Search This Blog

Showing posts with label metode mind mapping. Show all posts
Showing posts with label metode mind mapping. Show all posts

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGARUH MIND MAP TERHADAP HASIL BELAJAR PKN SISWA KELAS V

(KODE : PEND-PKN-0024) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGARUH MIND MAP TERHADAP HASIL BELAJAR PKN SISWA KELAS V

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, pendidikan banyak menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup menarik adalah masih rendahnya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara". Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik.
Untuk mengembangkan potensi diri peserta didik maka seorang pendidik perlu menguasai empat kompetensi guru, yakni, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Peran seorang guru sebagai pengembang ilmu sangat besar untuk memilih dan melaksanakan pembelajaran yang tepat dan efisien bagi peserta didik, bukan hanya pembelajaran yang berbasis konvensional. Hal ini selaras dengan pendapat (Hamalik, 2012 : 32) Bagaimanapun baiknya kurikulum, administrasi, dan fasilitas perlengkapan, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru-gurunya tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Hal ini membuktikan bahwa peran guru dalam pendidikan atau proses pembelajaran lebih vital dibandingkan yang lain, maka kompetensi guru harus senantiasa ditingkatkan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Kenyataan di lapangan adalah berbanding terbalik dengan teori yang ada, kenyataannya saat ini profesi guru malah sering terkait dengan hal yang negatif, terutama dari segi kedisiplinan. Untuk masalah waktu atau kedisiplinan saja kurang, bagaimana dengan tanggung jawab seorang guru dalam merencanakan pembelajaran yang baik? Hal inilah yang mulai menjadi sorotan dari banyak pihak, maka dari itu kesadaran pihak guru sendiri akan pentingnya dirinya dalam kemajuan pendidikan Indonesia harus selalu tertanam, sehingga akan selalu berperan aktif dan memberikan yang terbaik dalam setiap perjalanannya.
Pembelajaran yang baik dapat ditunjang dari suasana pembelajaran yang kondusif serta hubungan komunikasi antara guru dan peserta didik dapat berjalan dengan baik pula, namun kebanyakan yang terjadi adalah guru yang mendominasi dalam proses pembelajaran tersebut. Guru secara pasti menjadi sumber ilmu yang paling utama dalam proses pembelajaran yang berlangsung, sehingga siswa hanya menjadi pendengar setia, dan tentunya tidak akan terjadi komunikasi yang baik antara keduanya, karena segalanya dikuasai oleh guru. Hal ini serupa dengan pendapat (Trianto, 2007 : 1) "bahwa dalam arti yang lebih substansial, proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berfikirnya". Proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang guru harus di tuntut kemampuannya untuk menggunakan berbagai metode, model, dan media mengajar secara bervariasi.
Belajar PKn pada umumnya terlihat mudah, karena mata pelajaran PKn tidak terdapat materi hitung menghitung. Dengan pandangan bahwa secara umum proses hitung menghitung kebanyakan adalah hal yang tidak disukai oleh siswa, padahal sebenarnya belajar PKn cenderung rumit dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Pembelajaran PKn adalah pembelajaran yang membutuhkan ketelitian dan konsentrasi tinggi, karena konsep pembelajaran PKn itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan nyata, jadi memerlukan konsentrasi dan pemahaman materi yang tinggi, dan juga menjadikan keharusan bagi guru untuk menyampaikan materi secara benar, sehingga tidak terjadi salah konsep dalam penyampaiannya kepada peserta didik. Kesalahan konsep dari guru dalam penyampaian materi PKn akan berakibat fatal bagi proses kehidupan dan interaksi sosial dari peserta didik, baik untuk saat itu maupun kehidupan siswa ke depan. Fakta yang ada, siswa bahkan guru sering menganggap remeh pelajaran PKn, masih menganggap sebagai mata pelajaran yang mudah. Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan berbagai masalah.
Berdasarkan observasi di SDN X, hasil belajar mata pelajaran PKn masih rendah dibandingkan mata pelajaran yang lain. Menurut guru kelas V di SD tersebut, siswa seringkali merasa jenuh, terlebih di waktu menjelang akhir pembelajaran dan dengan otomatis kejenuhan tersebut menjadikan siswa menyepelekan pembelajaran. Banyak siswa acuh tak acuh, tidak memperhatikan guru dan pembelajaran, bahkan hanya tidur-tiduran sampai sibuk sendiri dengan teman sebangkunya. Saat proses pembelajaran berlangsung, sebagian anak sering bercanda sendiri di belakang dan tidak mendengarkan penjelasan dari guru, sehingga pelajaran kurang efektif, secara otomatis akan mengganggu konsentrasi siswa yang lain. Hal ini dikarenakan kurangnya ketertarikan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang disajikan oleh guru dengan pembelajaran yang berbasis ceramah saja, sehingga mengakibatkan siswa bosan dalam mengikuti pelajaran. Secara pasti hal ini akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai siswa dalam mata pelajaran PKn.
Sebenarnya mata pelajaran PKn sangat membutuhkan konsentrasi yang lebih dibandingkan mata pelajaran yang lain baik dari pihak guru ataupun siswa sendiri, karena kebanyakan materi mata pelajaran PKn adalah sesuatu yang akan dialami dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya hak dan kewajiban sebagai warga negara, perilaku yang tepat dalam kehidupan, membahas tentang norma, adat istiadat dan sebagainya. Itu semua adalah materi penting, jadi harus dipelajari sefokus mungkin agar siswa tidak salah tangkap atau salah persepsi dengan materi yang diajarkan oleh guru.
Mengacu pada berbagai macam aspek pembelajaran tersebut guru harus memilih dan menggunakan inovasi-inovasi pembelajaran yang tepat untuk menumbuhkan minat dan ketertarikan siswa dalam mengikuti pembelajaran, sehingga diharapkan juga hasil belajar akan meningkat. Salah inovasi yang harus dilakukan guru yaitu dengan menggunakan model dan media pembelajaran yang menarik. Model dan media pembelajaran seharusnya tidak hanya disamakan semua, karena setiap media dan model pembelajaran mempunyai fokus dan tujuan pembelajaran yang berbeda. Tingkat ketertarikan yang rendah dalam mengikuti pembelajaran pada anak bukan semata-semata akibat dari guru atau komponen sekolah saja, namun dari pihak keluarga (orangtua) juga ikut berperan aktif dalam menumbuhkan atau menjaga ketertarikan, semangat, serta motivasi belajar anak-anak mereka. Peran aktif keluarga (orangtua) sendiri adalah dengan cara selalu menanyakan apa yang didapatkan anak saat berada di sekolah serta mendampingi anak-anaknya dalam belajar, hal ini selaras dengan pendapat Li em Hwie Nio dalam (Kartono, 1985 : 89) Pentingnya belajar di rumah setiap hari semakin terasa, yaitu saat anak-anak mulai menggunakan sebagian daya ingatnya, untuk belajar menghitung, menghafalkan sesuatu lebih banyak serta sedikit berfantasi untuk mempermudah menangkap nilai kehidupan yang belum terjangkau oleh panca inderanya.
Orangtua selayaknya selalu mendampingi anak-anak mereka dalam belajar, sehingga mereka dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada anak-anak mereka setiap harinya. Memang bukan hal mudah bagi orangtua untuk mendampingi anaknya belajar di rumah, mungkin karena kesibukan masing-masing, namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini sangat penting untuk menjaga keinginan, semangat dan motivasi belajar anak baik di sekolah maupun di tempat lain. Jadi untuk menumbuhkan dan menjaga semangat belajar anak peran aktif orangtua dan guru sangat diperlukan.
Piaget (dalam Fatimah, 2006 : 25) menyatakan bahwa kecakapan intelektual yang diperoleh seseorang pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena bam sebagai pengalaman atau persoalan. Dari pendapat tersebut berarti bahwa proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam hidupnya.
Model pembelajaran mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak. Mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan "memetakan" pikiran-pikiran kita (Buzan, 2009 A). Mind map sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mencatat yang cerdas. Maksudnya adalah sistem menulis yang cerdas dengan cara memikirkan dan menulis sub bab atau hal-hal penting dalam suatu tema, sehingga dapat mengingat dengan mudah. Mengapa harus mind map? karena model pembelajaran ini dikira cukup baik dan cocok untuk digunakan dalam pembelajaran PKn, karena konsep dasar mind map sendiri adalah membuat cabang-cabang yang bertuliskan kalimat-kalimat penting atau kalimat pokok dari suatu tema yang ada atau ditentukan, jadi akan memudahkan siswa untuk mengembangkan pikirannya masing-masing, serta mengurangi kemungkinan siswa lupa tentang apa yang akan dikatakan atau dikembangkannya.
Pada kenyataannya ketertarikan siswa dalam belajar PKn rendah dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain, Hal ini mungkin karena ada anggapan dari guru bahwa pelajaran PKn adalah pembelajaran yang mudah, dengan cara sederhanapun siswa akan paham dengan materi yang dijelaskan, berbeda dengan mata pelajaran yang lain yang mungkin sedikit banyak sudah mendapatkan sentuhan-sentuhan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. Mungkin ada anggapan mata pelajaran yang lain lebih penting, atau mungkin ada alasan yang lain. Cenderung ada pengecualian untuk mata pelajaran PKn sendiri. Anggapan seperti inilah yang seharusnya dihilangkan, pengecualian dalam sebuah pembelajaran itu tidak seharusnya ada, karena semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu sama pentingnya, sehingga harus mendapatkan porsi yang sama dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan rumusan di atas, penggunaan model pembelajaran mind map dalam pembelajaran PKn, sangat membantu menumbuhkan kreativitas anak dalam berpikir dan mencatat, sehingga sedikit banyak akan berpengaruh dengan hasil belajar yang akan dicapai siswa. Untuk itu peneliti mencoba menggunakan model pembelajaran mind map untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap hasil belajar PKn siswa kelas V di SDN X.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

(KODE : PENDPGSD-0036) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sudah semakin modern harus diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang berkualitas akan mampu memanfaatkan perkembangan IPTEK semaksimal mungkin. Pendidikan sebagai sarana dan wahana yang sangat baik dalam pembinaan SDM yang berkualitas perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara baik oleh pemerintah, pengelola pendidikan, dan masyarakat.
Pendidikan merupakan hak setiap manusia, dan merupakan kewajiban bagi manusia untuk mengikuti pendidikan. Berkaitan dengan hak dan kewajiban pendidikan bagi setiap manusia, di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) Pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan, selanjutnya dalam Ayat 2 juga disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Manusia dengan adanya pendidikan, akan mampu mengembangkan pola pikir, dan kemampuan yang dimiliki, sehingga bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa.
Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 1 bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Munib, dkk (2011 : 34) juga berpendapat : "Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat atau tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan". Lebih lanjut, Rusman (2012 : 201) menyatakan bahwa pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan, dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan dan membangkitkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas serta daya cipta atau kreativitas, sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam proses pembelajaran. Pendidikan di Indonesia dapat ditempuh melalui 3 jalur, yakni pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I Pasal 1 Ayat 2, pendidikan formal adalah "jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi". Pendidikan formal tersebut dapat diselenggarakan melalui sekolah.
Pada hakikatnya, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang menyediakan banyak kegiatan belajar, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman pendidikan. Pendidikan diharapkan tidak hanya membentuk manusia yang bermartabat saja, tetapi juga mampu menjadi pilar peradaban bangsa yang bermartabat. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 3 yaitu : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demi tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, maka pendidikan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Kurikulum dibentuk agar tujuan pendidikan dapat terlaksana dan tercapai tepat sasaran. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 1 Ayat 19 menyatakan bahwa : 
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum pendidikan dasar (SD/MI/SLB) dan menengah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 37 Ayat 1, wajib memuat 10 mata pelajaran, salah satunya yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Susanto (2013 : 137) menyatakan bahwa, IPS merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji berbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang mendalam kepada siswa, khususnya di tingkat dasar dan menengah.
IPS dikenal sebagai mata pelajaran yang memiliki cakupan materi yang luas, sehingga pembelajaran IPS harus dikemas dalam pembelajaran yang menarik. Proses pembelajaran IPS yang masih berpusat pada guru dan memonopoli peran sebagai sumber informasi, sudah sepantasnya diubah dengan menerapkan metode atau model pembelajaran yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan proses pembelajaran yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses yang menjelaskan bahwa : Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kenyataannya, masih banyak guru yang melaksanakan pembelajaran IPS dengan menggunakan metode pembelajaran yang cenderung monoton, yaitu masih menggunakan pembelajaran konvensional berupa metode ceramah dan tanya jawab yang berpusat pada guru. Dalam situasi tersebut, maka peran guru dan buku-buku teks masih merupakan sumber belajar yang sangat utama. Siswa hanya berperan sebagai objek belajar yang harus bisa menghafal semua materi yang telah disampaikan oleh guru. Cara-cara yang demikian cenderung membuat siswa lebih bersikap apatis, baik terhadap mata pelajaran itu sendiri maupun terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Metode ceramah memang memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, tetapi di sisi lain kurang dapat mengaktifkan siswa dan dapat membuat siswa cepat bosan terhadap proses pembelajaran. Terlebih lagi, pembelajaran yang menggunakan metode ceramah cenderung mengarahkan siswa untuk mencatat materi yang telah atau akan disampaikan oleh guru. 
Kegiatan pembelajaran yang demikian, menurut Windura (2013 : 21-3) hanya melibatkan satu belahan otak saja, yaitu belahan otak kiri. Padahal pada kenyataannya, otak mempunyai sifat untuk selalu menyeimbangkan kedua belahannya. Sifat menyeimbangkan otak ini ditunjukkan saat keadaan sedang jenuh. Ketika siswa yang sudah kelebihan beban otak kirinya saat belajar di kelas, maka otak kanan juga akan menyeimbangkannya dengan beberapa hal, yaitu : (1) menggambar atau mencoret-coret apa saja yang sesuai dengan lamunannya; (2) melamunkan sesuatu, kemudian mengajak bercerita teman di sebelahnya mengenai lamunannya; (3) tidak konsentrasi; (4) bosan; (5) mengantuk; dan (6) tidur. Oleh karena itu, guru perlu menggunakan metode atau model pembelajaran lain yang dalam proses pembelajaran mampu melibatkan kedua belahan otak dalam berpikir, sehingga dapat mengingat informasi jauh lebih mudah dan pembelajaran menjadi lebih kondusif.
Permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran IPS juga dialami Sekolah Dasar (SD) Negeri X khususnya kelas III. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas III SD Negeri X diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa pada Ulangan Akhir Semester (UAS) semester gasal kurang optimal, dari 27 siswa, 33% diantaranya masih mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yaitu 70. Setelah dianalisis, keadaan demikian didasarkan oleh beberapa penyebab, yaitu : (1) model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran IPS masih menggunakan metode konvensional, dan berpusat pada guru; (2) penggunaan metode pembelajaran lebih menitikberatkan pada aspek kognitif saja, sehingga pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik siswa belum optimal; dan (3) pada pelaksanaan pembelajaran IPS, guru jarang menerapkan model pembelajaran yang inovatif, dan masih terfokus pada kegiatan siswa yang berupa mencatat, serta menghafal materi pelajaran.
Berdasarkan permasalahan yang ada pada kelas tersebut, guru dituntut harus mempunyai kombinasi metode atau model pembelajaran lainnya, agar suasana pembelajaran menjadi lebih baik. Hal tersebut dikarenakan guru merupakan subjek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Rusman (2012 : 58) menyatakan bahwa pada umumnya guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam proses pendidikan, karena guru memegang peranan dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian, guru dituntut untuk menguasai berbagai kompetensi, salah satunya yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya (Chatib, 2013 : 28). Guru harus mengerti dan bisa mempraktikkan konsep pedagogik yang efektif agar tujuan pendidikan tercapai.
Berdasarkan permasalahan dalam proses pembelajaran IPS yang terjadi pada kelas III SD Negeri X maka diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran IPS. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan berinovasi menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa, dan materi pembelajaran. Model pembelajaran tersebut tentunya yang mampu melibatkan kedua belahan otak selama proses pembelajaran berlangsung. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akan diujicobakan dengan menerapkan model pembelajaran Mind Mapping.
Mind Mapping menurut Buzan (2013 : 4) merupakan "cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak". Melalui Mind Mapping, siswa memetakan konsep-konsep ilmu yang diperoleh dari buku pada selembar kertas dalam bentuk simbol-simbol, kata-kata, gambar, serta garis-garis dengan berbagai warna sehingga dalam hal ini siswa menciptakan media belajar sendiri. 
Swadarma (2013 : 7) menyebutkan bahwa Mind Mapping bekerja dengan memadukan dan mengembangkan potensi kerja kedua belahan otak dalam proses belajar, sehingga menjadi mudah untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi, baik melalui tulisan maupun lisan. Mind Mapping memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang terdapat dalam diri seseorang. Dengan adanya keterlibatan kedua belahan otak, maka akan memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi. Adanya kombinasi warna, simbol, bentuk, dan sebagainya, memudahkan otak dalam menyerap informasi yang diterima. Hal tersebut menyebabkan siswa dapat memahami materi pelajaran secara lebih mendalam dan mengingatnya lagi dengan mudah. Selain itu, melalui model pembelajaran Mind Mapping, siswa mampu berperan aktif dan bekerjasama dalam membangun pengetahuannya. 
Dengan demikian, model pembelajaran Mind Mapping diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk menggunakan model pembelajaran Mind Mapping pada pembelajaran IPS materi sejarah uang dan penggunaan uang sesuai kebutuhan agar dapat membuat siswa mampu memahami materi serta mengingat materi pembelajaran dengan mudah. Melalui model pembelajaran Mind Mapping, diharapkan siswa dapat membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap materi sejarah uang dan penggunaan uang sesuai kebutuhan yang sebagian besar berisi tentang hafalan.
Keberhasilan penggunaan model pembelajaran Mind Mapping telah dibuktikan oleh penelitian terdahulu. Setyaningrum dari Universitas Negeri Yogyakarta telah membuktikan keefektifan Mind Mapping pada tahun 2012 dengan judul penelitian "Penerapan Metode Mind Map untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Tunarungu Kelas 3 di SLB As-Syifa Lombok Timur". Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan Mind Mapping terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas 3 SLB As-Syifa Lombok Timur. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Subiyati (2012) dengan judul "Perbedaan Pengaruh Penggunaan Metode Mind Map dan Metode Ceramah terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Negeri Keputran A Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012", yang menyatakan bahwa penerapan Mind Mapping terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar IPS siswa. Hasil tersebut menjadi bukti empiris terhadap penerapan model pembelajaran Mind Mapping di kelas untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.  
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk melaksanakan penelitian dengan judul "KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR NEGERI X". Dengan harapan, peneliti dapat membandingkan hasil belajar siswa antara pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Mind Mapping dan pembelajaran konvensional.

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA DENGAN PETA PIKIRAN (MIND MAPPING)

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA DENGAN PETA PIKIRAN (MIND MAPPING)

(KODE : PTK-0589) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA DENGAN PETA PIKIRAN (MIND MAPPING)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, terutama pelajar yang merupakan calon intelek-tual. Banyak orang terampil menulis, tetapi tidak pandai berbicara. Dalam hal ini kemampuan berbicara dalam forum resmi atau di depan umum, bukan hanya sekedar berbicara. Terkadang ada pembicara yang mengangkat topik yang menarik, tetapi membuat pendengar tidak mengerti bahkan merasa bosan meskipun dengan topik yang sebenarnya menarik untuk disimak. Ada juga orang-orang yang tidak berani berbicara di depan umum. Padahal berbicara merupakan salah satu aspek kemampuan berbahasa dari empat aspek lainnya. Aspek berbicara termasuk dalam pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan sejak kita masih duduk di Sekolah Dasar. Kemampuan berbicara sering diabaikan karena ada anggapan bahwa kemampuan berbicara dapat didapatkan secara alami sehingga tidak banyak guru yang mengajarkan. Imam Syafii (1993 : 34) mengungkapkan bahwa kemampuan berbicara yang baik dapat dikuasai melalui proses belajar dan berlatih secara teratur.
Seseorang dengan kemampuan berbicara tinggi tidak hanya memperlihatkan suatu penguasaan bahasa yang sesuai, tetapi juga dapat menceritakan kisah, berdebat, berdiskusi, menafsirkan, menyampaikan laporan, menyampaikan informasi (fakta, peristiwa, gagasan, pendapat, tanggapan), dan melaksanakan berbagai tugas lainnya berkaitan dengan berbicara. Kemampuan berbicara merupakan aspek utama dan paling tampak dari kecerdasan verbal. Selain untuk berkomunikasi, kemampuan berbicara juga penting untuk mengungkapkan pikiran, keinginan, dan pendapat.
Kemampuan berbicara seseorang juga akan mempengaruhi aspek berbahasa yang lainnya misalnya, membaca dan menulis. Membaca dan menulis merupakan kemampuan dasar dalam berkomunikasi, bahkan ketika seseorang yang berkomunikasi dengan yang tidak dilihat maupun didengarnya. Kata-kata yang didengar merupakan dasar dari buku-buku, dan bagian dari laporan, puisi, pidato, cerita dan surat. Seseorang yang memiliki kecerdasan dalam kata-kata dengan mudah dapat mengalirkan dan sumber kata-kata dalam pikiran mereka. Seseorang yang cerdas secara kata-kata pada umumnya memiliki kemampuan mendengarkan yang sempurna yang dapat memungkinkan dia dapat berkomunikasi dengan lancar, baik antarpribadi maupun kelompok. Seseorang yang memiliki kemampuan mendengarkan yang baik dapat berkomunikasi dengan ringkas dan dengan tepat menanggapi kata-kata orang lain, karena hal itu memungkinkannya untuk merumuskan tanggapan yang efektif.
Pada umumnya siswa belum memiliki kemampuan berbicara yang baik untuk situasi formal maupun nonformal. Padahal semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka akan lebih membutuhkan kemampuan berbicara. Kemampuan berbicara merupakan alat komunikasi yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran. Dengan kemampuan berbicara yang kurang baik, maka kegiatan pembelajaran tidak dapat berjalan dengan lancar. Menurut Pageyasa (2004) dalam penelitiannya hal tersebut juga ditemukan di siswa kelas 1 MTs Sunan Kalijogo. Siswa kelas 1 MTs Sunan Kalijogo masih sulit berbicara tanpa bantuan. Dengan kata lain, kemampuan berbicara siswa masih rendah. Bila dikaitkan dengan pembelajaran berbicara, tentu ada masalah dalam hal ini yang menyebabkan kemampuan berbicara siswa masih rendah. Praktik pembelajaran yang kurang efektif dan kurang disenangi siswa sebagai penyebabnya.
Masalah ini juga dialami oleh siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri X. Siswanya cenderung gugup jika berada di depan kelas untuk berbicara di depan teman sekelasnya. Siswa juga sering lupa dengan apa yang akan disampaikan di depan kelas. Siswa menghafal semua kata-kata yang akan disampaikan di depan kelas, tetapi setelah di depan kelas mereka dengan apa yang akan disampaikan. Siswa juga membutuhkan waktu yang lama berpikir mengenai apa yang akan disampaikan mengenai tema dan kata-kata yang akan disampaikan di depan kelas. Kesulitan yang paling sering dihadapi oleh siswa adalah siswa kesulitan mengungkapkan ide dan gagasan yang ada di pikiran mereka. Pada akhirnya mereka kehabisan waktu hanya untuk memikirkan dan menghafal apa yang ingin disampaikan, sedangkan praktiknya jauh dari apa yang telah mereka hafal. Dari 27 siswa kelas V SD Negeri X belum ada sebagian dari siswa yang mendapat nilai baik untuk materi berbicara. Mereka menghadapi kesulitan dalam berbicara pada masalah menuangkan ide. Dari 27 siswa 5 siswa mendapat nilai 70, 7 siswa mendapat nilai 65, sisanya mendapat nilai 65 ke bawah. Kondisi ini membuat peneliti ingin melakukan penelitian tindakan kelas dengan mengangka aspek berbicara. Metode yang peneliti gunakan adalah metode peta pikiran (mind mapping) atau peta konsep.
Peneliti menggunakan peta pikiran (mind mapping) atau peta konsep karena sebagian besar siswa kesulitan membuat konsep tentang apa yang akan dibicarakan ketika berada di depan kelas. Metode menghafal tidak terlalu berhasil untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Pendapat yang dikemukakan oleh Tonny dan Bary Buzan bahwa peta pikiran (mind mapping) atau peta konsep merupakan cara yang paling mudah untuk memasukkan informasi ke dalam otak dan untuk kembali mengambil informasi dari dalam otak. Peta pikiran (mind mapping) merupakan teknik yang paling baik dalam membantu proses berpikir otak secara teratur karena menggunakan teknik grafis yang berasal dari pemikiran manusia yang bermanfaat untuk menyediakan kunci-kunci universal sehingga membuka potensi otak. Dengan demikian siswa dapat lebih mudah menuangkan ide atau pendapatnya ke dalam sebuah konsep untuk kemudian mengembangkannya sebelum berbicara. Siswa akan lebih mudah menyalurkan kreativitasnya melalui bagan-bagan untuk kemudian mengingat kembali mengeluarkan apa yang sebelumnya ada di pikirannya.
Dari uraian di atas peneliti berharap bahwa dengan menggunakan peta pikiran (mind mapping) atau peta konsep akan meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri X. Siswa akan lebih mudah menuangkan ide atau gagasannya melalui peta pikiran (mind mapping). Dengan demikian siswa akan lebih mudah mengingat kembali mengenai apa yang akan disampaikan dengan melihat bagan peta pikiran (mind mapping) atau peta konsep. Peta pikiran (mind mapping) tersebut akan membantu membuka kembali ide-ide yang sebelumnya telah dirancang oleh siswa.
SKRIPSI PTK PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE DENGAN PENGGUNAAN MEDIA MIND MAP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

SKRIPSI PTK PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE DENGAN PENGGUNAAN MEDIA MIND MAP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

(KODE : PTK-0145) : SKRIPSI PTK PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE DENGAN PENGGUNAAN MEDIA MIND MAP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA (SEJARAH KELAS VII)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan aspek penting bagi pengembangan sumber daya manusia dan merupakan wahana atau salah satu instrument yang digunakan bukan saja untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan, melainkan juga dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan diyakini mampu menanamkan kapasitas baru bagi semua orang untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru sehingga dapat memperoleh manusia baru yang produktif.
Adapun pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dalam Munib (2007 : 33) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan pendidikan diharapkan manusia mengetahui akan segala kelebihannya yang dipotensikan untuk kualitas hidup lebih baik dari sebelumnya.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya karena pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Permasalahan pendidikan selalu muncul bersamaan dengan perkembangan kemampuan siswa, situasi, dan kondisi lingkungan yang ada, pengaruh informasi dan kebudayaan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah selalu merevisi kurikulum yang sudah ada selalu dengan perkembangan jaman, demikian pula dengan model pembelajaran yang diterapkan sekarang ini selalu mengalami perkembangan.
Demikian juga dengan seorang guru, keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepandaian guru dalam menerapkan suatu metode, teknik dan taktik pembelajaran. Setiap guru memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan, ciri dan cara pandangan yang berbeda dalam mengajar. Guru yang baik mempunyai anggapan bahwa selain memberikan materi, mengajar adalah proses pemberian bantuan kepada peserta didik. Guru dalam proses pembelajaran memegang peran yang sangat penting. Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning) (Sanjaya, 2007 :52). Terutama guru sejarah yang dituntut untuk menguasai berbagai macam metode dan teknik pembelajaran sejarah, dan mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman serta menyenangkan agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik.
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah perkembangannya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, maka Garis-Garis Besar Program Pengajaran Sejarah memuat pokok-pokok bahasan yang mengandung tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Mata pelajaran IPS Materi Sejarah merupakan pelajaran yang bersifat deskriptif kronologis. Ditinjau dari materinya, pelajaran Sejarah mendeskripsikan tentang proses pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan peradaban bangsa-bangsa di dunia. Materi pelajaran Sejarah juga berisi tentang hubungan sebab akibat terjadinya suatu peristiwa sejarah secara kronologis, termasuk perkembangan peradaban bangsa Indonesia.
Pelajaran Sejarah memiliki arti penting dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Mata pelajaran Sejarah mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme dan semangat pantang menyerah. Nilai-nilai tersebut mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian anak peserta didik bangsa. Pelajaran Sejarah juga memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa termasuk peradaban bangsa Indonesia.
Belajar sejarah yang baik harus bisa menunjukkan adanya pemahaman dan kesadaran terhadap masa lalu secara baik. Menurut Kuntowijoyo (1995 :5) untuk SMP, sejarah hendaklah diberikan dengan pendekatan etis, kepada siswa harus ditanamkan pengertian bahwa mereka hidup bersama orang, masyarakat dan kebudayaan lain, baik yang dulu maupun sekarang. Prestasi belajar yang baik secara tidak langsung menunjukkan adanya upaya dalam pengembangan potensi siswa menjadi manusia yang berperikemanusiaan serta memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi dalam praktik pelaksanaannya hasil belajar sejarah siswa tidak mengalami perkembangan yang signifikan bahkan berada pada posisi yang stagnant. Dalam proses belajar mengajar sebaiknya selalu mengikutsertakan siswa secara aktif guna mengembangkan kemampuan mengamati, merencanakan, meneliti dan menemukan hasil sehingga guru mengetahui kesulitan yang dialami siswa dan selanjutnya mencari solusi yang tepat. Guru memegang peranan penting dalam pendidikan. Guru harus bisa melakukan interaksi yang baik dengan anak didiknya. Diharapkan dengan pendekatan yang baik, yang dilakukan oleh seorang guru terhadap anak didiknya, maka akan memudahkan seorang guru mentransferkan ilmunya kepada anak didiknya, begitu juga sebaliknya peserta didik akan mudah dalam menerima pelajaran.
Di SMPN X hanya terdapat satu guru pengampu mata pelajaran IPS. Guru IPS disini ditempatkan sebagai fasilitator dan mediator yang membantu siswa dalam proses belajar sejarah. Pada umumnya pembelajaran pada kurikulum KTSP yang sedang berlangsung pada saat ini perhatian utama ialah siswa yang belajar, bukan pada disiplin atau guru yang mengajar. Menurut Martinis Yamin (2007 : 8) di dalam kelas guru menjelaskan, siswa bertanya, menyimak, sebaliknya guru mendapatkan informasi dari siswa-siswanya dan menjawab pertanyaan siswa serta mencari solusi bersama-sama, kedua belah pihak (komunikator, komunikan) aktif dan peran yang lebih dominan terletak pada siswa atau siswa yang lebih aktif. Hal ini berarti bahwa proses pembelajaran sesungguhnya berpusat pada peserta didik. Disini siswa diharapkan berperan aktif pada tiap proses pembelajaran, namun pada kenyataannya praktik pengajaran sejarah di sekolah selama ini terkesan tidak menarik bagi siswa. 
Pada umumnya siswa menganggap pelajaran sejarah hanya sebagai pelajaran yang lebih bersifat hafalan. Guru dalam melakukan pembelajaran IPS materi sejarah sering dilakukan dengan cara menularkan pengetahuan, memberikan informasi melalui lisan. Sehingga yang aktif disini adalah guru sedangkan siswa hanya pasif mencatat dan mendengarkan sehingga aktivitas dan kreativitas siswa kurang tampak. Siswa merasa takut untuk bertanya tentang sesuatu yang belum dimengerti atau mengemukakan pendapat sehingga mereka memilih untuk duduk diam, mencatat dan mendengarkan pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa beranggapan bahwa pelajaran sejarah terlalu sulit untuk dipahami, banyak hafalan angka dan peristiwa-peristiwa materinya tersusun dari paragraf demi paragraf yang naratif dan panjang lebar. Sehingga membuat kesan membosankan. 
Tidak jarang pada saat pelajaran berlangsung siswa melakukan kegiatan seperti mengobrol, bercanda dengan teman sebangku, gaduh, dan aktivitas lain yang kurang edukatif. Selain itu Guru dalam penyampaian materi biasanya hanya berbicara dan menulis catatan di papan tulis, siswa bersifat pasif karena hanya mendengarkan. Siswa kemudian mencatat apa yang didiktekan atau dicatatkan guru di papan tulis. Dimana buku teks sangat kurang, kadang-kadang guru mulai mengajar dengan hanya mendiktekan saja pelajaran dan jika masih ada waktu baru memberikan penjelasan sekedarnya. Bahkan dalam soal yang mengundang perbedaan pendapat hanya sekali-kali saja penjelasan guru menampilkan lebih dari satu pandangan ataupun tafsiran yang sebaliknya. Berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran IPS tersebut mengajar beliau mengalami keterbatasan karena faktor sarana dan prasarana yang kurang memadai. Hal ini dipicu oleh terbatasnya fasilitas pembelajaran pendidikan di SMP Satu Atap ini sehingga guru tidak dapat menggunakan teknologi sebagai media pembelajaran seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah lain di kota yang lebih maju di era globalisasi ini, Hal ini semakin membuat siswa bosan dan bertindak semaunya sendiri pada saat pelajaran berlangsung.
Secara empiris dapat dilihat dari hasil belajar siswa kelas VII SMPN X yang masih menunjukkan rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai ulangan tengah semester genap yang belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) mata pelajaran sejarah yang telah ditentukan yaitu 60.
Suasana belajar yang digambarkan diatas jelas tidak kondusif yang menyebabkan kegiatan belajar menjadi tidak efektif karena tidak ada komunikasi dua arah antara guru dan siswa. Fenomena tersebut dimungkinkan terjadi karena siswa telah kehilangan semangat, minat dan motivasi untuk belajar sejarah. Hal ini tidak bisa dibiarkan dan berlarut-larut begitu saja sebab jika dalam pembelajaran sudah tidak kondusif dan efektif akan menyebabkan prestasi belajar yang dicapai juga tidak maksimal.
Agar tujuan pengajaran dapat tercapai, guru harus mampu mengorganisasi semua komponen sedemikian rupa sehingga antara komponen yang satu dengan lainnya dapat berinteraksi secara harmonis (Suyitno, 2006 :12). Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah pemanfaatan berbagai macam strategi dan metode pembelajaran secara dinamis dan fleksibel sesuai dengan materi, siswa dan konteks pembelajaran (Depdiknas, 2006 :1).
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas kegiatan belajar agar dapat mencapai prestasi belajar dengan nilai rata-rata yang maksimal, maka seorang guru membutuhkan suatu strategi agar dapat mendorong siswa untuk lebih aktif serta tertarik dan menyukai mata pelajaran sejarah. Salah satu pembelajaran yang menyenangkan dan mengaktifkan siswa adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dalam kelompok-kelompok kecil, dimana pada model pembelajaran ini siswa dalam kelompoknya mempunyai konsep bahwa mereka memiliki tanggung jawab bersama-sama untuk membantu teman sekelompoknya agar berhasil dan mendorong teman kelompoknya untuk melakukan upaya yang maksimal (Slavin, 2008 :16). Pembelajaran kooperatif identik dengan kerja kelompok serta diskusi. Kerja kelompok ini perlu memperhatikan aspek-aspek antara lain; pertama, tujuan yang jelas sehingga setiap anggota kelompok mengetahui apa yang akan dilakukan. Kedua, dalam kerja kelompok perlu adanya pembagian kerja sehingga tercipta komunikasi yang efektif. Ketiga, dengan adanya tujuan yang jelas, komunikasi yang efektif kerja kelompok akan lebih baik serta dengan kepemimpinan yang baik akan mempengaruhi hasil kerja yang maksimal dan memuaskan. Untuk itu perlu adanya strategi pembelajaran yang inovatif yang dapat berpengaruh dalam penguasaan materi dan dapat berpengaruh pada keaktifan siswa serta memberikan iklim yang kondusif dalam perkembangan daya nalar dan kreatifitas siswa. Meskipun dalam strategi pembelajaran ini siswa lebih aktif, namun guru tetap mengawasi kelas untuk memberikan semangat, dorongan belajar dan memberikan bimbingan secara individu atau kelompok. Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling diskusi dengan temannya.
Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi di kelas karena memberi kesempatan siswa untuk berpikir secara berkelompok atau bersama-sama, sehingga memberikan banyak waktu kepada siswa untuk berpikir dan merespon jika ada kesulitan agar dapat saling membatu memecahkan masalah tersebut (Trianto 2007 :61). Serta dapat bekerjasama dengan orang lain serta mengoptimalisasikan partisipasi siswa.
Untuk mengatasi agar pengajaran sejarah lebih tidak monoton dan lebih bervariasi maka dapat digunakan strategi pembelajaran aktif dengan menggunakan media Mind Map. Media tersebut digunakan untuk membantu guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa dan dapat juga membantu siswa dalam memahami materi pelajaran yang disajikan. Pengertian media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses terjadi. Dengan demikian dalam proses belajar mengajar media sangat diperlukan agar siswa bisa menerima pesan dengan baik dan benar. 
Di SMPN X kemampuan siswa terletak di dalam hal mencatat. Metode mencatat yang baik harus membantu kita mengingat perkataan, bacaan, meningkatkan pemahaman terhadap materi, membantu mengorganisasikan materi dan memberikan wawasan baru, peta pikiran memungkinkan terjadinya semua hal itu (De Porter, 2008 :175) sehingga peneliti menggunakan media Mind Map di dalam penelitian ini. Mind Map (peta pikiran) adalah satu teknik mencatat yang mengembangkan gaya belajar visual. Peta pikiran memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang terdapat di dalam diri seseorang (http://wordpress.com/model-pembelajaran-mind-map (01/03/2011). Sehingga siswa dapat mengembangkan daya kerja otak masing-masing sesuai dengan pemahamannya terhadap materi. Siswa dapat menuangkan ide-idenya dengan menggambar peta pikiran suatu materi yang telah diberikan oleh guru. Dengan Mind Map siswa dapat mencatat fakta dan ide dengan menggunakan kata dan gambar. Dengan cara ini siswa dapat mengorganisasikan informasi sambil membuat peta ketika mereka sedang mendengarkan pelajaran di kelas. Dengan media Mind Map siswa dapat berpikir tentang apa yang mereka catat dan menempatkannya ditempat yang sesuai dalam peta (Margulies dan Valenza, 2008 :18). Strategi pembelajaran ini perlu diterapkan dalam dunia pendidikan, agar bisa kondusif dengan proses pendewasaan dan pengembangan bagi siswa. Strategi pembelajaran ini juga dapat diterapkan dalam dunia pendidikan sebagai pembelajaran inovatif.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yaitu penelitian yang dilakukan di dalam kelas yang akan diteliti melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja sebagai guru, sehingga hasil belajar dapat meningkat. Melaui refleksi guru akan meningkatkan kembali apa yang sudah dikerjakan di depan kelas ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung. Pemikiran seorang guru yang dituangkan dalam sebuah pemikiran yang diberi nama refleksi diri guru, refleksi diri guru tersebut memberikan gambaran tentang jati dirinya sebagai seorang guru dalam mentransfer ilmunya, penjelasan yang terlalu cepat, atau memberikan contoh yang memadai, dan bahasa yang digunakan mudah dipahami serta serangkaian pertanyaan lain dapat diperoleh dari perenungan diri. Sehingga akan menemukan kelemahan dan akan memperbaikinya dari tindakan yang salah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif model Think Pair Share (TPS) dengan menggunakan media Mind Map dapat dijadikan satu metode yang inovatif dan strategi pembelajaran yang cukup bermanfaat serta berpengaruh dalam pemahaman konsep sejarah siswa oleh karana itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul : PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN PENGGUNAAN MEDIA MIND MAP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS SEJARAH KELAS VII SMPN X.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah penerapan strategi pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan penggunaan media Mind Map pada pelajaran IPS sejarah mampu meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui strategi pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan penggunaan media Mind Map pada pelajaran IPS sejarah mampu meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII SMPN X. 

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretik
Sebagai bahan pertimbangan oleh para guru dalam memberikan materi pelajaran maka penulis membuat penelitian tentang model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan penggunaan media Mind Map pada pelajaran IPS sejarah agar para guru lebih mudah dalam penyampaian materi yang akan dibahas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah pengetahuan tentang strategi pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) dengan penggunaan media Mind Map.
b. Bagi Guru
Agar guru dapat memberikan materi dengan menggunakan bermacam-macam variasi metode pembelajaran sehingga siswa tidak merasa cepat jenuh.
c. Bagi Siswa
Penelitian ini bermanfaat bagi siswa yang kebanyakan kurang antusias terhadap mata pelajaran sejarah karena membosankan. Dengan menerapkan strategi pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) dengan penggunaan media Mind Map siswa akan lebih aktif dalam bertanya dan mempererat kerjasama dengan kelompoknya dalam menyelesaikan masalah.
d. Bagi Sekolah
Model pembelajaran yang bervariasi dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang akan dilakukan khususnya pada pelajaran IPS sejarah.

TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0185) : TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat membutuhkan adanya manusia-manusia yang unggul dan siap berkompetisi. Untuk menjadi manusia yang unggul, salah satu syaratnya adalah memiliki kecerdasan. Dengan kecerdasan ini, manusia dapat menggali ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Bila hal ini tidak dimiliki, maka dengan sendirinya manusia itu akan tersingkir dan terbawa oleh arus globalisasi itu sendiri.
Untuk menjadi cerdas, seseorang harus meningkatkan ilmu pengetahuannya. Membaca merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan itu. Membaca tidak bisa dilepaskan dari proses memiliki pengetahuan. Dengan banyak membaca, maka wawasan dan pengetahuan seseorang akan semakin bertambah. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa membaca itu adalah jembatan ilmu. Makin banyak seseorang membaca, maka akan semakin bertambah ilmunya. Dengan demikian, kecerdasan seseorang menjadi semakin bertambah pula.
Membaca menjadi demikian penting mengingat berbagai informasi dan pengetahuan tidak hanya tersaji melalui media elektronik, tetapi juga banyak terdapat pada media cetak seperti buku, koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Penguasaan ilmu pengetahuan melalui media elektronik mungkin bisa dilakukan.
Akan tetapi, cara seperti ini memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya ialah tidak semua orang bisa menyerap dengan cepat informasi yang disajikan itu. Bagi beberapa orang, mungkin informasi tersebut bisa langsung ditangkap. Namun, bagi sebagian orang lagi, butuh waktu untuk mengendapkan informasi tersebut sebelum kemudian memahaminya. Lain halnya dengan membaca, seseorang dapat menyerap informasi dari apa yang dibacanya sesuai dengan kecepatan pemahamannya masing-masing.
Kelemahan selanjutnya dari informasi yang tersedia pada media elektronik ialah ketersediaan media itu sendiri. Beberapa daerah yang mungkin masih terisolir masih sulit memperoleh informasi melalui media tersebut. Lagi pula, informasi atau pun ilmu pengetahuan itu lebih banyak dan lebih mudah diperoleh melalui media cetak. Dengan demikian, membaca merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, membaca hendaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Jika sudah terbiasa membaca, maka kegiatan ini akan menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Kebiasaan membaca ini harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang mengembangkan kebiasaan membaca yang baik, akan menjadi pembaca yang baik pula di kemudian hari. Kebiasaan membaca akan lebih mudah dilakukan ketika anak sudah memiliki kemampuan membaca.
Namun, kemampuan membaca pada anak-anak saat ini menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak Indonesia memiliki kemampuan membaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan anak-anak di negara lain. Penelitian lembaga internasional tentang kemampuan membaca pada murid sekolah dasar menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya menduduki peringkat kedua dari bawah dari 30 negara yang diteliti (Prasetyono, 2008 : 27). Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar anak senang membaca dan mengembangkan minat bacanya.
Mengingat demikian pentingnya membaca bagi kehidupan seseorang, maka lebih cepat seseorang memiliki kemampuan membaca akan semakin baik. Untuk itu, banyak di antara orang tua dan guru yang mulai mengajarkan anaknya agar mampu membaca di usia dini. Namun, keterbatasan pengetahuan dari orang tua mau pun guru serta warisan dari cara-cara lama (sewaktu belajar membaca mereka diajari seperti itu), menyebabkan mereka mengajarkan membaca dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Misalnya dengan cara menghafal huruf-huruf alfabet, mengeja, dan sebagainya. Cara-cara seperti itu kini dipandang sudah tidak sesuai lagi, karena cara seperti itu dinilai membebani anak dan kurang mengembangkan proses berpikir anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, kini bermunculan berbagai macam metode yang ditujukan bagi penguasaan kemampuan membaca bagi anak usia dini khususnya. Ada yang mengajarkan membaca dengan memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian membaca dengan suku kata-suku kata yang membentuk suatu pola, misalnya ba, bi bu, be, bo atau ma, mi, mu, me, mo, dan sebagainya. Lalu, ada pula yang mengajarkan membaca lewat pengenalan kata secara utuh. Salah satu dari ketiga metode itu tidak lebih baik daripada metode yang lainnya. Metode-metode mengajarkan membaca tersebut memiliki kelebihan atau pun kelemahannya masing-masing. Namun, yang paling penting pada saat mengajarkan anak membaca, apa pun metodenya, pastikan anak senang dan menyukai kegiatan membaca tersebut. Sehingga anak secara alami akan mampu membaca dan menyukai membaca sepanjang hidupnya.
Dewasa ini, mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) bagi anak usia dini menjadi sebuah polemik. Sebagian pihak menuding bahwa hal itu dapat merampas kebebasan anak. Anak dipandang belum memiliki kesiapan untuk mempelajari calistung, oleh sebab itu calistung belum boleh diperkenalkan. Pendapat ini dilandasi oleh adanya sejumlah ahli yang mengatakan bahwa anak usia prasekolah tidak boleh belajar dan diajari membaca. Hal ini disebabkan usia anak adalah usia bermain dan anak secara mental belum siap membaca hingga usia enam tahun. Orang tua diingatkan untuk tidak mengajari anak membaca sebelum anak mencapai usia tersebut. Para ahli berpendapat, ketika anak diajari membaca mereka akan cenderung tertekan karena belum siap menerima pengajaran yang diberikan.
Di lain pihak, ada pula pendapat para ahli yang mengatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak usia prasekolah bisa saja dilakukan. Calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak agar dapat memperoleh berbagai keterampilan selanjutnya. Semakin awal seorang anak menguasainya akan semakin baik. Kemampuan membaca khususnya, dapat memperkaya dan memperluas kemampuan berpikir anak. Pendapat ini diperkuat dengan berbagai penelitian oleh para ahli. Team Dafa Publishing (2010 : 12-13) merinci beberapa hasil penelitian tersebut seperti yang dipaparkan sebagai berikut.
1. Penelitian mengenai otak oleh Diamond menyimpulkan bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati adalah mungkin untuk meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan. Ungkapan use it or lose it menunjukkan bahwa semakin banyak otak terangsang oleh aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, maka akan semakin banyak sambungan yang dibuat oleh sel-sel otak. Dalam hal ini, potensi otak dianggap tidak terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa jika otak semakin jarang digunakan, maka otak tidak akan berkembang.
2. Dilihat dari sisi perkembangan anak, perkembangan pada aspek bahasa terjadi dengan pesat pada usia prasekolah. Terdapat hubungan antara bahasa dan membaca. Sebenarnya, kesiapan anak untuk membaca sudah dimulai sejak lahir. Sejak bayi ia sudah dimulai diajak berbicara. Anak belajar mengenal bahasa dari lingkungannya. Artinya, belajar membaca merupakan kelanjutan dari bahasa berbicara atau mengenal bahasa yang sudah dikenal anak.
3. Anak usia prasekolah mulai mengenal hubungan tulisan, bunyi, dan maknanya, sehingga ia memahami fungsi tulisan dan bacaan. Ia mungkin senang membolak-balik buku, berpura-pura membacanya, serta mulai bertanya mengenai kata-kata tertentu yang tidak diketahuinya.
4. Menurut Hainstock, anak-anak usia prasekolah boleh diajari membaca, apalagi usia mereka adalah masa puncak alamiah menyerap berbagai kemampuan dan keterampilan. Termasuk menyerap kecakapan-kecakapan membaca.
Terlepas dari kontroversi di atas, mengajarkan calistung pada anak usia dini, khususnya membaca dapat dilakukan asalkan dengan cara yang menyenangkan. Cara tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, serta tidak menuntut hasil yang instan pada anak. Sehingga diharapkan anak akan menyukai membaca dan memiliki minat baca sejak dini.
Menumbuhkan minat baca pada anak tidaklah mudah. Namun, aktivitas ini harus ditumbuhkan sejak lahir hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari University of Leicester, bahwa pengalaman membaca anak sejak dini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan membaca di kemudian hari. Lebih lanjut menurut hasil penelitian ini menegaskan bahwa : 'Usia saat seseorang belajar kata-kata adalah kunci untuk memahami bagaimana seseorang mampu membaca di kemudian hari' (Olivia, 2009 : 3).
Menurut Prasetyono (2008 : 12), "Masa awal kehidupan anak hingga usia prasekolah, merupakan masa dimana anak memiliki rasa keingintahuan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa". Masa ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, tidak terkecuali kemampuan membaca. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru hendaknya dapat memanfaatkan masa emas ini dengan sebaik mungkin.
Berbagai upaya mungkin telah dicoba oleh orang tua maupun guru agar anak bisa membaca. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak dapat mengikuti metode standar yang bagi anak lain bukan masalah. Beberapa di antara mereka masih saja mengalami kesulitan dalam membaca. Menurut Olivia (2009 : 13), "Kesulitan membaca pada anak secara umum bersumber pada beberapa hal antara lain kejenuhan, keterbatasan daya ingat (memori), serta lemahnya konsentrasi anak".
Membaca merupakan kegiatan yang menuntut adanya ketekunan, sehingga hal ini terkesan membosankan bagi anak. Anak akan lebih tertarik pada aktivitas lain yang lebih menyenangkan, misalnya menggambar atau bermain. Ini sangat mungkin terjadi karena pada saat belajar membaca, yang dihadapi anak adalah huruf, huruf, dan huruf. Kejenuhan yang dialami anak ini sangatlah mungkin terjadi karena otak mereka mengalami kelelahan dalam menerima materi dalam suasana yang monoton.
Selain itu, tidak semua anak memiliki memori (daya ingat) yang baik. Sehingga mereka merasa bahwa belajar membaca merupakan suatu beban yang berat. Anak-anak juga terkenal dengan konsentrasinya yang pendek. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak yang mengalami masalah kurangnya konsentrasi, begitu pula dalam belajar membaca. Untuk itulah guru maupun orang tua hendaknya memiliki strategi yang tepat ketika mengajarkan anak, tidak hanya membaca tetapi juga kemampuan lain.
Selain kecerdasan yang salah satu cara memperolehnya melalui kegiatan membaca, arus globalisasi juga membutuhkan adanya manusia-manusia yang kreatif. Kehidupan yang kita nikmati saat ini, yang penuh dengan hasil-hasil kemajuan teknologi merupakan buah dari pemikiran kreatif sebelum kita. Mereka berhasil mewujudkan mimpi yang oleh sebagian besar orang merupakan sesuatu yang mustahil.
Arus transportasi dan komunikasi berkembang demikian pesatnya, sehingga jarak yang dulu hanya bisa ditempuh dalam jangka berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan kini hanya ditempuh dalam jangka waktu beberapa menit saja. Demikian pula dalam komunikasi, jarak yang jauh bukan lagi menjadi masalah. Kemajuan-kemajuan itu tidak lain adalah hasil dari kreativitas manusia yang didahului dengan adanya mimpi atau khayalan. Namun, adanya kecenderungan dalam masyarakat yang menilai bahwa bermimpi dan berkhayal merupakan sesuatu yang negatif, menyebabkan kreativitas menjadi tidak berkembang.
Kecenderungan yang ada saat ini di kalangan pelajar maupun mahasiswa ialah sulitnya membuat atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat melalui ide-ide kreatif. Hal ini merupakan manifestasi dari pendidikan yang telah kita diterima sebelumnya. Sistem pendidikan kita kurang memperhatikan pengembangan kreativitas dari siswa itu sendiri. Di sekolah, siswa mempelajari sesuatu sebatas yang diajarkan gurunya. Sementara itu, kecenderungan yang terjadi di lapangan, para guru hanya mengajar apa yang diharapkan dan digariskan oleh kurikulum. Mereka kurang memiliki keberanian dalam mengambil keputusan untuk membuat insiatif-inisiatif yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitasnya. Yang menjadi tujuan bagi sebagian besar guru adalah ketercapaian target kurikulum.
Sistem pendidikan seperti ini telah menghambat proses kreativitas anak, sehingga yang muncul hari ini adalah anak-anak yang miskin dengan ide-ide kreatif, anak yang takut tampil beda dengan ide kreatif tersebut. Padahal, seharusnya pendidikan itu hendaknya dapat mengembangkan segala potensi yang dibawa manusia sejak lahir. Potensi-potensi tersebut merupakan bekal bagi setiap individu untuk menjalani rentang kehidupannya. Terutama potensi kreativitas yang memungkinkan kita menemukan berbagai alternatif solusi ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peran pendidikan sebagai salah satu elemen yang turut serta dalam mengembangkan potensi anak perlu terus ditingkatkan.
Belum lagi di rumah, orang tua sering tanpa disadari telah mematikan daya kreativitas anak. Persepsi orang tua tentang bermain, ketidaktahuan tentang makna bermain bagi anak seringkali membuat orang tua melarang anaknya bermain. Hal ini justru dapat mematikan daya kreativitas anak, karena salah satu sarana mengembangkan kreativitas adalah melalui bermain.
Dari beberapa definisi kreativitas dari para ahli dapat diketahui bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gordon & Brown. Menurut Gordon & Browne (Moeslichatoen, 2004 : 19), 'Kreativitas merupakan kemampuan anak mencipta gagasan baru yang asli dan imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi gagasan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki'. Bila guru ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu mereka mengembangkan kelenturan, dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil resiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 11), "Anak TK cenderung mengekspresikan diri bila harus menanggapi sesuatu situasi". Misalnya bila ditanyakan kepada anak TK apakah mereka menyukai adik kecilnya ? Ia tidak menjawab ya atau tidak, melainkan : "Saya suka bila adik nyanyi bintang kecil dan tidak rewel". Hal ini mengindikasikan jawaban yang benar-benar terjadi dalam diri anak. Jadi, ia menambahkan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya dengan perkataan lain. Oleh sebab itu, ia dikatakan telah menciptakan sesuatu. Bila anak mengemukakan sesuatu yang diwarnai oleh kepribadiannya dan diperkaya dengan gagasan-gagasan sendiri inilah suatu kreativitas.
Pada dasarnya setiap manusia telah dikaruniai potensi kreatif sejak ia dilahirkan. Potensi kreatif ini dapat kita amati melalui keajaiban alamiah seorang bayi yang mampu mengeksplorasi sesuatu yang ada di sekitarnya. Jika bayi saja bisa memanfaatkan potensi kreatif dengan segala keterbatasannya, apalagi anak-anak maupun orang dewasa yang sudah memiliki fasilitas yang lengkap untuk mengembangkan potensi kreatif tersebut. Oleh sebab itu, kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.
Namun, pada kenyataannya perlakuan yang diterima anak usia dini baik di rumah maupun di lembaga prasekolah pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat mengembangkan kreativitas pada anak usia dini. Kebanyakan di antara mereka dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis dan penurut, duduk manis dan tidak banyak bicara. Belum lagi di rumah, kesibukan orang tua telah menyita waktu mereka dalam menjawab keingintahuan anak. Hal-hal inilah yang disinyalir dapat menghambat berkembangnya kreativitas pada diri anak.
Supriadi (Rahmawati dan Kurniati, 2003 : 8-9) memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jellen dan Urban pada tahun 1987 berkenaan dengan tingkat kreativitas anak usia 10 tahun di berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang mengejutkan. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari sembilan negara yang diteliti. Tingkat kreativitas anak Indonesia ternyata berada jauh di bawah Filipina, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Bahkan di bawah negara India, RRC, Kamerun dan Zulu. Berbagai faktor diperkirakan menjadi penyebab rendahnya kreativitas anak Indonesia.
Beberapa faktor tersebut diantaranya ialah pola asuh orang tua yang otoriter dan sistem pendidikan yang kurang mendukung.
Dewasa ini, di Indonesia berkembang suatu bentuk pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini. Lahirnya bentuk pendidikan ini dilandasi oleh semangat pendidikan untuk semua {education for all) sebagai hasil dari konferensi Dakkar. Hasil konferensi ini memberikan kesadaran bagi semua pihak dalam dunia pendidikan, khususnya orang tua, guru, dan pemerintah. Bahwa pendidikan itu sebaiknya dimulai sejak usia dini. Kesadaran ini juga ditunjang oleh adanya penemuan para ahli neurolagi yang menyatakan bahwa kemampuan otak anak berkembang pesat justru pada saat mereka berusia 0-8 tahun, dan mencapai titik kulminasi pada usia 18 tahun. Oleh karena itu, masa yang sering disebut sebagai masa emas ini {golden age) merupakan masa yang paling tepat untuk menstimulasi perkembangan anak dalam berbagai aspek.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sistem Pendidikan Nasional, 2003 : Pasal 1 ayat 14).
Oleh sebab itu, pendidikan untuk usia dini perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik. Untuk itu, perlu diupayakan suatu proses pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini untuk memfasilitasi pengembangan berbagai aspek tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Pada hakekatnya, semua anak senang bermain. Mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk bermain, baik sendiri, dengan teman sebayanya, maupun dengan orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan bermain merupakan faktor penting dalam kegiatan pembelajaran dan esensi bermain harus menjadi jiwa dari setiap kegiatan pembelajaran anak usia dini.
Bermain merupakan bagian dari perkembangan kognitif anak. Piaget (Suyanto, 2005 : 116) menyatakan 'Bermain dengan objek yang ada di lingkungannya merupakan cara anak belajar'. Berinteraksi dengan objek dan orang, serta menggunakan objek itu sendiri untuk berbagai keperluan membantu anak memahami tentang objek, orang, dan situasi tersebut. Sementara itu, Erikson (Suyanto, 2005 : 116) seorang penganut teori psikoanalis berpendapat 'Bermain juga mengembangkan rasa percaya diri'. Bermain juga merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak. "Melalui bermain, anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup" (Moeslichatoen, 2004 : 32). Melalui kegiatan bermain pula, anak dapat melatih kemampuan bahasanya dengan berbagai cara, seperti : mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Saat ini berbagai bentuk lembaga pendidikan anak usia dini mulai bermunculan di tengah masyarakat. Apalagi setelah perhatian pemerintah terhadap pendidikan ini mulai dirasakan cukup baik. Lembaga-lembaga tersebut tergolong menjadi tiga bagian, PAUD formal, nonformal dan informal. Yang tercakup dalam PAUD formal antara lain Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA), sedangkan PAUD nonformal ialah Kelompok Bermain (KB) dan Busthanul Athfal (BA). Sementara itu, PAUD informal meliputi pendidikan keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini, TK mengemban sejumlah tugas mulia untuk membantu mengembangkan segenap aspek perkembangan anak. Tugas-tugas tersebut tercantum dalam tujuan pendidikan TK. Salah satu dari tujuan pembelajaran di TK adalah meningkatkan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan sebagai sarana untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman berbahasa anak yang diperoleh melalui proses interaksi baik dengan teman sebaya, orang tua, maupun dengan orang dewasa lainnya dapat menambah perbendaharaan kata anak. Dengan banyaknya perbendaharaan kata tersebut, anak akan menjadi mudah dan lancar dalam berkomunikasi. Sehingga ia dapat menyampaikan maksud, tujuan atau pun keinginannya tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah diperoleh anak ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.
Berbagai macam metode dan teknik dapat diterapkan untuk membantu anak agar bisa membaca dan sekaligus mengembangkan kreativitasnya. Belakangan ini ditemukan suatu teknik untuk belajar membaca, yakni pemetaan pikiran atau lebih dikenal dengan mind mapping. Mind mapping sendiri adalah suatu metode visualisasi pengetahuan secara grafis untuk mengoptimalkan eksplorasi seluruh area kemampuan otak. Mind mapping diperkenalkan oleh Buzan dan telah digunakan oleh jutaan orang pintar di dunia. Pada dasarnya mind mapping dihasilkan dari perpaduan antara pola berpikir lurus dan pola berpikir memencar.
Pola berpikir lurus dilakukan dengan menentukan kata atau objek, dilanjutkan dengan mencari kata yang berkaitan dengan objek sebelumnya. Setiap kata akan dihubungkan dengan tanda panah yang berarti kata tersebut akan mengarah pada persepsi kata berikutnya. Sedangkan pola berpikir memencar adalah mencari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tema yang diberikan, yang dalam pemetaan akan muncul sebagai cabang-cabang. Pola berpikir memencar akan membantu anak untuk belajar menghubungkan serta melihat gambaran secara menyeluruh tentang sebuah objek.
Pada peta pikiran terdapat unsur kata-kata, gambar serta warna. Huruf dan kata-kata melibatkan kerja otak kiri dapat digunakan untuk memperkenalkan sebanyak mungkin kata kepada anak usia dini. Sedangkan gambar dan warna melibatkan otak kanan, yang lebih cenderung mengasah kreativitas pada diri anak. Dengan demikian, terjadilah sinergi antara kedua belahan otak. Sehingga kerja otak menjadi lebih rileks dan tidak mudah mengalami kejenuhan. Makin banyak sambungan antara kedua belahan otak, akan semakin terasah kecerdasan anak. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Semiawan (Olivia, 2009 : 1) bahwa 'Otak anak yang berbakat juga mampu menghasilkan sinyal-sinyal dalam jumlah besar serta lebih tinggi lalu lintas antara belahan otak kiri dan kanannya'. Pada akhirnya akan dirasakan manfaat dari belajar dengan mind mapping, yakni mengoptimalkan pengembangan ide dan kreativitas serta meningkatkan daya nalar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca dan kreativitas adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Mengingat demikian pentingnya kedua hal tersebut, maka semakin dini seseorang memiliki kemampuan tersebut tentu akan semakin baik. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh guru maupun orang tua agar anak memiliki kedua keterampilan tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk dapat mengetahui sejauh mana penerapan mind mapping ini dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak. Maka penulis memfokuskan judul tesis ini, yaitu : "Penerapan Mind mapping dalam Rangka Menstimulasi Kreativitas dan Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Usia Dini". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimanakah guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?
3. Apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?

C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, yang merupakan tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah penerapan mind mapping itu dapat menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca pada anak usia dini. Oleh sebab itu, maka berbagai kegiatan dalam penelitian ini diarahkan untuk menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan tadi. Adapun tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui bagaimana guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X. 
2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).
3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait di dalamnya, seperti : guru, siswa, dan peneliti sendiri. Khususnya bagi para praktisi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam praktik pendidikan sehari-hari. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.
1. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai teknik yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak TK. Guru-guru mungkin telah memiliki banyak pengetahuan, khususnya berkenaan dengan peningkatan kemampuan membaca dini dan pengembangan kreativitas pada anak. Namun, melalui penelitian ini guru dapat memperkaya wawasannya tentang mengajarkan membaca dini melalui cara-cara yang lebih menyenangkan dan disukai oleh anak, serta dapat menstimulasi perkembangan otak kiri dan otak kanan anak secara seimbang.
2. Bagi Siswa
Anak-anak yang pada umumnya (sering ditemukan di lapangan) belajar membaca dengan cara-cara yang konvensional dimana guru memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian mereka diminta menghafalkannya. Kegiatan ini sama sekali tidak bermakna bagi siswa, sehingga mereka akan merasa terbebani.
Melalui penelitian ini, siswa akan mendapat manfaat terutama dalam pengembangan kemampuan membaca yang diperoleh melalui kegiatan yang menyenangkan. Dengan demikian, anak akan cenderung mampu membaca dan akan menyukai kegiatan ini seumur hidupnya. Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan kreativitasnya, terutama dalam kegiatan membaca. Perkembangan otak kiri dan otak kanan anak juga akan menjadi seimbang dengan penerapan mind mapping ini, karena dalam mengajarkan membaca, kedua wilayah otak ini akan dirangsang atau distimulasi secara seimbang. 
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti sendiri ialah memperoleh pengetahuan lebih dalam, khususnya mengenai pembelajaran membaca dini bagi anak, sehingga penulis juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti khususnya mengenai pengembangan kreativitas anak usia dini.