan perlakuan tertentu juga.
Dengan demikian, dalam upaya mengembangkan perilaku sosial anak TK atau anak usia pra sekolah, guru dan orang tua tak bisa jalan sendiri-sendiri, tapi saling memberikan kontribusi pencapaian perkembangan perilaku, khususnya perkembangan perilaku sosial anak. Bimbingan guru dan pola asuh orang tua merupakan sesuatu yang terintegrasi sebagai bagian terbesar dari proses pembelajaran di TK. Untuk itu, penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan mengetahui : Seberapa besar kontribusi bimbingan guru dan pola asuh orang tua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, penulis mengidentifikasi sejumlah hal atau permasalahan yang ada di TK se-Kecamatan X Kabupaten Y, di antaranya : 
1. Gambaran empiris pola asuh orang tua di rumah, bimbingan guru, dan perilaku sosial anaknya yang bersekolah di TK.
2. Pengaruh pola asuh orang tua di rumah terhadap perilaku sosial anak TK.
3. Pengaruh bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak TK.
4. Pengaruh pola asuh orang tua dan bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak TK.
Berdasarkan hal-hal atau masalah-masalah yang teridentifikasi di atas, penulis merumuskannya dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut : 
1. Bagaimana gambaran empiris bimbingan guru, pola asuh orangtua, dan perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?
2. Berapa besar kontribusi pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?
3. Berapa besar kontribusi bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?
4. Berapa besar kontribusi bimbingan guru dan pola asuh orangtua secara bersama-sama terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mengetahui gambaran empiris bimbingan guru, pola asuh orangtua, dan perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.
2. Mengetahui kontribusi pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.
3. Mengetahui kontribusi bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.
4. Mengetahui secara bersama-sama kontribusi bimbingan guru dan pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, di antaranya adalah : 
1. Teoritis, sebagai bahan kajian dalam teknik bimbingan guru, pola asuh orangtua, dan kontribusinya terhadap perilaku sosial anak.
2. Praktis, bermanfaat bagi : 
a. Para guru dan orang tua, sebagai penambahan wawasan pengetahuan dan kompetensi guru dalam membimbing dan mengasuh anak usia TK.
b. Para kepala sekolah, sebagai bahan pembinaan kepada para pendidik, yang terkait dengan aspek bimbingan guru dan pola asuh orangtua.
c. Bagi penulis, sebagai tambahan wawasan pengetahuan tentang aspek bimbingan, pola asuh orang tua, serta perilaku sosial anak.