Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis akuntansi. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis akuntansi. Show all posts

TESIS PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LAPORAN AUDIT

(KODE : PASCSARJ-0538) : TESIS PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LAPORAN AUDIT (PROGRAM STUDI : AKUNTANSI)

tesis akuntansi

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan merupakan sarana untuk menyediakan berbagai informasi yang diperlukan sebagai pengambilan keputusan baik oleh pihak internal maupun eksternal perusahaan. Menurut Financial Accounting Standard Board (FASB),
dua karakteristik terpenting yang harus ada dalam laporan keuangan adalah relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable). Kedua karakteristik tersebut sangatlah sulit untuk diukur, sehingga para pemakai informasi membutuhkan jasa pihak ketiga, yaitu auditor independen untuk memberi jaminan bahwa laporan keuangan tersebut relevan dan dapat diandalkan, Sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan dari semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Para pengguna laporan audit mengharapkan bahwa laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen (akuntan publik) bebas dari salah saji material, dapat dipercaya kebenarannya untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.
Namun, di era persaingan yang sangat ketat seperti sekarang ini, perusahaan dan profesi auditor independen sama-sama dihadapkan dengan perusahaan kompetitor atau rekan seprofesinya. Perusahaan menginginkan Unqualified Opinion sebagai hasil dari laporan audit, agar performance-nya, terlihat bagus di mata publik sehingga ia dapat menjalankan operasinya dengan lancar.
Menurut Chow dan Rice (dalam Elisha dan Icuk 2010), manajemen perusahaan berusaha menghindari opini wajar dengan pengecualian karena bias mempengaruhi harga pasar saham perusahaan dan kompensasi yang diperoleh manajer. Sehingga laporan keuangan yang diaudit adalah hasil proses negosiasi antara auditor dengan klien (Antle dan Nalebuff dalam Elisha dan Icuk 2010).
Disinilah auditor independen berada dalam situasi yang dilematis, di satu sisi auditor independen harus bersikap independen dalam memberikan opini mengenai kewajaran laporan keuangan berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, namun di sisi lain dia juga harus bisa memenuhi tuntutan yang diinginkan oleh klien yang membayar fee atas jasanya agar kliennya puas dengan pekerjaannya dan tetap menggunakan jasanya di waktu yang akan datang. Posisi yang unik seperti itulah yang menempatkan auditor pada situasi yang dilematis sehingga dapat mempengaruhi kualitas auditor independen
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan yang diberikan oleh auditor independen (akuntan publik) inilah yang akhirnya mengharuskan auditor independen (akuntan publik) memperhatikan kualitas laporan auditor independen yang dihasilkan. Kualitas laporan auditor independen ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable) sebagai dasar pengambilan keputusan.
Adanya kekhawatiran akan merebaknya skandal keuangan, sehingga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi auditor independen (akuntan publik). Ada pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas laporan auditor independen yang dihasilkan oleh auditor independen (akuntan publik) yaitu terjadinya banyak kasus yang melibatkan auditor independen (akuntan publik) baik di luar negeri maupun di dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir ini.
Yang menjadi pertanyaan besar dalam masyarakat adalah mengapa justru semua kasus tersebut melibatkan auditor independen (akuntan publik) dimana seharusnya mereka sebagai pihak ketiga yang independen yang memberikan jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan. 
Dari beberapa kasus tersebut, jika dilihat dari perspektif psikologi mengenai independensi auditor ini mengemukakan bahwa upaya mencapai independensi adalah mustahil dan pendekatan-pendekatan profesi auditing yang ada sekarang ini adalah dan kurang realistis (Bazerman et al. 1997:89-94). Kerangka audit yang ada mengimplikasikan tujuan independensi adalah mencoba menghilangkan bias oleh auditor sehingga dapat mencapai hasil yang baik. Padahal auditor menurut mereka, berdasarkan posisi pekerjaan dalam hubungannya dengan klien tidak mungkin luput dari bias yang tidak disadari (unconscious bias).
Menurut Bazerman et al. (2001) seringkali auditor independen bersifat subyektif dan ada hubungan yang erat antara auditor independen (kantor akuntan publik) dan kliennya, auditor independen yang paling jujur dan cermat sekalipun akan secara tidak sengaja mendistorsi angka-angka sehingga dapat menutupi keadaan keuangan yang sebenarnya dari suatu perusahaan yang dapat menyesatkan investor, regulator atau manajemen itu sendiri.
Argumen Bazerman et al. (2001), dilandasi oleh bukti-bukti penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa keinginan kita dengan kuat mempengaruhi cara kita menginterpretasikan informasi, sekalipun cara kita mencoba untuk bersikap obyektif dan tidak memihak. Dikemukakan juga adanya self serving bias, yaitu meski diperlengkapi dengan informasi yang sama, orang yang berbeda akan mencapai kesimpulan yang berbeda, yaitu kesimpulan yang cenderung mendukung kepentingannya sendiri.
Kualitas audit seperti dikatakan oleh De Angelo (1981) dalam Alim dkk. (2007), yaitu sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya.
Probabilitas auditor untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien tergantung pada independensi auditor. Seorang auditor independen dituntut untuk dapat menghasilkan kualitas pekerjaan yang tinggi, karena auditor independen mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan termasuk masyarakat. Tidak hanya bergantung pada klien saja, auditor independen merupakan pihak yang mempunyai kualifikasi untuk memeriksa dan menguji apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
Sedangkan Christiawan (2005) mengungkapkan, kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu independensi dan kompetensi yang merupakan faktor penentu kualitas audit.
Philip Kotler (1994) dalam Ridwan Widagdo (2002:7) mendefinisikan kepuasan auditee sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapannya. Kualitas laporan audit yang dirasakan auditee diperoleh melalui pengalaman diaudit atau diperiksa. Auditee akan terkesan dan merespon atas apa yang dialami termasuk dalam hal pengkomunikasian hasil pemeriksaan, yang kemudian menimbulkan kepuasan auditee.
Hall dan Elliot (1993) menyimpulkan bahwa kualitas jasa audit dalam menghasilkan laporan audit adalah kepuasan auditee yang merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Namun atribut kualitas laporan audit seharusnya memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor yang menentukan kepuasan auditee.
Menurut Boynton dan Kell (Wahana, volume 2,1999:23), kualitas jasa sangat penting untuk meyakinkan bahwa profesi bertanggungjawab kepada klien, masyarakat umum, dan aturan-aturan.
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), yang dikeluarkan oleh IAPI tahun 2008 dinyatakan bahwa kriteria atau ukuran mutu mencakup mutu profesional auditor. Kriteria mutu profesional auditor seperti yang diatur oleh standar umum auditing meliputi independensi, integritas dan objektivitas. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas jasa audit bertujuan meyakinkan bahwa profesi bertanggung jawab kepada klien dan masyarakat umum yang juga mencakup mengenai mutu profesional auditor.
Hasil penelitian menurut Behn (1997:7) ada 12 atribut kualitas laporan audit yaitu pengalaman melakukan audit (client experience), memahami industri klien (industry expertise), responsive atas kebutuhan klien (responsiveness), taat pada standar umum (technical competence), independensi (independence), sikap hati-hati (due care), komitmen yang kuat terhadap kualitas laporan audit (quality commitment report), keterlibatan pimpinan KAP, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat (field work conduct), standar etika yang tinggi (ethical standard), tidak mudah percaya, dan kualitas audit dan kepuasan Klien.
Agar laporan audit yang dihasilkan auditor independen berkualitas, maka auditor harus menjalankan pekerjaannya secara professional. Auditor harus bersikap independen terhadap klien dan mematuhi standar audit. Kemudian memperoleh bukti kompeten yang cukup untuk menyatakan pendapat atas laporan audit dan melakukan tahap-tahap proses audit secara lengkap.
Kemudian dari pada itu auditor independen juga harus memegang prinsip kode etik dari Prinsip Dasar Etik Profesi Akuntan Publik [Seksi 110 sampai dengan 150:5] yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik tahun 2008 yaitu, integritas, obyektivitas, kompetensi, kerahasiaan dan prilaku professional.
Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi auditor independen (KAP) ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, namun disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menolak tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan maka independensi auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Selain itu juga auditor independen memiliki posisi yang strategis baik di mata manajemen maupun di mata pemakai laporan keuangan. Sehingga pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap kualitas hasil pekerjaan auditor independen dalam mengaudit laporan keuangan.
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengujian mengenai seberapa penting kualitas laporan audit. Sehingga dapat diketahui apa saja yang dapat mempengaruhi kualitas laporan auditor independen dan selanjutnya dapat meningkatkan kualitas laporan yang dihasilkan.
Dari uraian yang telah disebutkan diatas maka peneliti melakukan penelitian dengan mengangkat judul : “PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LAPORAN AUDIT (STUDI EMPIRIS)”.

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR SEBAGAI MODERATING VARIABEL PADA AUDITOR YANG BEKERJA PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK

(KODE : PASCSARJ-0537) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR SEBAGAI MODERATING VARIABEL PADA AUDITOR YANG BEKERJA PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK (PROGRAM STUDI : AKUNTANSI)

tesis akuntansi

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:3). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi laporan keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Profesi akuntan mempunyai peranan penting dalam penyediaan informasi keuangan yang handal bagi pemerintah, investor, kreditor, pemegang saham, karyawan, debitur, juga bagi masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Guna menunjang profesionalisme nya sebagai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standard audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAIKAP), 2001, Standar Profesional Akuntan Publik yakni standard umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dimana standard umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan secara keseluruhan.
Para pengguna laporan keuangan akan lebih mempercayai informasi dalam laporan keuangan yang telah dibuat oleh agen setelah laporan tersebut diperiksa kebenarannya oleh auditor. Untuk itu, auditor harus memiliki kredibilitas dalam melakukan pekerjaannya sehingga auditor dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas.
Dewasa ini, publik semakin mempertanyakan kualitas audit yang dihasilkan oleh para auditor seiring dengan maraknya kasus-kasus yang terjadi baik di dalam negeri maupun di manca negara, dimana kasus-kasus tersebut berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh para auditor. Padahal kebutuhan akan jasa audit semakin hari semakin meningkat. Salah satu pihak yang sangat membutuhkan jasa audit adalah para stakeholders perusahaan. Hal ini dikarenakan, untuk membuat keputusan yang tepat dan benar, principal dan para pengguna laporan keuangan lainnya perlu memperoleh laporan yang berisikan data yang sesuai dengan kebenaran yang ada.
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhawatiran akan merebaknya skandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Untuk menghasilkan kualitas audit yang tinggi, auditor memerlukan dua hal utama, yaitu kompetensi dan independensi (Christiawan 2002). Sedangkan Deis dan Groux (1992) dalam Alim et al. (2007) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor.
Sementara itu AAA Financial Accounting Committee (2000) menyatakan bahwa "Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit". Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter (1986) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan itu Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien. Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum.
Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
Berbagai hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan dan pengalaman. Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di "audit" oleh sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain si stem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Selain itu peer review dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59).
Penelitian mengenai kualitas audit penting bagi KAP dan auditor agar mereka dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit dan selanjutnya dapat meningkatkannya kualitas audit yang dihasilkannya. Bagi pemakai jasa audit, penelitian ini penting yakni untuk menilai sejauh mana akuntan publik dapat konsisten dalam menjaga kualitas jasa audit yang diberikannya.
Meningkatnya persaingan saat ini membuat para akuntan publik menjadi lebih sulit berperilaku secara profesional, dan membuat banyak kantor akuntan publik lebih berkepentingan untuk mempertahankan klien dan laba yang besar. Karena itu banyak kantor akuntan publik telah menerapkan falsafah dan praktik yang sering disebut sebagai praktik bisnis yang disempurnakan.
Dalam pelaksanaan praktik jasa auditing yang dilakukan oleh Akuntan Publik, sebagian masyarakat masih ada yang meragukan tingkat skeptisisme professional yang dimiliki oleh para auditor KAP yang selanjutnya berdampak pada keraguan masyarakat terhadap kualitas audit.
Maraknya skandal keuangan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri telah memberikan dampak besar kepada kepercayaan publik terhadap profesi akuntan publik. Dan yang menjadi pertanyaan besar dalam masyarakat adalah mengapa justru semua kasus tersebut melibatkan profesi akuntan publik yang seharusnya mereka sebagai pihak ketiga yang independen yang memberikan jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan.
Kurangnya independensi auditor dan maraknya manipulasi akuntansi korporat membuat kepercayaan para pemakai laporan keuangan auditan mulai menurun, sehingga para pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mempertanyakan eksistensi akuntan publik sebagai pihak independen. Krisis moral dalam dunia bisnis yang mengemuka akhir-akhir ini adalah kasus Enron Corporation. Laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh kantor akuntan Arthur Anderson, salah satu kantor akuntan publik (KAP) dalam jajaran big four, namun secara mengejutkan pada 2 Desember 2001 dinyatakan pailit. Kepailitan tersebut salah satunya karena Arthur Anderson memberikan dua jasa sekaligus, yaitu sebagai auditor dan konsultan bisnis (Santoso, 2002).
Akuntan publik yang mengaudit perusahaan yang terkena skandal akuntansi tersebut juga tergolong kantor akuntan publik (KAP) yang berukuran besar dan mempunyai reputasi di bidang keuangan, namun hal itu ternyata tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan mencerminkan nilai perusahaan yang sesungguhnya. Padahal di sisi lain informasi keuangan yang akurat merupakan pertimbangan utama untuk menilai harga wajar suatu sekuritas, misalnya saham atau obligasi di pasar modal. Kegagalan dalam pelaporan keuangan dalam bentuk kecurangan atau kesalahan yang tidak dapat diungkapkan oleh KAP saat melakukan audit mengakibatkan kerugian yang besar bagi investor dan kreditor.
DeAngelo (1981) menyatakan bahwa kualitas audit dari akuntan publik dapat dilihat dari Pengalaman kerja yang melakukan audit. KAP besar (Big 4 accounting firms) diyakini melakukan audit lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (Non-Big 4 accounting firm). Namun pada tahun 2001, terjadi kasus financial statement fraud di Enron dan juga beberapa kasus lainnya. Dalam kasus-kasus tersebut akuntan publik yang mengaudit termasuk kantor akuntan publik yang berukuran besar dan memiliki reputasi yang baik. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tidak semua kantor akuntan publik yang berukuran besar melakukan audit yang berkualitas tinggi
Kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor dalam penerapannya akan terkait dengan etika. Sesuai dengan PSA No. 02 (SPAP seksi 110, 2001), auditor memiliki tanggung jawab terhadap profesinya, tanggung jawab untuk mematuhi standar yang diterima oleh para praktisi rekan seprofesinya. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menetapkan aturan yang mendukung standar tersebut dan membuat basis penegakan kepatuhan tersebut sebagai bagian dari Kode Etik Ikatan Akuntan.
Penelitian tentang etika telah dilakukan oleh Payamta (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan "Pedoman Etika" IF AC, maka syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan/perilaku seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip tersebut adalah (1) integritas, (2) obyektifitas, (3) independen, (4) kepercayaan, (5) standar-standar teknis, (6) kemampuan profesional, dan (7) perilaku etika.
Berdasarkan uraian masalah tersebut di atas, maka peneliti ingin melakukan suatu kajian dengan judul "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR SEBAGAI MODERATING VARIABEL PADA AUDITOR YANG BEKERJA DI KANTOR AKUNTAN PUBLIK".
TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASASI PEMANFAATAN ASET TETAP PEMERINTAH DAERAH

TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASASI PEMANFAATAN ASET TETAP PEMERINTAH DAERAH

(KODE : PASCSARJ-0263) : TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASASI PEMANFAATAN ASET TETAP PEMERINTAH DAERAH (PROGRAM STUDI : AKUNTANSI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dengan berlakunya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 merupakan landasan perubahan sistem pemerintahan daerah termasuk perimbangan Keuangan Negara. Perubahan itu mengarah pada pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Arifin et al. 2003). Diberlakukannya kedua undang-undang di atas, untuk menghilangkan ketimpangan, ketidakharmonisan, dan tidak kreatifnya daerah akibat diberlakukannya UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah dan telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pembentukan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perimbangan keuangan mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan UU Nomor 32 dan 33 tahun 2004 adalah daerah telah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur sumber dayanya termasuk bagaimana mengoptimalkan dan memanfaatkan aset daerah yang dimilikinya dengan jalan menerapkan sistem manajemen aset sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian pemerintah daerah dituntut memiliki suatu kemandirian dalam membiayai sebagian besar anggaran pembangunannya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus dapat mengarahkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berdayaguna dan berhasil guna serta mampu melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah termasuk optimalisasi dan pemanfaatan dari aset-aset yang ada.
Aset daerah adalah semua harta kekayaan milik daerah baik barang berwujud maupun barang tak berwujud (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Bab I pasal 1). Barang Daerah adalah semua barang berwujud milik daerah yang berasal dari pembelian dengan dana yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBD dan atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Bab I pasal 1). Barang berwujud atau disebut dengan aktiva tetap adalah barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pelayanan publik. Aktiva tetap antara lain terdiri dari tanah, jalan dan jembatan, bangunan air, instalasi dan jaringan, gedung, mesin dan peralatan, kendaraan, meubelair dan perlengkapan serta bukubuku perpustakaan.
Pentingnya pengelolaan aset terutama tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan dan keberadaan manusia. Salah satu bentuk pengelolaan aset adalah konsep real property, yaitu suatu hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki dalam arti menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah, misalnya hak milik atau hak guna bangunan berikut bangunan (permanen) yang didirikan di atasnya atau tanpa bangunan. Pengertian penguasaan di atas perlu dibedakan antara penguasaannya secara fisik atas tanah dan/atau bangunan yang disebut real estate. Sedangkan real property merupakan kepemilikan sebagai konsep hukum (penguasaan secara yuridis) yang dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah (Siregar, 2004)
Pengelolaan (manajemen) aset daerah merupakan salah satu faktor penentu kinerja usaha yang sehat, sehingga dibutuhkan adanya analisis optimalisasi dalam penilaian aset daerah, yaitu : inventarisasi, identifikasi, legal audit, dan penilaian yang dilaksanakan dengan baik dan akurat. Sekarang ini, Sistem Informasi Manajemen Aset (SIMA) merupakan suatu sarana yang efektif untuk meningkatkan kinerja sehingga transparansi kerja dalam pengelolaan aset sangat terjamin tanpa perlu adanya kekhawatiran akan pengawasan dan pengendalian yang lemah (Siregar, 2004).
Pemerintah Kabupaten X memiliki potensi di berbagai sektor dan untuk menunjang optimalisasi potensi daerah yang ada dan peningkatan pelayanan publik, Pemerintah Daerah didukung oleh sarana dan prasarana yang dimiliki. Sarana dan Prasarana yang merupakan aktiva tetap (fixed aset) yang dimiliki Pemerintah Daerah tersebut diklasifikasikan berupa : tanah, jalan dan jembatan, instalasi dan jaringan, bangunan gedung, alat-alat besar, alat angkutan, alat bengkel dan alat ukur, alat pertanian, alat kantor dan alat rumah tangga, alat-alat studio, alat-alat kedokteran, alat-alat laboratorium, buku perpustakaan, barang bercorak seni dan budaya. 

B. Penelitian Terdahulu dan Perbedaan Penelitian
Penelitian mengenai Manajemen Aset di Kabupaten X belum pernah dilakukan namun beberapa penelitian mengenai manajemen aset telah banyak dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Pakiding (2006) dalam penelitiannya tentang "Pengaruh Manajemen Aset Terhadap Optimalisasi Aset Tetap (Tanah dan Bangunan), Studi Kasus di Kabupaten Bantul. Variabel yang digunakan Inventarisasi, identifikasi, legal audit dan penilaian. Sampel sebanyak 40 orang dengan metode purposive sampling. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas diukur dengan menggunakan statistik deskriptif, korelasi spearman rank dan diestimasi dengan regresi multinomial logistik. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa manajemen aset dalam optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) dipengaruhi secara signifikan oleh inventarisasi dan penilaian aset. Variabel bebas lainnya identifikasi dan legal audit menunjukkan hasil yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh. 
Chair (2001) mengadakan suatu studi kasus di pemerintah daerah DKI Jakarta tentang peranan manajemen dalam upaya meningkatkan kegunaan aset tanah dan bangunan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan keprogresifan status manajemen aset daerah. Metode yang digunakan adalah cluster analysis dan hasil yang diperoleh adalah adanya tingkat aktifitas yang tinggi terhadap pelaksanaan dan pengawasan manajemen aset tanah dan bangunan serta adanya pembedaan kinerja manajemen aset kelurahan yang terbentuk berdasarkan luas tanah dan bangunan yang dimiliki.
Bertovic, et al. (2002) menjelaskan bagaimana teknik mengimplementasikan manajemen aset secara bertahap (studi kasus pemerintah lokal di Negara Kroasia) beserta beberapa permasalahan yang mesti diwaspadai selama pelaksanaan dan solusi praktisnya. Di negara New Zealand (2001) pengelolaan aset tetap dikelola oleh suatu departemen tersendiri (the treasury) dan telah menetapkan garis-garis besar strategi serta mengeluarkan pedoman dan prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan akuisisi dan manajemen aset tetap. Sementara itu, Bohn (2002) mengadakan penelitian tentang pilihan berbagai alternative manajemen terhadap hutang dan aset pemerintah dalam suatu neraca keuangan yang meliputi kekayaan (treasury) The Federal Reserve, serta jaminan sosial. Penelitian ini mengkaji berapa jumlah dana yang harus diinvestasikan oleh pemerintah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa saham pendapatan tetap yang memenuhi kualitas tertinggi (high-quality fixed-income securities) merupakan patokan (benchmark) terbaik dan jaminan sosial yang paling diminati oleh manajer aset pemerintah.
Pahlevi (2002) mengadakan penelitian tentang pengelolaan manajemen aset real estate pada perusahaan daerah (PD) pasar jaya dengan pendekatan analisis Cluster dan Chi-Square untuk mengetahui sejauhmana status kinerja dan kepentingan unit-unit pasar di dalam melaksanakan faktor-faktor kunci manajemen aset Real Estate. Hasil analisis nya menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan kinerja yang signifikan antara status manajemen aset Real Estate yang terbentuk dari analisis cluster berdasarkan variabel klasifikasi unit-unit pasar, pendapatan kotor, jumlah karyawan, dan total luas lantai bangunan. Ciptono dan Wiryawan (2001) mengadakan suatu studi yang menjelaskan tentang penerapan real time strategic dengan memotret praktik manajemen aset bangunan perusahaan (corporate real-estate asset management or CREAM) di Indonesia. Dalam era transformasi (reformasi) nasional dan otonomi daerah, organisasi publik dan bisnis dituntut untuk mampu mengembangkan daya saing, efisiensi, dan keefektifannya guna melakukan proses perubahan secara kreatif dan berkesinambungan (sustainable) untuk menjadi the leader of crisis. Penelitian ini menggunakan metode cluster analysis (chi-square dan Cramer's V analysis) sebagai alat analisisnya.
Mahsun (2003) melakukan studi kasus pada Pemerintah Kota Yogyakarta tahun anggaran 2001/2002 tentang analisis efektivitas manajemen aset properti riil Pemerintah Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pertama dengan melakukan wawancara dengan pejabat di lingkungan pemerintah kota, yang kedua melakukan pengamatan dan observasi di lingkungan pemerintah kota dan yang ketiga melakukan tinjauan data baik literatur akademik maupun laporan
pertanggungjawaban. Hasil penelitian menunjukan bahwa praktek manajemen aset di Pemerintah Kota Yogyakarta masih belum optimal, karena pemkot masih belum mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengelola aset-aset yang dimiliki terutama aset besar.
Agustina (2005) melakukan suatu studi kasus yang dilakukan di Kabupaten Pontianak tentang manajemen aset (tanah dan bangunan) Pemerintah Daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identifikasi atas tanah dan bangunan yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah menjadi sumber pendapatan asli daerah dan meningkatkan pelayanan publik (public service). Dadson et. al (2006) menjelaskan tentang mengoptimalkan manajemen aset tanah di Ghana dalam rangka menuju good governance. Langkah-langkah tersebut berada di seputar legislasi, organisasi dalam sektor tanah, data base dan peta serta mekanisme sistem lahan yang berkelanjutan.
Penelitian yang dilakukan Bloom Quist dan Oldach (2005) menjelaskan bahwa optimalisasi aset perusahaan memerlukan pendekatan perbaikan yang "cerdas" dengan memadukan teknologi secara strategis, metodologi yang handal, proses pemeliharaan yang terbaik dan perubahan budaya dalam sebuah program yang terkoordinasi dan berkelanjutan. Sementara itu, Wardhana (2005) meneliti mengenai bagaimana mengelola aset Kota Jakarta. Penelitian ini membahas mengenai keberadaan potensi kota sebagai aset yang dimiliki/dikuasai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, permasalahan yang dihadapi berikut upaya penyelesaiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya restrukturisasi organisasi dalam pengelolaan aset melalui pembentukan Badan Pengelola dan Dewan Supervisi Aset
Kota, sehingga dari sisi anggaran biaya pengelolaan aset dapat ditekan secara signifikan dan kinerja organisasi dalam pengelolaan aset akan dapat diukur.
Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah pada lokasi penelitian yang mana mengambil lokasi Penelitian di Kabupaten X. Adapun alasan dipilihnya Kabupaten X sebagai lokasi penelitian karena memiliki jumlah aset-aset properti khususnya tanah dan bangunan yang sangat banyak. 
Atas dasar uraian di atas, maka penelitian ini tertarik melakukan penelitian terkait pengaruh manajemen aset terhadap optimalisasi aset dengan judul “PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET TETAP PEMERINTAH KABUPATEN X".

C. Perumusan Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada pengaruh manajemen aset terhadap optimalisasi pemanfaatan aset tetap di Pemerintah Kabupaten X. Inventarisasi, legal audit, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian aset daerah berperan sangat penting dalam memberikan informasi yang cepat, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten X adalah pelaksanaan manajemen aset atau pengelolaan asetnya yang meliputi prosedur penatausahaan inventarisasi dan identifikasi aset daerah secara fisik dan yuridis yang belum terlaksana dengan baik dan benar. Ketidaktertiban dalam pengelolaan data base aset, sehingga aset-aset yang dikelola Pemerintah Daerah cenderung tidak optimal dalam penggunaannya. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan dalam optimalisasi dan pemanfaatan aset di masa yang akan datang. Implikasi atas pemanfaatan dari pengelolaan aset yang tidak optimal adalah tidak diperolehnya nilai yang terkandung dalam aset itu sendiri, misalnya dari aspek ekonomi adalah tidak diperolehnya revenue yang sepadan dengan besarnya nilai aset yang dimiliki atau dengan kata lain tingkat pengembaliannya rendah.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan suatu kajian yang mendalam tentang optimalisasi dari pemanfaatan aset tanah dan bangunan yang dimiliki/dikelola oleh Pemerintah Kabupaten X. Kajian-kajian tersebut meliputi optimalisasi potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal yang dimiliki aset sehingga diharapkan daerah dapat menggali sumber-sumber pendapatannya dalam rangka kemandirian daerah dalam hal pendanaannya, serta faktor-faktor yang berhubungan dengan manajemen aset di daerah.
Oleh karenanya, penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh manajemen aset terhadap optimalisasi aset tetap yang berupa tanah dan bangunan. Secara lebih rinci, rumusan masalah dituliskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut ini.
1. Apakah terdapat pengaruh inventarisasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?
2. Apakah terdapat pengaruh identifikasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?
3. Apakah terdapat pengaruh legal audit terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?
4. Apakah terdapat pengaruh penilaian terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh manajemen aset di Pemerintah Kabupaten X dalam optimalisasi aset tetapnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang baik bagi Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan asetnya. Secara lebih rinci, tujuan penelitian dengan mendasarkan pada pertanyaan penelitian di atas adalah sebagai berikut ini.
1. Untuk memperoleh bukti empiris terkait pengaruh inventarisasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.
2. Untuk memperoleh bukti empiris terkait mengetahui pengaruh identifikasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.
3. Untuk memperoleh bukti empiris terkait mengetahui pengaruh legal audit terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.
4. Untuk memperoleh bukti empiris terkait mengetahui pengaruh penilaian terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat sebagai berikut ini.
1. Pemerintah Kabupaten X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten X dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan manajemen aset untuk optimalisasi dan pemanfaatan aset tetapnya.
2. Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah/wawasan dalam bidang ilmu pengetahuan terutama manajemen aset khususnya pengelolaan aset di daerah.