Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis administrasi publik. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis administrasi publik. Show all posts
TESIS KINERJA APARAT PELAYANAN PADA KANTOR PERTANAHAN

TESIS KINERJA APARAT PELAYANAN PADA KANTOR PERTANAHAN

(KODE : PASCSARJ-0247) : TESIS KINERJA APARAT PELAYANAN PADA KANTOR PERTANAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era pembangunan dewasa ini, arti dan fungsi tanah bagi negara Indonesia tidak hanya menyangkut kepentingan ekonomi semata, tetapi juga mencakup aspek sosial dan politik serta aspek pertahanan keamanan. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk pembangunan, maka corak hidup dan kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan menjadi lain.
Adanya perubahan sikap yang demikian dapat dimaklumi karena tanah bagi masyarakat Indonesia merupakan sumber kemakmuran dan juga kesejahteraan dalam kehidupan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu hal yang amat penting guna menjamin kelangsungan hidupnya. Menyadari akan fungsi tersebut maka pemerintah berusaha meningkatkan pengelolaan, pengaturan dan pengurusan di bidang pertanahan yang menjadi sumber kemakmuran dan kesejahteraan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Tanah-tanah yang ada di Indonesia ini diatur dengan Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 yang dikeluarkan pada tanggal 24 September 1960. Ketentuan lebih lanjut mengenai Undang-Undang Pokok Agraria ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dinyatakan 2 (dua ) kewajiban pokok yaitu : 
1. Kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
2. Kewajiban para pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dipegangnya.
Pendaftaran hak atas tanah yang dilakukan berarti pihak yang didaftar akan mengetahui subyek atas tanah dan obyek hak atas tanah yaitu mengenai orang yang mejadi pemegang hak atas tanah itu, letak tanahnya, batas-batas tanahnya serta panjang dan lebar tanah tersebut. Hasil akhir dari pendaftaran hak atas tanah dinamakan "Sertifikat Tanah". Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk mewujudkan harapan-harapan yang ingin dicapai sebagaimana yang telah ditetapkan pada kebijaksanaan catur tertib Pertanahan, maka dalam kenyataan praktek sehari-hari, Kantor Pertanahan sebagai institusi resmi pemerintah yang berwenang mengatur dan mengeluarkan sertifikat tanah, dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari tidak luput dari perhatian publik berkaitan dengan kinerja pelayanan yang mereka berikan bagi masyarakat yang menggunakan jasanya.
Sebagai ilustrasi untuk memperlihatkan gambaran kinerja aparat pelayanan, yang dalam hal ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan maka difokuskan pada kinerja aparat pelayanan kantor pertanahan, berikut ini contoh keluhan yang timbul menyangkut permasalahan dalam hal pelayanan yang dikutip dari suara pembaca harian Kompas 11 Nopember 2008, sebagai berikut : 
"Mengurus sertifikat yang murah, mudah, dan cepat ternyata hanya di televisi. Kenyataannya, di Badan Pertanahan Nasional Kota X tidak demikian. Untuk mengurus sertifikat tanah, ada banyak hal harus ditempuh dan perlu waktu. Pertama, mendaftar pengukuran. Pemohon harus mencari petugas ukur untuk diajak ke lapangan atau ke lokasi tanah yang akan dibuatkan sertifikat. Kedua, mendaftar SKPT. Ketiga, mendaftar ke Panitia A. Keempat mendaftar SK Sertifikat. Jadi untuk pendaftaran sertifikat saja perlu empat kali mendaftar. Mengenai biaya tentu saja bertambah persoalan karena tiap mendaftar ada istilah percepatan, yakni perlu pelicin. Jika tidak, pemohon harus menunggu sejadinya, tidak ada batas waktu. Untuk Panitia A, si petugas biasanya melihat lokasi tanah. Jika SK sudah jadi, tidak langsung dikirim. Pemohon harus membuat perjanjian atau kesepakatan lebih dulu, terutama untuk pemohon yang tanahnya luas dan berlokasi dijalan besar. Alasannya untuk mengisi kas dan memberi ke atasannya. Setelah semua itu selesai, SK baru dikirim ke loket pengambilan. Untuk pendaftaran SK yang tinggal buat saja kok lama sekali. Pemohon harus menemui petugas. Di situ membuat kesepakatan dulu baru dikerjakan. Kalau tidak mau membuat kesepakatan, tunggu saja sampai jadi entah kapan. Beginilah BPN. Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah.
Selain itu sebagai contoh seorang warga yang mengeluhkan akan keterlambatan Surat Keputusan mengenai perpanjangan Hak Guna Bangunan yang diterimanya. Contoh lain seperti dimuat pada harian suara merdeka 26 Mei 2008 yang menyatakan bahwa Pemerintah Kota X (pemkot) hanya bisa mensertifikatkan tanahnya sebanyak 1.519 buah dari 2.897 bidang tanah yang diajukan ke Kantor Pertanahan Kota X, sedangkan 1.378 bidang lainnya tidak diketahui keberadaannya, karena arsip yang mendukung kepemilikannya tidak tersimpan di BPN. Tentunya aset-aset yang belum bersertifikat ini rawan mendapatkan masalah, karena bukti kepemilikannya yang belum jelas.
Dari contoh keluhan dan kasus tentang pelayanan pada Kantor Pertanahan tersebut di atas menunjukkan bahwa permasalahan pelayanan publik dalam sertifikasi tanah merupakan salah satu permasalahan pokok bagi kinerja institusi. Agar tidak mendapat sorotan yang lebih jauh di era reformasi ini maka kinerja pelayanan pada Kantor Pertanahan harus segera diperbaiki. Disampaikan juga oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota X bahwa kinerja institusi yang menduduki ranking 2 paling buruk dalam memberikan pelayanan adalah institusi Pertanahan.
Kinerja Pertanahan yang masih buruk juga disampaikan pada Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada peringatan Hari Ulang Tahun Agraria dan Undang-Undang Pokok Agraria tanggal 24 September 2008 yang dibacakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah yang menyatakan bahwa berdasarkan penemuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kinerja Institusi Badan Pertanahan masih menduduki ranking 2 paling buruk.
Hasil survey yang dilakukan oleh EPPS (Enter fur Population and Policy Studies) Universitas Gajah Mada tentang "Public Service Performance" di Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan yang dimuat dalam Policy Brief No. 02 (2001 : 1) dengan judul "Bureaucratic Corruption in Indonesia" pada Kantor Pertanahan disebutkan 58% masyarakat pengguna jasa dari tiga propinsi itu memberi uang pelicin untuk memperlancar permintaan pelayanan mereka pada Kantor Pertanahan. Padahal dalam menunjukkan kinerja pelayanan pada masyarakat seharusnya disesuaikan dengan prosedur dan janji Pegawai Negeri, sehingga tidak ada lagi embel-embel uang pelicin. Hal ini menunjukkan tidak adanya komitmen moral aparat dan kurangnya profesionalisme pegawai/aparat dalam menjalankan kinerjanya dalam melayani masyarakat.
Kurangnya profesionalisme pegawai Kantor Pertanahan dalam melayani masyarakat juga ditunjukkan dalam Policy Brief No. 2 (2001) dengan judul "Paternalism in Public Service Bureaucracy" yang menunjukkan hasil penelitian di tiga provinsi tersebut menemukan 44% bawahan atau Pegawai Negeri Sipil memprioritaskan kepentingan-kepentingan atasan mereka ketika memberikan pelayanan publik. Dicontohkan juga sebuah kasus apabila klien yang menginginkan pelayanan cepat melibatkan orang penting, maka pimpinan yang akan menanganinya. Ironisnya apabila klien itu orang biasa, pelayanan yang diberikan cenderung berbeda.
Agus Dwiyanto menyebutkan dalam makalahnya, bahwa khusus mengenai pelayanan sertifikasi tanah ketidakpastian waktu dan biaya sangat tinggi. Di samping itu upaya yang selama ini dilakukan Pemerintah untuk melaksanakan pelayanan sertifikasi tanah secara massal ternyata belum mampu membuat kinerja pelayanan sertifikasi menjadi baik.
Agus Dwiyanto menuturkan kisah seorang anggota masyarakat yang stress karena berkas sertifikat tanah yang diserahkan ke Kantor Pertanahan ternyata hilang di kantor tersebut. Padahal itu adalah berkas satu-satunya yang dimiliki. Seorang anggota masyarakat lainnya mengeluh karena sudah 7 (tujuh) tahun mengurus sertifikat tanah tetapi tak kunjung selesai dan tidak tahu kapan akan selesainya. Kisah tersebut menggambarkan bahwa aparat/pegawai kurang disiplin dalam melaksanakan tugasnya.
Berbagai keluhan masyarakat terus mewarnai penyelenggaraan pelayanan di bidang pertanahan. Rasa enggan dan gambaran negatif masih dirasakan masyarakat jika harus berurusan dengan Kantor Pertanahan. Ketidakpastian waktu dan biaya sering dikeluhkan masyarakat, hal ini karena belum ditaatinya standar waktu dan biaya yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 6 tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan (SPOPP) untuk Jenis Pelayanan Pertanahan tertentu. Sebagai contoh mengenai SPOPP pemecahan sertifikat perorangan waktu penyelesaiannya paling lama 15 hari dengan biaya pendaftaran dua puluh lima ribu rupiah, akan tetapi yang terjadi di lapangan ketika ada warga masyarakat yang mengurus sertifikat perorangan sudah hampir sebulan tetapi belum selesai.
Alasan yang disampaikan oleh aparat/pegawai adalah karena tidak adanya koordinasi dan komunikasi yang baik antar seksi sehingga menyebabkan jika ada berkas yang "berhenti" di satu seksi akan menambah lamanya waktu penyelesaian sertifikat, karena pengerjaan sertifikat seperti roda berjalan. Jika "mandek" di satu seksi maka berkas tidak dapat diteruskan ke seksi berikutnya.
Mulai bulan Desember 2008 Kantor Pertanahan Kota X menjalankan program komputerisasi dan LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah), dimana Kantor Pertanahan berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Tetapi program ini memerlukan peningkatan ketrampilan dan keahlian dari aparat, sehingga perlu adanya pelatihan khusus bagi aparatnya. Program ini membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai dan tenaga yang profesional karena menggunakan Sistem Teknologi Tinggi. Oleh karena itu dalam menjalankan program ini diperlukan kesiapan sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia yang handal. Belum konsistennya pelaksanaan reformasi pelayanan pertanahan, berjanji tidak akan memberikan toleransi karena ada sanksi administratif jika beliau menemukan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat kantor pertanahan di daerahnya. Warga juga diminta secara proaktif memberikan informasi yang lengkap atau bersedia menjadi saksi apabila ada aparat kantor pertanahan yang menyimpang, seperti meminta pungutan di luar ketentuan.
Permasalahan yang dihadapi Kantor Pertanahan Kota X hampir sama dengan Kantor Pertanahan lainnya. Permasalahan yang paling menonjol adalah masalah penyelesaian pensertifikatan tanah yang tidak sesuai dengan jumlah permohonan setiap tahunnya. 
Permasalahan dan contoh-contoh keluhan yang disampaikan di atas dalam pengurusan sertifikat tanah, membuat penulis tertarik untuk meneliti Kinerja Aparat Pelayanan pada Kantor Pertanahan Kota X. Sebagai alasan utama adanya keinginan dari masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan cepat sesuai dengan jadwal pelayanan tanpa adanya proses yang berbelit-belit dan alasan yang tidak masuk akal sesuai dengan semangat reformasi.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti tersebut di atas, maka permasalahan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
a. Kurangnya profesionalisme aparat;
b. Ketidakpastian waktu dan biaya;
c. Kurangnya komitmen moral aparat;
d. Rendahnya disiplin aparat;
e. Budaya dilayani bukan melayani;
f. Kurangnya koordinasi yang baik;
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini perumusan masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : "Bagaimana kinerja aparat pelayanan pada Kantor Pertanahan Kota X dalam memberikan pelayanan sertifikasi tanah kepada masyarakat" ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Secara praktis bertujuan untuk menganalisis kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparat Kantor Pertanahan Kota X, sehingga ditemukan strategi peningkatan kinerja aparat.
2. Secara teoritis bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kinerja aparat pelayanan pada Kantor Pertanahan Kota X.

D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Kantor Pertanahan Kota X khususnya para pimpinan kantor dalam meningkatkan kinerja pelayanan .
2. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan penelitian selanjutnya dalam rangka menambah khasanah akademik sehingga berguna untuk pengembangan ilmu.

TESIS HUBUNGAN ANTARA PROFESIONALISME DENGAN KINERJA PELAYANAN APARATUR PEMERINTAHAN KECAMATAN

TESIS HUBUNGAN ANTARA PROFESIONALISME DENGAN KINERJA PELAYANAN APARATUR PEMERINTAHAN KECAMATAN

(KODE : PASCSARJ-0211) : TESIS HUBUNGAN ANTARA PROFESIONALISME DENGAN KINERJA PELAYANAN APARATUR PEMERINTAHAN KECAMATAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan untuk menyediakan dan memberikan layanan publik yang berkualitas dan tepat sasaran merupakan salah satu indikator penting keberhasilan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut memberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkembang dan berubah secara dinamis. Dengan demikian peranan dan cara kerja pemerintah harus berubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Pelayanan umum pemerintah yang melibatkan seluruh aparatur pemerintah semakin terasa dengan adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak atas pelayanan yang berkualitas. Namun ternyata hak masyarakat atau perorangan belum dapat dipenuhi secara memuaskan oleh aparatur pemerintah.
Berbagai media massa, seperti siaran televisi atau koran, sering melupakan dan mengulas berbagai kelemahan memberikan layanan publik atau aparat pemerintah pada berbagai lini dan berbagai daerah, mulai dari mengurus KTP, membuat izin usaha dan berbagai keperluan lainnya serta terjadinya korupsi. Untuk itu pemerintah telah bersikap benar dengan memprioritaskan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik dan Rancangan Undang-Undang Reformasi Pemerintah pada tahun 2008 sebagai acuan sebagaimana aparatur pemerintah memberikan layanan kepada masyarakat (Kompas Online, 22 Mei 2007). Keadaan seperti itu menuntut penyelenggaraan pemerintah menjadi profesional dan handal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Secara umum Sundarso dkk (2006) menyebutkan bahwa : 
"Masyarakat sekarang menuntut pelayanan yang sederhana, adanya kejelasan dan kepastian, keamanan, dan kenyamanan, keterbukaan, efisien dan ekonomis, keadilan dan ketepatan waktu. Ini mengakibatkan kinerja birokrasi pemerintah hams terus menerus memperbaiki dirinya. Bila tidak meningkatkan performance-nya, masyarakat akan kecewa dan bila tersedia alternatif pelayanan lain maka dapat dipastikan masyarakat akan mengambil alternatif tersebut" (hal. 2.14)
Sehubungan dengan lingkup dan penyedia layanan publik, Nurcholis (2004) menyebutkan bahwa : 
"Kesejahteraan masyarakat merupakan fungsi pelayanan Pemerintah Daerah artinya kesejahteraan masyarakat akan terwujud manakala Pemerintah Daerah memberikan pelayanan publik tersebut mencakup pelayanan perorangan dan kelompok, pelayanan dalam bidang pembangunan sarana dan prasarana untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi, dan pelayanan dalam bidang perlindungan masyarakat." (hal 4.13)
Organisasi pemerintah dalam menjamin terpenuhinya kepentingan masyarakat dapat dilihat dari fungsi pengaturan kehidupan masyarakat. Berhubungan dengan hal tersebut, lahirnya Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang mengubah secara mendasar praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan paradigma yang terjadi menyangkut kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan camat. Perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah bentuk organisasi, pembiayaan, pengisian personil, pemenuhan kebutuhan logistik serta akuntabilitasnya. Pada masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, disebutkan bahwa kecamatan merupakan wilayah administratif pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi yakni lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah. Secara jelas disebutkan pada pasal 81 Undang-undang ini bahwa wewenang, tugas dan kewajiban camat sebagai kepala wilayah, sebagai berikut : 
a. Membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah.
b. Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
c. Menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan instansi-instansi vertikal, dan dinas-dinas daerah, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai daya guna dan hasil guna sebesar-besarnya.
d. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
e. Mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh instansi-instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
f. Melaksanakan segala tugas pemerintah yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya.
g. Melaksanakan tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kecamatan sebagai wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Selanjutnya dinyatakan bahwa perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan melainkan wilayah kerja dari perangkat daerah.
Perubahan pengertian kecamatan sebagaimana dikemukakan di atas membawa konsekuensi pada perubahan kedudukan camat sebagai pimpinan organisasi kecamatan. Camat sebagai perangkat daerah yang bertugas memberikan pelayanan tertentu, yang tidak lagi berkewajiban untuk ikut menjalankan sebagian tugas/kewenangan kabupaten/kota. Camat dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Artinya camat tidak memiliki kewenangan atributif, tetapi bersifat delegatif, yakni delegasi dari pejabat bupati/walikota. Besar kecilnya fungsi dan peran camat akan sangat tergantung seberapa besar delegasi kewenangan yang diberikan oleh bupati/walikota kepadanya.
Dalam menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, tugas camat meliputi mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum, mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan, membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau kelurahan dan melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan kemasyarakatan dalam wilayah kecamatan. Berdasarkan Kepmendagri nomor 158 tahun 2004 camat mempunyai tupoksi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah kecamatan harus memiliki aparatur yang berkualitas, memiliki kinerja, motivasi yang tinggi serta organisasi yang valid.
Menurut pendapat Agus Dwiyanto (2006), mengatakan bahwa orientasi kekuasaan penyelenggaraan pelayanan publik yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Selanjutnya dikatakan oleh L. Poltak Sinambela (2006) bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat terus mengalami pembaruan, baik dari sisi paradigma maupun format pelayanan seiring meningkatnya tuntutan masyarakat dan perubahan di dalam pemerintah itu sendiri. Amri Yousa (2004) sependapat bahwa kecamatan yang merupakan perangkat daerah terdekat dengan masyarakat akan lebih mudah mengetahui tuntutan dan aspirasi masyarakat sekaligus memenuhinya. Karena itu menempatkan organisasi kecamatan sebagai pusat pelayanan (close to the customer) merupakan prasyarat untuk menjamin efektifitas pelayanan umum.
Oleh sebab itu birokrasi dan para pejabatnya agar tidak menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayan masyarakat, yang akan menyebabkan sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Peningkatan kualitas birokrasi atau aparat menjadi titik sentral dari peningkatan daya saing, tidak terkecuali sumber daya manusia pada aparat kecamatan. Keterlambatan dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia akan berakibat pada kurang responsifnya aparat terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat dan terhadap tantangan-tantangan yang muncul dalam era globalisasi. Namun, perlu tetap diingat bahwa kemampuan yang dimiliki tidak akan dapat dikembangkan jika mereka bekerja pada suatu sistem birokrasi pemerintah yang tidak memungkinkannya mengembangkan kemampuan tersebut.
Birokrat pemerintah harus mempunyai kemampuan yang generalis spesialis. Artinya, birokrasi pemerintah dituntut untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara meliputi segala aspek kehidupan. Namun, di sisi lain juga harus ahli di bidangnya yakni pemerintahan. Secara umum kualitas birokrasi pemerintah yang diharapkan akan menciptakan suatu kinerja birokrasi yang baik dan efektif.
Menurut pendapat Agus Dwiyanto (2006) mengatakan bahwa : 
Kajian mengenai kinerja birokrasi publik, terutama yang terlibat dalam pelayanan publik, memiliki nilai yang amat strategis. Informasi mengenai kinerja birokrasi pelayanan publik dan faktor-faktor yang ikut membentuk kinerja birokrasi tentu amat penting untuk diketahui agar kebijakan yang holistik untuk memperbaiki kinerja bisa dirumuskan. Tanpa didasarkan pada informasi yang akurat dan reliabel, kebijakan reformasi birokrasi tidak akan mampu menyentuh semua aspek dimensi persoalan yang selama ini menghambat upaya perbaikan kinerja birokrasi publik. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja birokrasi tidak pernah mampu menghasilkan perubahan yang berarti. Hal ini terjadi karena kebijakan tersebut gagal menyelesaikan berbagai masalah yang selama ini ikut memberikan kontribusi pada rendahnya kinerja birokrasi (hal. 11)
Berkaitan dengan kecamatan secara faktual keberadaan kecamatan sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Sebagai pusat pelayanan maka menurut Depdagri (2004 : 12) bahwa : "Kecamatan dalam penyelenggara pelayanan masyarakat berfungsi sebagai penyelenggaraan perijinan yang dilimpahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang dilimpahkan, penyelenggaraan pembangunan/kegiatan yang dilimpahkan dan penyelenggaraan pelayanan dasar yang dilimpahkan".
Pelayanan publik yang diselenggarakan di kecamatan tersebut tidak terlepas dari kesan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah, sebagaimana yang pendapat Miftah Thoha (1995) dalam Sundarso dkk (2006) mengatakan bahwa : 
Bagi para pelaku ekonomi, birokrasi adalah pola kerja aparat pemerintahan yang tidak profesional yang sering berarti biaya tambahan yang mau tidak mau harus dibebankan kepada konsumen. Bagi masyarakat awam, birokrasi hanya berstatus rakyat. Birokrasi adalah penggusuran, pungli, kolusi, korupsi, dan berbagai konotasi menyakitkan lainnya. Akibatnya birokrasi dipandang sebagai sosok yang selalu tampil dengan wajah seram, yang membuat hidup tidak tentram (hal 2.12).
Selanjutnya Achmad Batinggi (2005) menyatakan bahwa : 
Pelayanan umum dalam kenyataannya sangat luas karena menyangkut semua aspek, sehingga upaya peningkatannya dalam pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh seperti masalah yang dihadapi aparatur pemerintah kurangnya profesionalisme, baik yang menyangkut ketrampilan, keahlian dan tingkat pengetahuan dari aparatur pemerintah. Termasuk juga mekanisme dan prosedur serta sarana dan prasarana (2.14).
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan kinerja yang lebih intensif dan optimal pada organisasi pelayanan publik.

B. Perumusan Masalah
Di dalam melaksanakan tugasnya aparatur pemerintah pada Kantor Camat X sering kali menghadapi berbagai permasalahan. Sebagai organisasi administratif, masalah yang dihadapi kecamatan lebih banyak bersifat manajerial dibandingkan misalnya dengan masalah yang bersifat politis. Kompleksitas masalah yang dihadapi berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat heterogenitasnya, dan banyaknya jumlah desa dan jangkauan serta jarak yang tidak terlalu mudah ditempuh, pegawai yang tidak berdiam di lokasi bertugas.
Disamping itu masalah layanan publik di Kantor Camat X sangat mungkin berhubungan dengan profesionalisme aparatur pemerintahan kecamatan. Profesionalisme ini diindikasikan baik melalui perilaku kerja atau cara bekerja termasuk misalnya itikad kerja dalam memberikan layanan, kemampuan memberikan layanan dan lain sebagainya. Sampai saat ini belum pernah dilakukan kajian sistematis untuk mengukur profesionalisme kerja pegawai Kecamatan X.
Adapun pemerintah Kecamatan X yang merupakan komponen penyelenggaraan yang berada relatif tidak terlalu jauh dari ibukota kabupaten dan semakin terus berkembang memiliki permasalahan tersendiri. Maju dan cepat berkembangnya suatu wilayah tentunya dituntut kemampuan seorang camat dan stafnya dalam memberikan pelayanan publik dengan baik. 
Kantor Camat X sebagai organisasi publik beserta perangkatnya dalam memberikan pelayanan publik harus dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan. Untuk itu perlu ditingkatkan kualitas pelayanan sesuai dengan keinginan masyarakat pengguna jasa layanan. Untuk organisasi pelayanan publik seperti Kantor Camat X, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa. Menurut Dharma Setyawan (2004) yang menyatakan bahwa dalam masyarakat yang menerima jasa atau yang dilayani dapat menilai hasil karya tersebut sebagai kinerja organisasi, dan para pemimpin organisasi yang bersangkutan mengevaluasi hasil karya individu dan unit kerja yang berada dalam tanggung jawabnya.
Dengan kondisi masyarakat yang sangat majemuk atau heterogen dan pesatnya perkembangan masyarakat dan sebagai wilayah memiliki jumlah penduduk cukup padat dan berkembang dengan pesat dalam wilayah Kecamatan X serta tingkat kemampuan perangkat kecamatan untuk bekerja secara profesional yang beragam, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kinerja pelayanan publik Kantor Camat X ?
2. Apakah ada hubungan antara profesionalisme dengan kinerja pelayanan aparatur pemerintahan kecamatan di Kantor Camat X ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian yang dilakukan bertujuan : 
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana kinerja pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Kantor Camat X.
2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara profesionalisme dengan kinerja pelayanan aparatur pemerintahan kecamatan di Kantor Camat X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai penjelasan dari penelitian itu sendiri, antara lain adalah : 
1. Memberi masukan tentang berbagai kekurangan dalam pelayanan publik pada pemerintahan kecamatan.
2. Memberi masukan bagi peningkatan pelayanan publik pada pemerintahan kecamatan khususnya maupun pemerintahan kabupaten.
3. Memberi kontribusi kepada pengembangan ilmu administrasi publik berupa terapan empiris teori administrasi publik.

TESIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEHATAN

TESIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEHATAN

(KODE : PASCSARJ-0210) : TESIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEHATAN DI KABUPATEN X (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang (UU) Nomor 23/1992 tentang Kesehatan menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya dan negara bertanggung jawab mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya, termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Kenyataannya, yang terjadi, derajat kesehatan masyarakat masih rendah. Hal ini tergambar dari Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta umur harapan hidup 70,5 tahun (BPS, 2007).
Rendahnya derajat kesehatan masyarakat, salah satunya, karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kurangnya tenaga medis, sulitnya jangkauan pelayanan ke puskesmas kurangnya sarana prasarana, dan belum optimalnya perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan. Penanganan faktor tersebut idealnya dilakukan oleh negara karena negara merupakan institusi yang pertama harus memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya. Warga negara adalah manusia di dalam sebuah negara yang membawa eksistensi, martabat dan hak bawaannya sebagai makhluk yang harus diakui, dihormati, dipenuhi, dan dilindungi oleh dan melalui negara. Sebaliknya warga negara harus tunduk terhadap negara. Hal ini berarti bahwa eksistensi, martabat, dan seluruh hak bawaan sebagai makhluk dibawa ke dalam ruang negara sesuai kesepakatan dan negara harus mengatur, mengakui, menghormati, memenuhi, dan melindunginya sehingga eksistensi negara tetap terjaga (Ndraha, 2000).
Personifikasi negara adalah pemerintah. Pemerintah menyelenggarakan tugas-tugas operasional negara yang menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama aspek-aspek kehidupan dimana masyarakat belum mampu untuk mengurusnya sendiri. Keterlibatan pemerintah itu tidak boleh mengabaikan eksistensi, martabat, dan hak bawaan warga negara sebagai makhluk, termasuk juga dalam hal pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan sebagai salah satu urusan yang masih ditangani oleh pemerintah idealnya meletakkan masyarakat (warga negara) sebagai pihak yang berdaulat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Dalam konteks ini, pelayanan kesehatan yang diberikan dan disediakan oleh pemerintah tidak hanya pada sisi kualitas tetapi juga pada sisi kuantitas.
Sebagai sebuah negara yang masih tergolong negara berkembang, persoalan kesehatan di Indonesia masih menjadi pergumulan panjang walaupun secara operasional telah banyak upaya dan usaha yang telah dilakukan. Meskipun demikian secara kontekstual pemerintah belum sepenuhnya mampu menanggulangi persoalan kesehatan.
Hal ini terlihat dari masih tingginya (60%) rakyat yang sampai dengan awal tahun 2007 belum merasakan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal (Media Indonesia, 14 Agustus 2007). Kondisi ini merupakan persoalan yang krusial, apalagi jika memperhatikan krisis multi dimensional saat ini yang belum sepenuhnya dapat diatasi oleh Pemerintah. Situasi ini semakin berdampak pada belum terpenuhinya kebutuhan kesehatan masyarakat secara optimal. Salah satunya adalah dengan munculnya berbagai macam kejadian luar biasa (KLB) seperti penyakit busung lapar (marasmus), penyakit menular, rendahnya kesehatan ibu dan anak, serta kurang bersihnya sanitasi lingkungan.
Pada tataran ini, negara yang depersonifikasi dalam wujud pemerintah dan oleh masyarakat telah diberi mandat untuk dapat melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat harus dapat memainkan peran yang lebih efektif sehingga kehadiran pemerintah dapat dijadikan sebagai solusi dan rahmat bagi penyelesaian berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks ini, ketika pemerintah kemudian tidak mampu memenuhi dan melindungi kepentingan serta kebutuhan masyarakat maka kehadiran pemerintah akan dianggap sebagai malapetaka yang pada gilirannya akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga legitimasi negara (pemerintah) menjadi luntur.
Untuk menghindari terjadinya kondisi tersebut maka pemerintah menetapkan kebijakan, program dan sasaran pembangunan di bidang kesehatan dengan program peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak, peningkatan kesehatan untuk masyarakat miskin, Revitalisasi Puskesmas, Posyandu, pemberian Asuransi Kesehatan bagi masyarakat miskin, penempatan dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) di semua puskesmas, pemberian bantuan obat-obatan, penurunan harga obat-obatan melalui obat generik dengan harga murah, serta peningkatan mutu dan jumlah tenaga kesehatan (Buletin Kesehatan Epidemiologi, 2007). Program dan kegiatan prioritas lain yang ditempuh pemerintah mencakup pemberian perhatian yang terus-menerus untuk mengatasi kasus gizi buruk, termasuk mengambil langkah-langkah efektif mengatasi masalah penyakit epidemi (menular) seperti Tubercholousis (TBC), malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan juga avian influenza (flu burung) maupun HIV/AIDS (Buletin Departemen Kesehatan, 2007).
Efektivitas implementasi berbagai kebijakan, program dan sasaran pembangunan bidang kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah tersebut dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan di daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten X sejak tahun 1999 telah menetapkan kebijakan pembangunan daerah melalui program Gerakan Kembali ke Desa dan Pertanian (Gerbadestan). Program Gerbadestan ini terdiri dari empat aspek sebagai pilar-pilar Gerbadestan, yaitu (1) pemberdayaan ekonomi rakyat, (2) peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), (3) peningkatan sarana dan prasarana, serta (4) penguatan kelembagaan.
Dalam aspek peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), Pemda X menitikberatkan pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat, baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya. Dari aspek kualitas, penekanan peningkatan SDM diarahkan pada pemberian pelayanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat, baik berupa pelayanan medis, peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, maupun peningkatan kualitas tenaga medis melalui pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus. Dari aspek kuantitas, program diarahkan pada pembangunan sarana dan prasarana kesehatan baru, seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas Pembantu (Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), penambahan tenaga medis serta pengadaan alat-alat medis.
Secara teknis, kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemda Kabupaten X harus secara nyata dapat ditindak-lanjuti secara operasional oleh Dinas Kesehatan Kabupaten X sebagai lembaga teknis daerah yang memiliki lingkup tugas di bidang kesehatan dan membawahi 20 puskesmas sebagai lembaga teknis yang berada di lapangan dan berada langsung di tengah-tengah masyarakat. Puskesmas merupakan pendukung penting keberhasilan pelayanan kesehatan karena dua hal : berada langsung di tengah masyarakat dan mudah dijangkau karena letaknya dalam wilayah kerja kecamatan. Situasi ini akan memudahkan masyarakat, khususnya di daerah-daerah terpencil, untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Di samping itu, lingkup kerja puskesmas sendiri membawahi Pustu, Posyandu, dan Polindes yang ada di setiap desa. Kondisi ini menggambarkan strategisnya keberadaan puskesmas karena lingkup kerja pelayanannya menjangkau ke setiap desa sehingga penetapan kebijakan yang dilakukan, baik oleh Dinas Kesehatan Kabupaten X maupun oleh setiap puskesmas, harus bersifat sinergis dan integratif.
Dalam konteks ini Pemda Kabupaten X menyadari bahwa pengelolaan dan pengembangan kesehatan merupakan salah satu elemen produktif bagi kesehatan masyarakat. Kebijakan yang telah ditempuh Pemda pada waktu lampau memang belum sepenuhnya mampu mengatasi persoalan kesehatan masyarakat seperti pembangunan puskesmas, penambahan tenaga medis dan peralatan medis serta optimalisasi peran posyandu dan polindes di setiap desa. Kebijakan yang telah ditempuh tersebut ternyata belum sepenuhnya memberikan dampak yang konstruktif dan optimal bagi masyarakat yang mana terlihat dari masih banyak masyarakat yang menderita penyakit endemi seperti, malaria, filaria, tingginya kematian ibu hamil, penyakit diare dan masih banyaknya ibu hamil yang tidak memeriksa kesehatan di posyandu/polindes.
Menyikapi kondisi yang demikian maka Pemda Kabupaten X harus meletakkan kebijakan yang lebih produktif dan berdampak langsung dalam mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat terutama di daerah-daerah pedesaan yang jangkauannya jauh dari sarana kesehatan. Kebijakan yang telah ditempuh saat ini antara lain dapat dilihat dari semakin banyaknya tenaga medis yang ditempatkan di puskesmas, pengadaan alat-alat medis, pembangunan puskesmas rawat inap di setiap kecamatan, memberikan kesempatan kepada para tenaga kesehatan untuk melanjutkan pendidikan secara berkesinambungan (Rencana Strategis Pengembangan Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kabupaten X, 2006-2010).
Secara umum Kepala Puskesmas Y bersama staf puskesmas telah melakukan proses perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan setiap tahun untuk melihat sejauh mana kinerja dari para petugas puskesmas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing program. Dari hasil yang telah di evaluasi dapat dilihat adanya peningkatan kinerja dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, namun semuanya ini belum tercapai secara optimal.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian tentang Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan : Studi Kasus di Puskesmas Y Kecamatan X

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka masalah pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai "Apakah kebijakan pengelolaan dan pengembangan pelayanan kesehatan Puskesmas Y mampu menjawab permasalahan yang dihadapi Puskesmas Y Kecamatan X" ?

C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari identifikasi dan perumusan masalah tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui kebijakan pengelolaan dan pengembangan pelayanan kesehatan di Puskesmas Y Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya pemecahan masalah dalam pengembangan dan pengelolaan Puskesmas Y Kecamatan X.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat untuk dua hal berikut ini : 
1. Dari aspek keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana untuk mengaplikasikan berbagai teori yang telah dipelajari yang berguna dalam mengembangkan pemahaman, penalaran, dan pengalaman penulis, disamping berguna pula bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kebijakan publik.
2. Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi pemikiran dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah serupa serta dapat bermanfaat sebagai referensi bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP

(KODE : PASCSARJ-0209) : TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan Kabupaten X sebagai salah satu bagian upaya pembangunan kesehatan nasional diarahkan untuk mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur telah berkembang ke arah upaya kesehatan promotif dan preventif (Profil Kesehatan Kabupaten X Tahun 2007)
Dalam mewujudkan cita-cita di bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten X telah meletakkan visi pembangunan kesehatan X Sehat 2010. Makna dari visi tersebut mengandung harapan terhadap masyarakat Kabupaten X pada tahun 2010 hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang sejajar dengan kawasan maju di sekitarnya (Profil Kesehatan Kabupaten X Tahun 2007).
Untuk mewujudkan visi tersebut, ditetapkan empat misi utama pembangunan kesehatan Kabupaten X yaitu : 
1. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang prima, merata dan terjangkau.
2. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.
4. Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten X membangun rumah sakit umum daerah (RSUD) dengan sarana dan prasarana cukup memadai dengan tujuan untuk memenuhi sarana kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan untuk mewujudkan Visi kesehatan Kabupaten X. Pada tahun 2003, rumah sakit tersebut mulai operasional, dan pada tahun 2004 Pemerintah Daerah Kabupaten X menetapkan Rumah Sakit X dengan status Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan nama RSUD Kabupaten X
Rumah sakit memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Paradigma baru pelayanan kesehatan mensyaratkan rumah sakit memberikan pelayanan berkualitas sesuai kebutuhan dan keinginan pasien dengan tetap mengacu pada kode etik profesi dan medis. Dalam perkembangan teknologi yang pesat dan persaingan yang semakin ketat, maka rumah sakit dituntut untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanannya.
Kualitas merupakan inti kelangsungan hidup sebuah lembaga. Gerakan revolusi mutu melalui pendekatan manajemen mutu terpadu menjadi tuntutan yang tidak boleh diabaikan jika suatu lembaga ingin hidup dan berkembang, Persaingan yang semakin ketat akhir-akhir ini menuntut sebuah lembaga penyedia jasa/layanan untuk selalu memanjakan pelanggan/konsumen dengan memberikan pelayanan terbaik. Para konsumen akan mencari produk berupa barang atau jasa dari perusahaan yang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepadanya (Assauri, 2003 : 25).
Masalah utama sebagai sebuah lembaga jasa pelayanan kesehatan adalah semakin banyaknya pesaing. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk selalu menjaga kepercayaan konsumen dengan meningkatkan kualitas pelayanan agar kepuasan konsumennya meningkat. Pihak rumah sakit perlu secara cermat menentukan kebutuhan konsumen sebagai upaya untuk memenuhi keinginan dan meningkatkan kepuasan atas pelayanan yang diberikan (John, J., 1992; 57).
Memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik, bukanlah sesuatu yang mudah bagi pengelola rumah sakit karena pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit menyangkut kualitas hidup para pasiennya sehingga bila terjadi kesalahan dalam tindakan medis dapat berdampak buruk bagi pasien. Dampak tersebut dapat berupa sakit pasien bertambah parah, kecacatan bahkan kematian (Jacobalis, S. 1995; 68).
Rumah Sakit sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional dituntut untuk meningkatkan kualitas penyediaan fasilitas, pelayanan dan kemandirian. Dengan demikian rumah sakit merupakan salah satu pelaku pelayanan kesehatan yang kompetitif harus dikelola oleh pelaku yang mempunyai jiwa wirausaha yang mampu menciptakan efisiensi, keunggulan dalam kualitas dan pelayanan, keunggulan dalam inovasi serta unggul dalam merespon kebutuhan pasien (Jacobalis, S. 1995; 77).
Dalam menerima dan melayani pasien rawat inap sebagai konsumen dengan berbagai karakteristik, rumah sakit harus melengkapi diri supaya senantiasa mendengarkan suara konsumen, dan memiliki kemampuan memberikan respon terhadap setiap keinginan, harapan konsumen dan tuntutan pengguna jasa sarana pelayanan kesehatan. Hal ini erat berhubungan dengan tenaga kesehatan yang senantiasa mendampingi dan melayani pasien sebagai konsumennya. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Waworuntu (1997 : 19) bahwa : 
Seseorang yang profesional dalam dunia administrasi negara menguasai kebutuhan masyarakat dan mengetahui cara memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat perlu dipuaskan melalui pemenuhan kebutuhannya. Sehingga masyarakat merasa sebagai seorang raja, maka harus dilayani dengan baik.
Faktor manusia sebagai pemberi pelayanan terhadap publik dalam organisasi dianggap sangat menentukan dalam menghasilkan pelayanan yang berkualitas. Menurut Thoha (2002 : 181) "kualitas pelayanan kepada masyarakat sangat tergantung pada individual aktor dan sistem yang dipakai". Dokter, perawat, dan tenaga penunjang medis serta nonmedis yang bertugas di rumah sakit harus memahami cara melayani konsumennya dengan baik terutama kepada pasien dan keluarga pasien, karena pasien dan keluarga pasien adalah konsumen utama di rumah sakit.
Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dapat diukur dari tingkat kepuasan pasien. Pada umumnya pasien yang merasa tidak puas akan mengajukan komplain pada pihak rumah sakit. Komplain yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan menurunnya kepuasan pasien terhadap kapabilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut Kepuasan konsumen telah menjadi konsep sentral dalam wacana bisnis dan manajemen. Konsumen umumnya mengharapkan produk berupa barang atau jasa yang dikonsumsi dapat diterima dan dinikmatinya dengan pelayanan yang baik atau memuaskan (Assauri, 2003 : 28). Kepuasan konsumen dapat membentuk persepsi dan selanjutnya dapat memposisikan produk perusahaan di mata konsumennya.
Dalam hubungannya dengan kepuasan konsumen/pasien dan kualitas pelayanan RSUD Kabupaten X, masyarakat Kabupaten X beberapa kali menyampaikan keluhan terhadap pelayanan RSUD Kabupaten X melalui media masa lokal, khususnya terhadap kualitas pelayanan rawat inap kelas III. Keluhan atas pelayanan rumah sakit juga disampaikan melalui kotak saran yang ada di RSUD Kabupaten X. Hal demikian memberikan indikasi bahwa RSUD Kabupaten X yang dibangun dengan sarana dan prasarana cukup memadai belum mampu memberikan pelayanan yang sesuai harapan, keinginan dan tuntutan dari masyarakat sebagai konsumen
Bertitik tolak dari uraian di atas, perlu adanya penelitian berkaitan dengan kajian ilmu administrasi publik terhadap kualitas pelayanan rawat inap Kelas III di RSUD Kabupaten. Adapun judul yang ditetapkan dalam penelitian ini yang sesuai dengan hal tersebut di atas adalah Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap kepuasan Pasien rawat inap Kelas III di RSUD Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Di dalam penelitian, masalah dapat didefinisikan sebagai pertanyaan-pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian. Dari fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1. Sejauh mana pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?
2. Sejauh mana kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mengkaji dan menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.
2. Mengkaji dan menganalisis kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.
3. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat akademik : penelitian ini diharapkan dapat memperkuat teori-teori yang mengenai kualitas pelayanan, kepuasan pasien, dan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan pasien serta dapat dimanfaatkan untuk penelitian selanjutnya, khususnya di bidang yang sesuai.
2. Manfaat praktis : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah khususnya bagi RSUD Kabupaten X, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan rawat inap kelas III yang diberikan.