Search This Blog

Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
SKRIPSI PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD X

SKRIPSI PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD X

(KODE : KES-MASY-0045) : SKRIPSI PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009, Bab VI pasal 46 dan 47 bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Untuk keberhasilan upaya pembangunan kesehatan tersebut maka masyarakat perlu diikuti sertakan agar berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan.
Dalam konsitusi dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Bab IV tentang rumah sakit bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk dalam hal ini menjamin pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin (Mukti, 2008).
Peserta Program JAMKESMAS adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta JAMKESMAS sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statisti (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes), Jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu di Indonesia untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2009 sebesar 18.963.939 rumah tangga miskin, 76.400.000 jiwa anggota rumah tangga miskin sedangkan anak-anak terlantar, panti jompo dan masyarakat tidak memiliki KTP sebanyak 2.629.309 jiwa. Propinsi X sendiri 944.972 rumah tangga miskin dan 4.124.247 jiwa anggota rumah tangga miskin dan Kabupaten X 158.194 jiwa masyarakat miskin.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Program Jamkesmas belum optimal. Lembaga Swadaya Masyarakat itu menyatakan, meski hasil survei menunjukkan sebagian besar peserta Jamkesmas (83,2 persen) menyatakan puas dengan layanan yang diberikan namun masih ada peserta yang tidak puas dengan pelayanan dokter (5%), perawat (4,7 %) dan petugas kesehatan sebanyak 4,7%. Hasil observasi ICW juga menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas belum baik jika dilihat berdasarkan panjangnya antrian berobat, sempitnya ruang tunggu, dan lamanya peserta dalam menunggu waktu operasi. Beberapa pasien Jamkesmas mengeluhkan kekecewaan yang terkait dengan rumitnya proses administrasi untuk mengurus persyaratan Jamkesmas, sikap perawat dan dokter yang tidak ramah, lamanya waktu menunggu tindakan medis atau operasi dan fasilitas ruang rawat yang terbatas, bahkan berita penolakan terhadap pasien Jamkesmaspun sering terdengar.
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran stategis ini diperoleh karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar (Aditama, 2003).
Ada beberapa hal di rumah sakit yang berperan dalam kepuasan pasien antara lain adalah pelayanan dokter dan perawat, pelayanan administrasi, kualitas ruangan yang diberikan rumah sakit serta ketersediaan sarana penunjang medis dan non medis. Kepuasan pasien adalah tingkat kepuasan pelayanan pasien dan persepsi pasien/keluarga terdekat. Kepuasan pasien akan tercapai apabila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan kemampuan pasien/keluarganya, ada perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap kepada kebutuhan pasien. sehingga tercapai keseimbangan yang sebaikbaiknya antara tingkat puas atau hasil dan derita-derita serta jerih payah yang harus dialami guna rnempeoleh hasil tersebut (Awinda, 2004).
Menurut Imbalo (2003), Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya. Sedangkan Junaidi (2002) berpendapat bahwa kepuasan konsumen atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan konsumen atas poduk tersebut. Jika kinerja produk lebih tinggi dari harapan konsumen maka konsumen akan mengalami kepuasan (Denipurnama, 2009).
Tuntutan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bukan hanya berkaitan dengan kesembuhan dari penyakit, tetapi juga menyangkut persepsi pasien terhadap kualitas keseluruhan proses pelayanan yang termasuk ke dalamnya ketersediaan sarana dan prasarana rumah sakit guna guna memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan demikian keberhasilan suatu rumah sakit tidak hanya ditentukan oleh kemampuan medis tetapi juga ditentuka oleh fasilitas pelayanan rumah sakit dan non medis (Andriani, 2005).
Hasil penelitian Ferdinand (2006) di RSU F.L.Tobing bahwa 80 % responden JPKMM menyatakan puas terhadap pelayanan perawatan. Penelitian Gita Ardina (2008) menunjukkan bahwa pelayanan Jaminan Kesehatan masyarakat (Jamkesmas) di RSD. Ryacudu Kotabumi dilaksanakan sesuai dengan pedoman pelaksanaan Jamkesmas 2008, baik itu mengenai syarat dan prosedur pelayanan, pemberian obat-obatan, serta pelayanan dari petugas medis. Namun dalam pelayanan Jamkesmas di RDS. Ryacudu Kotabumi masih terdapat hambatan-hambatan dalam pelayanannya, antara lain terbatasnya sarana dan prasarana penunjang pelayanan medis, kemudian kurangnya sosialisai pemerintah terhadap masyarakat mengenai syarat dan prosedur pelayanan Jamkesmas di RSD. Ryacudu Kotabumi. Sehingga masih dibutuhkan penyempurnaan agar tercapai derajat kesehatanmasyarakat yang optimal secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan penyelenggaraan program Jamkesmas.
Penelitian di RSU dr.Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 13 April 2009 melalui survey dengan menggunakan kuesioner kepada 30 responden (pasien umum) yang dirawat di Instalasi rawat inap (ruang penyakit dalam dan ruang rawat bedah) mengungkapkan dokter sering telat masuk sebesar 53%, perawat kurang ramah sebesar 46%, perawat jaga sering tidak mengontrol pasien setiap pergantian jaga sehingga pasien sering terbengkalai sebesar 16%, perawat lamban dan kurang tanggap dalam melayani pasien sebesar 63% dan pemberian obat kepada pasien sering tidak tepat waktu 36% (Tuti, 2010).
Keputusan Menteri Kesehatan RI No 228/MENKES/SK/III/2002, Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang hams dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka hams memberikan pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Rumah Sakit Umum Daerah X Kabupaten X mempakan mmah sakit tipe C dengan kapasitas 105 tempat tidur dan pusat rujukan dari empat Kabupaten. Rumah Sakit X telah banyak mengalami pembahan terlihat dari bangunan begitu mewah dan fasilitas yang sudah memenuhi standart. Sampai saat ini pasien rawat inap yang datang menggunakan kartu JAMKESMAS semakin meningkat jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa mmah sakit ini sudah melaksanakan tujuannya sebagai mmah sakit mjukan.
Berdasarkan survei awal di RSUD X Kabupaten X dapat diketahui indikator pelayanan rawat inap berikut yaitu pada tahun 2009 BOR (88,17%), AvLOS (4,12%), BTO (6,53%), TOI (0,58%), GDR (51,68%) dan NDR (36,03%) dan pada tahun 2010 mulai dari januari sampai juni BOR (78,40%), AvLOS (3,61%), BTO (6,77% ), TOI (0,98%), GDR (54,73%) dan NDR (13,86%). Pasien JAMKESMAS yang dirawat inap pada tahun 2009 adalah 2565 orang dan pada tahun 2010 sampai bulan juni sebesar 1034 orang. Pasien rawat inap biasanya dirawat antara 3-7 hari dengan keluhan yang berbeda-beda.
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, penulis menemukan beberapa permasalahan yang menyangkut pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X Kabupaten X kepada pasiennya. Hal ini terungkap karena penulis sering kali mendengar keluhan dari beberapa pasien umum bahwa belum memuaskannya pelayanan yang diberikan baik dari segi kualitas perlengkapan maupun kualitas pelayanan lainnya seperti pelayanan medik, pelayanan obat-obatan, dan pelayanan administrasi.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa RSUD X Kabupaten X selaku lembaga yang melaksanakan pelayanan kesehatan terindikasi kurang memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada pasien umum yang menanggung biaya rumah sakit sendiri. Bila pasien yang Non JAMKESMAS saja pelayanan yang diberikan kurang memuaskan bagaimana lagi layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang termasuk pengguna JAMKESMAS.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan pelayanan rawat inap di RSUD X.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan pelayanan rawat inap di RSUD X Kabupaten X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor internal yang mempengaruhi persepsi pasien JAMKESMAS (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan jenis penyakit) yang dirawat inap di RSUD X Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan meliputi tangibles/nyata, reliability/keandalan, responsveness/ketanggapan, assurance/jaminan dan empaty/sikap peduli pelayanan rawat inap di RSUD X Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada RSUD X Kabupaten X dalam menanggulangi dan meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pasien JAMKESMAS.
2. Sebagai bahan masukan bagi penulis dalam menambah kemampuan dan pengetahuan selama menempuh pendidikan.
3. Sebagai bahan masukan untuk peneliti-peneliti yang akan datang.
SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI DESA X

SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI DESA X

(KODE : KES-MASY-0044) : SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi merupakan keadaan seksualitas yang sehat yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi. Seksualitas dalam hal ini berkaitan erat dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia dan dampaknya bagi kehidupan fisik dan biologis manusia. Termasuk dalam menjaga kesehatannya dari gangguan seperti IMS dan HIV/AIDS (Herbaleng, 2001).
Dahulu kelompok penyakit ini dikenal sebagai penyakit kelamin yang hanya terdiri dari 5 jenis penyakit yaitu gonoroe (kencing nanah), sifilis (raja singaj, ulkus mole, limfogranuloma inguinale (bungkul) dan granuloma inguinale. Namun pada akhir abad ke-20 dapat dibuktikan bahwa pada waktu mengadakan hubungan seksual dapat terjadi infeksi oleh lebih dari 20 jenis kuman, sehingga muncullah istilah Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada tahun 1997 pada Kongres IUVDT {International Union of Venereal Diseases and Treponematosis) di Australia, istilah tersebut diubah menjadi IMS, oleh karena semua penyakit yang termasuk dalam kelompok tersebut merupakan penyakit infeksi (Djajakusumah, 2008).
Sexually Transmitted Infection (STI) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) mencerminkan masalah terbesar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang. Pada seorang individu, penyakit IMS membuat individu tersebut rentan terhadap infeksi HIV. Penularan IMS melalui hubungan seksual diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko mencapai HIV, seperti mereka berperilaku bergantian pasangan seksual, dan tidak konsisten menggunakan kondom (BNN, 2004).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai terasa sejak awal tahun 1998. Selain langsung pada kehidupan ekonomi bangsa, juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya kesempatan kerja. Dampak kelanjutan adalah kerawanan yang menyangkut berbagai hal, salah satu diantaranya adalah bidang ekonomi dan sosial. Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka, para PSK berpotensi tertular dan menularkan Infeksi Menular Seksual (IMS) (Kasnodihardjo, 2010).
Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah suatu pekejaan atau profesi dengan melacurkan diri, penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran, dengan alasan komersial mereka siap melakukan apa saja untuk kepuasan pelanggan sampai pada perilaku seks yang tidak sehat, sehingga kelompok ini beresiko untuk terkena infeksi menular seksual (IMS) (Kartono, 2003).
Berdasarkan data WHO yang dikutip Jain (2008) negara dengan prevalensi IMS tertinggi di dunia yaitu Papua New Guinea, dimana kurang lebih 1 juta infeksi menular seksual (IMS) didiagnosis setiap tahun. Dengan gonoroe sebanyak 21%, klamidia 19%, sifilis 24% dan trichomoniasis 51%. Dengan 74% orang mempunyai sedikitnya satu jenis IMS dan 43% mempunyai lebih dari satu tetapi kurang dari 1% yang menerima pengobatan.
Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Pekerja Seks Komersial (PSK) cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil estimasi tahun 2006 menunjukkan bahwa Pekerja Seks Komersial (PSK) sebesar 221.000 orang dan pelanggan 3.160.000 orang dengan prevalensi IMS sangat tinggi di wilayah Bandung yaitu : gonoroe 37,4%, klamidia 34,5%, dan sifilis 25,2%. Selanjutnya diikuti kota Surabaya yaitu : klamidia 33,7%, sifilis 28,8%, dan dan gonoroe 19,8%. Lalu kota Jakarta yaitu : gonoroe 29,8%, sifilis 25,2% dan klamidia 22,7% dan Medan 5,3% klamidia dan 2,4% sifilis (Adhitama, 2008).
PSK lebih berisiko menimbulkan IMS karena mereka sering bertukar pasangan seks. Semakin banyak jumlah pasangan seksnya semakin besar kesempatan terinfeksi IMS dan menularkan ke orang lain. Peran serta masyarakat dalam mengontrol IMS sangat penting, selama kelompok ini belum terjangkau dengan pencegahan dan layanan pengobatan yang berkualitas baik. Jangkauan yang efektif, pendidikan sebaya serta layanan klinik untuk pekerja seks telah dikembangkan dengan menggunakan klinik berjalan atau dengan menyediakan waktu khusus di klinik. Pelayanan seperti ini memberikan kontribusi untuk mengurangi prevalensi IMS di masyarakat (Depkes RI, 2006).
Seorang PSK seharusnya menyadari bahwa pekerjaannya beresiko terhadap penularan IMS, dan dengan resiko tersebut seharusnya sesering mungkin melakukan pemeriksaan, karena kelompok resiko tinggi seperti PSK harus selalu melakukan pemeriksaan sesering mungkin baik dilakukan dengan sendiri ataupun dengan bantuan pelayanan kesehatan (Daili, 2001).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Reta (2009), diperoleh hasil bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang bermakna dengan tindakan pencegahan penyakit menular seksual dengan nilai p<0,05.
Sedangkan menurut hasil penelitian Silalahi, R (2009), ternyata pengetahuan dan sikap PSK ada hubungan yang bermakna terhadap tindakan untuk menggunakan kondom dengan hasil p<0,05. Artinya pengetahuan dan sikap yang baik akan mempengaruhi pelanggan menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual.
Menurut Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks) tahun 2009 yang selama ini memfasilitasi pemberian informasi tentang IMS di Desa X mengatakan bahwa pekerja seks komersial pada tahun 2010 berjumlah sekitar 50 orang. Lokasi X terletak ± 24 km dari Kecamatan X dengan luas ± 1 ha. Untuk menuju lokasi X tersebut dapat dicapai melalui jalan darat dengan menggunakan alat tranportasi roda dua atau roda empat. Seiring dengan berjalannya waktu lokalisasi ini mengalami perubahan baik dari aspek bangunan, sarana atau fasilitas maupun dari jumlah PSK. Berdasarkan data LSM SP2S sampai dengan akhir tahun 2010 jumlah rumah (barak) ±13 buah dengan rata-rata 4 PSK per rumah dengan jumlah PSK sekitar 50 PSK. Pada umumnya bangunan sudah permanen, walaupun sebagian kecil saja bangunan masih berlantai tanah. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan penulis jumlah PSK terbanyak di Kabupaten X terdapat di Desa X sebanyak 50 orang PSK, dari 50 orang PSK tersebut ditemukan sekitar 35 kasus IMS dan 1 kasus HIV (Yayasan SP2S, 2009).
Desa X adalah salah satu desa di Kecamatan X Kabupaten X merupakan desa yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan infeksi menular seksual. Hal ini dikarenakan adanya daerah lokalisasi terselubung berupa warung bubur.

1.2. Perumusan Masalah
Warung bubur di Desa X Kecamatan X merupakan salah satu tempat praktek prostitusi. Banyaknya pekerja seks komersial di lokalisasi yang terselebung merupakan peluang membuat semakin meningkatnya kasus IMS sekarang ini., karena mereka tidak mengetahui resiko dari pekerjaannya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kebupaten X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengetahuan Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Mengetahui sikapPekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.4.Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi komunitas PSK mengenai kesehatan reproduksi khususnya perilaku seksual dan perilaku pemeliharaan organ reproduksi dalam mencegah IMS.
2. Memberikan masukan bagi tenaga kesehatan agar lebih memperhatikan komunitas PSK dalam mengantisipasi berjangkitnya IMS di kalangan masyarakat dengan meningkatkan penyuluhan tentang IMS.
SKRIPSI PENGARUH FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

SKRIPSI PENGARUH FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

(KODE : KES-MASY-0043) : SKRIPSI PENGARUH FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia.
Penyebaran penyakit malaria di dunia sangat luas yakni antara garis lintang 60° di utara dan 40° di selatan yang meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis (Erdinal, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010, penyakit malaria menyerang 108 negara dan kepulauan di dunia pada tahun 2008. Penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria hampir setengah dari keseluruhan penduduk di dunia, terutama negara-negara berpenghasilan rendah.
Berdasarkan data WHO (2010), terdapat sebanyak 247 juta kasus malaria di seluruh dunia dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian pada tahun 2008. Sebagian besar kasus dan kematian malaria ditemukan di Afrika dan beberapa negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah serta Eropa. Setiap 45 detik seorang anak di Afrika meninggal dunia akibat penyakit malaria.
Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendalian dan penurunan kasusnya merupakan komitmen internasional dalam Millenium Development Goals (MDGs) (Profil Kesehatan RI, 2008). Target yang disepakati secara internasional oleh 189 negara adalah mengusahakan terkendalinya penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria pada tahun 2015 dengan indikator prevalensi malaria per 1.000 penduduk.
Penyakit malaria juga dapat membawa dampak kerusakan ekonomi yang signifikan. Penyakit malaria dapat menghabiskan sekitar 40% biaya anggaran belanja kesehatan masyarakat dan menurunkan sebesar 1,3% Produk Domestik Bruto (PDB) khususnya di negara-negara dengan tingkat penularan tinggi (WHO, 2010).
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap penyakit malaria. Daerah endemis malaria sebanyak 73,6% dari keseluruhan daerah di Indonesia (Depkes RI, 2008).
Kabupaten endemis malaria di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 396 kabupaten dari 495 kabupaten yang ada. Penduduk Indonesia yang berdomisili di daerah berisiko tertular malaria sekitar 45%. Jumlah kasus malaria pada tahun 2006 sebanyak 2 juta kasus dan pada tahun 2007 menurun menjadi 1.774.845 kasus (Depkes RI, 2009).
Menurut perhitungan para ahli berdasarkan teori ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria tersebut di atas, dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar mencapai sekitar 3 triliun rupiah lebih. Kerugian tersebut sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah (Depkes RI, 2009).
Penyakit malaria sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia. Pada tahun 2006 terjadi KLB malaria di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa KLB disebabkan terjadinya perubahan lingkungan oleh bencana alam, migrasi penduduk dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan sehingga tempat perindukan potensial nyamuk malaria semakin meluas (Harijanto, 2010).
Kasus malaria yang tinggi berdampak terhadap beban ekonomis yang besar baik bagi keluarga yang bersangkutan dan bagi pemerintah melalui hilangnya produktivitas kerja, hilangnya kesempatan rumah tangga untuk membiayai pendidikan serta beban biaya kesehatan yang tinggi. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan efek menurunnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia (Trihono, 2009).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI) tahun 2007, diketahui bahwa penyakit malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria klinis di pedesaan dua kali lebih besar bila dibandingkan prevalensi di perkotaan. Prevalensi malaria klinis juga cenderung tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, kelompok petani, nelayan, buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah.
Secara historis, dalam lima tahun terakhir jumlah kasus malaria di X menunjukkan angka yang relatif tidak stabil. Selama tahun 2004-2005 kasus malaria mengalami peningkatan dari 49.844 kasus menjadi 68.005 kasus, namun tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 64.116 kasus. Jumlah kasus malaria mengalami peningkatan kembali menjadi 99.692 kasus pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 turun kembali menjadi 91.609 kasus (Dinkes Sumut, 2008).
Kabupaten X merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi X. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten X (Dinkes Kab. X) tahun 2007-2008, jumlah kasus malaria di Kabupaten X selama 2 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Menurut data kunjungan ke puskesmas, pada tahun 2007 ditemukan sebanyak 949 kasus malaria klinis dan meningkat menjadi 1.075 kasus pada tahun 2008.
Beberapa upaya pencegahan penyakit malaria yang telah dilaksanakan di Kecamatan Lau Baleng adalah melalui program penyemprotan rumah dengan insektisida dan kelambunisasi. Hasil pelaksanaan program ini belum tercapai sepenuhnya seperti yang diharapkan, hal ini terlihat dari tingginya angka penyakit malaria.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan, geografis daerah ini terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai dan persawahan. Kondisi geografis seperti ini secara entomologi telah mengakibatkan semakin meluasnya tempat perkembangbiakan vektor malaria atau nyamuk anopheles. Jenis plasmodium yang umum dijumpai di daerah endemis ini adalah Plasmodium vivax dan Plasmodium falcifarum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas malaria di Puskesmas X, salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kasus malaria di daerah ini adalah karena letak geografis daerah ini berada di daerah endemis malaria dan masih adanya kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh perbuatanjahat (guna-guna) yang sengaja dilakukan oleh orang lain.
Penyakit malaria dapat dicegah dan disembuhkan. Dengan demikian tindakan pencegahan merupakan salah satu tindakan yang penting untuk mengatasi penyakit malaria. Undang-Undang Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pencegahan penyakit menular adalah tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pencegahan penyakit malaria yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui perubahan perilaku yang berhubungan dengan pemberantasan penyakit malaria. Tingkat pengetahuan tentang pencegahan, cara penularan serta upaya pengobatan penyakit malaria, sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit malaria (Dalimunthe, 2008).
Upaya pencegahan penyakit malaria difokuskan untuk meminimalkan jumlah kontak manusia dengan nyamuk melalui pemakaian kelambu dan penyemprotan rumah. Beberapa daerah menekankan penggunaan kelambu yang telah direndam dengan insektisida. Salah satu hambatan utama penggunaan kelambu secara massal adalah faktor ekonomi (Utomo, 2007).
Menurut Daulay (2006), faktor perilaku sangat berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria. Tingkat pengetahuan yang rendah, kebiasaan tidur tidak memakai kelambu, sikap yang kurang mendukung dalam penanggulangan penyakit malaria, tidak menggunakan alat atau bahan pelindung bila keluar rumah pada malam hari merupakan perilaku yang memiliki risiko terbesar terhadap terjadinya penyakit malaria. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria adalah dukungan petugas kesehatan dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Kasnodihardjo (2008), tentang pola kebiasaan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah malaria di daerah Sihepeng Kabupaten Tapanuli Selatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa malaria adalah penyakit menular dan nyamuk sebagai vektor penular. Mereka bahkan menganggap penyakit malaria berbahaya, namun kebanyakan mereka kurang mengetahui bagaimana cara penularan penyakit malaria. Hal ini memengaruhi tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria. Berdasarkan hasil penelitian Afridah (2009), tentang pengaruh perilaku penderita terhadap angka kesakitan malaria di Kabupaten Rokan Hilir, menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap memengaruhi tindakan seseorang terhadap pencegahan penyakit malaria. Pengetahuan dan sikap responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan dalam pencegahan.
Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: faktor pemudah (predisposing factor) yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya; faktor pendukung (enabling factor) mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan; dan faktor pendorong (reinforcing factor) mencakup sikap dan perilaku dari petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Mengacu pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah apakah ada pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria.
2. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan berkelanjutan.
SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

(KODE : KES-MASY-0042) : SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta manusia di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara dengan Negara laindan dari satu kabupaten atau wilayah dengan wilayah lain. Pada peta di tunjukkan bahwa saat ini disribusi malaria endemic. Menurut WHO dalam Harijanto, P.N (2000), pada tahun 1990, 80% kasus di Afrika, dan kelompok potensial terjadinya penyebaran malaria indigenous di Sembilan Negara yaitu: India, Brazil, Afganistan, Sri Langka, Thailand, Indonesia, Vietnam, Cambodia dan China. Plasmodium Falciparum adalah spesies paling dominan dengan 120 juta kasus baru pertahun, dan lebih dari satu juta kematian pertahun secara global. Dalam tahun 1989 yang lalu WHO kembali mendeklarasikan penanggulangan malaria menjadi prioritas global. (Harijanto, P.N, 2000)
WHO menyatakan perlu pendekatan baru dalam pemberantasan malaria, walaupun upaya kemitraan global yang di kenal dengan Roll Back Malaria (RBM), di mana WHO selain memimpin prakarsa juga bertindak sabagai katalisator dalam kemitraan tersebut. Pada tanggal 8 April 2000, di Kupang Nusa Tenggara Timur dan di Kabupaten X pada tanggal 12 Agustus 2002 Menteri Kesehatan telah mencanangkan GEBRAK malaria sebagai gebrakan nasional dalam upaya pemberantasan malaria di Indonesia (Depkes, RI, 2001)
Di Indonesia malaria mempengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita, ibu melahirkan dan produktivitas sumber daya manusia. Saat ditemui 15 juta penderita malaria dengan angka kematian 30 ribu orang setiap tahun, sehingga pemerintah memprioritaskan penangulangan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan (Depkes. RI, 2007)
Angka kejadian kasus malaria per seribu penduduk (API) di Jawa dan Bali sejak empat tahun terakhir menunjukkan kecendrungan menurun, dari 0,81 per 1000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 0,15 per 1000 penduduk pada tahun 2004. Di luar Jawa dan Bali angka klinis malaria per 1000 penduduk (AMI) juga menunjukkan kecendrungan menurun yaitu dari 31,09 per 1000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 21,2 per 1000 penduduk pada tahun 2004. Proporsi kematian karena malaria hasil survey kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001, adalah sebesar 2%. Jumlah kabupaten endemis di Indonesia adalah 424 kabupaten dari 576 kabupaten yang ada, dan diperkirakan 42,4% penduduk Indonesia berisiko tertular penyakit Malaria (Depkes RI, 2006)
Lingkungan fisik, lingkungan biologis dan sosial budaya masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit malaria, demikian pula dengan kondisi lingkungan Kabupaten X, merupakan daerah yang sangat potensial untuk tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Di beberapa kecamatan yang berada di daerah-daerah dataran rendah yang umumnya terletak di sepanjang Pantai Timur Kabupaten X berada di pinggiran laut dimana sering terjadi pasang laut yang mencapai daratan, sehingga meninggalkan genangan-genangan air bila pasang berakhir. Demikian juga dengan perilaku penduduk yang membiarkan sampah-sampah berserakan dan tidak membersihkan lingkungan disekitar rumahnya, sehingga mempermudah penularan penyakit malaria.
Program pengendalian Anopheles spp yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan diteruskan oleh pemerintah Daerah Kabupaten X dengan srategi penurunan kasus malaria Anopheles spp dengan berbagai upaya di antaranya dengan klambunisasi di 5 kecamatan, Indoor Residure Suplayer (Penyemprotan Rumah) sebanyak 5000 rumah, Larvaciding di 20 Lokasi (Dinkes Kabupaten X, 2007), namun angka kejadian malaria masih saja ditemukan tinggi. Adapun angka kesakitan malaria di Kabupaten X di ukur dengan angka Annual Malaria Index (AMI) dan Standard Positif Rate (SPR)
Di Kecamatan X Kabupaten X angka Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 2002 adalah sebesar 66,20%o yaitu desa Suka Jaya sebesar 22,0%o, X 22,3%o Suka Makmur 15,9%o dan Air Dingin 11,8%0 .Di mana kasus positif paling tinggi pada tahun 2002 dan pada tahun 2004 mengalami peningkatan kasus yang sangat tinggi, sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan kasus yaitu dari tahun 2005 sampai pada tahun 2008 mengalami penurunan kasus yang sangat signifikan, yaitu pada tahun 2005 sebesar 35,54%o dan pada tahun 2008 menjdi 25,07%o angka AMI tersebut sangan tinggi bila di bandingkan dengan standart nasional yaitu < 10,0%o (Depkes RI, 2005) dan Angka Standard Positif Rate (SPR) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X pada tahun 2009 adalah 93,8% (Dinkes Kabupaten X, 2009).

1.2. Perumusan Masalah
Tingginya kasus Malaria di Desa X Kecamatan X Kabupaten X sebagai salah satu Desa yang berada kecamatan X yang berpotensial terhadap terjadinya Malaria bila dibandingkan dengan desa di kecamatan lain karena banyak terdapat aliran sungai, lagun, hutan bakau (Mangrove), perbukitan, air terjun dan rawa-rawa serta kondisi fisik perumahan penduduk yang masih bisa dikatakan buruk. Hal inilah yang menjadi kontribusi bagi peneliti untuk melakukan penelitian di Desa X Kecamatan X Kabupaten X sehingga dapat dibuat suatu perumusan masalah yaitu belum diketahuinya hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit Malaria Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit malaria di wilayah Kabupaten X Kecamatan X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit Malaria di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Mengetahui karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
3. Mengetahui kondisi perumahan penduduk seperti ventilasi, plafon rumah, pencahayaan, kelembaban, kerapatan dinding dan parit/selokan, semak-semak dengan kejadian penyakit Malaria di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
4. Mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah penduduk seperti ventilasi, Plafon rumah, pencahayaan, kelembaban, kerapatan dinding, semak-semak dan parit/selokan dengan penyakit Malaria di Kecamatan X Kabupaten X.
5. Untuk mengetahui pH air pada Lagun dan Rawa-rawa di desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Berguna bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam melaksanakan Program penurunan kasus malaria.
2. Hasil penelitian berguna bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten X Kecamatan X untuk mengetahui lebih jelas tentang perkembangbiakan spesies nyamuk Anopheles spp.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memberikan masukan tentang pengetahuan penyakit malaria, pengendaliannya serta penangulanganya dalam menurunkan kasus malaria.
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA X

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA X

(KODE : KES-MASY-0041) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa diukur dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga dengan negara Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan usia harapan hidupnya dan jumlah lanjut atau usia Lansia (Boedhi Darmojo, 2006:3). Seiring dengan peningkatan derajat kesehatan dan penurunan jumlah kelahiran, jumlah penduduk Lansia juga semakin meningkat. Peningkatan jumlah Lansia diperkirakan diikuti dengan peningkatan usia harapan hidup dari usia 59,8 tahun pada tahun 1990 menjadi 71,7 tahun pada tahun 2020. Berdasarkan data statistik Indonesia tahun 1993, diperkirakan meningkat 41,4% atau empat kali lipat pada tahun 2025 dibanding tahun 1990 dan jumlah ini tertinggi di dunia.
Pertumbuhan penduduk Lansia (umur >60 tahun) meningkat secara cepat pada abad 21 ini, yang pada tahun 2000 di seluruh dunia telah mencapai 425 juta jiwa (± 6,8%). Jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat pada tahun 2025. Di Indonesia, prosentase Lansia pada tahun 1995 mencapai 7,5%. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, jumlah Lansia pun akan bertambah banyak (Reviana Cristijani, 2003:1).
Pada tahun 2006 jumlah penduduk Lansia kurang lebih 19 juta dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%), dengan usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Anonim, 2008).
Jumlah penduduk Jateng sesuai dengan Susenas BPS 2005 sebanyak 32.908.850 orang. Dari jumlah tersebut, yaitu sebesar 3.371.196 atau 10,2% orang di antaranya adalah para Lansia. Di X jumlah penduduk lanjut usia dalam 25 tahun terakhir terjadi peningkatan, dari tiga juta jiwa pada tahun 1982 menjadi 17 juta orang pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat juga mengalami keadaan gizi baik dan gizi kurang. Lansia Indonesia yang berada dalam keadaan kurang gizi sebanyak 3,4%, berat badan kurang 28,3%, berat badan ideal berjumlah 42,4%, berat badan lebih sebanyak 6,7% dan obesitas 3,4% (Boedhi Darmojo, 2006:545).
Hasil observasi Januari 2009 pada 54 kelayan yang mencakup 3 (tiga) bangsal Lansia potensial, terdapat Lansia yang mengalami masalah gizi. Yaitu, 14,81% kekurangan berat badan tingkat berat, 16,67% kekurangan berat badan tingkat ringan, 7,41% kelebihan berat badan tingkat ringan, serta 12,96% Lansia potensial mengalami kelebihan berat badan tingkat berat. Dan dari hasil pengamatan, masih ada Lansia yang tidak mematuhi diet dari panti (jajan diluar).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sigit pada tahun 2003 yang dilakukan di Panti Wreda X, yang meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asupan gizi dan status gizi. Menyebutkan bahwa sebanyak 37,8% sampel pengetahuan mengenai gizinya masih kurang.
Masalah gizi Lansia perlu diperhatikan seiring dengan meningkatnya jumlah warga Lansia. Perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktek tentang gizi seimbang yang baik diharapkan dapat meningkatkan keadaan gizi lansia, sehingga usia produktif mereka dapat ditingkatkan agar tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2000:1).
Perilaku manusia mempunyai peranan terhadap derajat kesehatan individu maupun masyarakat selain lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik. Menurut Skinner perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit penyakit sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Sedang menurut Lawrense W. Green, penyebab perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi (Predisposing), faktor pemungkin (Enabling) dan faktor penguat (reinforcing). Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin mencakup peraturan-peraturan yang ada dan ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan. Faktor penguat mencakup keluarga, guru, teman dan petugas kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo , 2007:136). Perilaku makan seseorang dapat memberikan gambaran konsumsi zat gizi seseorang (Hermina dkk, 2000:75).
Beriorentasi dari hal tersebut, tingkat pengetahuan dan sikap Lansia tentang gizi seimbang serta perilaku gizi Lansia yang harus mencerminkan pemenuhan gizi seimbang bagi Lansia merupakan masalah yang penting untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian yang mengkaji tentang masalah tersebut dengan judul "Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap terhadap Perilaku Gizi Seimbang Pada Lansia Panti Wreda X"

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Adakah hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X?
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1. Apakah ada hubungan pengetahuan Lansia dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X?
2. Apakah ada hubungan sikap Lansia terhadap gizi seimbang dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi seimbang dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.
2. Menganalisis hubungan antara sikap gizi seimbang dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1. Bagi Kepala Panti Wreda X
Manfaat dari penelitian yang bisa diambil oleh kepala Panti Wreda X terutama bagian pengatur dan pengelola konsumsi adalah :
1. Dapat mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku Lansia tentang gizi seimbang untuk Lansia.
2. Dapat mengambil kebijakan dalam menangani pengetahuan, sikap dan perilaku Lansia tentang gizi seimbang untuk Lansia.
1.4.2. Bagi Kepala Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Propinsi X
Manfaat penelitian bagi Kepala Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial adalah :
Penelitian dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam rangka menentukan kebijakan dalam langkah-langkah yang berkaitan dengan penanggulangan masalah pengetahuan gizi serta upaya perbaikan sikap dan perilaku gizi Lansia terutama Lansia di Panti Wreda.
1.4.3. Bagi Peneliti
1. Dapat menelaah sejauh mana teori yang diperoleh pada perkuliahan dan penerapannya dalam masyarakat, terutama ilmu gizi masyarakat pada Lansia.
2. Dapat mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.
SKRIPSI ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN TERHADAP MUTU PELAYANAN UNIT RAWAT JALAN DI PUSKESMAS X

SKRIPSI ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN TERHADAP MUTU PELAYANAN UNIT RAWAT JALAN DI PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0040) : SKRIPSI ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN TERHADAP MUTU PELAYANAN UNIT RAWAT JALAN DI PUSKESMAS X




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimal, maka berbagai upaya harus dilaksanakan, salah satu di antaranya ialah menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di tingkat dasar di Indonesia adalah melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang merupakan unit organisasi fungsional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotamadya dan diberi tanggung jawab sebagai pengelola kesehatan bagi masyarakat tiap wilayah Kecamatan dari Kabupaten/ Kotamadya bersangkutan (Depkes).
Sejalan dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan tampak makin meningkat pula. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan tersebut, tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, kecuali menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya (Azwar, 1994).
Untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya, diperlukan pelayanan yang berorientasi kepada pasien, artinya produk atau jasa yang didesain sesuai dengan kebutuhan dan harapan pasien, dengan demikian mutu pelayanan dapat meningkat. Fokus kepada pasien merupakan tanda bahwa organisasi pelayanan telah menerapkan suatu sistem manajemen mutu. Adopsi ini hendaknya menjadi keputusan yang strategis bagi organisasi. Dimana fokus pasien ini merupakan salah satu dari delapan prinsip manajmen mutu versi Internasional Standard Organization (ISO) 9001:2000.
Fokus pada kebutuhan dan harapan pasien diperkenalkan sebagai kunci peningkatan mutu oleh Deming, Juran, Crosby dan pencetus Total Quality Management (TQM). Pihak yang menentukan mutu pelayanan adalah pasien. Karena itu perusahaan perlu mengetahui sampai sejauh mana tingkat kepuasan pasien dan kebutuhan pasien yang perlu dipenuhi oleh perusahaan (Kurniasari dan Kuntjoro, XXXX).
Dalam menentukan kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan dapat digunakan dimensi mutu berdasarkan teori menurut Parasuraman et.all (1991) yang menyatakan bahwa dimensi mutu yang perlu diperhatikan adalah "responsiveness (ketanggapan), reliability (kehandalan), assurance (jaminan), emphaty (empati), tangibles (bukti langsung) yaitu sarana dan fasilitas fisik".
Puskesmas Kecamatan X yang sejak tahun XXXX telah berkomitmen untuk menjalankan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 dan hingga saat ini, Puskesmas tersebut selalu melakukan perbaikan berkesinambungan dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Salah satu klausul dalam ISO 9000:2000 dinyatakan bahwa organisasi harus memenuhi kebutuhan pasien.
Hasil survei kepuasan pasien yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan X pada bulan Juli XXXX terhadap pasien rawat jalan, menunjukkan bahwa dari 75 orang, didapatkan 48% menyatakan cukup puas terhadap kesesuaian diagnosa, 43% menyatakan cukup puas terhadap keramahan petugas, 50% menyatakan cukup puas terhadap kebersihan ruangan, 41% menyatakan puas terhadap perhatian petugas, 45% menyatakan cukup puas terhadap waktu pelayanan, 53% menyatakan cukup puas terhadap kemudahan komunikasi, dan 53% menyatakan cukup puas terhadap penanganan keluhan.
Pemenuhan kebutuhan pasien di Puskesmas Kecamatan X hanya berdasarkan aspek pengukuran kepuasan pasien, puas atau tidak puas. Dan itu belum menggambarkan bahwa sesungguhnya apa yang menjadi kebutuhan pasien.
Untuk memenuhi kebutuhan pasiennya, maka Puskesmas Kecamatan X perlu mengidentifikasi kebutuhan pasien. Selama ini Puskesmas Kecamatan X telah melakukan penanganan keluhan pasien terhadap mutu pelayanan, pengukuran kepuasan pasien dengan melakukan survei kepuasan pasien, dan melakukan tindakan koreksi dan pencegahan terhadap keluhan dan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan pasien. Serta adanya kotak saran untuk menampung aspirasi pasien.
Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai bagaimana kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan berdasarkan dimensi-dimensi mutu. Dalam hal ini, peneliti lebih berfokus pada kebutuhan pasien unit rawat jalan, terdiri dari : loket, Balai Pengobatan Umum (BPU), Apotik, Balai Pengobatan Gigi (BPG), Balai Pengobatan Mata (BPM), laboratorium, radiologi, klinik gizi, klinik Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), Ruang Bersalin (RB), Pelayanan penanggulangan Tuberkulosis Paru (P2TB), mengingat unit tersebut merupakan pelayanan yang utama, ramai di kunjungi, dan telah tersertifikasi ISO 9001:2000. Dengan mengetahui kebutuhan pasien, maka organisasi yang berorientasi kepada pasien dapat meningkatkan mutu pelayanan.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahannya bahwa pada unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X tahun XXXX belum diketahui kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Peneliti
1.4.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi responsiveness unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
2. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi reliability unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
3. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi assurance unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
4. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi emphaty unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
5. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi tangibles unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar dan masukan bagi Puskesmas mengenai kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan. Sebagai bentuk aplikasi terhadap ilmu yang didapat khususnya mengenai mutu pelayanan dan analisis kebutuhan. Selain itu juga sebagai pembelajaran, menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kebutuhan pasien.

1.6 Ruang Lingkup Peneliti
Penelitian yang dilaksanakan adalah mengenai kebutuhan pasien unit rawat jalan di Puskesmas Kecamatan X Kota Y Tahun XXXX. Alasan penelitian ini dilakukan karena belum diketahuinya kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan terhitung tanggal 3 sampai 28 November tahun XXXX. Identifikasi kebutuhan pasien dengan menggunakan data primer berupa wawancara mendalam dengan pasien unit rawat jalan dan menyebar kuesioner. Selain itu juga dilakukan studi literatur terhadap data sekunder.