Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis ekonomi islam. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis ekonomi islam. Show all posts
TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT)

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT)

(KODE : PASCSARJ-0265) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT) (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Resesi perekonomian Indonesia pada tahun 1997 secara nyata menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberi pelajaran penting tentang kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Perekonomian negeri ini ternyata di kuasai sektor korporasi atau usaha besar yang di kuasai segelintir orang. Sementara itu di sisi lain, pilar pembangunan ekonomi lainnya seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Namun, ironisnya ketika terjadi krisis terbukti sektor korporasi tidak mampu bertahan dengan baik, justru UMKM yang tadinya di anggap kurang berperan dalam perekonomian nasional terbukti lebih mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang mengarah pada krisis multidimensi tersebut. Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor ini dengan melahirkan paradigma pengembangan sarana penunjang sektor UMKM yakni lembaga keuangan mikro (LKM) yang sustainable.
Di lain sisi, kita patut bersyukur bahwa saat ini perkembangan industri keuangan syariah telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perkembangannya sendiri secara informal telah di mulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.
Selain perbankan syariah dan asuransi syariah saat ini telah banyak lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) sebagai lembaga keuangan Non-Bank yang telah menunjukkan tajinya. LKMS ini bernama BMT yakni Balai Usaha Mandiri Terpadu atau lebih di kenal dengan istilah Baitul Maal wat Tamwil. BMT menggunakan prinsip-prinsip syariah dan bebas dari unsur riba yang diharamkan di dalam Islam. Adapun fungsi lembaga ini adalah sebagai pendukung peningkatan kualitas usaha ekonomi pengusaha mikro dan pengusaha kecil yang berdasarkan sistem syariah. Menurut Madjid kegiatan BMT untuk mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil antara lain dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya (hal. 182, 2000).
Baitul Maal Wat Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro non-bank yang proses operasionalnya menyerupai proses operasional perbankan syariah yakni dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam khususnya yang menyangkut tata-cara ber muamalat secara Islam. Perwataadmatja menyebutkan bahwa tata cara ber muamalat dalam operasionalisasi bank syariah pada dasarnya menjauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk di isi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan (hal. 38, 1992).
Dilihat dari alur operasional dan konsep syariahnya, lembaga-lembaga keuangan syariah, baik Bank Umum Syariah (BUS), Kantor Cabang Syariah dari Bank Konvensional, Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Syariah (BPRS) maupun Baitul Maal Wat Tamwil tidaklah berbeda. Menurut Wiroso yang membedakan adalah pada skala bisnisnya saja. Bank Umum Syariah (BUS) menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang besar, Bank Perkreditan Syariah (BPRS) menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang sedang sedangkan Baitul Maal Wat Tamwil menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang relatif kecil. Jumlah dana yang di himpun dan disalurkan tersebut sangat tergantung pada besarnya risiko yang di tanggung oleh masing-masing lembaga keuangan syariah (hal. 8, 2005).
Menurut Karim (2003), pada dasarnya produk yang ditawarkan oleh perbankan atau lembaga keuangan syariah dapat di bagi menjadi tiga bagian besar, yaitu : (1). Produk penyaluran dana (pembiayaan/financing), (2). Produk penghimpunan dana (funding) dan (3). Produk jasa (service). Secara garis besar, produk pembiayaan (penyaluran dana) di bagi menjadi empat kategori, yaitu : (a). pembiayaan dengan prinsip jual beli, (b). pembiayaan dengan prinsip sewa, (c). pembiayaan dengan prinsip akad pelengkap, serta (d). pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
BMT merupakan bentuk lembaga jasa keuangan mikro Syariah yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BMT di Indonesia tumbuh dari bawah yang di dukung oleh deposan-deposan kecil. Menurut Widodo pada tahun 2005 telah tercatat jumlah BMT di Indonesia telah mencapai 3.037 buah dengan total aset Rp 300 miliar dan dana swadaya masyarakat Rp 264 miliar. Dari 3.037 BMT yang aktif di Indonesia hanya 63 yang memiliki aset di atas Rp 1 miliar, 1.200 lembaga memiliki aset Rp 50-100 juta, dan 299 lembaga beraset di bawah Rp 50 juta (hal. 34, 1999). Bahkan, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PINBUK beberapa BMT yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia memiliki tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) yang cukup besar mulai dari yang terendah dengan FDR sebesar 86% dan yang tertinggi hingga mencapai 136%. 
Walaupun tidak di akui sebagai bank, namun BMT terbukti telah mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang mengelola dana dari untuk dan oleh masyarakat. Idealnya keseluruhan dana yang terhimpun harus dapat disalurkan kepada masyarakat dengan kapasitas pembiayaan skala mikro maupun skala kecil mengingat salah satu karakteristik lembaga keuangan syariah menurut Wiroso antara lain bahwa secara konseptual kegiatannya lebih banyak terkait dengan sektor riil dibandingkan dengan sektor moneter. Seluruh dana yang terhimpun idealnya disalurkan pada sektor riil yang pada akhirnya akan meningkatkan kuantitas maupun kualitas barang dan jasa (hal. 13, 2005).
Baitul Maal Wat Tamwil X (BMT X) yang berdiri pada tanggal 14 Juli tahun 1994 merupakan salah satu divisi di bawah naungan Koperasi Pondok Pesantren X dengan nomor badan hukum 10999/BH/KWK-21 tanggal 9 April 1994. Dalam operasinya BMT X mengembangkan usaha jasa keuangan yang telah mendapat ijin operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) dengan nomor 1009003/PINBUK/VI/96. Adapun maksud dan tujuan dari pendirian BMT X ini adalah untuk menjadi solusi ekonomi masyarakat berdasarkan syariah.
Pada produk penghimpunan dana (funding), BMT X mempergunakan prinsip bagi hasil yakni dengan akad mudharabah. Kemudian BMT X akan menyalurkan dana tersebut pada produk pembiayaan. Keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan tersebut akan di bagi dua kepada penabung (selaku sahibul maal), berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan yang nisbah bagi hasilnya telah ditetapkan di muka. Oleh karena itu porsi bagi hasil yang didapatkan oleh nasabah (penabung) bersifat fluktuatif karena tergantung kepada keuntungan yang di peroleh lembaga per periode.
Lembaga keuangan syariah harus memastikan bahwa dana yang dihimpunnya dapat menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta bermanfaat bagi masyarakat. BMT menerima dana-dana masyarakat (dana pihak ketiga) dengan skim bagi hasil yang merupakan bentuk dari kesepakatan antara yang menyediakan dana (nasabah) dan yang mengelola (BMT). Di dalam melakukan bisnis dengan para penabung BMT menyatakan keinginannya untuk menerima dana-dana agar dapat diinvestasikan kembali mewakili pemiliknya melalui produk pembiayaan. Kemudian dari produk pembiayaan tersebut pihak BMT akan membagi keuntungan menurut suatu nisbah bagi hasil yang sudah ditentukan di muka dan menyatakan bahwa kerugian akan di tanggung hanya oleh penyedia dana, kecuali jika ada kelalaian atau pelanggaran akad.
Kemudian, untuk produk penyaluran dana dengan orientasi profit (tijaroh) BMT X mendasarkan pembiayaan pada 2 (dua) prinsip, yakni : 
a. Prinsip non-bagi hasil, seperti mark up pada transaksi perdagangan dan fee pada transaksi jasa (fee based income). Pada prinsip ini terdapat sifat natural certainty contract yang melekat atau transaksi dengan insentif pasti. Adapun akad-akad yang dipergunakan antara lain adalah murabahah, dan ijarah.
b. Prinsip bagi hasil, di mana tingkat keuntungan ditentukan dari besarnya keuntungan atau pendapatan usaha sesuai dengan nisbah yang telah di sepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal transaksi. Produk pembiayaan dengan metode bagi hasil biasanya mempergunakan akad mudharabah dan musyarakah. Bagi hasil yang di dapat dari pembiayaan musyarakah dan mudharabah jumlahnya tidak pasti karena tergantung kepada hasil usaha yang di biayai. Ketidakpastian ini menyebabkan musyarakah dan mudharabah dimasukkan ke dalam kelompok Natural Uncertainty Contract (NUC) atau transaksi dengan besaran insentif yang tidak pasti. 
Menurut Zulkifli (2003), Natural Uncertainty Contract (NUC) adalah jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang tidak memiliki kepastian akan keuntungan dan pendapatan bank dalam segi jumlah maupun waktu penyerahannya. Hal ini disebabkan karena transaksi ini tidak bersifat fixed dan predetermined.
Selain penyaluran pembiayaan melalui kedua prinsip tersebut BMT X juga menggulirkan pinjaman kebajikan (Qordhul Hasan), yaitu pinjaman yang digulirkan tanpa adanya keuntungan yang di ambil. Biasanya dipergunakan untuk keperluan pendidikan atau kesehatan nasabah dengan pertimbangan khusus. Sumber dana berasal dari lembaga amil zakat (dalam hal ini Dompet Peduli Umat (DPU)) yang menjadi mitra BMT X.
BMT X sebagai salah satu lembaga keuangan mikro syariah non bank dengan aset yang cukup besar di Indonesia mengeluarkan produk pembiayaan dengan akad bagi hasil maupun non bagi hasil. Berdasarkan laporan neraca bulanan (audited), jumlah pembiayaan yang telah disalurkan oleh BMT X per 31 Desember 2006 adalah 9,7 milyar rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan dari bulan yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 9,2 milyar rupiah. Peningkatan jumlah pembiayaan dapat menambah jumlah pendapatan BMT X.
Untuk meningkatkan jumlah pembiayaan pihak BMT X seyogyanya mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah penyaluran pembiayaan tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah pembiayaan pada BMT. Adapun judul penelitian ini adalah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus BMT X).

B. Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian
BMT X yang telah beroperasi sejak tahun 1994 dan selama kurun waktu 13 (tiga belas) tahun tersebut BMT X telah menyalurkan pembiayaan pada masyarakat maupun sektor UMKM. Terdapat pertumbuhan pembiayaan yang signifikan setiap tahunnya. Dana pihak ketiga (DPK) yang terhimpun digulirkan dengan mempergunakan prinsip non-bagi hasil, prinsip bagi hasil serta dengan prinsip pinjaman kebajikan, seperti yang dapat kita lihat pada diagram berikut ini : 
Aktivitas penyaluran dana melalui pembiayaan merupakan produk yang diunggulkan oleh lembaga jasa keuangan seperti BMT karena merupakan sumber pendapatan terbesar. Selain itu, terkait dengan fungsi intermediasi, idealnya keseluruhan dana yang terhimpun dari masyarakat disalurkan kepada masyarakat juga. Indikasi tidak tercapainya target realisasi pembiayaan dapat disebabkan oleh pengalokasian dana pada pos lain, contohnya penempatan dana (investasi) pada lembaga keuangan lainnya seperti bank syariah.
Dalam menghimpun dana dari masyarakat BMT X mempergunakan prinsip bagi hasil kepada para penabung. Sebagai konsekuensinya BMT X harus membagi keuntungan dari pembiayaan yang tersalurkan berdasarkan proporsi nisbah bagi hasil yang telah di sepakati di muka. Oleh karena itu BMT X harus dapat menjaga agar jumlah pembiayaan yang tersalurkan dapat memenuhi target yang telah ditetapkan berdasarkan perhitungan target profit yang ingin di capai karena jika tidak tercapai akan membuat bagi hasil dari produk penghimpunan dananya tidak kompetitif dan pada akhirnya dikhawatirkan akan terjadi kecenderungan penarikan dana oleh para nasabah yang mencari tingkat return simpanan yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai faktor-faktor internal yang mempengaruhi realisasi penyaluran pembiayaan pada BMT terkait dengan fungsi intermediasi yang dilaksanakannya. Tidak tercapainya target pembiayaan yang akan disalurkan jelas bukanlah sebuah kondisi ideal yang diinginkan, terlebih lagi pada sebuah lembaga keuangan mikro. Mengapa ? Karena selain untuk mencapai target laba dan menutup biaya operasional lembaga ini harus mampu memberikan tingkat bagi hasil yang kompetitif bagi para deposan (penabung) yang telah menempatkan dananya di BMT. Selain itu apabila proporsi pembiayaan yang disalurkan lebih kecil daripada proporsi penempatan dana (investasi) pada lembaga atau instansi lain maka eksistensi BMT dirasakan tidak sesuai dengan ruh ekonomi Islam yang memiliki karakter lebih menitikberatkan pada sektor riil.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab tidak tercapainya target realisasi pembiayaan, khususnya dari beberapa faktor internal dari lembaga. Faktor-faktor internal yang akan di teliti antara lain adalah (1). pendapatan dari pembiayaan, (2). dana pihak ketiga, (3). biaya operasional, (4). NPF (tingkat pembiayaan bermasalah) dan (5). pendapatan bagi hasil penempatan dana BMT pada bank syariah. Dengan mengenali berbagai faktor yang pengaruh dalam penyaluran pembiayaannya dirasakan sangat penting manfaatnya sehingga nantinya pembiayaan di lembaga keuangan mikro syariah, khususnya BMT X dapat lebih dioptimalkan.
Berdasarkan penjabaran mengenai perumusan masalah tersebut, maka akan diturunkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah pendapatan dari pembiayaan periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
2. Apakah jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
3. Apakah biaya operasional dari pembiayaan pada periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
4. Apakah non performing financing dari pembiayaan periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
5. Apakah pendapatan bagi hasil penempatan dana BMT pada bank syariah dari periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan faktor-faktor internal apa saja yang memiliki pengaruh secara parsial terhadap realisasi penyaluran pembiayaan pada BMT X, dengan rincian sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui apakah tingkat pendapatan pembiayaan dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
2. Untuk mengetahui apakah jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT. 
3. Untuk mengetahui apakah biaya operasional yang telah dikeluarkan dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT .
4. Untuk mengetahui apakah tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing) dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
5. Untuk mengetahui apakah pendapatan bagi hasil yang didapatkan melalui penempatan dana BMT pada bank syariah dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
Dengan teridentifikasinya faktor-faktor internal yang diteliti maka diharapkan hasil temuan dalam penelitian ini dapat menjadi acuan bagi lembaga keuangan mikro syariah, khususnya BMT X dalam menjalankan fungsi intermediasi yang diembannya, khususnya dalam menyusun strategi alokasi dana.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademik, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi lebih lanjut oleh lembaga keuangan mikro syariah dalam rangka menentukan strategi realisasi penyaluran dana (pembiayaan).
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi BMT X dalam menentukan langkah-langkah dan kebijakan yang harus di tempuh guna mencapai target realisasi penyaluran dana.

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID

(KODE : PASCSARJ-0264) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zakat sebagai salah satu elemen dari rukun islam tidak hanya memiliki dimensi ibadah namun lebih dari itu, zakat memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan social dan ekonomi masyarakat. Zakat sebagai salah satu instrumen ibadah terlihat dari sejumlah perintah zakat dalam Al Quran yang selalu disandingkan dengan perintah sholat. Setidaknya, terdapat delapan puluh dua perintah zakat yang selalu dikaitkan dengan perintah sholat.
Dan dirikanlah sholat, bayarlah zakat. Dan rukuk lah bersama sama orang yang rukuk (QS, Al Qur'an 2 : 43)
Zakat dalam aspek sosial ekonomi merupakan suatu instrument yang dapat meredistribusikan pendapatan antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin. Dengan ini, maka kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dapat diminimalkan. Bagaimanapun, ukuran kaya dan miskin dalam Islam sangat jelas dilihat dari garis nisab nya. Jika kepemilikan seseorang berada di bawah garis nisab maka termasuk dalam kategori miskin (mustahik). Sebaliknya jika berada di atas garis nisab, maka termasuk dalam kelompok non miskin yang berarti wajib menunaikan zakat (muzakki).
Terlepas dari hal itu, dalam tataran individu, zakat akan merangsang individu untuk melakukan tabungan akherat dan bermakna pula menggugurkan kewajiban zakat sebagai salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi. Selain itu zakat sebagaimana artinya membersihkan menyucikan dan menyuburkan, maka dengan zakat berarti telah memberikan bagian harta si miskin yang ada dalam hartanya. Lebih dari itu, zakat bisa menjadi motivasi bagi individu untuk meningkatkan kinerjanya sehingga selalu termotivasi untuk merubah dirinya dari mustahik menjadi muzakki..
Zakat sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan telah dipraktikkan pada masa pemerintahan Rasulullah dan para sahabat dimana Zakat menjadi salah satu instrumen dalam kebijakan fiscal yang dialokasikan untuk menyantuni orang miskin dan juga menyediakan fasilitas dan segala kebutuhan bagi masyarakat miskin Praktik ini sejalan dengan perintah untuk mengumpulkan zakat oleh Negara sebagaimana yang termaktub dalam surat At Taubah ayat 103, dimana disebutkan bahwa : 
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Perintah ambillah zakat dalam hal ini jelas ditujukan kepada Negara untuk mengambil zakat dari masyarakatnya. Hal ini berarti pula bahwa zakat merupakan satu satunya ibadah muamalah yang mempunyai petugas yaitu amil zakat. Cerita sukses zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dapat kita lihat dari sejarah kejayaan masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahannya tidak lagi ditemukan masyarakat miskin yang berhak menerima zakat sehingga zakat dikirimkan ke negara tetangga yang membutuhkan.
Di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jika dilihat dari besaran jumlah penduduk, maka dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta, dan dengan asumsi penduduk yang beragama Islam sebesar 87 persen, dan dikalikan 20 persennya atau 38,54 juta orang berkewajiban menunaikan zakat sebesar minimal Rp. 170 ribu per tahun, sehingga dapat terkumpul dana zakat sebesar Rp. 6,21 triliun. Pihak Departemen Agama (Depag) memperkirakan potensi zakat hingga ke unit pengumpul zakat di tingkat kecamatan mencapai Rp. 12,7 triliun.
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation yang mencakup 1.500 responden yang tersebar di 11 provinsi, 200 masjid, 50 lembaga ZIS pemerintah, dan 50 lembaga ZIS swasta mengungkapkan, jumlah filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun. Nilai ini terdiri dari Rp. 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp. 14,2 triliun dalam bentuk uang. Dari sejumlah dana yang terkumpul itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah, yaitu Rp 6,2 triliun, dan sisanya zakat harta Rp. 13,1 triliun.
Namun, jika data-data potensi zakat hasil perhitungan ini dibandingkan dengan data realisasinya, maka jumlah zakat yang terkumpul masih sangat kecil dibandingkan dengan data potensinya. 
Adanya kesenjangan antara potensi dengan realisasi ini tentunya mengindikasikan adanya suatu masalah dalam usaha-usaha proses pengumpulan zakat di tanah air. Penelitian ini akan mencoba untuk mengidentifikasi masalah-masalah terkait dengan pengorganisasian pengumpulan dan pendistribusian zakat dan selanjutnya merumuskan masalah penelitian yang relevan yang selengkapnya dibahas di sub bab berikutnya.

B. Perumusan Masalah
Rendahnya realisasi pengumpulan zakat di Indonesia tentunya merupakan suatu masalah tersendiri. Zakat, jika dikembalikan kepada perintahnya sebagaimana tertera pada surat At Taubah jelas perintah untuk mengumpulkan zakat oleh amil zakat dari orang-orang yang memiliki kemampuan. Pada masa pemerintahan Rasulullah dan juga para khalifah sesudahnya, perintah ini menjadi tanggung jawab negara untuk mengumpulkannya, ditempatkan di Baitul Maal sebagai salah satu sumber pendapatan negara, untuk kemudian didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan 8 ashnaf sebagaimana digariskan oleh Al Quran, surat at Taubah ayat 60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di Indonesia, zakat meskipun memiliki potensi yang besar namun bukan termasuk dalam salah satu sumber penerimaan negara. Akibatnya tidak ada kekuatan yang memaksa masyarakat untuk menunaikan zakat karena Undang-Undang tentang zakat Nomor 38 Tahun 1999 hanya mengatur perihal Badan dan Lembaga zakat saja tanpa mencantumkan sanksi hukum bagi muslimin yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Dan potensi zakat yang mestinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan negara dan pengentasan kemiskinan akhirnya dikelola secara parsial, dan separatis. Saat ini, masalah pengumpulan zakat diserahkan kepada Badan amil zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam perkembangannya terdapat sejumlah LAZ/BAZ dan ada satu forum zakat (FOZ). Meski demikian belum ada suatu kekuatan sinergis yang dapat memberdayakan zakat di Indonesia.
Selain itu kelemahan dari keberagaman amil zakat dan juga lembaga zakat yang terpencar ini mengakibatkan efek dari dana zakat ini menjadi tidak dapat dilihat secara langsung. Meski pun saat ini telah terdapat sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) atau BAZ yang dikelola secara profesional namun agaknya masih banyak masyarakat yang menyerahkan zakatnya secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Nasional (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN (2001) menemukan suatu hal yang menarik terkait dengan kebiasaan masyarakat dalam menunaikan zakat. Dari penelitian itu diketahui bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid, BAZ pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta LAZ swasta hanya 4 persen zakat maal. Selain itu, penelitian tentang besaran dan efektifitas dana ZIS di enam negara termasuk Indonesia dilakukan juga oleh Amelia (2000) Hasil penelitiannya menyebutkan kecenderungan masyarakat untuk memberikan ZIS hanya berdasarkan kewajiban dan keinginan untuk menyumbang saja, tanpa diiringi oleh manajemen yang profesional untuk mengelola dana tersebut menjadi lebih produktif dan berorientasi jangka panjang bagi umat.
Sebagai lembaga yang bergerak di sektor volunter, yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada 8 ashnaf yang membutuhkan, pengelolaan ZIS membutuhkan profesionalitas. Hal ini terkait dengan masalah kredibilitas dan legalitas lembaga zakat. Ke-tidak-transparan-an dan tidak akuntabilitas pengelolaan zakat akan menjadi penyebab sehingga masyarakat mengurungkan niatnya untuk menunaikan zakat. Mengacu kepada hasil penelitian UIN (2001) dimana hampir 70 persen dana zakat masyarakat disalurkan melalui Masjid menggambarkan bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan yang besar kepada lembaga Masjid. Mestinya kepercayaan masyarakat yang besar ini diimbangi dengan upaya mengoptimalkan peran Masjid sebagai lembaga ekonomi sebagaimana peran Masjid di jaman Rasulullah yang tidak hanya menjadikan Masjid sebagai tempat ibadah namun juga sebagai basis dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Di Indonesia, masjid masih digunakan hanya sebatas tempat ibadah. Kalaupun digunakan untuk tempat pengumpulan zakat dan sedekah biasanya sifatnya hanya insidental, yaitu pada saat pembayaran zakat fitrah dan pada saat ada acara pengajian, selebihnya masjid tidak diberdayakan secara ekonomi. Hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama mestinya diimbangi oleh keberadaan masjid yang mampu melakukan pengelolaan zakat dan memiliki fungsi sosial yang lebih luas. Selanjutnya jika fungsi tersebut telah dijalankan oleh Masjid, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengkolaborasikan masjid dengan sikap transparansi dan juga profesional.
Salah satu model dalam memanfaatkan masjid sebagai lembaga ekonomi dan memadukan peran pemerintah dalam mengumpulkan zakat adalah dengan menjadikannya Baitul Mal pada Masjid sebagai Basis kegiatan penyelenggaraan Zakat pada tingkat RW. Model tersebut juga sekaligus dapat melihat lebih dekat seberapa besar dampak dan manfaat dana zakat bagi masyarakat yang membutuhkannya di RW tersebut. Seperti kita ketahui bahwa jajaran RW dengan populasi penduduk sekitar 2.500 sampai 3.000 orang dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) antara 350-400 (KK) maka dapat dipastikan bahwa terdapat tingkat distribusi pendapatan masyarakat yang heterogen. artinya pada masyarakat di lingkungan RW tersebut terdapat para muzakki yang secara langsung dapat mempercayakan kewajiban zakatnya kepada Baitul Maal yang berbasiskan Masjid, di sisi lain para muzakki dapat melihat dan mengontrol langsung serta melihat manfaat pendistribusian zakat tersebut yang di berikan kepada para mustahik yang ada dalam lingkungan RW tersebut. Pembentukan Masjid sebagai tempat Baitul Mal, yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah ini telah dilakukan di Baitul Maal Masjid X.
Setelah beroperasi selama sekitar 5 tahun memperlihatkan banyak kemajuan dalam Baitul Maal ini. Meski mengalami banyak kemajuan, namun saat ini dari sekitar 400 KK muslim yang menghuni RW 05 Kelurahan X, hanya 300 KK yang terdaftar sebagai muzakki. Dan dari 300 KK ini hanya 100 KK yang aktif menunaikan zakat setiap bulannya. Perumusan masalah dalam tesis ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat diatas nisab, dalam menunaikan zakat Untuk meningkatkan keaktifan muzakki lainnya, tentunya perlu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi intensitas muzakki dalam menunaikan zakat, sehingga dengan hasil penelitian itu akan dapat dilakukan sejumlah kebijakan yang dapat meningkatkan keaktifan warga dalam menunaikan zakat. Dari perumusan masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 
1. Faktor-faktor apa yang menjadi daya tarik bagi muzakki sehingga muzakki secara intensitas menunaikan zakat ke baitul maal yang ada di lingkungan RW 05
2. Bagaimana karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Maal Masjid X

C. Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya merupakan sebuah studi kasus di salah satu Masjid yang telah memiliki baitul mal yaitu Baitul Mal Masjid X. Fokus penelitian adalah untuk melihat bagaimana efektifitas kebijakan yang diambil oleh Baitul Mal dan juga apa saja yang mempengaruhi Intensitas minat masyarakat untuk menunaikan zakat, serta bagaimana pemanfaatan zakat yang dirasakan oleh mustahik.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, setidaknya ada 2 tujuan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu : 
1. Melihat faktor apa saja yang mempengaruhi minat muzakki untuk menunaikan zakat ke baitul mal sehingga semakin intens dalam menunaikan zakat yang dilakukan Baitul Mal berbasiskan Masjid setingkat RW. Faktor-faktor ini menjadi penting untuk diketahui terutama jika dikaitkan dengan usaha replikasi model ini di tempat lain.
2. Untuk melihat karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Mal Masjid X

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada : 
1. Penulis untuk melengkapi pemahaman teori ekonomi yang berkaitan dengan zakat yang didapat selama kuliah, dan ingin membuktikan secara ilmiah tentang pengalaman empiris dalam pengelolaan Zakat berbasiskan masjid pada tingkat RW.
2. Penulis, sebagai syarat kelulusan pada Program Pasca Sarjana.
3. Bagi akademisi lain sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi pengambil kebijakan untuk dapat dijadikan alternatif menerapkan model pengelolaan zakat melalui Baitul Mal berbasiskan Masjid pada tingkat RW guna mendukung perkembangan syariah islam.
5. Bagi pengelola Masjid dan masyarakat umum, sebagai wacana dan wahana untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang model dalam pengelolaan zakat.

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN BANK SYARIAH MANDIRI TERHADAP KEPUASAN NASABAH MELALUI PENDEKATAN ZONE OF TOLERANCE

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN BANK SYARIAH MANDIRI TERHADAP KEPUASAN NASABAH MELALUI PENDEKATAN ZONE OF TOLERANCE

(KODE : PASCSARJ-0256) : TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN BANK SYARIAH MANDIRI TERHADAP KEPUASAN NASABAH MELALUI PENDEKATAN ZONE OF TOLERANCE (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Negara-negara di dunia kini tengah berusaha mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis ekonomi global yang berawal dari krisis keuangan di Amerika Serikat (subprime mortgage). Sistem ekonomi kapitalis yang menjadi pionir di hampir seluruh belahan dunia saat ini sedang menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya. Salah satu penyangga ekonomi dalam suatu negara adalah peran yang dijalankan oleh perbankan. Perbankan konvensional yang merupakan bagian dari sistem ekonomi kapitalis telah memperlihatkan sistem yang rapuh.
Perbankan konvensional dengan sistem ribawi memiliki kecenderungan untuk merusak tatanan perekonomian suatu bangsa. Ketimpangan yang disebabkan oleh sistem ribawi adalah terhapusnya konsep keadilan. Tujuan utama dari sistem ribawi adalah pembenaran pemenuhan kebutuhan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan atau hak orang lain. Sistem perekonomian yang tidak dilandasi dengan prinsip keadilan maka output yang dihasilkan cenderung menimbulkan chaos (kekacauan).
Solusi terhadap keadaan perekonomian yang tengah dilanda krisis keuangan global adalah merombak sistem dalam perbankan. Sistem ribawi yang merupakan penggerak utama aktivitas perbankan harus dihapuskan. Penghapusan sistem ribawi menciptakan suatu panduan untuk melakukan transaksi yang berkeadilan. Prinsip keadilan merupakan sikap yang dijunjung tinggi dalam Islam, dalam setiap aspek kehidupan, tidak terkecuali sistem perekonomian. Landasan utama aktivitas muamalah adalah Al-Qur'an dan Hadist. Rasulullah Muhammad telah bersabda dalam Hadist, yaitu "Barangsiapa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadist maka tidak akan tersesat selama-lamanya". Ekonomi syariah merupakan solusi utama dalam menciptakan keadilan dalam bertransaksi dan melakukan aktivitas ekonomi. Salah satu unsur penggerak ekonomi syariah adalah perbankan syariah, yang mendasarkan setiap transaksi keuangan dengan mengacu pada prinsip-prinsip syariah.
Perbankan syariah yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1992 tergolong 'tertinggal' bila dibandingkan dengan negara-negara Islam bahkan negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia sebab institusi keuangan Islam (perbankan syariah) akan berkembang dengan instrumen pendukung yang prematur. Instrumen pendukung dapat berupa kebijakan pemerintah yang terdiri dari aspek regulasi, hukum, kebijakan permodalan minimum, atau adaptasi produk-produk perbankan terhadap kesesuaian dengan fiqh. Tantangan yang cukup banyak terhadap pengembangan perbankan syariah menuntut pegiat-pegiat perbankan syariah untuk semakin meningkatkan inovasi terhadap produk serta melakukan strategi yang komprehensif dalam rangka meningkatkan citra perbankan syariah di mata masyarakat.
Pemerintah merespon pegiat-pegiat perbankan syariah dengan mengakomodasi keberadaan bank syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, maka dari tahun 2000 hingga tahun 2004, dapat dirasakan pertumbuhan bank syariah cukup tinggi, rata-rata lebih dari 50 persen setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan bank syariah melebihi 90 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Walaupun, sejak tahun 2005, pertumbuhan bank syariah di Indonesia melambat (Bank Syariah Mandiri, 2008).
Sementara, dari sisi dana pihak ketiga mengalami peningkatan pesat sejak tahun 2003. Pada tahun 2003, dana pihak ketiga (DPK) tercatat sebesar Rp 5,7 triliun, sementara pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 36,85 triliun. Dari sisi pembiayaan bank syariah pun meningkat, dari Rp 5,53 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 38,19 triliun pada tahun 2008 (Republika, 5 Februari 2009). Aset perbankan syariah mencapai Rp 50 triliun pada tahun 2008 atau memiliki market share sebesar 2,1 persen dari total perbankan nasional. Pangsa pasar perbankan syariah selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 tercatat pangsa pasar sebesar 1,4 persen, tahun 2006 1,6 persen, dan tahun 2007 1,8 persen (Republika, 5 Februari 2009).
Pada saat ini, bank syariah di Indonesia berjumlah 31 bank yang terdiri dari 3 bank umum syariah dan 28 unit usaha syariah (Bank Syariah Mandiri, 2008). Dari sisi jaringan kantor, perbankan syariah juga menunjukkan kemajuan yang berarti. Menurut data Bank Indonesia, jaringan kantor bank syariah terus menunjukkan peningkatan. Pada Januari 2008, terdapat 548 jaringan, hingga November lalu, jaringan tersebut meningkat menjadi 749. Perinciannya adalah kantor cabang syariah sebanyak 254 buah, kantor cabang pembantu syariah sebanyak 262 buah, unit pelayanan syariah sebanyak 28 buah, dan kantor kas syariah sebanyak 205 buah.
Perkembangan perbankan syariah semakin mantap dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan progress perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan (Republika, 4 Februari 2009). Bank Indonesia telah mengeluarkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia pada tahun 2002, yang berisi visi, misi, dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Data yang dikeluarkan Bank Indonesia menyebutkan bahwa jumlah masyarakat yang menggunakan perbankan syariah semakin meningkat. Pada November 2008 tercatat sebanyak 3.799 juta nasabah yang membuka rekening di perbankan syariah (Republika, 4 Februari 2009).
Negara Indonesia merupakan negara dengan pemeluk agama mayoritas, yaitu Islam. Indonesia juga merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim paling banyak di dunia. Jumlah penduduk Indonesia yang menganut agama Islam merupakan potensi yang sangat berharga bagi perkembangan kemajuan perbankan syariah. Tentu pengembangan kedudukan perbankan syariah di kancah persaingan dengan perbankan konvensional harus disertai dengan strategi dan taktik yang komprehensif dari masing-masing bank syariah. Pasar yang dapat dibidik oleh perbankan syariah sebenarnya meliputi seluruh penduduk Indonesia. Prinsip yang diterapkan dalam perbankan syariah pada hakikatnya merupakan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal. Prinsip ekonomi Islam (syariah) dapat menembus berbagai perbedaan agama, demografi, ras, dan suku.
Pangsa pasar (market share) yang dapat dibidik oleh perbankan syariah pada dasarnya merupakan gabungan aset dari beberapa Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam perspektif mikro maka antar bank syariah pasti akan terjadi kompetisi atau persaingan untuk dapat memperebutkan niche (ceruk) pasar. Setiap bank syariah akan dengan giat dan aktif merekrut atau menarik orang supaya memiliki kemauan untuk menjadi nasabah pada bank syariah tersebut.
Bank Syariah Mandiri merupakan salah satu pemain dalam industri perbankan syariah dan eksis sejak November 1999. Pada awal berdiri aset Bank Syariah Mandiri hanya Rp 448 milyar dan per Maret 2008 telah tumbuh 31 kali lipat lebih dengan aset mencapai Rp 14 trilyun. Pangsa Bank Syariah Mandiri diantara bank syariah, saat ini merupakan yang terbesar, yakni 36 persen dari total aset perbankan syariah nasional. Nasabah Bank Syariah Mandiri sampai dengan Maret 2008 berjumlah 1.102.640 orang.
Nasabah merupakan aset utama bagi pertumbuhan perbankan syariah. Melalui nasabah maka bank syariah dapat memperoleh dana dari masyarakat untuk selanjutnya diputar kembali untuk menghidupkan sektor riil. Peran bank syariah yang utama diharapkan dapat memfasilitasi pengusaha kecil dan menengah supaya dapat mengembangkan usahanya. Perbankan syariah memerlukan strategi dan taktik untuk dapat menarik nasabah baru. Namun hal yang terpenting adalah siasat yang dilakukan bank syariah supaya dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi nasabah. Tujuannya supaya nasabah selalu dapat merasakan kepuasan ketika bertransaksi dengan bank syariah.
Seorang pengunjung bank yang melakukan transaksi di bank syariah belum dapat dikatakan sebagai nasabah bila orang tersebut belum melakukan transaksi secara berulang kali (kontinu). Saat frekuensi bertransaksi seseorang dengan bank syariah semakin meningkat maka orang tersebut dapat disebut sebagai nasabah.
Nasabah ingin melakukan transaksi dengan bank syariah secara intens karena ada beberapa faktor yang memotivasi nasabah tersebut. Salah satu faktor yang terkait dengan motivasi nasabah bertransaksi dengan bank syariah adalah kepuasan yang diperoleh oleh nasabah baik saat transaksi maupun setelah selesai bertransaksi.
Kepuasan nasabah merupakan salah satu faktor penting yang memerlukan perhatian dari pihak internal bank syariah. Bank Syariah Mandiri melakukan survei terhadap nasabah dengan hasil sebagai berikut. Survei yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri langsung kepada nasabah yang tersebar di wilayah Jabodetabek dan 8 provinsi, kesan nasabah terhadap Bank Syariah Mandiri secara menyeluruh adalah 26 persen menyatakan sangat puas, 41 persen puas, 25 persen cukup puas, 7 persen biasa saja, dan 1 persen yang tidak puas.
Survei yang dilakukan Divisi Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Kinerja 2008. Bank Syariah Mandiri menunjukkan nasabah secara keseluruhan belum mendapatkan kepuasan optimal terhadap Bank Syariah Mandiri. Pengukuran yang dilakukan Bank Syariah Mandiri menyatakan bahwa nasabah yang telah puas akan menghasilkan Indeks Kepuasan Optimal > 85. Tingkat kepuasan nasabah terhadap Bank Syariah Mandiri secara nasional masih memerlukan perbaikan (tingkat kepuasan nasabah Bank Syariah Mandiri secara nasional berada pada indeks 76.82). Satu-satunya wilayah yang hampir mencapai tingkat kepuasan optimal adalah nasabah Bank Syariah Mandiri di wilayah Sumatera Selatan (indeks = 81.70). Untuk itu, masih diperlukan sedikit peningkatan agar kepuasan optimal nasabah di daerah tersebut terpenuhi.
Lima provinsi lain (Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan DI Yogyakarta) masih memerlukan perbaikan sebagaimana kondisi nasional untuk mencapai tingkat kepuasan optimal nasabah. Rata-rata indeks kepuasan optimal nasabah Bank Syariah Mandiri di kelima provinsi diatas adalah 77.45. Sedangkan di wilayah Jabodetabek dan Provinsi Jawa Barat serta Jawa Timur dengan Indeks Kepuasan berturut-turut adalah sebesar 74.55, 74.75, dan 74.73. Wilayah Jabodetabek dan kedua propinsi (Jawa Barat dan Jawa Timur) bahkan memerlukan perubahan dari kondisi saat ini agar nasabah dapat memperoleh kepuasan optimal.
Nasabah yang telah mendapatkan pelayanan yang prima akan merasakan kepuasan saat melakukan transaksi dengan bank syariah. Sedangkan nasabah yang merasakan pengalaman dalam memperoleh pelayanan yang tidak memenuhi harapannya maka kepuasan yang dirasakan nasabah akan berkurang. Setiap nasabah memiliki persepsi masing-masing dalam menilai kualitas pelayanan yang telah diperolehnya. Harapan terhadap suatu kualitas pelayanan juga berbeda dari nasabah satu ke nasabah lainnya. Perbedaan yang terbentuk antara persepsi dan tingkat harapan akan mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan oleh nasabah.

B. Perumusan Masalah
Bank Syariah Mandiri memiliki target, yaitu membentuk kepuasan nasabah yang optimal dengan indeks kepuasan lebih dari 85. Melalui hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Kinerja 2008; maka ada beberapa wilayah di Indonesia dengan indeks kepuasan nasabah di bawah optimal. Salah satu wilayah dengan indeks kepuasan di bawah optimal yaitu wilayah Jabodetabek dengan indeks kepuasan nasabah sebesar 74.55.
Pihak manajemen Bank Syariah Mandiri memiliki tujuan supaya semua nasabah mendapatkan kepuasan yang optimal ketika mengakses pelayanan yang diberikan Bank Syariah Mandiri. Pada kenyataannya ada nasabah yang merasakan kepuasan yang diperolehnya belum optimal ketika bertransaksi dengan Bank Syariah Mandiri. Nasabah yang puas dicerminkan melalui persepsi yang sama dengan ekspektasi terhadap kualitas pelayanan. Sedangkan nasabah yang memiliki persepsi lebih tinggi dibandingkan dengan ekspektasinya terhadap kualitas pelayanan maka akan diperoleh kepuasan yang optimal.

C. Pertanyaan Penelitian
Melalui perumusan masalah yang telah disusun diatas maka dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1) Bagaimanakah batas kualitas pelayanan yang dapat ditoleransi oleh nasabah ?
2) Bagaimanakah batas kualitas pelayanan yang diinginkan (diharapkan) nasabah ?
3) Kapankah saat yang paling efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap nasabah ?

D. Tujuan Penelitian
Melalui perumusan masalah diatas maka dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut : 
1) Mengetahui pengaruh antara kualitas pelayanan yang spesifik dengan tingkat kepuasan nasabah Bank Syariah Mandiri Cabang 'X'.
2) Meneliti pengaruh antara kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan nasabah melalui analisis terhadap persepsi dengan tingkatan ekspektasi yang dimiliki oleh nasabah.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 
1) Akademisi lainnya, sebagai bahan rujukan terhadap penelitian-penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.
2) Pihak internal Bank Syariah Mandiri Cabang 'X' sebagai referensi dalam merencanakan strategi yang tepat dalam mengalokasikan sumberdaya dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan.
3) Praktisi lainnya yang bergerak pada bidang ekonomi dan keuangan syariah.
4) Masyarakat, sebagai sarana untuk menambah pengetahuan mengenai perbankan syariah, khususnya aspek pemasaran bank syariah.

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0220) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank menghimpun simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang atau dana tersebut dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga tertentu. Penyaluran kredit merupakan fungsi utama dari bank dan merupakan sumber pendapatan yang utama pada umumnya. Pendapatan ini diperoleh dari spread suku bunga simpanan dan kredit yang dikenakan oleh bank. Penentuan spread ini tergantung dari pihak bank dan target marketnya (Kurniawan, 2004).
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
Lembaga keuangan Islam termasuk perbankan menjadi intermediasi keuangan dengan cara yang sangat berbeda dari bank konvensional, karena ia sangat menonjolkan skema Profit and Loss Sharing (PLS) dalam pembiayaan dan investasi perdagangan.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah, perkembangan bank syariah, dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih belum memuaskan. Oleh karena itu pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia.
Menurut laporan Bank Indonesia, jumlah bank syariah yang beroperasi sejak 1998 meningkat cukup signifikan. Pada 1998 bank umum syariah baru sebuah, kantor cabang 10, kantor cabang pembantu sebuah, dan kantor kas yang sudah beroperasi 19. Selama tahun 2008 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS) 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Sejalan dengan hal tersebut, jaringan kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah.
Perkembangan kuantitas kelembagaan perbankan syariah dari tahun ke tahun terlihat sangat pesat dan diharapkan dengan perkembangan ini pelayanan perbankan syariah dalam berpartisipasi dalam perekonomian nasional akan makin besar.
Pertumbuhan Aset Bank Syariah. DPK Bank Syariah, DPK Bank Konvensional dan perkembangan tingkat suku bunga. Perkembangan di tahun 2007 semakin mempertegas korelasi negatif antara fluktuasi tingkat suku bunga perbankan dengan fluktuasi DPK perbankan syariah. Artinya kondisi suku bunga yang meningkat akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah begitu pula sebaliknya, jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat karena nisbah bagi hasil yang lebih kompetitif dibandingkan suku bunga perbankan secara umum.
Kinerja ekonomi sektor riil mempengaruhi secara positif perkembangan industri perbankan syariah, misalnya kecenderungan penurunan inflasi mendorong peningkatan aset perbankan syariah.
Dalam hal penyaluran dana, tahun 2007 industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 36,7 persen) dibandingkan dengan perbankan nasional yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,8 persen, dengan posisi pangsa pembiayaan terhadap perbankan secara nasional mencapai 2,8 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini relatif masih mendekati angka proyeksi berdasarkan yang diperhitungkan pada akhir tahun lalu. Pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah pada dasarnya juga merupakan respon dari membaiknya sektor ekonomi riil yang didorong oleh semakin kondusifnya tingkat suku bunga. Namun kecenderungan turunnya suku bunga pembiayaan ini perlu dicermati. Dalam kondisi di mana profil nasabah pembiayaan bank syariah masih sensitif terhadap pergerakan suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, maka penurunan suku bunga kredit akan menimbulkan tekanan bagi perbankan syariah.
Pada semester kedua mengakhiri tahun 2008, pertumbuhan aset industri perbankan syariah cenderung mengalami perlambatan terutama sejak triwulan kedua, meskipun menunjukkan pertumbuhan aset yang positif. Terpuruknya ekonomi dunia akibat krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat dan ketatnya kredit/likuiditas global yang semakin serius pada semester akhir 2008 mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi Indonesia, seperti nilai tukar, suku bunga dan kinerja pasar modal. Kondisi tersebut ditengarai sebagai penyebab perlambatan aktifitas ekonomi riil domestik Indonesia. Selanjutnya pengaruh tersebut relatif menyebabkan perlambatan pertumbuhan di industri perbankan syariah di Indonesia, meskipun tidak separah industri keuangan secara umum.
Kondisi global tersebut mengakibatkan iklim investasi yang belum kondusif, meningkatnya inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan biaya ekonomi yang cukup tinggi. Dengan adanya beberapa kondisi makro tersebut menyebabkan terjadinya perlambatan indikator secara mikro di perbankan, seperti pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang melambat, meningkatnya margin dan persentase nisbah pembiayaan seiring dengan meningkatnya laju inflasi, sehingga berdampak pula terhadap pengetatan penyaluran pembiayaan terutama sejak Triwulan ke tiga tahun 2008.
Sementara itu penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan keempat tahun 2007 atau menjadi 42,05 persen pada triwulan keempat tahun 2008, meskipun kondisi di tahun 2008 tersebut mengalami perlambatan sejak posisi pada Triwulan ke II sebesar 51 persen. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 38,19 triliun. Pertumbuhan jumlah pembiayaan yang tidak didukung dengan pertumbuhan DPK secara signifikan menyebabkan financing to deposit ratio (FDR) mencapai level diatas 104 persen pada tahun pelaporan.
Seiring dengan pertumbuhan pembiayaan, juga diikuti oleh peningkatan kualitas pembiayaan perbankan syariah dari seluruh portfolio pembiayaan pada tahun 2008. Peningkatan kualitas ini tercermin dari penurunan persentase non performing financing (NPF) gross pada tahun 2008, dimana pada posisi tahun 2007 NPF perbankan syariah mencapai 4,07 persen. Penurunan NPF tersebut disebabkan oleh proses restrukturisasi, write off dan pengambil alihan pembiayaan oleh Bank lain (take over). Prestasi tersebut harus selalu diupayakan untuk selalu dipertahankan dan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan kualitas ekposur dalam sistem perbankan secara nasional.
Kualitas pembiayaan perbankan syariah mampu dijaga dalam rasio yang relatif rendah. Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) pada tahun laporan turun menjadi 3,95 persen. Peningkatan pembiayaan pada produk berbasis bagi hasil, khususnya dengan akad musyarakah, yang berisiko lebih tinggi dan krisis keuangan global tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan syariah. Rasio NPF dapat dijaga dalam kisaran yang rendah di bawah 5 persen.
Seiring penggantian SWBI dengan SBIS, posisi penempatan perbankan syariah pada OPT Syariah terus menurun. Terdapat 2 (dua) faktor penyebab fenomena tersebut yaitu penyesuaian (adjustment) yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditas dan pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Penutupan SWBI yang sebelumnya tersedia setiap hari menyebabkan berubahnya pola ketersediaan (pasokan) likuiditas harian dari SWBI jatuh tempo, sementara lelang SBIS hanya dilakukan secara mingguan dengan tenor 1 (satu) bulan. Hal ini mendorong perbankan syariah untuk memelihara excess reserve dengan jumlah lebih besar yang tercermin dari peningkatan jumlah excess reserve dari rata-rata Rp 276,7 miliar (sebelum penutupan SWBI) menjadi Rp 690,4 miliar (setelah penutupan SWBI). Selain itu, pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang dimulai antara akhir kuartal I dan awal kuartal II menyebabkan pemeliharaan alat-alat likuid (termasuk SBIS) cenderung menurun.
Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan perbankan syariah itu sendiri.
Dari sisi lain prestasi yang perlu dicatat, selama ini bank syariah dapat menjalankan fungsi intermediasi perbankan yang lebih besar. Artinya, proses dan keterlibatan dalam pembiayaan dan pembinaan nasabah lebih intens dibanding dengan bank konvensional. Menurut data statistik BI di beberapa media menunjukkan peranan intermediasi bank konvensional lebih rendah. Ini bisa dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional yang hanya sekitar 50 persen, sedangkan rata-rata LDR atau FDR (Financing to Deposit Ratio) bank syariah melebihi 100 persen. Angka LDR bank syariah yang tinggi akhir-akhir ini bisa diartikan bahwa bank syariah lebih mampu mendorong angka percepatan perputaran uang dan investasi yang diharapkan dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hanya dari segi jumlah pembiayaan masih rendah.
Di tahun 2008, Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen (semula 6,8 persen). Pertumbuhan 6,4 persen tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Kondisi pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sektor riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat yang mampu diserap dalam bentuk tabungan.
Perbankan syariah sempat terhambat perkembangannya karena kebijakan BI Rate yang tinggi selama periode 2005-2006. Kebijakan office channeling menjadi andalan BI mengakselerasi perbankan syariah ke depan. Berbagai tantangan berat dihadapi industri perbankan syariah nasional sepanjang 2006, khususnya berkaitan dengan kondisi makro ekonomi yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat suku bunga dan inflasi.
Meski demikian, perbankan syariah berhasil mempertahankan pertumbuhan asetnya 12,92 persen dari akhir 2005 hingga Agustus 2006 atau melebihi laju pertumbuhan industri perbankan nasional yang 5,55 persen. Namun, proyeksi pangsa aset perbankan syariah menjadi 1,70 persen pada akhir 2006 tampaknya tidak mudah tercapai. Pasalnya, hingga Agustus 2006 baru tercapai 1,55 persen atau senilai Rp 23,58 triliun. Artinya, sepanjang 2006, ruang gerak perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya mengalami keterbatasan, terutama dalam pengumpulan dana pihak ketiga (DPK).
Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut diatas adalah langkah Bank Indonesia (BI) yang terpaksa memperketat kebijakan moneternya ditandai dengan BI Rate yang tinggi sejak tahun lalu hingga saat ini. Akibat kebijakan tersebut, risiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional) meningkat. Terbukti, DPK perbankan syariah sempat menurun pada Januari dan Februari 2006. Di sisi lain, sejak BI mengeluarkan kebijakan office channeling (OC), tampaknya DPK perbankan syariah juga mulai menggeliat kembali. Menurut data Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dikeluarkan Direktorat Perbankan Syariah BI per Agustus 2006, DPK perbankan syariah hingga Agustus 2006 meningkat menjadi Rp 17,11 triliun atau tumbuh 9,82% dari posisi DPK per Desember 2005.
Kebijakan dan strategi pengembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2007 difokuskan pada upaya mempercepat peningkatan kapasitas pelayanan perbankan syariah. Upaya ini akan dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan guna mencapai target pangsa 5 persen dari total volume perbankan nasional diakhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Dari sisi penawaran, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk memperkuat struktur kelembagaan dan efisiensi perbankan syariah, sehingga dapat meningkatkan daya saing dan mampu meredam berbagai kejutan ekonomi yang terjadi. Dari sisi permintaan, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk dapat memperluas pangsa pasar perbankan syariah di tengah masyarakat, sehingga peran perbankan syariah dalam mendorong proses intermediasi perbankan dan penciptaan stabilitas sistematik semakin signifikan.
Melihat hal diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia yang perkembangannya makin cepat dengan demikian layak untuk diteliti. Jika tidak ada penelitian tentangnya dikhawatirkan pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia ke masyarakat yang sangat penting berkontribusi bagi perekonomian ini ketika terjadi problem, kendala yang menghambat penyaluran perbankan syariah tidak dapat diketahui apa penyebab sebenarnya, sehingga tidak mampu untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah yang ada.
Berdasarkan kepentingan di atas maka perlu penelitian dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengannya dapat memanfaatkan hasil yang sebesar-besarnya. Penelitian ini dijadikan sebagai tesis dengan judul : "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia"

B. Perumusan Masalah
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam meningkatkan penyaluran pembiayaan syariah di Indonesia makin optimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada pembangunan nasional diantaranya adalah : 
1. RUU perbankan syariah yang telah mengalami perubahan status menjadi UU perbankan syariah yaitu undang-undang No. 21 tahun 2008 yang berpengaruh pada Bank Indonesia yang melakukan beberapa revisi peraturan agar dapat disesuaikan dengan undang-undang sehingga kedudukan perbankan syariah lebih kuat secara legal (www.bi.go.id. 2008)
2. Dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/7/PBI/2007 tanggal 04 Mei 2007 tentang perubahan atas peraturan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Bank umum dimana salah satunya mengatur tentang penyempurnaan pengembangan jaringan Bank syariah melalui Office Channeling sehingga perbankan konvensional dapat melayani transaksi syariah (www.bi.go.id. 2007)
3. Adanya dorongan dari Bank Indonesia yang mempermudah dan memperbanyak layanan syariah, memperbanyak pembukaan kantor cabang, termasuk konversi dari unit syariah menjadi bank syariah serta meringankan modal pendirian bank syariah (www.bi.go.id. 2008).
4. Akan adanya draf undang-undang mengenai perbankan syariah dimana kata-kata jual beli dihilangkan dan diganti dengan pembiayaan dengan aset murabahah sehingga efek pengenaan PPN dapat dihilangkan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi para nasabah agar terhindar dari pajak berganda dimana posisi ini secara tidak langsung akan kembali meningkatkan pembiayaan yang akan diberikan oleh perbankan syariah (www.pajakonline.com, tanggal 27 Oktober 2008).
5. (Annual Meeting DPS, 14 Agustus 2007) Kebijakan dan inisiatif strategis untuk pengembangan jangka panjang industri perbankan syariah secara sistematis telah dijabarkan dalam 'Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia' dan Kebijakan dan Program Akselerasi 2007-2008 lebih difokuskan pada pencapaian target kuantitatif melalui terobosan paket kebijakan dan program inisiatif yang dapat memberikan perubahan pertumbuhan aset secara signifikan (lompatan besar) dalam jangka pendek. Sasaran kebijakan dan program akselerasi 2007-2008 itu adalah : 
a) Mendorong pertumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang
b) Memperkuat permodalan, manajemen dan SDM bank syariah
c) Mengoptimalkan peranan pemerintah (otoritas fiskal) dan BI (otoritas perbankan & moneter) sebagai penggerak pertumbuhan
d) Melibatkan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing.
Berdasarkan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut diatas pemerintah dan Bank Indonesia telah menetapkan program akselerasi perbankan syariah dengan menargetkan penyaluran pembiayaan Perbankan Syariah sebesar Rp. 68,95 Triliun di tahun 2008 namun pembiayaan yang mampu disalurkan realisasinya hanya mencapai Rp. 38,195 Triliun
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam tesis ini adalah belum mampunya perbankan syariah mencapai target penyaluran pembiayaan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di tahun 2008. Sehingga perlu penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan syariah di Indonesia agar bisa dipakai oleh pihak yang berwenang sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan guna mendorong perbankan syariah khususnya dalam penyaluran pembiayaan agar lebih optimal dan sesuai target yang ditetapkan.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam tesis ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah ?

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini pengambilan data di lakukan hanya untuk kurun waktu Maret 2004-April 2009.
Variabel yang diteliti pun hanya dibatasi pada variabel : indikator kebijakan perbankan syariah secara nasional, indikator kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia, yang diduga memiliki pengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia di luar BPRS.

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia.

TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT)

TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT)

(KODE : PASCSARJ-0219) : TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT) (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin, pengurus (amil) zakat para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk (usaha) di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat di atas jelas berbicara tentang kelompok yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang berhak mendapat dana zakat. Zakat berdasarkan ayat di atas dapat dikatakan sebagai jaminan sosial bagi kelompok yang sangat membutuhkan bantuan materi. Jadi, zakat merupakan ibadah yang mempunyai peran strategis dalam konteks ekonomi keumatan yang akan memberikan dampak kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang banyak.
Menurut al-Shaukani dalam kitab tafsirnya Fath al-Qadir, ayat di atas telah merinci pihak yang harus mendapat bantuan keuangan, yang berasal dari zakat berdasarkan skala prioritas, dari kelompok yang sangat membutuhkan, yaitu faqir dan seterusnya kelompok yang dikategorikan miskin dalam memenuhi kebutuhan asasi mereka. Apabila kebutuhan primer mereka telah terpenuhi, maka untuk selanjutnya zakat berperan untuk mengangkat dan meningkatkan taraf hidup mereka pada standar kehidupan yang layak, seperti yang dialami oleh kelompok muzakki. Sebagai mustahiq, tentunya mereka tidak ingin selamanya menjadi orang yang tangannya di bawah terus menerus, tetapi mereka berharap untuk menjadi kelompok muzakki di masa mendatang. Di sinilah peran zakat dalam konteks memberdayakan kelompok mustahiq) agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang merata.
Pembicaraan tentang zakat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang konsep harta menurut al-Qur'an, terutama kefahaman tentang konsep kepemilikan yang akan meringankan si pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya sesuai dengan ketentuan pemilik hakiki yaitu Allah swt. sebagaimana firman-Nya : 
“Dan berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu”
Kemudian Allah mengizinkan manusia untuk menguasai harta tersebut, dengan cara-cara yang telah ditetapkan. Jika manusia mendapatkan atau menguasai harta tersebut dengan mengabaikan aturan Allah, maka ia pada hakikatnya tidak berhak untuk memilikinya. Inilah konsep kepemilikan dalam Islam yang membedakan dengan konsep kepemilikan dalam aturan lain, sehingga harus disadari betul bahwa pada harta yang dimiliki seseorang, ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, dan hak orang lain yang bersifat melekat pada harta tersebut.
Secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan jujur, dan zakat ditangani dengan baik. Kala itu negara yang cukup luas hampir sepertiga dunia, tidak ada yang berhak menerima zakat, karena semua penduduk muslim sudah menjadi muzakki. Itulah pertama kali ada istilah zakat ditransfer ke negeri lain, karena tidak ada lagi yang patut disantuni.
Jelas keberhasilan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tidak hanya dengan menggunakan zakat dalam arti harfiah materiil semata, tetapi merupakan kebijakan yang memberikan perhatian yang tinggi pada pengelolaan zakat. Zakat pada kepemimpinan beliau dijadikan tolok ukur akan kesejahteraan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro. Disinilah zakat berperan sebagai ibadah harta berdimensi sosial yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam, maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.
Khalifah Abu Bakar mengultimatum perang terhadap kelompok yang hanya salat, namun tidak mau berzakat sepeninggal Rasulullah. Atas dasar kepentingan inilah, sampai sahabat Abdullah bin Mas'ud menegaskan bahwa orang yang tidak berzakat, maka tidak ada salat baginya.
Beranjak pada potensi zakat di Indonesia, menurut perhitungan yang dibuat oleh Asian Development Bank potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp 100 Triliun. Sebuah angka yang sangat besar, potensi zakat yang besar ini harus digali secara serius agar menjadi kekuatan ekonomi masyarakat yang nyata.
Potensi zakat yang sangat besar ini, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi Indonesia. Pembangunan ekonomi telah mampu meningkatkan pendapatan penduduk Indonesia secara berarti. Peningkatan pendapatan dan taraf hidup sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, tentu telah membuat potensi pembayaran zakat semakin besar pula.
Jika pemasukan zakat di Indonesia sangat tinggi kemudian dikelola dengan profesional dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan, seperti pendirian perusahaan sebagai lapangan kerja, pemberian modal usaha, pelatihan peningkatan ketrampilan kerja dan lain sebagainya, Maka zakat dapat membantu mengatasi berbagai masalah sosial, terutama kemiskinan dan keterbelakangan di kalangan masyarakat Muslim. Jika potensi riil ini kemudian dipadukan dengan upaya-upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, maka insya Allah kemiskinan di Indonesia akan dapat lebih cepat teratasi.
Terdapat sebuah kenyataan di desa X, penghuninya 100% muslim, banyak penduduknya yang kaya dengan indikasi mereka memiliki perusahaan-perusahaan, kendaraan mewah dan lain sebagainya, hal ini menunjukkan potensi zakat pada desa ini cukup besar. 
selain itu, di desa ini terdapat sebuah Lembaga Amil Zakat (LAZ). Namun belum ditemukan adanya pengentasan kemiskinan pada penduduk yang miskin melalui zakat. Padahal secara teori zakat dapat mengentaskan kemiskinan dan sejarah sudah membuktikannya sebagaimana tertera di atas.
Data awal yang diperoleh peneliti dari LAZ yang ada di desa tersebut, yakni LAZ Masjid Y, Jumlah zakat mal yang terkumpul dalam satu tahun dari 104 orang muzakki mencapai Rp. 113.050.000 (Seratus tiga belas juta lima puluh ribu rupiah) dan data yang dimiliki oleh LAZ tersebut, Jumlah mustahiq) zakat yang masuk kategori miskin terdapat 117 orang.
Menurut keterangan dari pengurus LAZ dan warga sekitar masih banyak orang yang dipandang kaya namun tidak mengeluarkan zakatnya, dan ini dimungkinkan karena kurangnya kesadaran mereka dalam memperhatikan masalah zakat.
Dari data yang diperoleh peneliti, baik berupa data tertulis maupun keterangan-keterangan hasil wawancara tentang keadaan zakat di desa tersebut, peneliti punya asumsi bahwa daerah tersebut sebenarnya memiliki potensi besar dalam mengembangkan LAZ sehingga dapat dilakukan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, peneliti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap LAZ dan perannya dalam pengentasan kemiskinan pada desa tersebut, dengan harapan dapat ditemukan sejumlah penyebab ketidakmampuannya dalam mengentaskan kemiskinan yang kemudian dapat dicarikan solusi-solusi terbaik.

B. Identifikasi Masalah
Dalam mengidentifikasi masalah, peneliti menggunakan teori penetapan fokus, karena dengan penetapan fokus, masalah dapat lebih mudah diidentifikasi dan tepat dalam memberikan batasan masalah. Dalam penelitian ini, berdasarkan topik di atas, fokus penelitiannya adalah upaya LAZ dalam pengentasan kemiskinan serta kendala-kendala serta solusi dalam mengatasinya.
Berbagai kemungkinan faktor yang ada kaitan dengan fokus tersebut subfokusnya adalah : 
1. Tingkat kemaksimalan LAZ dalam beroperasi.
2. Porsi bagi fakir miskin diantara delapan asnaf zakat yang berhak menerimanya.
3. Kurang tepatnya LAZ dalam mendistribusikan zakat.
4. Sistem yang dipakai dalam mendistribusikan zakat.
5. Kesadaran masyarakat terhadap kewajiban zakat.
6. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam menitipkan zakat pada LAZ.
7. Kurangnya perhatian pemerintah setempat dalam menangani zakat
8. Kurangnya sosialisasi tokoh agama dalam menyerukan zakat
9. Minimnya muzakki dikarenakan kondisi ekonomi

C. Batasan Masalah
Dari faktor atau subfokus tersebut di atas, semuanya sangat menarik untuk diteliti. Namun agar penelitian bisa lebih fokus dan tidak terlalu melebar pembahasannya, serta terkendali dalam ruang lingkup yang lebih jelas dan terukur, maka penulis membatasi masalah pada : 
1. Pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
2. Pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
3. Tindakan yang dilakukan LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan

D. Rumusan Masalah
Mengacu pada identifikasi dan batasan masalah tersebut di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana pola pengumpulan zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y ?
2. Bagaimana pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y ?
3. Apa saja tindakan pengelola LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah : 
1. Untuk mengetahui pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y
2. Untuk mengetahui pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y
3. Untuk mengetahui apa saja tindakan pengelola LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan

F. Kegunaan Penelitian
Dari penulisan penelitian ini penulis mengharapkan adanya manfaat-manfaat sebagai berikut : 
1. Kegunaan secara teoritis : 
a. Memberikan kontribusi dalam khazanah keilmuan tentang zakat dan LAZ
b. Diketahuinya pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
c. Diketahuinya pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
d. Diketahuinya porsi zakat yang dialokasikan untuk fakir miskin oleh LAZ Masjid Y
e. Diketahuinya wujud zakat dalam mengentaskan kemiskinan
f. Ditemukannya solusi-solusi maksimalisasi zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan
2. Kegunaan secara praktis : 
a. Sebagai acuan kebijakan pemerintah setempat dalam memberikan perhatiannya pada pengembangan LAZ yang memiliki peran besar dalam ekonomi masyarakat
b. Sebagai acuan bagi LAZ akan pentingnya peran LAZ dalam keberhasilan program zakat
c. Kontribusi dalam rangka syi'ar penggalakan zakat