Search This Blog

Showing posts with label kemandirian anak usia dini. Show all posts
Showing posts with label kemandirian anak usia dini. Show all posts

SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMANDIRIAN ANAK TK

(KODE : PENDPGSD-0012) : SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMANDIRIAN ANAK TK

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk bisa menyiapkan masa depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Dunia pendidikan dituntut memberikan respon lebih cepat terhadap perubahan-perubahan yang tengah berlangsung di masyarakat. Masyarakat pasca modern saat ini menghendaki perkembangan total, baik dalam visi, pengetahuan, proses pendidikan maupun nilai-nilai yang harus dikembangkan bagi anak untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks. Bila Indonesia modern di masa depan mengisyaratkan perlunya manusia-manusia pembangunan yang kreatif, mandiri inovatif dan demokratis, maka dunia pendidikan yang harus mempersiapkan dan menghasilkannya. (Widayati, 2002 : 1)
Seorang anak tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Tidak ada seorangpun yang dapat membangun hidupnya sendiri dari awal dengan kekuatannya sendiri. Dia memerlukan orang lain dan dukungan lingkungan agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Tiap lingkungan memberikan pengaruh pada proses pembentukan individu, melalui proses pendidikan yang diterimanya. Tanpa pendidikan dengan lingkungan hidup, kehidupan yang senantiasa berubah. Perubahan akan terjadi jika ada pengaruh dari lingkungan dan orang lain di sekitarnya.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menumbuh kembangkan anak. Peran keluarga menjadi begitu penting dalam membentuk beberapa sikap dasar yang akan menentukan perkembangan kepribadiannya di masa depan. Pada tahap awal perkembangan, peran keluarga yang utama adalah memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhan rasa aman bagi anak sehingga anak mampu mengembangkan dasar kepercayaan terhadap lingkungan.
Drost (1998 : 63), mengemukakan bahwa peran orang tua dalam membimbing adalah sebagai pendidik utama untuk mempersiapkan anak menghadapi dunia pendidikan formal. Peran orang tua adalah membangun rasa mandiri dan percaya diri anak dengan pengakuan, pujian dan dorongan sehingga timbul rasa percaya diri. Jika pada tahap ini seorang anak tidak mendapatkan dukungan keluarganya, maka yang terjadi adalah berkembangnya rasa ragu-ragu. Namun jika anak mampu mengembangkan rasa percaya diri dan sikap mandiri, maka anak akan berani mengambil inisiatif untuk secara bebas melakukan segala sesuatu atas kemauan sendiri. Keluarga dapat mendorong hal ini dengan memberikan kesempatan untuk menentukan sendiri apa yang ingin dilakukan anak.
Kemandirian anak sudah harus tumbuh pada usia prasekolah agar kepercayaan dirinya bisa tumbuh dan berkembang dengan wajar. Seorang anak merasa perlu untuk mandiri dan memang ada dorongan nalurinya untuk menjadi mandiri.
Menurut Triyon dan Lilienthal (Moeslichatoen, 1999 : 4) tugas-tugas perkembangan masa kanak-kanak awal yang harus dijalani anak taman kanak-kanak adalah berkembang menjadi pribadi yang mandiri yang berarti berkembang menjadi pribadi yang bertanggung jawab untuk melayani dan memenuhi kebutuhan sendiri pada tingkat kemandirian yang sesuai dengan tingkat usia taman kanak-kanak.
Dalam penelitian Komariyah (2002 : 49) tentang "STUDI KOMPARATIF ANTARA KEMANDIRIAN SISWA KELAS I SD YANG BERASAL DARI TK DENGAN YANG BUKAN BERASAL DARI TK", dinyatakan bahwa kemandirian siswa kelas I SD yang berasal dari TK dengan yang bukan berasal dari TK ada perbedaan. Dari analisis diketahui data skor kemandirian siswa kelas I SD yang berasal dari TK menunjukkan kriteria baik dan skor kemandirian siswa kelas I SD yang bukan berasal dari TK menunjukkan kriteria cukup. Penelitian Ason (1998 : 143) yang berjudul "KONTRIBUSI POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR PESERTA DIDIK DI SD" menyatakan bahwa pola asuh orang tua memberikan kontribusi terhadap prestasi belajar peserta didik.
Penulis melihat adanya fenomena atau gejala para orang tua terlalu mempercayakan anak pada pengasuh karena mereka sibuk bekerja sendiri. Di sisi lain pengasuh sekedar menjalankan tugas mengasuh anak, memberi makan, mainan, segala sesuatu dibantu supaya anak tidak rewel dan merasa senang. Hal tersebut membuat anak menjadi kebiasaan dibantu orang lain sehingga waktu sekolah menjadi kurang mandiri.
Dengan adanya fenomena yang ada, jurnal penelitian dan diperkuat beberapa teori tersebut di atas, maka perlu dilaksanakan penelitian dengan judul : "HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KEMANDIRIAN ANAK TK".

SKRIPSI POLA BIMBINGAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI PADA KELUARGA

(KODE : PG-PAUD-0090) : SKRIPSI POLA BIMBINGAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI PADA KELUARGA

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah merupakan bagian dari keluarga yang secara sosial dan psikolog tidak terlepas dari pembinaan dan pendidikan orangtua, masyarakat dan lembaga pendidikan. Para pakar dan ahli berpendapat bahwa anak usia nol sampai enam tahun merupakan area masa peka atau masa keemasan (golden age), sekaligus masa kritis dari seluruh siklus kehidupan manusia. Artinya pada usia-usia tersebut selain gizi yang cukup dan layanan kesehatan yang baik, rangsangan-rangsangan intelektual-spiritual juga amat diperlukan, karena akan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Masa ini merupakan yang tepat untuk meletakan dasar-dasar pembangunan fisik, bahasa, sosio-emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai-nilai agama. Sehingga upaya pengembangan seluruh potensi anak usia dini harus dimulai agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal.
Pengaruh paling besar selama lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemampuan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Sedang kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak. Saat ini di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial budaya berkaitan dengan peranan ayah dan ibu berkaitan dengan fungsinya di dalam keluarga. Isu-isu kesetaraan gender yang mulai digulirkan sejak saat era R.A Kartini sampai dengan saat ini mengakibatkan semakin banyak wanita yang ikut terlibat secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Sehingga hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kualitas pola asuh terhadap sang anak.
Di sisi lain sosok ayah belum tentu telah siap menggantikan ataupun membantu peran ibu dalam mengasuh anak baik dari segi psikologis, fisiologis maupun sosial. Dalam situasi demikian untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan anak muncullah sosok-sosok yang lain seperti kakek, nenek, kakak, saudara, bahkan mungkin seorang pengasuh anak profesional (baby sitter). Namun demikian sosok pengasuh ini dalam banyak hal kenyataannya tidak sebaik apabila pengasuhan dilakukan oleh orang tua kandung, walaupun keberadaannya dalam konteks saat ini sangat dibutuhkan untuk membantu dalam pengasuhan anak. Dengan kata lain sosok pengasuh anak berfungsi untuk membantu orang tua kandung, sedangkan fungsi utama pengasuhan anak bagaimanapun juga merupakan peran dan tanggung jawab orang tua kandung. Bagi orang tua kandung (ayah dan ibu) yang mempunyai pekerjaan ataupun kegiatan rutin di luar rumah harus kompak berbagi tugas. Seorang ibu tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan suami dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di rumah.
Adanya persamaan persepsi dan komunikasi yang baik dalam hal pembagian tugas dan tanggung jawab ini merupakan kunci, sehingga diperoleh suatu kerja sama yang baik dalam melaksanakan peran ayah dan ibu sebagai orang tua. Adanya pembagian tanggung jawab pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga antara istri dan suami, berdampak positif bagi si kecil. Dengan keterlibatan seorang ayah dalam mengurus dan mengasuh si kecil maka akan tercipta pula hubungan yang erat dan hangat antara ayah dan anak. Hal ini akan membawa pengaruh yang baik pula bagi proses tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah dan ibu yang bersama-sama dalam mengasuh anak akan membuat pertumbuhan dan perkembangannya semakin sehat.
Pengasuhan juga lebih seimbang bila pekerjaan kedua orang tua berada pada tingkat yang sejajar. Oleh karena itu sebetulnya, keberadaan ibu di dunia kerja bukan alasan rendahnya kualitas pengasuhan ibu. Pembagian tanggung jawab bersama ini akan berhasil tidak saja oleh komunikasi dan kesepakatan kedua orang tua, tetapi juga bergantung pada beberapa hal, seperti sikap setuju dan sikap mendukung yang ditunjukkan ayah kepada ibu yang bekerja, sikap dan fleksibilitas tempat bekerja, dan sistem pendukung misalnya pengasuh anak, nenek, kakek, atau kerabat yang dilibatkan dalam pengasuhan anak. 
Selain itu seluruh komponen masyarakat bersama dengan pemerintah harus memberikan apresiasi yang positif dalam hal pengasuhan anak. Sekali lagi masyarakat harus disadarkan akan arti penting proses pengasuhan anak ini. Bahwa untuk kemajuan bangsa dan negara, untuk kualitas hidup yang lebih baik, ditengah-tengah dunia yang semakin mengglobal, agar bangsa kita bisa hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia ini perlu dipersiapkan dengan sedini dan sebaik mungkin. Jangan sampai pada saatnya nanti bangsa ini menjadi bangsa yang lemah, hanya menjadi penonton ditengah-tengah kancah kehidupan dunia, hanya bersikap konsumtif dengan produktifitas dan kualitas yang rendah yang pada akhirnya “siap” untuk terjajah dalam segala hal.
Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi. Keluarga lah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.
Kedua orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Islam menawarkan metode-metode yang banyak di bawah rubrik aqidah atau keyakinan, norma atau akhlak serta fikih sebagai dasar dan prinsip serta cara untuk mendidik anak. Dan awal mula pelaksanaannya bisa dilakukan dalam keluarga. 
Berkaitan dengan pendidikan, Islam menyuguhkan aturan-aturan di antaranya pada masa pra kelahiran yang mencakup cara memilih pasangan hidup dan adab berhubungan seks sampai masa pasca kelahiran yang mencakup pembacaan azan dan iqamat pada telinga bayi yang baru lahir, teknik (meletakkan buah kurma pada langit-langit bayi, mendoakan bayi, memberikan nama yang bagus buat bayi, aqiqah (menyembelih kambing dan dibagikan kepada fakir miskin), khitan dan mencukur rambut bayi dan memberikan sedekah seharga emas atau perak yang ditimbang dengan berat rambut. Pelaksanaan amalan-amalan ini sangat berpengaruh pada jiwa anak. Orang tua sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak dengan cara mengembangkan pola komunikasi dan interaksi dengan sesamanya agar menjadi pribadi yang mantap dan kaffah (utuh).
Keluarga sebagai satuan unit sosial terkecil merupakan lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama, dalam arti keluarga merupakan lingkungan yang paling bertanggung jawa mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan orangtua pada anak seharusnya memberikan dasar bagi pendidikan, proses sosialisasi dan kehidupannya di masyarakat. Dalam hal ini keluarga tetap menjadi kelompok pertama (primary group) tempat meletakan dasar kepribadian di dalam keluarga. Orang tua memegang peranan membentuk sistem interaksi intim dan berlangsung lama yang ditandai loyalitas pribadi, cinta kasih dan hubungan yang penuh kasih sayang. Peran orang tua adalah dengan membenahi mental anak. Terbentuknya kepribadian dan aktivitas anak merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dan lingkungannya dan tentunya memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara menyeluruh.
Sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari suami (ayah), seorang istri (ibu) dan anak-anak mereka. Kedua orangtua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapat cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orangtuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan terbiasa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua orangtua terlalu ikut campur dalam urusan mereka memaksakan anak-anaknya untuk mentaati mereka, maka prilaku kedua orangtua yang demikian ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.
Ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orangtua disini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka sendiri harus mengamalkannya. Peran orang tua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan hal yang penting. Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orang tua dan latihan-latihan keterampilan menuju kemandiriannya.
Selain itu, untuk menjadi pribadi mandiri, seorang anak juga perlu mendapat kesempatan untuk berlatih secara konsisten mengerjakan sesuatu sendiri atau menghabiskannya melakukan tugas-tugas yang sesuai dengan tahapan usianya. Orang tua atau lingkungan tidak perlu bersikap cemas, terlalu melindungi, terlalu membantu atau bahkan selalu alih tugas-tugas yang seharusnya dilakukan anak, karena hal ini dapat menghambat proses pencapaian kemandirian anak. Kesempatan untuk belajar mandiri dapat diberikan orang tua atau lingkungan dengan memberikan kebebasan dan kepercayaan pada anak untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya. 
Namun demikian peran orang tua atau lingkungan dalam mengawasi, membimbing, mengarahkan dan memberi contoh teladan tetap sangat diperlukan, agar anak tetap berada dalam kondisi atau situasi yang tidak membahayakan keselamatannya. Bagi anak-anak usia dini, latihan kemandirian ini bisa dilakukan dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-hari di rumah, seperti melatih anak mengambil air minumnya sendiri, melatih anak untuk membersihkan kamar tidurnya sendiri, melatih anak buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap makanannya sendiri, melatih anak untuk naik dan turun tangga sendiri, dan sebagainya.
Semakin dini usia anak untuk berlatih mandiri dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan nilai-nilai serta ketrampilan mandiri akan lebih mudah dikuasai dan dapat tertanam kuat dalam diri anak. Untuk menjadi pribadi mandiri, memang diperlukan suatu proses atau usaha yang dimulai dari melakukan tugas-tugas yang sederhana sampai akhirnya dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan yang lebih kompleks atau lebih menantang, yang membutuhkan tingkat penguasaan motorik dan mental yang lebih tinggi. Dalam proses untuk membantu anak menjadi pribadi mandiri itulah diperlukan sikap bijaksana orang tua atau lingkungan agar anak dapat terus termotivasi dalam meningkatkan kemandiriannya. Seseorang yang berkepribadian mantap adalah orang yang menguasai lingkungan secara aktif, memperhatikan kesatuan dan segenap kepribadiannya. Memiliki kesanggupan menerima secara tepat dunia lingkungannya dan dirinya sendiri, bersifat mandiri tanpa terlalu banyak terpengaruh orang lain.

SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK

(KODE : PG-PAUD-0084) : SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dunia anak-anak adalah dunia yang sangat menyenangkan. Bagi anak itu sendiri dunia adalah segala sesuatu ada di hari-harinya seperti, menangis, tertawa, ceria, sakit, kecewa, berteman, tidak cocok, kasih sayang orangtua, dimarahi dan Iain-lain.
Apabila kita ingin memahami kehidupan anak-anak umumnya usia pra sekolah (TK), maka kita harus banyak menyandarkan diri pada pengamatan terhadap tingkah laku yang nampak pada anak-anak tersebut. Pada anak-anak yang sudah belajar di Taman Kanak-kanak, anak tentu saja sudah mulai diajarkan sikap mandiri, disiplin, bekerjasama, berfikir dan lain sebagainya. Di sekolah memang peranan penting dipegang oleh para guru, tetapi peran orangtua juga sangat penting dalam menyiapkan anak dan menjadikannya anak yang cerdas, mandiri, disiplin, kreatif. Waktu anak-anak dengan orangtuanya lebih banyak dari pada waktu bersama guru di sekolah.
Kedekatan orangtua dengan anak akan tampak dari kelekatan anak dengan orangtuanya. Kelekatan berarti adanya hubungan afeksi yang kuat antara anak dengan orangtuanya. Membangun kelekatan dengan anak tidak otomatis berdampak ketergantungan anak. Agar kelekatan tidak berujung pada ketergantungan, maka orangtua perlu memberikan bimbingan dan pelatihan pada anak-anak untuk melakukan keperluan-keperluannya sendiri sesuai dengan tingkat usia anak.
Kemandirian anak dapat dilatih melalui hal-hal yang sederhana, yang paling penting adalah orangtua haras dapat menghargai anak dan tidak terlalu mengendalikan anak (Tim Pustaka Familia, 2006 : 21). Kemandirian diawali ketika seorang bayi dilahirkan di dunia. Ketergantungan sepenuhnya terhadap ibu selama sembilan bulan dalam kandungan benar-benar diputuskan. Tangisan bayi sesaat setelah keluar dari rahim ibu adalah penanda awal kemandiriannya sebagai manusia. Pada saat itulah ia harus menggunakan paru-parunya sendiri untuk bernafas. Kemandiriannya sebagai anak manusia tak terjadi begitu saja dan serentak. Seorang anak akan mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan yang berjalan teras-menerus dalam rentang kehidupannya. Kemandirian fisik, emosional, moral berjalan seiring sangat dipengaruhi oleh kematangan biologis maupun dukungan sosial.
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri. Emil Durkheim, misalnya melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Menurut Abraham H. Maslow (dalam Mohammad Ali dkk, 2008 : 111) kemandirian dibedakan menjadi dua : yaitu 1) kemandirian aman, dan 2) kemandirian tidak aman. Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya diri terhadap kehidupan. Sedangkan kemandirian tidak aman yaitu kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian mementingkan diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individualisasi. Proses individualisasi itu adalah proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan. Diri adalah inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengoordinasikan selurah aspek kepribadian. Kemandirian yang terintegrasi dan sehat dapat dicapai melalui proses perkembangan dan ekspresi sistem kepribadian sampai pada tingkatan yang tertinggi (Mohammad Ali dkk, 2008 : 111).
Sedangkan menurut Moh. Akhlis (1994 : 19) siswa yang memiliki sifat mandiri tinggi lebih tergantung pada diri sendiri dari pada pihak lain, antara lain adanya sifat kreatif tinggi, dan rasa tanggung jawab yang besar. Secara ringkas kemandirian dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memikirkan, merasakan, serta melakukan suatu sendiri atau tidak tergantung pada orang lain.
Kemandirian sangat penting dikembangkan pada diri anak. Hal ini dapat di-pahami bahwa anak merupakan subyek dan obyek yang berperan penting dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan tersebut diarahkan untuk menciptakan anak yang berkualitas yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan, handal, berbudi luhur serta mampu bersaing di masa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan anak-anak yang mempunyai kemandirian.
Dalam Tim Pustaka Familia (2006 : 49) cara mengembangkan kemandirian pada anak dibakukan dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin mahir mengembangkan keterampilannya sehingga anak lebih percaya diri. Peran orangtua amat penting dalam pembentukan kemandirian anak. Dengan kemandirian yang ditanamkan sejak dini, anak akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Hal ini akan memberikan pengaruh yang berarti dalam pergaulannya di masa mendatang. Sebab akan tumbuh perasaan bahwa mereka akan mampu melakukan sesuatu dan dapat mengontrol diri.
Menurat Mohammad Ali (2009 : 109) perkembangan kemandirian menjadi sangat penting karena dewasa ini semakin terlihat gejala-gejala negatif seperti ketergantungan disiplin kepada kontrol dari luar dan bukan karena niat sendiri secara ikhlas, sikap tidak peduli terhadap lingkungan fisik maupun sosial, sikap hidup yang mematuhi dan menghormati orang lain dilandasi bukan oleh hakikat kemanusiaan sejati melainkan hanya atribut-atribut sementara yang dimiliki oleh orang lain.
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu di-ajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri. Misalnya makan, mandi, berpakaian, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Tentu saja kemandirian ini hanya bias dicapai melalui tahapan sesuai dengan perkembangan usia. Oleh karena itu, latihan kemandirian mesti dimulai di rumah, tak hanya di sekolah.
Kemandirian anak harus dibina sejak masih bayi, jikalau kemandirian anak diusahakan setelah anak besar, kemandirian itu akan menjadi tidak utuh. Kunci kemandirian anak sebenamya ada di tangan orangtua. Kemandirian yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orangtua akan menghasilkan kemandirian yang utuh. Untuk dapat mandiri anak membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga khususnya pola asuh orangtua serta lingkungan sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orangtua di dalam keluarga, orangtua lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Meski dunia pendidikan atau sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, pola asuh orangtua tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Orangtua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi anak mandiri. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orangtua dalam mendidik anak-anaknya.
Pola asuh orangtua akan sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Mohammad Ali (2009 : 118) mengatakan ada sejumlah faktor-faktor yang sering disebut sebagai korelat perkembangan kemandirian, yaitu gen atau keturunan orang tua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan di masyarakat. Seperti yang kita ketahui lingkungan yang paling dekat dengan anak dan tempat dimana anak berinteraksi pertama adalah lingkungan keluarga. Terdapat banyak faktor dalam keluarga yang dapat memengaruhi perkembangan anak. Salah satu faktor tersebut adalah pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya.
Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 53) prinsip mendidik kemandirian adalah melatih pada saat yang tepat. Latihan yang terlalu awal justru akan membuat anak merasa tidak aman dan menjadi tertekan. Namun, apabila terlambat maka kita akan kesulitan mengubah sifat ketergantungan anak terhadap orangtua. Pada umumnya anak adalah insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama ini tidak berhasil meletakkan dasar kemandirian maka akan sangat berat untuk berharap sekolah mampu membentuk anak menjadi mandiri.
Para siswa di TK obyek penelitian rata-rata berasal dari latar belakang keluarga yang berada. Kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke atas yang orangtuanya bekerja di bidang meubel sehingga dalam kesehariannya anak didik di asuh oleh beberapa pengasuh. Perbedaan dalam hal kemandirian dan pola asuh anak didik TK ini sangat terasa. Ada sebagian anak yang mempunyai kemandirian yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari anak dalam kegiatan sehari-hari di sekolah terhadap suatu tugas dari guru dengan mandiri tanpa meminta bantuan dari pihak lain, anak yang mempunyai kemandirian cenderung mendapatkan pola asuh yang baik dan bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada anak tersebut, tetapi ada sebagian anak juga tingkat kemandiriannya yang rendah, hal tersebut dapat dilihat dari anak yang diberikan tugas dari guru selalu meminta bantuan, tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri dan menggantungkan tugas-tugasnya tersebut kepada pihak lain. Fenomena tersebut kerap kali terjadi, misalnya seorang anak meminta bantuan pihak lain untuk memenuhi keperluannya walau sebenarnya mereka mampu melakukan sendiri. Tidak jarang anak meminta diambilkan minum atau sepatu, meskipun sebenarnya bisa mengambil sendiri.
Penelitian ini dilaksanakan di TK X karena banyak diminati oleh masyarakat setempat dan TK ini termasuk TK yang dijadikan sebagai TK unggulan dan sebagai pusat percontohan TK-TK lain di Kabupaten X. Mencermati kenyataan diatas, bahwa dari latar belakang keluarga yang berada akan membentuk pola asuh yang memengaruhi kemandirian anak didik. Secara kenyataan di TK X belum pernah diadakan penelitian tentang pengarah pola asuh terhadap perkembangan kemandirian anak. Hal tersebut mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang pengarah pola asuh terhadap perkembangan kemandirian anak di sekolah tersebut, dan akhirnya penulis merumuskan ke dalam penelitian yang berjudul sebagai berikut : PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK X.

SKRIPSI HUBUNGAN KELEKATAN ANAK PADA IBU DENGAN KEMANDIRIAN DI SEKOLAH

(KODE : PG-PAUD-0075) : SKRIPSI HUBUNGAN KELEKATAN ANAK PADA IBU DENGAN KEMANDIRIAN DI SEKOLAH

contoh skripsi pg paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah dari Sang Pencipta yang diamanahkan untuk dirawat, dibimbing dan dididik yang nantinya akan menjadi sumber daya manusia masa mendatang untuk melanjutkan perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan mereka seolah-olah tidak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar (Sujiono, 2009 : 6). Oleh karena itu, anak memiliki karakteristik yang unik dan khas, serta memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan periode perkembangan yang lain.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa yang masuk kategori anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Mengingat masa kanak-kanak merupakan proses pertumbuhan baik fisik maupun jiwa, maka untuk menghindari rentannya berbagai perilaku yang mengganggu pertumbuhan anak tersebut maka UU No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mengatakan anak pada dasarnya mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh keluarganya yaitu orang tuanya, dimana hak-hak itu meliputi : hak atas kesejahteraan, perlindungan, pengasuhan dan bimbingan.
Maka dari itu tanggungjawab orangtua lah atas kesejahteraan anaknya yang berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga nantinya anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berguna bagi nusa bangsa, Negara dan agama.
Masa kanak-kanak ini memiliki beberapa tugas perkembangan untuk dapat melanjutkan tahapan perkembangan selanjutnya yaitu masa remaja. Salah satu tugas perkembangan anak untuk mencapai tahapan tersebut adalah menumbuhkan kemandirian. Mandiri atau sering juga disebut berdiri di atas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Hal ini diperkuat oleh Kartono (1995 : 243) kemandirian adalah kemampuan berdiri sendiri diatas kaki sendiri dengan kebenaran dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan dalam Desmita (2011 : 185) kemandirian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.
Dalam proses tumbuh kembang anak, orang tua khususnya ibu berkewajiban dalam mengasuh, membimbing, dan mendidik yang tidak lepas dari berbagai halangan. Begitu banyak usaha yang dilakukan ibu untuk membekali diri dengan pengetahuan yang berkaitan dengan proses perkembangan anak. Bimbingan kepada anak untuk menjadi manusia yang mandiri dimulai dari lingkungan keluarga, yang berupa pemberian kesempatan untuk menyelesaikan tugas sederhana tanpa bantuan, kebebasan dalam mengambil keputusan dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ali & Asrori (2004 : 118) bahwa perkembangan kemandirian juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungannya selain oleh potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orangtuanya. Apabila lingkungan sekitar mendukung maka akan terbentuk individu menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengambil keputusan dan bertanggungjawab dalam melakukan berbagai tindakan yang telah dilakukan. Begitu juga sebaliknya individu akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah bergantung pada orang lain, selalu ragu-ragu dalam menentukan sebuah keputusan dan tidak mampu memikul tanggung jawab diri sendiri.
Kemandirian akan berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui berbagai latihan secara terus menerus dan bertahap. Latihan-latihan tersebut dapat berupa tugas-tugas tanpa memerlukan bantuan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak. Kemandirian memberikan dampak yang positif bagi individu, jadi tidak ada salahnya jika diajarkan sedini mungkin yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak. Tentang hal tersebut Fatimah (2006 : 144) menyatakan latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak.
Peran orangtua khususnya ibu, sangat besar dalam proses pembentukan kemandirian. Ibu, merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu sebagai sosok utama yang mempunyai keterlibatan langsung dalam perawatan, perkembangan anak dan pemberian nutrisi pada anak. Profesi sebagai ibu rumahtangga merupakan profesi yang mulia. Namun di jaman modern seperti sekarang ini, seorang ibu tidak hanya dituntut mengasuh anak dan di rumah, akan tetapi juga dituntut untuk ikut aktif mengembangkan karir sesuai dengan minat dan latar belakang pendidikan selain sebagai ibu rumah tangga. Rutinitas kedua orangtua khususnya ibu yang padat menyita seluruh waktu dan tenaga untuk kegiatan tersebut sehingga mengakibatkan pengasuhan anak digantikan oleh pengasuh/ baby sitter, neneknya, saudara dekat dan bahkan anak dititipkan di yayasan penitipan anak. Kesibukan ini mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis antara ibu dan anak. Sehingga kebutuhan hidupnya kurang tercukupi seperti kebutuhan akan kasih sayang, keamanan, perhatian dan kurang pengawasan. Anak merasa tidak diperhatikan dan dianggap sehingga anak mencari obyek lekat selain orang tuanya atau mencari kegiatan lain.
Kelekatan anak pada ibu dapat menimbulkan berbagai macam perilaku-perilaku tertentu. Anak akan merasa tidak nyaman dan takut ketika ditinggal oleh ibunya, ia membutuhkan sosok yang mampu melindungi dan membuatnya aman. Anak merasa nyaman ketika mendengar suara figure lekat (ibu), rabaan dan keberadaan sang ibu. Sementara itu Hurlock (1996 : 130) berpendapat bahwa anak lebih tergantung pada orang tua dalam hal perasaan aman dan kebahagiaan, maka hubungan yang buruk dengan orangtua akan berakibat sangat buruk. Apalagi kalau hubungan dengan ibu yang lebih buruk karena kepada ibulah sebagian besar anak sangat tergantung.
Di dalam lingkungan keluarga terutama di kota-kota besar makin banyak perawatan dan pengasuhan anak diserahkan pada baby sitter atau pembantu yang sudah dianggap mampu dalam membimbing anak, yang akibatnya tidak diberi bimbingan melainkan memberikan pelayanan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai orang tua dalam mendidik anak-anaknya adalah tumbuh menjadi anak mandiri. Sikap mandiri sudah dapat dibiasakan sejak anak masih kecil, dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya memakai pakaian sendiri, makan tidak disuap, mengancingkan baju tanpa bantuan, mengikat tali sepatu sendiri, mengerjakan tugas sekolah tanpa bantuan ibu guru, pergi ke kamar mandi tanpa didampingi dan bermacam pekerjaan kecil sehari-hari lainnya. Namun, dalam praktiknya pembiasaan ini banyak mengalami hambatan. Masih banyaknya masalah yang dihadapi anak yang terdapat campur tangan ibu, hal ini tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Anak akan meminta bantuan kepada ibu apabila menghadapi persoalan, dengan perkataan lain anak terbiasa tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Tanpa disadari, sikap semacam itu sering dilakukan pada anak.
Sebagian dari kemandirian akan berkembang pada masa kanak-kanak awal, oleh karena itu kemandirian dapat dibentuk pertama kali pada lingkungan keluarga. Begitu pula, menurut Hurlock (2002 : 23) yang berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah pola asuh orangtua, jenis kelamin dan urutan posisi anak. Sedangkan menurut Mussen (1989 : 31) yang berpendapat bahwa menegakkan kemandirian sangat bergantung pada tiga hal : (a) sikap sosial pada umumnya terhadap kemandirian dalam kultur, (b) sikap orangtua dan kelekatan orangtua-anak, dan (c) interaksi teman sebaya dan dukungan mereka terhadap perilaku mandiri. Jadi, kemandirian dipengaruhi oleh lingkungan baik keluarga maupun teman sebaya.
Hasil studi pendahuluan diperoleh informasi bahwa 50% dari 66 siswa menunjukkan rendahnya kemandirian. Hal ini ditunjukkan pada kegiatan sehari-hari di sekolah seperti : anak masuk ke kelas masih didampingi oleh ibu, memakai dan melepas sepatu dengan bantuan guru, menaruh tas di dalam rak dengan bantuan, mengerjakan tugas dengan bantuan guru, belum mampu merapikan kursi dan alat belajar sendiri, mengancingkan baju harus dengan bantuan, tidak mau membuang sampah pada tempatnya, makan disuap, dan takut pergi ke kamar mandi sendiri sehingga harus didampingi oleh guru. 
Kemandirian anak tidak selalu berasal dari anak tersebut, namun bisa juga berasal dari gaya hidup orangtua (ibu). Menurut Mussen (1989 : 99) kemandirian salah satunya bergantung pada pola asuh dan kelekatan anak pada orangtua (ibu). Kelekatan pada awal tahun pertama kehidupan memberikan suatu landasan penting bagi perkembangan psikologis anak, diantaranya yaitu kemandirian. kelekatan anak pada ibu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi ada faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya kelekatan salah satunya yaitu tergantung jenis pola kelekatan yang dimiliki. Ibu yang menerapkan pola kelekatan Aman (Secure Attachment), lebih sensitive dan responsive sehingga anak yakin ibu selalu ada di saat ia membutuhkan dan anak merasa nyaman. 
Ibu yang menerapkan pola kelekatan Menolak/Ambivalen (Resistant Attachment), anak merasa tidak pasti bahwa ibunya selalu ada dan responsive saat dibutuhkan, akibatnya anak mudah mengalami kecemasan untuk berpisah dengan ibu. Sedangkan, ibu yang menerapkan pola kelekatan Menghindar (Avoidant Attachment), anak tidak percaya diri karena pada saat berinteraksi tidak direspon oleh ibu sehingga anak kurang mampu untuk bersosialisasi. Persoalan ini kerap terjadi pada setiap tingkatan kelas yaitu kelas A dan B. Namun, di kelas B awal permasalahan ini sering terjadi karena masa ini adalah masa transisi yaitu perpindahan dari kelas A menuju kelas B. Maka, timbul adaptasi dari kebiasaan di kelas A yang harus dihilangkan di kelas B untuk menuju tingkatan pendewasaan diri yang lebih besar karena sudah melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, persoalan kemandirian lebih banyak muncul pada siswa di kelas B.
Sungguh merupakan harapan bersama kemandirian dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat yang dimulai sejak dini. Berangkat dari fenomena tersebut maka layak untuk diteliti lebih lanjut mengenai kemandirian anak di sekolah dihubungkan dengan kualitas kelekatan anak bersama ibu di rumah. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai "HUBUNGAN KELEKATAN ANAK PADA IBU DENGAN KEMANDIRIAN DI SEKOLAH".

TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0303) : TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II 
KAJIAN TEORETIS

A. Perilaku Kemandirian Anak Usia Dini 

1. Pengertian Kemandirian Anak

Kemandirian harus mulai dikenalkan kepada anak sedini mungkin. Dengan kemandirian akan menghindarkan anak dari sifat ketergantungan pada orang lain, dan yang terpenting adalah menumbuhkan keberanian dan motivasi pada anak untuk terus mengeksploitasi pengetahuan-pengetahuan baru.
Menurut Bachrudin Musthafa (2008 : 75) kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil pilihan dan menerima konsekuensi yang menyertainya. Kemandirian pada anak-anak mewujud ketika mereka menggunakan pikirannya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan : dari memilih perlengkapan belajar yang ingin digunakannya, memilih teman bermain, sampai hal-hal yang relatif lebih rumit dan menyertakan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang lebih serius.
Selanjutnya Musthafa menjelaskan bahwa tumbuhnya kemandirian pada anak-anak, bersamaan dengan munculnya rasa takut (kekuatiran) dalam berbagai bentuk dan intensitasnya yang berbeda-beda. Rasa takut (kekuatiran) dalam takarannya yang wajar dapat berfungsi sebagai "emosi perlindungan" (protective emotion) bagi anak-anak, yang memungkinkannya mengetahui kapan waktunya meminta perlindungan kepada orang dewasa atau orangtuanya.
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf (2008 : 130) bahwa kemandirian (otonomi) merupakan karakteristik dari kepribadian yang sehat (healthy personality). Kemandirian individu tercermin dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri, serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Megan Northrop, dalam Research Assistant, dan disunting oleh Stephen F. Duncan, Profesor, School of Family Life, Brigham Young University, menjelaskan : 
As children grow, they should be given more and more independence. At a young age children can select the clothes they wear, food they eat, places to sit, and other small decisions. Older children can have more of a say in choosing appropriate times to be at home, when and where to study, and which friends to associate with. The goal is to prepare children for the day they will leave their family and live without parental control. (www.foreverfamilies.net/xml/articles/teaching_children_self_regulation)
Berdasarkan pengertian di atas bahwa kemandirian adalah (a) kemampuan untuk menentukan pilihan, (b) berani memutuskan atas pilihannya sendiri, (c) bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya, (d) percaya diri, (e) mengarahkan diri, (f) mengembangkan diri (g) menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan (h) berani mengambil resiko atas pilihannya. Hal ini pada anak usia dini masih dalam tarap yang sangat sederhana tentunya, sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Dalam mendorong tumbuhnya kemandirian anak usia dini, orangtua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila memungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks persekolahan atau Taman Kanak-kanak, ini aspirasi dan kemauan anak-anak pembelajar perlu didengar dan diakomodasi. Dalam konteks lingkungan keluarga di rumah, ini menuntut orangtua untuk lebih telaten dan sabar dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan penting. Semua ini diharapkan agar anak dapat membuat keputusan secara mandiri dan belajar dari konsekuensi yang ditimbulkan keputusan yang diambilnya (Bachrudin Musthafa, 2008 : 75).

2. Ciri-ciri Kemandirian Anak

Anak yang mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan dan motivasi yang tinggi. Zimmerman (Tillman dan Weiss, 2000) mengatakan bahwa anak yang mandiri yaitu anak yang mempunyai kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi. Selain itu, Pintrich (1999) menekankan pentingnya integrasi komponen motivasi dan kognitif dalam kemandirian anak, sehingga dapat dikatakan bahwa menjadi anak yang mandiri tergantung pada kepercayaan terhadap diri sendiri dan motivasinya.
Ada beberapa ciri khas anak mandiri antara lain (1) mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah, (2) tidak takut mengambil risiko karena sudah mempertimbangkan baik buruknya, (3) percaya terhadap penilaian sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau minta bantuan, dan (4) mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap hidupnya (Tim Pustaka Familia, 2006 : 45).
Kasiram (1994) mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Sylvia Rimm (2003 : 47) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan percaya diri adalah "rasa senang melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk mereka merupakan alat paling efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orangtua yang realistis menyadari, ada kalanya mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak".
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa ciri-ciri kemandirian adalah sebagai berikut : 
a. Kepercayaan pada diri sendiri
Anak yang memiliki kepercayaan diri lebih berani untuk melakukan sesuatu, menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang ditimbulkan karena pilihannya. Kepercayaan diri sangat terkait dengan kemandirian anak.
b. Motivasi intrinsik yang tinggi
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tumbuh dalam diri untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik biasanya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua motivasi itu kadang berkurang kadang bertambah. Kekuatan yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
c. Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri
Anak mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihan sendiri. Misalnya dalam memilih alat bermain atau alat belajar yang akan digunakannya.
d. Kreatif dan Inovatif
Kreatif dan inovatif pada anak Taman Kanak-kanak merupakan ciri anak yang memiliki kemandirian, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak ketergantungan kepada orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai pada hal-hal yang baru yang semula dia belum tahu, dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.
e. Bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya
Di dalam mengambil keputusan atau pilihan tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri dia bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi tentu saja bagi anak TK tanggungjawab pada tarap yang wajar. Misalnya tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan yang lain yang diinginkannya.
f. Menyesuaikan diri dengan lingkungan
Lingkungan sekolah (TK) merupakan lingkungan baru bagi anak-anak. Sering kita menemukan anak menangis ketika pertama masuk sekolah karena mereka merasa asing dengan lingkungan di TK bahkan tidak sedikit anak yang ingin ditunggu oleh orangtuanya ketika sedang belajar. Anak yang memiliki kemandirian, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
g. Tidak ketergantungan kepada orang lain
Anak mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan sesuatu tidak bergantung pada orang lain dan anak tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain, setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, baru anak meminta bantuan orang lain. Seperti mengambil alat mainan yang berada di tempat yang tidak terjangkau oleh anak.
3. Kiat Mengembangkan Kemandirian Anak
Mengembangkan kemandirian pada anak pada prinsipnya adalah dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin terampil mengembangkan skillnya sehingga lebih percaya diri. Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 49) terdapat beberapa hal yang seharusnya dilakukan, yaitu : 
a. Anak-anak didorong agar mau melakukan sendiri kegiatan sehari-hari yang ia jalani seperti gosok gigi, makan sendiri, bersisir, berpakaian, dan lain sebagainya segera setelah mereka mampu melakukannya sendiri.
b. Anak diberi kesempatan sesekali mengambil keputusan sendiri, misalnya memilih baju yang akan dipakai.
c. Anak diberi kesempatan untuk bermain sendiri tanpa ditemani sehingga terlatih untuk mengembangkan ide dan berpikir untuk dirinya. Agar tidak terjadi kecelakaan maka atur ruangan tempat bermain anak sehingga tidak ada barang yang berbahaya.
d. Biarkan anak mengerjakan segala sesuatu sendiri walaupun sering membuat kesalahan 
e. Ketika bermain bersama bermainlah sesuai keinginan anak, jika anak tergantung pada kita maka beri dorongan untuk berinisiatif dan dukung keputusannya.
f. Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan idenya 
g. Latihlah anak untuk mensosialisasi, sehingga anak belajar menghadapi problem sosial yang lebih kompleks. Jika anak ragu-ragu atau takut cobalah menemaninya terlebih dahulu, sehingga anak tidak terpaksa.
h. Untuk anak yang lebih besar, mulai ajak anak untuk mengurus rumah misalnya menyiram tanaman, membersihkan meja, menyapu dan lain-lain.
i. Ketika anak mulai memahami konsep waktu dorong mereka untuk mengatur jadwal pribadinya, misalnya kapan akan belajar, bermain dan sebagainya. Orangtua bisa mendampingi dengan menanyakan alasan-alasan pengaturan waktunya.

SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

(KODE : PTK-0131) : SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa usia prasekolah adalah merupakan masa yang sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Di usia ini sangat penting untuk meletakan dasar-dasar kepribadian anak yang akan menjadi pembentukan kepribadian anak di masa dewasa. Oleh karena itu masa usia prasekolah disebut juga masa keemasan bagi anak (golden age) dimana perkembangan otak pada anak sangat berkembang pesat yaitu sekitar 50% pada usia 0-5 tahun, sehingga dapat menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitarnya dan sangat terbuka dalam menerima berbagai macam pembelajaran dan stimulasi yang diberikan (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004).
Pada tahap perkembangan usia prasekolah ini, anak mulai menguasai berbagai keterampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya (Hurlock, 1997).
Dalam pemerolehannya, anak tentu memerlukan orangtua atau orang dewasa serta lingkungan yang mendukung untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Seiring dengan berjalannya waktu serta bertambahnya usia, anak perlahan-lahan akan melepaskan ketergantungannya pada orang tua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri.
Salah satu tahapan penting dalam masa perkembangan anak adalah fase otonomi. Fase ini ditandai dengan antusiasme anak untuk melakukan segala sesuatunya sendiri dan munculnya hasrat untuk mandiri (Erikson dalam Hadis, 37).
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak sejak usia dini, apabila anak tidak belajar mandiri sejak usia dini akan sangat memungkinkan anak merasa bingung bahkan tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Sartini (1992) mengungkapkan bahwa kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, hal ini berarti bahwa kemandirian terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak selanjutnya.
Ketika kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai oleh anak pada usia tertentu pada kenyataannya anak belum mau dan belum mampu melakukan, maka dapat dikategorikan bahwa anak tersebut belum mandiri (Nakita, 2005). Sebagai contoh nyata yang sering ditemukan adalah ketika anak usia SD atau anak usia 6-9 tahun yang masih dibantu dalam kegiatan yang seharusnya dapat dilakukan sendiri seperti memakai baju, kegiatan makan, dan memakai sepatu. Kemampuan motorik anak usia 6-9 tahun ini pada umumnya sudah matang dan kemandirian anak pada usia ini seharusnya sudah berkembang lebih baik dibandingkan ketika usia anak berusia 2-4 tahun. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh Hurlock (1980 : 111) yaitu : 
Awal masa kanak-kanak dapat dianggap sebagai saat belajar untuk belajar keterampilan. Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari keterampilan tertentu, dimana perkembangan kemampuannya sudah memungkinkan untuk melakukan berbagai hal, dan berkembangnya keinginan pada diri anak untuk mandiri, maka anak tidak saja akan kurang memiliki dasar keterampilan yang telah dipelajari oleh teman-teman sebayanya tetapi juga akan kurang memiliki motivasi untuk mempelajari pelbagai keterampilan pada saat diberi kesempatan.
Istichomah (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kebiasaan mengompol pada anak dibawah usia 2 tahun masih dianggap wajar karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara sempurna. Tetapi disamping itu kebiasaan mengompol tersebut tidak jarang masih terbawa sampai anak berusia 4-5 tahun, bahkan di Indonesia kasus anak yang masih mengompol hingga di usia 6 tahun mencapai 12%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran orang tua dan orang dewasa dalam mengajarkan toilet training kepada anak sejak usia dini. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Istichomah, Hidayat (Faidah, 2009) mengatakan bahwa kemandirian toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orang tua semakin sulit untuk mengajarkan kepada anak ketika anak bertambah usianya.
Vygotsky dalam teori pembelajaran konstruktivismenya (dalam Isabella, 2007) menyebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini anak memerlukan scaffolding, yaitu bantuan yang tepat waktu dan ditarik kembali tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi. Pemberian scaffolding ini dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini.
Scaffolding itu sendiri dapat diberikan oleh guru sebagai orang yang lebih dahulu tahu atau orang dewasa dengan memberikan dukungan maupun fasilitas kepada anak dalam proses perkembangannya hingga anak dapat melakukan aktivitasnya sendiri secara mandiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Olson & Part (Stuyf, 2002) :
"In scaffolding instruction a more knowledgeable other provides scaffolds or supports to facilitate the learner's development. The scaffolds facilitate a student's ability to build on prior knowledge and internalize new information. The activities provided in scaffolding instruction are just beyond the level of what the learner can do alone".
Kebalikan dari pemberian scaffolding adalah interferensi (gangguan atau campur tangan yang tidak dikehendaki). Sering kali orang dewasa baik guru maupun orangtua mengambil tindakan secara spontan atau langsung datang untuk membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan yang diberikan akan menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak (Isabella, 2007). Akan tetapi apabila interferensi terus dilakukan kemungkinan besar anak akan selalu tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, anak akan mengharapkan bantuan orang lain, begitupun dalam mengambil keputusan dan dalam memecahkan masalah (problem solving).
Isabella (2007) telah melakukan observasi pada daily plan sebuah playgroup di Surabaya dengan mengambil tema "My Vegetable" dengan sub tema "Cauliflower" hal yang diobservasi adalah kemampuan anak untuk memetik kuntum bunga kol paling sedikit 8 kuntum. Dalam 5-10 menit pertama anak mengalami kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa memetik bunga kol, disini guru tidak langsung memberikan bantuan, sampai pada akhirnya anak sendiri yang meminta bantuan. Guru menerapkan scaffolding dengan memegang jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk memetik kuntum bunga kol bersama (scaffolding action), setelah itu guru memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba memetik sendiri dan pada waktu bersamaan guru menarik scaffolding secara bertahap. Setelah anak dapat memetik 8 kuntum bunga kol maka anak telah mencapai level of potential development. Dalam observasi tersebut juga terlihat anak yang berusaha menolong temannya untuk memetik kuntum bunga kol, membagikan keterampilan yang baru saja dikuasai yang merupakan bentuk internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam dirinya. Berdasarkan hasil observasi Isabella tersebut, maka scaffolding memiliki peran yang sangat penting pada setiap aspek menuju pada pencapaian perkembangan anak.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, kemandirian anak-anak yang belum berkembang secara optimal diantaranya yaitu kemandirian untuk memakai sepatu sendiri tanpa bantuan dari orangtua atau pengasuh, mencuci tangan sendiri, toilet training (membuka celana, memakai celana, membersihkan diri, dan menyiram kloset secara mandiri), membersihkan tumpahan makanan secara mandiri, serta membereskan mainan setelah selesai bermain. Guru berpendapat bahwa ketika anak memasuki playgroup maka itu menjadi tahap awal pada anak dalam mengenal lingkungan yang baru di luar lingkungan rumah dan merupakan hal pertama kali bagi anak dalam mengenal lingkungan sekolah, hal ini menjadikan setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan stimulus yang diperoleh sebelumnya di lingkungan rumah atau di lingkungan terdekat dengan anak selain lingkungan sekolah, sehingga guru memandang perlunya untuk memfasilitasi hal tersebut agar setiap anak dapat mengoptimalkan kemampuan kemandiriannya sesuai dengan perkembangan usia dan kebutuhannya.
Hal di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Siskandar (2003) bahwa program kegiatan di prasekolah seharusnya menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Oleh karena itu maka, pendidik dapat mengembangkan kemandirian anak dengan intensitas yang sering karena aktivitas tersebut pun dilakukan oleh anak pada setiap harinya, maka pendidik dapat mengajarkan secara bertahap dan berkesinambungan serta konsisten dilakukan, sehingga pendidik dapat mengevaluasi level bantuan yang diberikan kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak pada setiap harinya.
Melalui kegiatan pengembangan kemandirian, pendidik diharapkan dapat menerapkan scaffolding yang sesuai bagi setiap individu anak, hal ini dikarenakan setiap anak dalam setiap situasi membutuhkan scaffolding yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik seyogyanya memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai tahapan dan perkembangan anak serta memiliki kemampuan untuk mengenal karakteristik setiap individu anak, sehingga dapat menerapkan scaffolding pada pelaksanaan aktivitas di sekolah untuk mencapai kemandirian anak sesuai dengan perkembangan usianya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dibahas, maka untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian mengenai proses scaffolding yang tepat dalam mengembangkan kemandirian anak. Oleh karena itu penelitian ini diberi judul "UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING".

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah secara umum adalah "bagaimana proses scaffolding pada pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak usia playgroup".
Adapun secara lebih khusus mengenai rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah kondisi awal perkembangan kemandirian anak di Playgroup X sebelum diberikan scaffolding ?
2. Bagaimanakah proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak Playgroup X ?
3. Bagaimanakah kemandirian anak di Playgroup X setelah diberikan scaffolding ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dialami oleh guru dalam menerapkan scaffolding di Playgroup X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran kondisi yang sebenarnya mengenai kemandirian yang dimiliki oleh anak Playgroup X sebelum diberikan scaffolding dan memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang seyogyanya dimiliki oleh anak Playgroup X.
2. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak.
3. Memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang dimiliki anak setelah diberikan scaffolding.
4. Mengetahui kendala-kendala yang dial ami oleh guru dalam upaya mengembangkan kemandirian anak dengan scaffolding.