Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis kesehatan masyarakat. Show all posts
TESIS ANALISIS PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN ADMINISTRASI RSUD

TESIS ANALISIS PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN ADMINISTRASI RSUD

(KODE : PASCSARJ-0278) : TESIS ANALISIS PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN ADMINISTRASI RSUD (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya satu orang, tetapi untuk seluruh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak hal yang diperlukan. Salah satu yang dinilai dalam mewujudkan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan keperawatan. Sedangkan pelayanan administrasi mencakup tentang segala sistem administrasi pegawai maupun data-data tentang pasien rumah sakit (Muninjaya, 2004).
Pelayanan administrasi memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tokoh penting dalam pelayanan administrasi adalah karyawan administrasi. Karyawan sebagai garis depan dalam suksesnya sebuah organisasi.
Dessler dan Gary (1994) juga menjelaskan bahwa keberhasilan suatu institusi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu sumber daya manusia atau tenaga kerja dan sarana dan prasarana pendukung atau fasilitas kerja. Dari kedua faktor utama tersebut sumber daya manusia lebih penting daripada sarana dan prasarana pendukung. Secanggih dan selengkap apapun fasilitas pendukung yang dimiliki suatu organisasi kerja, tanpa adanya sumber yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya, maka niscaya organisasi tersebut dapat berhasil mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasinya. Kualitas sumber daya manusia tersebut diukur dari kinerja karyawan (performance) atau produktivitasnya (Dessler, 1994).
Kinerja karyawan dapat dinilai berdasarkan tingkat pencapaian kerja yang dilaksanakan oleh karyawan dan efektifitas keseimbangan antara pekerjaan individu dan lingkungan yang berada di dekatnya. Kinerja karyawan yang optimal akan mempermudah pencapaian tujuan organisasi (Muninjaya, 2000). Seperti yang dikatakan oleh Azwar (1996) menyebutkan bahwa tugas seorang administrator atau manajer di rumah sakit untuk melakukan upaya sedemikian rupa sehingga dapat memotivasi karyawan untuk secara bertanggung jawab melaksanakan berbagai aktifitas yang telah disusun.
Salah satu cara yang ditempuh manajer rumah sakit untuk meningkatkan hasil kerja yang baik dan memperoleh keuntungan organisasi secara optimal sesuai dengan tujuan yang ditetapkan adalah melalui manajemen organisasi yang efektif dan efisien. Dalam hal ini prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) memegang peranan penting, sebagai sarana untuk mengukur kinerja suatu organisasi yang baik (Surya, 2008).
Penerapan good corporate governance dimaksudkan agar terciptanya keterbukaan informasi, adanya pertanggungjawaban pimpinan, perlakuan adil bagi setiap karyawan dalam menjalankan kewajiban dan menerima hak-haknya sebagai karyawan maupun adanya keterlibatan dari seluruh karyawan dalam pengembangan organisasi rumah sakit menjadi lebih baik lagi.
Tujuan utama penerapan prinsip GCG adalah mencapai optimalisasi kinerja para karyawan yang intinya akan meningkatkan kinerja organisasi, maka kepentingan manajemen dan karyawan haruslah mendapat perlakuan yang seimbang dan wajar sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Direktur Administrasi Umum dan Kepala Bagian Tata Usaha RSUD X pada bulan Oktober 2009 bahwa prinsip-prinsip GCG sudah mulai diterapkan di rumah sakit tersebut. Misalnya dalam penerapan prinsip transparansi, rumah sakit telah menyajikan informasi materiil dan non materiil rumah sakit secara transparan kepada public. Dalam penerapan prinsip akuntabilitas, pimpinan rumah sakit memberikan unit kerja dan wewenang yang jelas kepada setiap karyawan yang ditetapkan dalam suatu surat keputusan, dan penjabaran wewenang kerja tersebut dapat dilihat pada struktur organisasi yang terpajang di setiap sudut ruangan rumah sakit. Demikian juga dalam penerapan prinsip fairness, setiap karyawan mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh tunjangan dan gaji sesuai dengan golongan dan pangkat kerja masing-masing. Dalam penerapan prinsip partisipasi, setiap karyawan selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi rumah sakit.
Pendapat di atas sedikit berbeda dengan hasil pengamatan dan hasil wawancara dengan beberapa karyawan di RSUD X, menurut karyawan penerapan prinsip GCG belum diterapkan secara baik di rumah sakit tersebut, misalnya laporan keuangan tidak pernah disajikan secara transparan kepada karyawan, seleksi penerimaan pegawai kadangkala bersifat situasional, artinya tertutup dan tidak diberikan informasi kepada public, meskipun menurut pimpinan rumah sakit hal ini dilakukan karena kebutuhan tenaga yang harus ditanggulangi segera. Belum adanya system reward yang baik berupa penghargaan yang diberikan kepada karyawan yang telah berpartisipasi dalam pengembangan rumah sakit. Keluhan lainnya adalah dalam pembagian tunjangan seperti Jamkesmas, dan lain-lain, tidak disajikan secara transparan dan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, sehingga menimbulkan konflik antara karyawan dan pimpinan rumah sakit.
Meskipun RSUD X telah menyusun rencana strategi yang baik dalam penerapan prinsip GCG tahun 2000, kenyataannya menunjukkan masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari seringnya muncul pemberitaan di media massa tahun 2009 terhadap ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan petugas kesehatan, baik dokter, perawat, maupun staf administrasi lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan karyawan bagian administrasi umum pada bulan Oktober 2009 diperoleh bahwa salah satu faktor ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan di rumah sakit adalah karena rendahnya kinerja karyawan dalam memberikan pelayanan. Kemampuan manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan juga masih kurang baik, misalnya dalam pemberian sistem reward terhadap karyawan, kurangnya prinsip keadilan dalam penentuan besarnya biaya tunjangan kesehatan terhadap setiap karyawan, promosi jabatan yang belum sesuai dengan harapan dan kebijaksanaan pimpinan belum sepenuhnya berpihak kepada karyawan.
Rendahnya sistem administrasi rumah sakit merupakan hal yang sangat signifikan untuk dipertanyakan adalah kinerja karyawannya dan penerapan prinsip good corporate governance diterapkan di bagian administrasi di rumah sakit. Mutu dan kualitas pelayanan rumah sakit menjadi lebih baik dan memuaskan dan tidak menimbulkan keluhan masyarakat dalam menerima pelayanan bagian administrasi di rumah sakit karena baiknya sistem administrasi sebuah rumah sakit (Surya, 2008).
RSUD X dituntut untuk melakukan pembenahan terhadap tata organisasi rumah sakit yang sesuai dengan prinsip GCG untuk mencapai good governance (tata pemerintahan yang baik). Rumah sakit dituntut untuk lebih profesional dalam mengelola manajemen pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melaksanakan prinsip GCG, dengan menerapkan nilai-nilai antara lain keterbukaan, dan kerahasiaan transparansi, akuntabilitas, prinsip keadilan dan aturan dari code of conduct dan partisipatif (Renstra RSUD X, 2006).
Berdasarkan data dari RSUD X diperkirakan masalah GCG Bagian Administrasi Umum ini terkait dengan : 1). Pelayanan administrasi umum, kepegawaian, rumah tangga dan perlengkapan, 2). Pelayanan administrasi penerimaan, mobilisasi dana dan pengeluaran), 3). Pelayanan administrasi akuntansi manajemen, verifikasi dan pelaporan) dan 4). Pelayanan administrasi perencanaan anggaran, informasi, komunikasi, evaluasi dan pelaporan program (Renstra RSUD X, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian dengan Kepala Bagian Administrasi Umum RSUD X pada bulan Oktober 2009, bahwa bentuk penerapan prinsip transparansi pada bagian tata usaha ditunjukkan dengan adanya daftar kepegawaian rumah sakit yang jelas, sedangkan pada bagian keuangan dan akuntansi adanya laporan penerimaan dan penggunaan anggaran, namun dalam pelaksanaannya laporan tersebut belum disajikan secara jelas kepada semua karyawan, pada bagian bina program prinsip ini ditunjukkan dengan adanya penyajian secara transparan terhadap daftar inventaris rumah sakit.
Penerapan prinsip akuntabilitas pada bagian tata usaha dapat dilihat pada pembagian tugas dan wewenang yang jelas pada masing-masing jabatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Daerah tahun 2006. Pada bagian akuntansi dan keuangan ditunjukkan dengan pembagian Tunjangan Penghasilan Kerja (TPK) yang sesuai dengan golongan dan kepangkatan setiap karyawan. Bagian bina program setiap akhir tahun diharuskan melaporkan penerimaan dan penggunaan daftar inventaris rumah sakit.
Penerapan prinsip keadilan pada bagian tata usaha diwujudkan dengan penempatan posisi kerja sesuai dengan keahlian dan keterampilan karyawan, pada bagian akuntansi dan keuangan setiap karyawan mendapatkan hak yang sama dalam penerimaan TPK yang diatur dengan Peraturan Gubernur tahun 2007 dan penerimaan tunjangan lainnya yang diatur dengan Surat Keputusan Direktur. Bentuk partisipasi dari prinsip GCG yang telah diterapkan di bagian tata usaha RSUD X diantaranya adalah setiap karyawan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan sesuai dengan keahlian dan potensi yang dimiliki.
Jumlah karyawan di RSUD X tahun 2008 adalah 847 orang, terdiri dari 97 orang (11,45%) tenaga medis, 180 orang (21,25%) tenaga paramedis non keperawatan, 401 orang (47,34%) tenaga medis keperawatan dan sisanya 169 orang (8,15%) tenaga non medis. Dari 169 orang tenaga non medis, 71 orang diantaranya adalah tenaga administrasi umum (Sub Bagian Kepegawaian RSUD X tahun 2009).
Berdasarkan paparan diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang analisis persepsi karyawan bagian administrasi umum tentang penerapan prinsip Good Corporate Governance (transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi) kaitannya dengan kinerja karyawan di RSUD X.

B. Permasalahan
Berdasarkan permasalahan di atas, perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana analisis penerapan prinsip Good Corporate Governance (transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi) terhadap kinerja karyawan di Bagian Administrasi Umum RSUD X.

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis penerapan prinsip Good Corporate Governance (transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi) terhadap kinerja karyawan di Bagian Administrasi Umum RSUD X.
.
D. Manfaat Penelitian
1. Bahan masukan bagi RSUD X dalam meningkatkan performance rumah sakit melalui peningkatan prinsip GCG.
2. Memberikan informasi kepada manajemen RSUD X khususnya bagi pemerintah daerah tentang transparansi keuangan, dan prinsip keadilan dalam pengelolaan keuangan Rumah Sakit seperti yang tercantum dalam konsep GCG sehingga menumbuhkan kepercayaan terhadap manajemen rumah sakit.
3. Untuk menambah wawasan bagi peneliti tentang manajemen rumah sakit khususnya dalam penerapan prinsip GCG.
4. Memberikan kontribusi keilmuan manajemen strategis dan konsep GCG di rumah sakit serta menjadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

(KODE : PASCSARJ-0277) : TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen Kesehatan RI telah menyusun prioritas sasaran penanggulangan penyakit menular pada Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009-2014. Penyakit yang menjadi prioritas tersebut diantaranya adalah penyakit menular tertentu yang menjadi isu global seperti Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), Malaria, Kusta, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan Filariasis. ADDS merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang memerlukan penanganan serius. Penyebab penyakit ini adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penurun kekebalan tubuh pada manusia yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS. AIDS merupakan penyakit yang telah meluas hingga menjadi masalah internasional. Pertambahan kasus dan penyebaran yang cepat serta belum ditemukannya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia akan perkembangan penyakit ini (Bappenas, 2009).
Menurut laporan tahunan terbaru badan PBB, UNAIDS (AIDS epidemic update 2009), jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS di dunia dalam delapan tahun terakhir mengalami penurunan hingga 17%, Sub Sahara Afrika 15%, Asia Timur 25% dan Asia Tenggara 10%. Hal ini menyatakan bahwa program-program pencegahan HIV yang gencar digalakkan oleh World Health Organization (WHO) dan UNAIDS telah berdampak signifikan. Walaupun mengalami penurunan, jumlah penderita HIV/AIDS di Sub Sahara Afrika dan negara berkembang tetap tinggi.
Asia merupakan wilayah dengan penduduk terinfeksi HIV terbesar kedua di dunia setelah Sub-Sahara Afrika. Berdasarkan data UNAIDS (2008), di Asia terdapat 4,7 juta orang terinfeksi HIV, dengan CFR 7,02%. Jumlah kasus baru 350.000 orang (7,44%) dengan 21.000 orang (6%) diantaranya adalah anak-anak.
Berdasarkan data SEARO (South East Asia Regional Office) tahun 2009, India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan Thailand merupakan negara dengan penyebaran HIV/AIDS terbesar. Diperkirakan 2,3 juta penduduk di India menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa 0,34%. Di Myanmar diperkirakan 242.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,67%, dan 70.000 orang penduduk Nepal diperkirakan telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,5%. Di Thailand, diperkirakan 547.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 1,4%.
Di Indonesia berdasarkan data SEARO (2009), diperkirakan 270.000 orang menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,17% dan 28% diantaranya adalah perempuan. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui penggunaan narkoba suntikan atau IDU sebesar 40%, Wanita Pekerja Seks (WPS) 22%, pelanggan wanita pekerja seksual 16%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 4%, wanita dengan pasangan berisiko tinggi 17%, dan Narapidana serta anak-anak jalanan 1%. Secara keseluruhan, estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di kawasan SEARO tahun 2009 mengalami penurunan namun epidemik HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat. Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia.
Berdasarkan Laporan Surveilans AIDS Kemenkes RI bulan April sampai dengan Juni 2011, diketahui 2.001 kasus AIDS, dengan proporsi pada laki-laki sebesar 64,9% (1.298 kasus) dan perempuan sebesar 54,2% (703 kasus). Menurut data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI tahun 2011, jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 meningkat menjadi 29.879 kasus dengan total kematian 5.430 orang (CFR 18,17%). Prevalensi kasus AIDS nasional pada tahun 2011 adalah 12,45/100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua 157,02/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi terendah dilaporkan dari Provinsi Kalimantan Timur 0,39/100.000 penduduk, sementara Provinsi Riau berada pada urutan kesembilan dengan prevalensi 12,73/100.000 penduduk.
Lokasi prostitusi di Kecamatan X merupakan salah satu lokasi prostitusi yang terbesar di Kabupaten Y, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK. Tetapi angka tersebut bukanlah suatu angka yang pasti, dikarenakan adanya kesulitan untuk dapat mengumpulkan data yang tepat dan akurat serta tingginya turn over PSK dari satu kota ke kota lain. Pada tahun 2011 telah dilakukan pemeriksaan serosurvey pada 47 PSK di lokasi tersebut, dari hasil pemeriksaan ditemukan 3 sampel menderita HIV/AIDS (Subdin P2PL Dinkes Y, 2011).
Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, PSK yang bekerja di lokasi prostitusi di Kecamatan X tersebut berpotensi terkena penyakit AIDS. Di samping tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah, pengetahuan mereka tentang penyakit HIV/AIDS juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS hanya menular pada kaum homoseksual saja. Di samping itu PSK juga beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS timbul setelah adanya gejala-gejala seperti rasa sakit sewaktu buang air kecil, dan gatal-gatal pada kemaluan. Salah satu PSK juga mengakui bahwa pada saat melakukan aktivitas seksualnya tidak menggunakan alat pengaman yaitu kondom.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi HIV/AIDS di Kecamatan X adalah dengan mencegah terjadinya penularan oleh penderita AIDS, dan dukungan dari petugas kesehatan dalam pencegahan penularan virus HIV melalui pemberian informasi berupa konseling bagi menderita HIV. Menurut Notoatmodjo (2007), adanya informasi tentang kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang kesehatan.
Allport dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan tindakan yang baik pula.
Adanya pengetahuan tentang HIV/AIDS maka muncullah sikap yang berupa kesadaran dan niat untuk melakukan pencegahan penularan HIV, misalnya dengan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Green dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom pria salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan (faktor predisposisi). Didukung pula dengan penjelasan menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, maka apa yang dipelajari antara lain perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangsung lama. Hal ini berarti jika semakin baik pengetahuan seseorang mengenai HIV/AIDS, maka mempengaruhi tindakan untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks.
Pengetahuan tentang HIV dan pencegahannya merupakan prasyarat penting untuk menerapkan perilaku sehat. Meskipun sebagian besar generasi muda (usia 15-24 tahun) di negara ini pernah mendengar tentang HIV/AIDS, tetapi diketahui bahwa dari 95% target yang ditetapkan PBB, ternyata hanya 14,7% laki-laki menikah dan sekitar 9,5% perempuan menikah yang memiliki pengetahuan komprehensif dan benar mengenai AIDS. Sedangkan pada kelompok yang belum menikah, angka ini bahkan sangat rendah yakni 1,4% pada laki-laki yang belum menikah dan 2,6% pada perempuan yang belum menikah (Bappenas, 2009).
Berdasarkan berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perilaku dan sosiodemografi terhadap upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

B. Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Y dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Y.
2. Bagi akademik, dapat memberikan tambahan literatur mengenai perilaku pekerja seks komersial (PSK) dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.
3. Bagi penulis, sebagai pengembangan ilmu yang didapat di perkuliahan terutama yang berhubungan dengan perilaku pekerja seks komersial (PSK)dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.

TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

(KODE : PASCSARJ-0257) : TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang alami yang disediakan untuk bayi. Pemberian ASI secara eksklusif serta proses menyusui yang benar merupakan sarana yang dapat diandalkan untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, karena ASI adalah makanan satu-satunya yang paling sempurna untuk menjamin tumbuh kembang bayi pada enam bulan pertama. Selain itu dalam proses menyusui yang benar, bayi akan mendapatkan perkembangan jasmani, emosi maupun spiritual yang baik dalam kehidupannya.
Namun demikian masih banyak ibu-ibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan antara lain karena kemampuan bayi untuk menghisap ASI kurang sempurna sehingga secara keseluruhan proses menyusu terganggu. Di samping itu selama ini penolong persalinan selalu memisahkan bayi dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai, dan diberi pakaian sehingga proses menyusu dalam satu jam pertama setelah kelahiran tidak terlaksana.
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan kepada bayi untuk mencari dan menghisap ASI sendiri, dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya, untuk menjamin berlangsungnya proses menyusui yang benar, dengan menyusu secara baik dan benar maka kematian bayi serta gangguan perkembangan bayi dapat dihindari (Roesli, 2008).
Pelaksanaan IMD pada saat setelah bayi lahir yang diterapkan pada setiap ibu yang akan melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu dan bayi karena proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan pada bayi untuk mencari dan mengisap ASI sendiri dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya. Menurut Karen dan Edmon (2006) dengan pelaksanaan IMD 22% dapat menyelamatkan nyawa bayi umur di bawah 28 hari dan ternyata bayi yang diberi kesempatan untuk menyusu dini delapan kali lebih berhasil diberi ASI eksklusif (Fika dan Syafiq, 2003).
Manfaat dari IMD yaitu apabila terjadi kontak kulit dan hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu ibu dan sekitarnya, emutan, jilatan bayi pada puting ibu, merangsang pengeluaran hormon oksitosin, hormon oksitosin ini sangat membantu rahim ibu untuk berkontraksi sehingga merangsang pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan setelah melahirkan.
Pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur enam bulan pada setiap ibu yang mempunyai bayi sangat diharapkan, karena mempunyai manfaat baik untuk ibu maupun untuk bayi itu sendiri. Apabila bayi diberikan ASI secara eksklusif maka bayi akan memperoleh nutrisi yang mengandung zat yang sangat sempurna, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kecerdasan. Juga dirasakan manfaatnya oleh sang ibu apabila menyusui secara eksklusif, dapat mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, lebih cepat langsing, mengurangi kemungkinan menderita kanker payudara, lebih ekonomis, tidak merepotkan dan menghemat waktu, serta memberi kepuasan bagi sang ibu.
Karena kurang pemahaman tentang inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif tidak dihiraukan : bayi tidak dilakukan IMD, pemberian pisang sebagai makanan utama, memberi susu formula, memberikan makanan siap saji, padahal penyuluhan tentang IMD dan ASI eksklusif semakin gencar, petugas kesehatan sudah banyak dilatih baik itu pelatihan IMD maupun ASI eksklusif, posyandu semakin aktif, promosi bidan delima dan lain-lain.
Pemahaman tentang IMD dan pemberian ASI secara eksklusif merupakan persoalan yang sangat penting. Yang memungkinkan terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif apabila individu, keluarga, petugas kesehatan serta masyarakat sudah memahami tentang pengertian, manfaat, serta tujuan dari IMD dan pemberian ASI secara eksklusif. Anggapan ini sejalan dengan pendapat Roesli (2008), bahwa ketidak keberhasilan ibu menyusui bayinya sampai usia enam bulan, sebenarnya hanya satu masalah, yaitu ibu belum memahami sepenuhnya cara menyusui yang benar termasuk teknik dan cara memperoleh ASI terutama saat mereka harus bekerja.
Tidak terlaksana IMD sering terjadi pada ibu yang melahirkan secara operasi disebabkan karena ibu dilakukan anestesi yang menyebabkan ibu mengantuk sehingga kurang respon terhadap bayi, petugas di kamar operasi terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk melakukan IMD. Padahal menunda permulaan menyusu lebih dari satu jam menyebabkan kesukaran menyusui (Lennart, 1999).
Pemberian ASI tidak secara eksklusif sering terjadi karena ibu dan keluarga menganggap bahwa ASI saja tidak mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi sehingga diperlukan makanan tambahan, hal ini dapat mengganggu kehidupan bayi, Karena pada umur 0-6 bulan bayi hanya memerlukan ASI sebagai makanan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan otak sehingga tidak menyebabkan "otak kosong". Otak kosong dapat menimbulkan "lost generation”, yaitu generasi yang tidak mampu bersaing atau berkompetisi secara sehat di masyarakat (Nency, 2005).
Menurut Nency (2005), bahwa otak merupakan suatu aset yang vital bagi anak untuk dapat menjadi manusia yang berkualitas di kemudian hari. otak kosong adalah rendahnya tingkat kecerdasan anak yang menyebabkan rendahnya kemampuan untuk mengikuti pendidikan dan tidak memiliki daya saing. Tingkat kecerdasan yang rendah diakibatkan rendahnya asupan protein, zat besi, vitamin dan asam lemak omega 3 pada masa pembentukan otak yaitu usia 0-2 tahun (Soesilawati dalam Seminar harapan, 25 januari 2002).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas X, jumlah bayi dari mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2009 sebanyak 262 orang, bidan yang melakukan IMD pada bayi yang baru lahir sebanyak 30% dari persalinan yang ditolong oleh bidan. Sedangkan bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif hanya 35% diberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia sampai 6 bulan.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan X. Karena dari 12 Kecamatan yang ada, Kecamatan X yang banyak penduduknya serta tenaga bidan yang bertugas di Puskesmas X juga cukup memadai yaitu sebanyak 25 orang, baik yang bertugas di Puskesmas maupun yang membina Desa. Persalinan pada umumnya ditangani oleh tenaga kesehatan, hanya sebagian kecil yang masih ditangani oleh dukun kampung. Bidan yang bertugas di Puskesmas maupun yang membina desa sebagian besar sudah mengikuti pelatihan baik itu pelatihan asuhan persalinan normal (APN), inisiasi menyusu dini (IMD), dan konselor air susu ibu (ASI). Namun pada kenyataannya masih ada ibu-ibu yang mempunyai bayi pada saat melahirkan tidak dilakukan IMD, dan pemberian ASI secara eksklusif.
Dengan berbagai alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk dapat mengangkat penyebab-penyebab tidak terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta penyebab-penyebab terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Pengkajian dalam penelitian ini adalah penyebab tidak terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan, serta penyebab terlaksana IMD dan pemberian ASI secara eksklusif.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis alasan/penyebab mengapa sebagian masyarakat kecamatan X tidak melaksanakan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta alasan/penyebab melakukan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X sebagai bahan masukan evaluasi keberhasilan program pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga dapat membuat suatu kebijakan untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
2. Sebagai bahan masukan kepada Puskesmas X untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta bahaya pemberian makanan terlalu dini pada bayi yang baru lahir juga dapat meningkatkan peran kader posyandu di masyarakat.

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

(KODE : PASCSARJ-0244) : TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, sehingga pengembangan rumah sakit tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan, saling keterkaitan ini terlihat jelas dari visi pembangunan kesehatan yakni Indonesia sehat 2010 yang terwujud dalam undang-undang bidang kesehatan no 23/1992.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI. No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan subspesialistik serta memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting rumah sakit merupakan salah satu industri jasa. Bentuk pelayanan ini bersifat sosio ekonomi yaitu suatu usaha yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa mendapat surplus keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip ekonomi (Djododibroto, 1997).
Pelayanan kesehatan yang kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ukuran kompleksitas, jumlah unit, jumlah kualifikasi staf medis dan non medis, si stem keuangan serta si stem informasi) tetapi menyangkut pula pada kwalitas pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah telah merencanakan visi “Indonesia Sehat 2010". Dimana dalam visi tersebut pemerintah bertekad untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Bambang, 2002). Dalam mencapai visi tersebut, salah satu strategi yang harus di lakukan adalah meningkatkan profesionalisme termasuk profesionalisme masyarakat pekerja rumah sakit. Pekerja di rumah sakit termasuk kelompok masyarakat yang turut berperan dalam mencapai" Indonesia Sehat 2010. Oleh karena itu pekerja rumah sakit merupakan sumber daya manusia yang harus dibina agar menjadi produktif dan berkualitas (Depkes RI, 2003).
Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai yang spesialistik dan mempunyai karakteristik pelayanan yang berbeda dengan industri jasa lainnya.
Menurut Yanuar Hamid (2004) Rumah Sakit mempunyai karakteristik sebagai berikut : 
1. Diberikan selama 24 jam terus menerus selama 365 hari dalam setahun
2. Pelayanan bersifat individual
3. Setiap saat bisa terjadi kedaruratan medik
4. Setiap saat bisa menghadapi kejadian luar biasa
5. Padat teknologi, modal dan tenaga.
Di Rumah Sakit, sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat, sehingga kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik buruk nya kwalitas pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang diopname. Penanganan pada pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat.(Hamid, 2001).
Peran perawat sangat penting karena sebagai ujung tombak dirawat inap dan merupakan tenaga yang paling lama kontak dengan pasien yaitu selama 24 jam. Hal ini akan menyebabkan stressor yang kuat pada perawat di lingkungan pekerjaan nya (Anna Keliat, 1999)
Gibson dalam Heater Marr (1987) mengatakan, salah satu unsur yang sangat menentukan dan saling mempengaruhi dalam mutu pelayanan keperawatan adalah unsur proses yang dilakukan perawat, tindakan yang tidak sesuai dengan standard keperawatan akan sulit untuk mencapai kualitas mutu pelayanan keperawatan.
Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang bervariasi, tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik tersebut meliputi karakteristik tugas (yang membutuhkan kecepatan, kesiagaan serta kerja shift), karakteristik organisasi, serta karakteristik lingkungan kerja baik lingkungan fisik dan sosial. Selain itu perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya.
Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanakan pengkajian yang mendalam di area praktek nya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggungjawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmu.
Hal ini sejalan dengan penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administratif dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya.
Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa.
Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya.
Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998).
Sebuah survei di Prancis menyebutkan persentase kejadian stres sekitar 74% di alami perawat, mereka mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres Perawat (Frasser, 1997).
Tingkah laku negatif pekerja yang mengalami stres berkorelasi dengan hasil kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, tendensi mengalami kecelakaan kerja, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan merupakan hambatan baik dalam management maupun oprasional kerja serta dapat menurunkan produktivitas kerja terutama mutu pelayanan (Scholler, 1980).
Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya.
Hasil penelitian Plaut dan Friedman (1981), Baker, (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting disease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan menurun.
Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, dimana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak pekerja yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan atau kesalahan yang berulang (Rini, 2002).
Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).
Beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif (French dan Kaplan, 1973). Beban kerja perawat di rumah sakit meliputi beban kerja fisik dan mental. Beban kerja bersifat fisik meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur, mendorong brankas pasien. Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift atau bergiliran, kompleksitas pekerjaan (mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan memerlukan operasi atau dalam keadaan kritis), bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien, tanggung jawab terhadap kesembuhan serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Beban kerja yang terbagi atau mendadak tidaknya suatu tugas, kesulitan tugas, ketercukupan waktu penyelesaian, teman kerja yang bisa membantu dan kelelahan menyelesaikan tugas.
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Rumah sakit Umum X adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum X, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perawatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum X Kabupaten X terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 WIB-14.00 WIB, siang dari 14.00 WIB-21.00 WIB, malam dari jam 21.00 WIB-08.00 WIB.
Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum X Kabupaten X.

B. Permasalahan
Bagaimana pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stress kerja pada perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan pada Rumah Sakit Umum X tentang pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat di ruang rawat inap.
2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan tentang stres dalam lingkungan pekerjaan.

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

(KODE : PASCSARJ-0243) : TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris di temukan diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2, 5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Pada awalnya kasus DBD memperlihatkan siklus lima tahun sekali selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2008).
Kota X merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai mobilitas penduduk cukup tinggi yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya KLB penyakit DBD. Berdasarkan data dari Bidang PMK Dinas Kesehatan Kota X pada tahun 2007 angka kesakitan DBD di Kota X adalah sebesar 132, 12 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2008 angka kesakitan DBD di kota X sebesar 101.72 per 100.000 penduduk, dimana dari angka tersebut terjadi penurunan bila dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2009, angka kesakitan DBD di kota X sebesar 61, 4 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi mengalami peningkatan yang sangat berarti bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 243, 7 per 100.000 penduduk, kasus tertinggi ditemukan di kecamatan X dengan 216 kasus, sedangkan pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 60, 16 per 100.000 penduduk (142 kasus) mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (Profil Kesehatan Kota X, 2011).
Berdasarkan hasil pencatatan Penyakit Menular Kesehatan (PMK) Dinkes Kota X (2011) seluruh kecamatan di Kota X berstatus endemis DBD. Kecamatan yang paling sering mengalami peningkatan kasus DBD adalah Kecamatan X, dimana rata-rata angka IR demam berdarah dengue lima tahun terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu < 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan X tahun 2007 sebesar 198, 4 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 163, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2009 sebesar 50, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400, 5 per 100.000 penduduk, dan tahun 2011 sebesar 100, 1 per 100.000 penduduk.
Diduga tingginya angka kejadian DBD ini disebabkan masih banyaknya tempat perindukan nyamuk yang berupa bak mandi, ember, gentong, TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari misalnya vas bunga, ban bekas, tempat sampah, tempat minum burung, dan Iain-lain, serta tempat penampungan air alamiah yaitu lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang batu, dan Iain-lain (Depkes, 2005).
Meningkatnya jumlah kasus DBD serta bertambah luasnya wilayah yang terjangkit dari waktu ke waktu di Indonesia disebabkan multi faktorial antara lain semakin majunya sarana transportasi masyarakat; kian padatnya pemukiman penduduk; perilaku manusia seperti kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk; kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air yang tertampung di dalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus; dan terdapatnya nyamuk Aedes Aegipty sebagai vektor utama penyakit DBD hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus Dengue yang bersirkulasi setiap sepanjang tahun (Ginanjar, 2008 & Kemenkes RI, 2004).
Demikian juga menurut Soegijanto (2006) banyak faktor yang memengaruhi kejadian penyakit DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, lingkungan (environment), dan respon imun. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptibility), dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, kebiasaan, sosial ekonomi penduduk, jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis seroptipe vims Dengue yaitu Dengue 1, 2, 3, 4.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penelitian Rose (2008) tentang hubungan sosio demografi dan lingkungan fisik dengan kejadian DBD di Kota Pekan Baru, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik seperti jarak rumah, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kejadian DBD (OR= 1, 79. dan OR= 0, 34). Demikian juga halnya dengan penelitian Marsaulina (2005) menyatakan penampungan air terhadap kejadian DBD (dengan OR 5, 8 dan 4, 6). Penelitian Fathi, et.al, (2005) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian KLB penyakit DBD, dan penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD adalah keberadaan kontainer.
Faktor kebiasaan masyarakat seperti kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari, dan kebiasaan menggantung pakaian juga berpotensi menimbulkan tingginya kejadian DBD. Sebagaimana hasil penelitian Sitio (2008) tentang hubungan prilaku PSN dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD tahun 2008 mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara kebiasaan keluarga memakai anti nyamuk di siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian siap pakai dengan kejadian DBD (p = 0, 026 ; OR = 4, 34 dan p = 0, 018; OR = 5, 50).
Departemen Kesehatan telah mengupayakan pelbagai strategi untuk mengatasi peningkatan kejadian DBD ini. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD menurut Depkes adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larva sida yang ditaburkan ke tempat penampungan air. Namun kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambah jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan virus vaksin untuk membunuh virus Dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah DBD ialah dengan PSN melalui gerakan 3M Plus yaitu menguras, menutup dan mengubur, ikanisasi di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, yang dilaksanakan oleh masyarakat secara teratur setiap minggunya.
Berdasarkan kajian tersebut diduga kuat ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Kecamatan X merupakan wilayah berstatus endemis DBD dimana angka kejadian DBD terus menerus meningkat dan berfluktuasi setiap tahunnya dan sampai saat ini belum diketahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian DBD serta keeratan hubungannya. 

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kota X melalui Dinas Kesehatan Kota X dalam merencanakan strategi yang tepat dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Kota X.
2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue.
3. Menambah referensi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD.