Search This Blog

MAKALAH PENDIDIKAN : TUJUAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. PENDAHULUAN
Belajar dan Pembelajaran adalah peristiwa yang bertujuan, artinya belajar dan pembelajaran adalah peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah pada tujuan dan dilaksanakan khusus mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai ialah titik C, maka dengan sendirinya proses belajar dan pembelajaran belum dapat dianggap selesai apabila yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau B. Dengan kata lain, taraf pencapaian tujuan belajar dan pembelajaran merupakan petunjuk praktis tentang sejauh manakah interaksi edukatif itu harus di bawa untuk mencapai tujuan yang terakhir. Hal ini berlaku umum baik dalam situasi pendidikan keluarga maupun dalam situasi pendidikan kelompok-kelompok social lainnya dalam organisasi dan sekolah.
Dalam masyarakat yang modern, setiap cabang pendidikan mempunyai pedoman umum tentang tujuan akhir yang akan dicapai. Bahkan sifat pedoman itu bukan saja bersifat filosofis (bersifat hidup) tetapi juga bersifat politik (politik pembangunan). Menurut lazimnya, tujuan itu ditetapkan sebagai peraturan atau perundang-undangan. Bagi kita di Indonesia, telah ditetapkan pula dasar, tujuan dari sistem pendidikan Nasional secara umum yakni Pendidikan Nasional Pancasila. Dari undang-undang serupa itu diperlukan ketentuanketentuan bagi tujuan lembaga-lembaga tertentu, misalnya tujuan Lembaga Perguruan Tinggi, Tujuan Pendidikan di sekolah Dasar, Maksudnya tidak lain ialah memberikan gambaran umum tentang kualitas manusia yang di cita-citakan terbentuk sebagai pengalaman edukatif dalam lembaga-lembaga tersebut.
Tentu saja diperlukan satu cara bekerja yang lebih efisien agar tujuan yang sangat luas dan umum itu dapat mencapai bentuk yang nyata. Yang tidak kurang pentingnya ialah agar cara bekerja itu memberikan pula jaminan akan kewajaran pencapaian tujuan itu dari satu tingkat yang terendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Perkiraan mengenai cara tersebut menghasilkan suatu bentuk organisasi beserta pengaturannya yang secara umum di secara fundamental.
Tujuan yang sangat luas dan umum agar dapat diwujudkan menjadi tujuan yang nyata, maka menghendaki perumusan tujuan yang menurut hirarki tujuan itu adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan tujuan institusional (tujuan lembaga) dan tujuan kurikulum. Selanjutnya tujuan kurikulum akan dijabarkan ke dalam tujuan instruksional (tujuan mata pelajaran) yang pada akhirnya dioperasionalkan ke dalam tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK).
makalah pendidikan: tujuan belajar dan pembelajaranNamun demikian dalam berbagai tingkat diartikan bahwa ada tujuan yang perlu dicapai lebih dahulu sebelum tujuan lain akan dicapai, dan begitu seterusnya sampai dianggap bahwa tujuan akhir tercapai. Tujuan itu perlu dirumuskan dalam sejumlah tujuan intermediary yang sifatnya khusus, serta dipusatkan pada perubahan pendewasaan anak secara realistic.
Pada perubahan berikutnya akan dijelaskan (a) Pengertian tujuan belajar dan pembelajaran (b) Perlunya tujuan belajar dan pembelajaran (e) Jenis-jenis tujuan belajar dan pembelajaran dan unsure dinamis dalam pembelajaran. Dengan memahami topik-topik ini diharapkan mahasiswa memahami konsep-konsep tentang tujuan belajar dan pembelajaran sehingga dapat merumuskan berbagai tujuan pembelajaran dari yang bersifat umum sampai pada keadaan nyata atau yang bersifat khusus pada mata pelajaran (Bidang Studi) yang ditemukan sehingga dapat dijadikan pengalaman dalam bentuk keterampilan pembelajaran, yang akan mereka pergunakan kalau mereka sudah menjadi pendidik di sekolah ataupun di luar sekolah.

B. TINJAUAN TEORITIS

Tujuan Belajar dan Pembelajaran :
1. Pengertian tujuan Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan peristiwa yang sepantasnya dialami oleh anak dalam situasi-situasi tertentu baik di sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat). Belajar merupakan hal yang kompleks.
Kompleks belajar itu dipandang dari dua subjek yaitu dari siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar, Bahan belajar tersebut berupa keadaan alam, hewan, tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi guru, proses belajar tampak sebagai perilaku belajar tentang suatu hal.
Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Proses belajar yang mengaktualisasi ranah-ranah tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu. Sebagai ilustrasi, siswa kelas tiga SMP menggunakan ranah kognitif, tingkat aplikasi dalam memecahkan soal matematika. Hal itu terujud pada penggunaan rumus kuadrat. Pada saat lain, siswa tersebut menggunakan ranah afektif tingkat penilaian dalam apresiasi kesusastraan. Hal itu terujud pada membaca buku belenggu.
Dari segi guru, proses belajar tersebut dapat diawali secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, tetapi dapat dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut ”tampak” lewat perilaku siswa mempelajari bahan belajar. Perilaku belajar tersebut tampak pada tindakantindakan belajar tentang matematika, kesusastraan, olah raga, kesenian, agama dan lainlain. Perilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindak mengajar atau tindak pembelajaran dari guru. Perilaku belajar tersebut ada hubungannya dengan desain instruksional guru. Dalam desain instruksional guru membuat sejumlah tujuan instruksional khusus, atau sasaran belajar. Timbul pertanyaan sebagai berikut :
(i) Apakah tujuan instruksional khusus, atau tujuan pembelajaran serupa dengan tujuan pembelajaran ?
(ii) Siapakah yang memiliki tujuan belajar ?
(iii) Kapankah seorang belajar boleh memiliki tujuan belajar sendiri ?
Pola hubungan tujuan pembelajaran, prose belajar, perilaku belajar, dalam rangka emansipasi diri siswa dilukiskan dalam bagan berikut ini :
Pola hubungan tujuan pembelajaran, proses belajar dan hal ihwal yang terjadi pada siswa dalam rangka kemandirian. Secara umum hal-hal tersebut terjadi sebagai berikut :
(1) Guru yang membuat disain instruksional memandang siswa sebagai partner yang memiliki azas emansipasi diri menuju kemandirian guru menyusun acara pembelajaran.
(2) Siswa memiliki latar pengalaman dan kemampuan awal dalam proses pembelajaran.
(3) Tujuan pembelajaran dalam disain instruksional dirumuskan oleh guru berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Tujuan pembelajaran tersebut merupakan sasaran belajar bagi siswa menurut pandangan dan rumusan guru.
(4) Kegiatan belajar-mengajar merupakan tidak pembelajaran guru di kelas. Tindak pembelajaran tersebut menggunakan bahan belajar. Wujud bahan belajar tersebut berbagai bidang studi di sekolah .
(5) Proses belajar merupakan hal yang dialami siswa, suatu respon terhadap segala acara pembelajaran yang diprogramkan oleh guru. Dalam proses belajar tersebut, guru meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik nya.
(6) Perilaku siswa merupakan hasil proses belajar. Perilaku tersebut dapat berupa perilaku yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki. Hanya perilaku-perilaku yang dikehendaki yang diperkuat. Penguatan perilaku yang dikehendaki tersebut dilakukan dengan pengulangan, latihan drill atau aplikasi.
(7) Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Evaluasi itu terjadi terutama berkat evaluasi yang dilakukan oleh guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak tersebut bermanfaat bagi siswa dan guru.
(8) Setelah siswa lulus, berkat hasil belajar, siswa menyusun program belajar sendiri. Dalam menyusun program belajar sendiri tersebut sedikit banyak siswa berlaku secara mandiri.

2. Perlunya Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Tujuan merupakan satu diantara hal pokok yang harus diketahui dan disadari betulbetul oleh seorang guru sebelum mulai mengajar. Guru tersebut harus dapat memberikan penafsiran yang tepat mengenai jenis dan fungsi tujuan yang akan dicapainya secara kongkrit. Pada proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru untuk suatu bidang studi maka si guru hendaknya merumuskan tujuan instruksional nya yang mana tujuan ini masih bersifat umum. Secara kongkrit tujuan ini dapat dicapai dengan merumuskan tujuan instruksional umum yang kemudian dijabarkan dalam tujuan instruksional khusus. Dengan kata lain tujuan khusus itu bersumber dari tujuan umum dan juga berarti tujuan khusus itu adalah bagian dari tujuan umum.
Jadi untuk keperluan yang praktis, tujuan umum itu perlu diurai di dalam satu susunan atau sistematika tujuan, sehingga mudah bagi mendekati realisasi tujuan umum secara bertingkat atau bertahap ataupun kadangkadang secara serempak. Dilihat dari sudut ini maka tujuan itu dapat dicapai dalam tahap-tahap kekhususan. Kalau tujuan umum itu hakikatnya adalah tujuan akhir suatu usaha belajar, tujuan-tujuan lainnya yang mengarah pada perujudan tujuan akhir itu dapat disebut tujuan khusus/intermediary, ini terletak di dalam kenyataan bahwa apabila tujuan khusus itu telah tercapai, maka tujuan itu menjadi alat untuk mencapai tujuan khusus lainnya, dan begitu seterusnya. Tujuan khusus itu tidak pernah menjadi tujuan yang terakhir. Dengan demikian kalau tujuan umum dipandang sebagai titik kulminasi maka tujuan khusus adalah titik terminal.
Yang dibutuhkan oleh guru secara praktis ialah per perincian tujuan umum sampai pada suatu taraf yang sedemikian rupa sehingga yang diperlukan itu haruslah sedemikian rupa sehingga mencapai taraf yang dapat diukur dan dinilai. Jadi taraf kekhususan itu harus memungkinkan seseorang guru mengukur taraf pencapaian tujuan serta menilai setiap fase perubahan, (kematangan) tingkah laku yang diharapkan terjadi. Dengan demikian guru dapat lebih mudah menetapkan bentuk tingkah laku yang khusus akan diukurnya sesuai dengan tujuan yang khusus itu pula. Karena itu menjadi kewajiban guru untuk dengan sungguh-sungguh mengadakan analisa dan pengelompokan berdasarkan kategori mengenai susunan atau taraf tujuan-tujuan khusus. Hasil-hasil pemikirannya kerap kali dirumuskan dalam disain instruksional (persiapan pengajaran).

3. Jenis-jenis Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Kegiatan belajar dan pembelajaran adalah suatu proses yang bertujuan dimana antara siswa dan guru samasama mengupayakan agar kegiatan pembelajaran memperoleh hasil belajar yang maksimal. Dengan demikian tujuan pembelajaran itu terdiri dari tujuan instruksional (tujuan mata-mata pelajaran), tujuan instruksional umum (tujuan umum) dan tujuan instruksional khusus (sasaran belajar). Ketiga jenis tujuan itu mempunyai hirarki yang jelas dimana tujuan instruksi awal dijabarkan melalui tujuan instruksional umum kemudian masing-masing nya dijabarkan pula menjadi sejumlah tujuan instruksi awal khusus.
Dari segi siswa sasaran belajar (TIK) merupakan panduan belajar. Sasaran belajar tersebut diketahui oleh siswa sebagai akibat adanya informasi guru. Panduan belajar tersebut harus diikuti, sebab mengisyaratkan criteria keberhasilan belajar. Keberhasilan belajar siswa merupakan prasyarat bagi program belajar selanjutnya. Keberhasilan belajar siswa berarti “tercapainya” tujuan belajar siswa, dengan demikian tercapainya tujuan instruksional, dan sekaligus tujuan belajar “perantara” bagi siswa. Dengan keberhasilan belajar, maka siswa akan menyusun program belajar dan tujuan belajar. Bagi siswa hal itu berani melakukan emansipasi dalam rangka mewujudkan kemandirian.
Siswa adalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dalam kegiatan tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan merespons dengan tindak belajar. Semula siswa belum memahami pentingnya belajar, namun berkat informasi tentang sasaran belajar maka mereka mengatakan apa dan arti bahan belajar baginya : Siswa mengalami suatu proses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang dibelajarkan dengan bahan belajar menjadi semakin rinci dan mengerti. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasilan belajar menyebabkan siswa semakin sadar akan kemampuan dirinya. Hal ini memperkuat keinginan untuk semakin mandiri.
Dari segi guru, guru memberikan informasi tentang sasaran belajar. Bagi siswa sasaran belajar tersebut merupakan tujuan belajarnya “sementara”. Dengan belajar maka kemampuan meningkat. Meningkatnya kemampuan mendorong siswa untuk mencapai tujuan belajar yang baru. Bila semula siswa menerima tujuan belajar dari guru maka makin lama siswa membuat tujuan belajar sendiri. Dengan demikian makin lama siswa akan membuat program belajarnya sendiri.
Dengan kegiatan interaksi belajar mengajar, guru membelajarkan siswa dengan harapan siswa belajar. Dengan belajar maka kemampuan siswa meningkat. Ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa semakin berfungsi. Karenanya sebagai guru hendaknya mampu merumuskan sasaran belajar yang dapat menjaring ketiga ranah tersebut sehingga kompetensi yang diharapkan pada siswa cukup luas. Untuk merumuskan tujuan belajar, si guru hendaknya memperhatikan beberapa hal yang harus dijadikan pedoman untuk perumusan operasional yang baik yaitu:
1) Berpusat pada perubahan tingkah laku siswa
2) Mengkhususkan dalam bentukbentuk yang terbatas
3) Realistis bagi kebutuhan perkembangan siswa.
Seringkali ditemukan tujuan khusus yang memang belum atau tidak cukup khusus perumusannya. Dalam hal ini maka guru akan menjalani kesulitan di dalam menentukan patokan-patokan yang dapat dipakai sebagai “pegangan atau acuan” bila sampai masanya dia harus mengadakan evaluasi. Kesulitan yang dihadapi oleh guru bila perumusan itu tidak dipusatkan pada perubahan tingkah laku siswa ialah bahwa perumusan itu terpusat pada dua kemungkinan yang lain : terpusat pada materi yang diajarkan atau terpusat pada guru yang mengajar. Tidak satupun dari kedua kemungkinan yang terakhir ini menolong guru untuk menarik kesimpulan tentang siswanya, pada hal siswa ah yang menjadi factor utama dalam hal ini. Walaupun dua syarat telah terpenuhi secara teknis (khusus dan berpusat pada siswa) tetapi bila yang ketiga diabaikan, maka segala aktivitas pengajaran akan siasia karena pencapaian tujuan tersebut tidak menjamin satu fase yang secara fungsional mempersiapkan guru dan siswa untuk mencapai fase lain yang lebih tinggi kedudukannya di dalam sistem pentarafan tujuan umum. Yang lazim diperbuat oleh guruguru yang belum menyadari pentingnya perumusan tujuan dalam pembelajaran ialah :
1) Merumuskan tujuan terlalu umum
2) 2) Merumuskan tujuan dari sudut guru
3) Merumuskan tujuan dari sudut bahan pelajaran
4) Tidak merumuskan tujuan sama sekali
Bila tujuan dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dan luas, sulit bagi guru untuk mengadakan evaluasi mengenai hasil pelajaran. Begitu pula apabila tujuan ditinjau hanya dari sudut guru atau dari mata (bahan) pelajaran. Apabila yang akan dinilai perubahan tingkah laku siswa, jelas bahwa patokan-patokan penilaian akan menjadi sangat kabur.
Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan yang secara umum yang dihadapi oleh seorang guru harus diperinci di dalam praktek untuk memberi isi dan makna yang nyata. Agar guru itu dapat memerincinya dengan baik, cara yang sepatutnya ditempuh oleh guru ialah :
1) Memerinci tujuan umum secara khusus
2) Memusatkan kekhususan itu pada diri anak didik, dan
3) Menetapkan kewajaran tujuan khusus itu ditinjau dari kebutuhan riil dari anak didik.
Di dalam praktek kelak akan nyata bagaimana besar manfaatnya untuk mempergunakan pedoman tersebut.
Tujuan belajar itu penting bagi guru dan siswa sendiri. Tujuan tersebut berfaedah bagi guru untuk membelajarkan Siswa. Dalam hal ini ada kesejajaran pada tujuan belajar (seseorang belajar) dengan tujuan belajar siswa.

Kesejajaran tindakan guru mencapai sasaran belajar dan tindakan siswa yang belajar untuk mencapai tujuan belajar sampai lulus dan mencapai tingkat kemandirian.
1) Guru menyusun acara pembelajaran dan berusaha mencapai sasaran belajar, suatu perilaku yang dapat dilakukan oleh siswa.
2) Siswa melakukan tindakan belajar yang meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Akibat belajar itu siswa mencapai tujuan berlajar tertentu. Dengan makin meningkatnya kemampuan maka secara keseluruhan siswa dapat mencapai tingkat kemandirian.

Unsur-unsur Dinamis dalam Pembelajaran
Belajar merupakan proses internal siswa dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal belajar. Dari segi siswa belajar merupakan peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik menjadi lebih baik. Timbul pertanyaan “Bagaimana cara siswa meningkatkan kemampuan dirinya tersebut ?”. Dari segi guru belajar merupakan akibat tindakan pembelajaran. Timbul pertanyaan “Bagaimana cara guru meningkatkan acara pembelajaran sehingga siswa belajar secara berhasil ?”.
1) Dinamika siswa dalam belajar
Bloom dan kawankawan tergolong pelopor yang mengategorikan jenis perilaku hasil belajar. Kebaikannya terletak pada rincinya jenis perilaku yang terkait dengan kemampuan internal dan katakata kerja operasional. Jenis perilaku tersebut dipandang bersifat hierarkis. Walaupun ada kritik-kritik tentang taksonomi Bloom, kerja taksonomi Bloom masih dapat dipakai untuk mempelopori perilaku dan kemampuan internal akibat belajar.
Ada 6 jenis perilaku dari ranah kognitif adalah sebagai berikut :
(i) Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaedah, teori, prinsip atau metode.
(ii) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna hal yang dipelajari.
(iii) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dari kaedah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya menggunakan prinsip.
(iv) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan dalam bagianbagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya menguraikan masalah menjadi bagian yang telah kecil.
(v) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan menyusun suatu program kerja.
(vi) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya kemampuan menilai hasil karangan.
Keenam jenis perilaku ini bersifat hierarkis, artinya perilaku pengetahuan tergolong terendah dan perilaku evaluasi tergolong tertinggi. Perilaku yang terendah merupakan perilaku yang haru dimiliki terlebih dahulu sebelum mempelajari perilaku yang lebih tinggi. Untuk dapat menganalisis misalnya, siswa harus memiliki pengetahuan, pemahaman penerapan tertentu.
Siswa yang belajar akan memperbaiki kemampuan internalnya. Dari kemampuan-kemampuan awal pada pra belajar, meningkat memperoleh kemampuan-kemampuan yang tergolong pada keenam jenis perilaku yang diajarkan di sekolah.
Ranah afektif (Karthwohl dan Bloom, dan kawankawan) terdiri dari lima jenis perilaku sebagai berikut :
(i) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dna kesediaan memperhatikan hal tersebut. Misalnya kemampuan mengakui adanya perbedaan-perbedaan tersebut.
(ii) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Misalnya mematuhi aturan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
(iii) Pemikiran dan penentuan sikap yang mencakup menerima sesuatu nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap. Misalnya menerima sesuatu pendapat orang lain.
(iv) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup. Misalnya menempatkan nilai dalam suatu skala nilai dan dijadikan pedoman bertindak secara bertanggung jawab.
(v) Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. Misalnya kemampuan mempertimbangkan dan menunjukkan tindakan yang berdisiplin.
Kelima jenis perilaku tersebut tampak mengandung tumpang tindih, dan juga berisi kemampuan kognitif. Kelima jenis perilaku tersebut bersifat hierarkis. Perilaku penerimaan merupakan jenis perilaku terendah dan perilaku pembentukan pola hidup merupakan perilaku tertinggi.
Siswa yang belajar akan memperbaiki kemampuan-kemampuan internalnya yang afektif. Siswa mempelajari kepekaan tentang sesuatu hal sampai pada penghayatan nilai sehingga menjadi suatu pegangan hidup.
Ranah psikomotorik (Simpson) terdiri dari tujuh jenis perilaku :
(i) Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milah (mendiskriminasikan) hal-hal secara khas, dan menyadari adanya perbedaan yang khas tersebut, misalnya pemilahan warna, angka 6 (enam) dan 9 (sembilan), huruf b dan d.
(ii) Kesiapan, yang mencakup kemampuan penempatan dari dalam keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini mencakup jasmani dan rohani. Misalnya posisi start lomba lari.
(iii) Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerak peniruan. Misalnya meniru gerak lari, membuat lingkaran di atas pola.
(iv) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakangerakan tanpa contoh. Misalnya melakukan lompat-lompat tinggi dengan tepat
(v) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara lancar, efisien dan tepat. Misalnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
(vi) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerakgerik dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya keterampilan bertanding lawan tanding.
(vii) Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerakgerik yang baru atas prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membuat kreasi tari baru.
Ketujuh perilaku tersebut mengandung urutan taraf keterampilan yang berurutan dan berangkai. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan urutan fase-fase dalam proses belajar motorik.
Belajar kemampuan-kemampuan psikomotorik, belajar berbagai kemampuan gerak dapat dimulai dengan kepekaan dan memilah-milah sampai dengan kreativitas pola gerak baru. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan psikomotorik mencakup kemampuan fisik dan mental.
Siswa yang belajar berarti memperbaiki kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan meningkatnya kemampuan-kemampuan tersebut maka keinginan, kemauan dan perhatian pada lingkungan sekitarnya makin bertambah.
2) Dinamika guru dalam kegiatan pembelajaran
Peranan guru dalam proses pembelajaran sangat hierarkis dalam dinamisasi siswa dalam belajar. Peranan tersebut dapat dikondisikan agar terjadinya peranan belajar siswa. Kondisi pembelajaran tersebut melalui acara-acara pembelajaran yang berpengaruh pada proses belajar yang dapat ditentukan oleh guru. Kondisi eksternal yang berpengaruh pada belajar yang penting adalah bahan belajar, saran belajar, media dan sumber belajar dan subjek pembelajaran itu sendiri.
a. Bahan belajar
Bahan belajar merupakan sajian yang harus diberikan pada siswa berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap dan metode perolehan. Bahan belajar dapat diperoleh dari berbagai buku-buku atau pun sumber-sumber lainnya yang menyajikan pokok bahasan yang akan dijabarkan dalam pertemuan-pertemuan belajar.
Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan guru untuk memilih bahan belajar adalah :
(i) Apakah isi bahan belajar sesuai dengan sasaran belajar
(ii) Bagaimanakah tingkat kesetaraan bahan belajar bagi siswa
(iii) Apakah isi bahan belajar tersebut menuntut digunakannya strategi belajar mengajar tertentu
(iv) Apakah evaluasi hasil belajar sesuai dengan bahan belajar tersebut.
b. Susunan belajar
Kondisi gedung sekolah, tata ruang kelas, alatalat belajar dan pengaruhnya terhadap kegiatan belajar. Disamping kondisi fisik tersebut, suasana pergaulan di sekolah juga berpengaruh pada kegiatan belajar. Guru mempunyai peranan penting dalam menciptakan suasana belajar yang menarik. Beberapa pertimbangan yang penting dilakukan oleh guru adalah
(i) Apakah gedung sekolah membuat kenyamanan belajar
(ii) Apakah pergaulan antar orangorang yang terlibat proses pembelajaran menyenangkan
(iii) Apakah siswa memiliki ruang belajar di rumah
(iv) Apakah siswa memiliki kelompok-kelompok yang dapat merusak tertib pergaulan, maka perlu melakukan pencegahan.

C. MEDIA DAN SUMBER BELAJAR

Guru berperan penting dalam menempatkan media dan sumber belajar. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan oleh guru :
(i) Apakah media dan sumber belajar tersebut bermanfaat untuk mencapai sasaran belajar
(ii) Apakah isi pengetahuan pada media massa dapat digunakan sebagai sumber belajar pada pokok bahasan tertentu
(iii) Apakah isi pengetahuan pada alam dan lingkungan ada bermanfaat untuk pokok bahasan tertentu.
d. Guru sebagai sumber belajar
Guru adalah subjek pembelajaran siswa. Disadari bahwa setiap siswa memiliki perbedaan individu yang harus dipahami oleh guru dalam membimbing mereka di sekolah.
Untuk itu peranan penting guru dalam acara pembelajaran adalah :
(i) Membuat desain pembelajaran secara tertulis, lengkap dan menyeluruh
(ii) Meningkatkan diri menjadi seorang guru yang berkepribadian utuh
(iii) Bertindak sebagai guru yang mendidik
(iv) Meningkatkan profesionalitas keguruan
(v) Melakukan pembelajaran sesuai dengan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, bahan belajar dan kondisi sekolah setempat
(vi) Dalam berhadapan dengan siswa, guru berperan sebagai fasilitator belajar, pembimbing belajar dan memberi perbaikan belajar.
Dengan adanya peran-peran tersebut, maka sebagai pengajar guru adalah pembelajar sepanjang hayat (Winkel, 1991: Monks, Knoers. Siti Rahayu 1989 : Biggs dan Telfer 1987).

DAFTAR PUSTAKA

Bell Gredler, Margareth E. 1991. Belajar dan Pembelajaran (terjemahan Munandir), Jakarta: Rajawali Pers
Biggs, Jonh B dan Tefler, Roos. 1987. The Process of Learning, Sydney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd
Fleismen, Edwin A dan Quaintance, Marilyn K. 1984. Taxonomies of Human Performance, New York : Academie Press, Inc
Dimyanti. 1994. Belajar dan Pembelajaran, Proyek P3 PT KSM, Jakarta
Martin, Barbara L, Briggs, Leslie J. 1986. The Affective and Cognitive Domains, New Jersey : Educational Technologi Publications
Monks, Fj Kamvers, AMP, Siti Rahayu Haditomo. 1989. Psikologi Perkembangan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Rooijakkers, Ad. 1990. Mengajar dengan Sukses, Jakarta : Gramedia
Winkel, WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Gramedia
Winirno Surakhmad. 1982. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Tarsito : Bandung
Woolkfolh, Anita E. Nicolich, Lorraine, Mc Cene. 1980. Educational Psychologi for Teacher, Sydney : PrenticeHall of Australia Pty Ltd.

MAKALAH PENDIDIKAN : HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. HAKEKAT BELAJAR

makalah pendidikan-hakekat belajar dan pembelajaran
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif, maka berikut ini akan dibahas beberapa batasan, ciri-ciri, unsur-unsur, dan kapan seorang mulai belajar.

Batasan tentang belajar :
Rumusan tentang apa yang dimaksud dengan belajar cukup bervariasi. Perbedaan tersebut tentu saja diwarnai atas perbedaan pandangan dan tekanan masingmasing.
1) W. H. Buston memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu dan individu dengan lingkungannya.
Buston berpendapat bahwa unsur utama dalam belajar adalah terjadinya perubahan pada seseorang. Perubahan tersebut menyangkut aspek kepribadian yang tercermin dari perubahan yang bersangkutan, yang tentu juga bersamaan dengan interaksinya dengan lingkungan dimana dia berada.
2) J. Neweg melihat dari dimensi yang dapat berbeda. Dia menganggap bahwa belajar adalah suatu proses dimana perilaku seseorang mengalami perubahan sebagai akibat pengalaman unsur.
Paling tidak ada tiga unsur yang terkadang pemberian Neweg. Pertama dia melihat belajar itu sebagai suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang sebagai suatu proses berarti ada tahap-tahap yang dilalui seseorang. Unsur kedua ialah pengalaman. Belajar itu baru akan terjadi kalau proses seperti yang disebutkan terdahulu dialami sendiri oleh yang bersangkutan. Belajar itu pada dasarnya mengalami, learning by experience. Unsur ketiga ialah perubahan perilaku. Muara dari proses yang dialami seseorang itu ialah terjadinya perubahan perilaku pada yang bersangkutan.
Skinner berpendapat agak lain, dia berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada seseorang yang belajar maka responnya akan menjadi lebih baik. Sebaliknya bila tidak belajar, responnya menjadi menurun. Dalam hal ini dia menemukan :
1) Adanya kesempatan peristiwa yang menimbulkan respon si pembelajar.
2) Respon si pembelajar.
3) Konsekwensi yang bersifat menguatkan respon tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa Skinner menekankan belajar pada penguasaan keterampilan oleh seseorang melalui latihan.
b. Lain lagi pendapat Sagne, dia berpendapat bahwa belajar adalah proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi menjadi kapabilitas baru, berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Dia melihat, bahwa timbulnya kapabilitas baru itu sebagai hasil dari :
a. Stimulasi yang berasal dari lingkungan.
b. Proses kognitif yang dilakukan oleh individu.
Ada beberapa proses pikiran yang patut di kemukakan sehubungan dengan pandangan Sagne ini, yaitu:
Pertama: Belajar itu menyangkut aktifitas individu berupa pengolahan informasi yaitu stimulasi dari lingkungan.
Kedua : Pengolahan stimulasi tersebut menghasilkan kapabilitas yang baru berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Sebenarnya masih banyak para ahli yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan belajar menurut pandangannya. Namun untuk kepentingan pembahasan kita, rasanya cukup 4 pandangan itu yang dikemukakan.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada 2 unsur penting yang terkandung dalam konsep belajar yaitu : mengalami dan perubahan.

1. Mengalami
Belajar adalah suatu atau serangkaian aktifitas yang dialami seseorang melalaui interaksinya dengan lingkungan.
Interaksi tersebut mungkin berawal dari faktor yang berasal dalam atau dari luar diri sendiri. Dengan terjadinya interaksi dengan lingkungan, akan menyebabkan munculnya proses penghayatan dalam diri individu tersebut, akan memungkinkan terjadinya perubahan pada yang bersangkutan. Unsur mengalami ini perlu mendapatkan perhatian yang besar, karena dia merupakan salah satu prinsip utama dalam proses belajar dan pembelajaran, paling tidak menurut pandangan para ahli modern.

2. Perubahan dalam diri seseorang
Proses yang dialami seseorang baru dikatakan mempunyai makna belajar, akan menghasilkan perubahan dalam diri yang bersangkutan, esensi dari perubahan ialah adanya yang baru. Dia mungkin bahagia dapat menyelesaikan diri dengan lebih baik, dapat menjaga kesehatan dengan lebih baik, atau dapat menulis dan berbicara dengan efektif. Perlu dicatat perubahan yang dimaksud harus bersifat normatif. Perubahan dalam belajar harus mengarah kepada dan sesuai dengan normanorma atau nilainilai yang berhubungan dianut oleh masyarakat.
Dari unsur diatas dapat disimpulkan bahwa belajar secara umum dirumuskan sebagai :
Perubahan dalam diri seseorang yang dapat dinyatakan dengan adanya penguasaan pola sambutan yang baru, berupa pemahaman, keterampilan dan sikap sebagai hasil proses hasil pengalaman yang dialami.

B. CIRI-CIRI DARI BELAJAR

Berdasarkan rumusan diatas dapat dikatakan bahwa belajar itu diartikan dalam arti yang luas, meliputi keseluruhan proses perubahan pada individu. Perubahan itu meliputi keseluruhan topik kepribadian, intelek maupun sikap, baik yang tampak maupun yang tidak. Oleh karena itu tidaklah tepat kalau belajar itu diartikan sebagai “ungkapan atau membaca pelajaran” maupun menyimpulkan pengetahuan atau informasi. Selain dari itu, belajar juga tidak dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan dalam diri individu sebagai akibat dari kematangan, pertumbuhan atau insting. Untuk mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap tentang pengertian belajar tersebut, maka berikut ini dikemukakan beberapa ciri-ciri penting dari konsep tersebut:
1. Perubahan yang bersifat fungsional.
Perubahan yang terjadi pada aspek kepribadian seseorang mempunyai dampak terhadap perubahan selanjutnya. Karena belajar anak dapat membaca, karena membaca pengetahuannya bertambah, karena pengetahuannya bertambah akan mempengaruhi sikap dan perilakunya.
2. Belajar adalah perbuatan yang sudah mungkin sewaktu terjadinya prioritas.
Yang bersangkutan tidak begitu menyadarinya namun demikian paling tidak dia menyadari setelah peristiwa itu berlangsung. Dia menjadi sadar apa yang dialaminya dan apa dampaknya. Kalau orang tua sudah dua kali kehilangan tongkat, maka itu berarti dia tidak belajar dari pengalaman yang terdahulu.
3. Belajar terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual.
Belajar hanya terjadi apabila dialami sendiri oleh yang bersangkutan, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain. Cara memahami dan menerapkan bersifat individualistis, yang pada gilirannya juga akan menimbulkan hasil yang bersifat pribadi.
4. Perubahan yang terjadi bersifat menyeluruh dan terintegrasi.
Yang berubah bukan bagianbagian dari diri seseorang, namun yang berubah adalah kepribadiannya. Kepandaian menulis bukan dilokalisir tempat saja. Tetapi di menyangkut aspek kepribadian lainnya, dan pengaruhnya akan terdapat pada perubahan perilaku yang bersangkutan.
5. Belajar adalah proses interaksi.
Belajar bukanlah proses penyerapan yang berlangsung yang berlangsung tanpa usaha yang aktif dari yang bersangkutan. Apa yang diajarkan guru belum tentu menyebabkan terjadinya perubahan, apabila yang belajar tidak melibatkan diri dalam situasi tersebut. Perubahan akan terjadi kalau yang bersangkutan memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi.
6. Perubahan berlangsung dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks.
Seorang anak baru akan dapat melakukan operasi bilangan kalau yang bersangkutan sedang menguasai simbol-simbol yang berkaitan dengan operasi tersebut.

C. UNSUR-UNSUR DALAM BELAJAR

Perilaku belajar merupakan perilaku yang komplek, karena banyak unsur yang terlibat didalamnya, diantaranya :
1. Tujuan.
Dasar dari aktifitas belajar ialah untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan oleh yang bersangkutan. oleh karena itu perilaku belajar mempunyai tujuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Seorang anak yang merasa lapar akan belajar bagai mana caranya untuk mendapatkan makanan.
2. Pola respon dan kemampuan yang dimiliki.
Setiap individu memiliki pola respon yang dapat digunakan saat menghadapi situasi belajar, dia mempunyai cara merespon tersendiri dan hal itu berkaitan erat dengan kesiapannya.
Kurangnya kesiapan yang bersangkutan menghadapi situasi yang dihadapi dapat menyebabkannya gagal dalam mencapai tujuan.
3. Situasi belajar.
Situasi yang dihadapi mengandung berbagai alternatif yang dapat dipilih. Alternatif yang dipilih dapat memberikan kepuasan atau tidak. kadangkadang situasi mengandung ancaman atau tantangan bagi individu dalam rangka mencapai tujuan.
4. Penafsiran terhadap situasi.
Dalam menghadapi situasi, individu harus menentukan tindakan, mana yang akan diambil, mana yang harus dihindari dan mana yang paling aman. Mana yang akan diambil tentu saja didasarkan pada penafsiran yang bersangkutan terhadap situasi yang dihadapi. Andaikan dia salah dalam penafsiran situasi yang dihadapi, dia akan gagal mencapai tujuan yang ingin dicapainya.
5. Reaksi atau respon.
Setelah pilihan dinyatakan, maka yang dapat dilakukan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya yaitu :
a. Situasi dihadapi secara instingtif
Yang dimaksud dengan instingtif cara-cara bertindak atau kepandaian yang dimiliki seseorang. Perilaku yang demikian tidak diperoleh melalui usaha belajar atau pengalaman dan oleh karena itu tidak mengalami perubahan seperti halnya makhluk lain, manusia juga telah dilengkapi dengan berbagai instink yang untuk halhal tertentu sudah dapat membantu yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhannya. Andaikan suatu ketika benda kecil masuk ke dalam mata Anda, maka secara instingtif akan keluar air mata, atau kalau suatu benda masuk ke dalam hidung, maka Anda akan bersin. Keluarnya air mata dan bersin merupakan mekanisme pertahanan diri yang diperoleh secara instink untuk memecahkan masalah adanya benda kecil dalam mata dan hidung.
b. Situasi dihadapi secara kapitual
Adakalanya tindakan instingtif tidak mangkus, sehingga persoalan tidak terpecahkan. Dalam keadaan yang demikian maka muncul mekanisme yang kedua, yaitu situasi dihadapi dengan perilaku kebiasaan. Sifat kebiasaan ialah seragam dan berlangsung secara otomatis. karena sifatnya yang seragam dan berlangsung secara otomatis, jadi tidak terjadi perubahan, maka pada tahap ini perilaku yang bersangkutan tidak merupakan aktifitas belajar, namun demikian tidak disangkal proses terbentuknya kebiasaan pada awalnya memang melalui proses belajar.
Kembali kepada contoh masuknya benda kecil ke dalam mata. Sebenarnya air mata yang keluar secara instingtif tidak berhasil mengeluarkan benda tersebut, maka mungkin Anda akan menggosok-gosoknya. Tindakan menggosokgosok tersebut Anda lakukan karena cara yang demikian pernah dicoba dan ternyata mangkus. Karenanya sekarang Anda ingin mengulang kembali cara tersebut.
c. Situasi dihadapi secara rasional
Andaikata dengan cara menggosokgosok tersebut benda kecil itu dapat keluar, maka Anda merasa puas, persoalan terpecahkan. Namun sering terjadi bahwa cara yang sudah terbiasa tersebut tidak dapat memecahkan persoalan. Kalau demikian yang terjadi maka muncul mekanisme yang ketiga. Situasi akan dihadapi secara rasional dalam keadaan yang seperti itu perlu dicari cara pemecahan yang baru. Untuk itu yang bersangkutan perlu lebih memahami situasi yang dihadapi. Kemudian alternatif lain akan perlu diinventarisir. Sebagai alternatif perlu dikaji kelebihan dan kekurangannya. Kemudian dari alternatif yang ada dipilih mana yang lebih efektif dan efisien, yang untuk selanjutnya diimplementasikan. Pada tahap inilah perilaku belajar mulai terjadi.
d. Situasi dihadapi secara emosional
Dapat terjadi bahwa cara-cara yang telah dikemukakan diatas tidak mangkus dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam keadaan yang demikian maka situasi akan dihadapi secara emosional.
Apakah perilaku emosional diperoleh melalui usaha belajar? Ya. Sesungguhnya kita perlu belajar untuk mencintai seseorang dan menumbuh kembangkannya. Kita perlu belajar bagaimana caranya untuk menyenangi seseorang dan untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain.
Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan yang umum apabila, cara-cara bertindak yang sudah dimiliki tidak lagi memuaskan yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan, maka yang bersangkutan mulai belajar.

D. HAKEKAT PEMBELAJARAN

Salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam dunia pendidikan pada dasa warsa terakhir ini ialah dalam fungsi guru. Perubahan yang dimaksud ialah guru sebagai pengajar menjadi sebagai pembelajar. Perubahan tersebut telah menimbulkan implikasi dan implementasi yang cukup besar dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu semua calon guru tentu juga guru sangat diharapkan untuk dapat memahami dan mengikuti perubahan tersebut. Untuk dapat memahami konsep pembelajaran itu dengan baik, maka pada bagian ini akan dibahas, latar belakang pengertian dan ciri-cirinya.
a. Latar belakang
Terjadinya perubahan fungsi guru seperti telah dikemukakan diatas, berkaitan erat dengan munculnya perubahan pandangan para ahli. Perubahan pandangan yang dimaksud terutama dalam hal:
1. Pandangan terhadap manusia
Pandangan orang terhadap manusia berkaitan erat dengan aliran psikologi yang berkembang. Dalam sejarah perkembangannya psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam, yang menghasilkan aliran behaviorisme.
Seperti halnya ilmu pengetahuan, mereka memandang manusia seperti makhluk alam lainnya. Perilaku manusia dikendalikan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya. Perilaku manusia dijelaskan dengan teori Stimulus (S) Respon (R) kalau ada rangsangan (S) yang mempengaruhinya. Tanpa ada rangsangan mustahil ada respon. Oleh karena itu antara stimulus dan respon terdapat hubungan yang kuat (stimulus respon bound).
Implikasi pandangan tersebut terdapat hubungan guru dengan murid diperbedakan. Dalam hubungan tersebut guru lah yang lebih dominan, lebih aktif. Di pihak lain murid lebih bersifat pasif dan menerima. Muncullah istilah yang dikenal dengan “guru mencerek murid mencawan”. Tugas murid di sekolah dapat digambarkan dengan D3 yaitu duduk, dengar, dan diam.
Kelemahan pandangan tersebut mudah dilihat, memang diakui bahwa manusia terdiri dari unsur pisik. Oleh karena itu tidak dapat disangkal bahwa, adakalanya perilakunya ditentukan oleh faktorfaktor di luar dirinya. Namun demikian unsur pisik bukan satusatunya unsur dari mahkluk yang dinamakan manusia. Dia juga terdiri dari unsur lain, yaitu kemauan, perasaan, dan pikiran. Bahkan unsur-unsur itulah yang lebih berperan dalam kehidupannya. Perilaku manusia lebih banyak ditentukan oleh pikiran, perasaan, kemauan, dan kesadarannya, hal ini yang dimungkinkan oleh aliran behaviorisme. Cara pandang yang demikian di dalam psikologi dikenal dengan aliran humanisme. Implikasi cara pandang yang demikian terhadap hubungan guru murid mudah diperkirakan. Faktor murid merupakan hal yang paling dominan. Mereka harus dipandang sebagai objek yang harus dihargai, baik dari segi perasaan, pikiran dan kemauan. Hasil bekerja akan lebih banyak ditentukan oleh bagai mana perlakuan guru terhadap unsur-unsur tersebut. Tugas guru bukan lagi sebagai pengajar, namun sebagai pembelajar.
2. Pandangan terhadap tujuan pendidikan
Salah dampak dari perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat pada dasa warsa terakhir ini ialah terjadinya akselerasi perubahan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat agraris dan tradisional perubahan-perubahan berlangsung secara perlahanlahan, dan dalam rintang waktu puluhan tahun. Apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dapat diantisipasi observasi yang sangat tinggi. Karena itu kemampuan dan keterampilan apa yang akan diperlukan dan karenanya perlu dimiliki oleh anak sudah dapat ditentukan. Oleh karena itu tujuan pendidikan pada masyarakat tersebut ialah membentuk manusia yang siap pakai.
Dalam masyarakat industri yang terjadi malah sebaliknya. Perubahan berlangsung dengan sangat cepat. Dia berlangsung tidak dalam rentangan puluhan tahun malah dalam hitungan bulan, bahkan harian. Apa yang akan terjadi dan bagaimana wujud masyarakat yang akan datang sangat sukar untuk diprediksi, kecuali terjadinya perubahan makin cepat. Akibatnya ialah bahwa adalah sangat sukar bagi kita untuk menentukan kemampuan dan keterampilan yang bagai mana yang kan diperlukan dan dimiliki oleh anak.
Menghadapi situasi yang demikian, kebijaksanaan mendidik anak menjadi siap pakai merupakan kebijaksanaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu diambil kebijaksanaan lain yaitu mendidik anak menjadi manusia yang mandiri yaitu yang mampu menganalisis situasi yang dihadapi, mencari dan memiliki alternatif pemecahan secara mandiri.
3. Peranan guru
Dampak lain dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat ialah munculnya era globalisasi dan informasi. Dunia dimana kita hidup sekarang ini, menjadi bertambah kecil. Jarak yang begitu jauh yang dulunya ditempuh dalam hitungan bulan sekarang malah dapat dijangkau dalam hitungan hari, bahkan jam. Dewasa ini orang dapat makan pagi di Jakarta, makan siang di Kairo, makan malam di London. Hal yang tidak dapat dibayangkan pada masa-masa yang lalu. Salah satu akibatnya ialah bahwa batasbatas antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya menjadi lebih kabur.
Era informasi ditandai dengan terjadinya ledakan informasi yang dahsyat dan dikomunikasikan secara cepat dan lancar ke seluruh penjuru angin. Hal yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi media komunikasi, baik cetak maupun elektronik yang canggih. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain dapat kita ketahui hanya dalam jarak waktu bilangan jam. Apa yang sekarang ini kita anggap benar dan baru besoknya dapat berubah menjadi salah dan outdate.
Salah satu implikasi dari era globalisasi dan informasi seperti dikemukakan diatas ialah bahwa, adalah mustahil bagi seseorang untuk dapat mengikuti dan menguasai semua perkembangan informasi yang terjadi, namun demikian perkembangan informasi tersebut dapat dikemas dan disimpan dalam berbagai bentuk media yang nantinya dapat dipandang sebagai sumbu informasi. Ini berarti kalau dulunya guru dianggap sebagai satusatunya sumbu informasi bagi murid, maka sekarang anggapan demikian tidak dapat dipertahankan lagi, sekarang ini guru hanya merupakan salah satu sumbu informasi, disamping sumbu lain yang sangat banyak jenis dan jumlahnya. Dewasa ini guru tidak dapat dipandang sebagai orang yang serba tahu, harus dianggap sebagai orang yang serba terbatas. Cara diatas telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam peranan guru dari sebagai pengajar sebagai fasilitator.
b. Pengertian
Perubahan pandangan seperti yang telah dijelaskan diatas juga telah mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan hubungan antara guru dan murid. Pada awalnya guru dipandang sebagai pengajar, yang berupaya untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid. Istilah mengajar pada waktu itu sangat populer. Munculnya pandangan yang lebih menghargai anak sebagai manusia (objektif) yang mempunyai perasaan, pikiran dan kemauan, maka perilaku guru dipandang sebagai mempunyai nuansa mencekoki anak dengan berbagai pengetahuan, suatu tindakan dari untuk guru. Padahal para ahli mulai menyadari bahwa sesungguhnya dalam pendidikan dan pengajaran semua usaha dilakukan untuk kepentingan anak bukan untuk guru.
Bersamaan dengan pemikiran diatas, maka istilah mengajar diubah menjadi proses belajar-mengajar, yang lebih menekankan adanya suatu proses interaksi antara siswa dan guru dimana guru mengajar dan siswa belajar. Esensi dari konsep tersebut ialah bahwa siswa telah dihargai keberadaannya.
Namun demikian lama kelamaan para ahli melihat dan merasakan bahwa istilah diatas mempunyai konotasi yang negatif. Guru cenderung untuk terperosok kepada penataan kegiatan belajar mengajar secara terpisah. Satu pihak ada kegiatan guru dan di pihak lain ada kegiatan siswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada sebagian ahli jangan-jangan istilah tersebut pada gilirannya akan menghasilkan cara mengajar gaya lama.
Misi utama seorang guru ialah mendorong atau menyebabkan siswa belajar. Jadi mengajar sekarang diartikan sebagai upaya guru untuk membangkitkan hasrat siswa untuk belajar. Membangkitkan berarti menyebabkan seseorang bangkit. Istilah ini dianalogikan “membelajarkan”.
Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai:
Upaya pembimbingan terhadap siswa agar yang bersangkutan secara sadar dan terarah berkeinginan untuk belajar dan memperoleh hasil belajar seoptimal mungkin sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.
Dari rumusan diatas ada beberapa pokok pikiran yang perlu dikemukakan:
1. Tugas guru sekarang ini bukanlah mengajar dalam arti mencurahkan atau menyampaikan ilmu pengetahuan namun lebih ditekankan pada memberikan bimbingan, dorongan dan arah pada siswa. Masalah utama yang dihadapi guru ialah apa harus dilakukan agar siswa mau dan berkeinginan untuk belajar. Adanya kemauan dan keinginan saja bukanlah cukup, namun perlu dibina dan diarahkan agar kegiatan mereka tetap pada jalan yang benar, sehingga tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai.
2. Dalam konteks mau dan berkeinginan untuk belajar, diartikan bahwa siswa harus terlibat secara aktif dalam proses perubahan tersebut. Dalam hal ini mereka mungkin mencari, mengamati, membaca, mencatat, merumuskan dan mengambil kesimpulan sendiri, pengalaman yang sudah dirancang dengan baik oleh guru. Agar aktivitas mereka berlangsung secara efektif dan efisien, maka pengendalian dari guru sangat penting. Mereka selalu diarahkan, apa yang harus mereka lakukan, mengapa harus dilakukan dan bagai mana melakukannya.
3. Sekiranya dengan bimbingan guru kemauan dan keinginan siswa untuk belajar sudah tumbuh dan berkembang, maka peluang untuk berhasil dengan baik sudah terbuka lebar. Mereka akan belajar secara serius dan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada sebaik-baik mungkin, dan yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka akan menggunakan setiap kesempatan untuk belajar seoptimal mungkin. Kalau situasi yang demikian sudah tumbuh dalam diri siswa, maka hasil belajar yang optimal akan mudah dicapainya. Hasil optimal yang dimaksud disini tentu saja dalam batasbatas keadaan dan kemampuan yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Diningrat dan Mudjiono (1994) Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta : P2LPTK.
Witherington, H. Caul (1952) Educational Psychology New York Srina and Company.
TESIS PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI

TESIS PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI

(KODE : PASCSARJ-0309) : TESIS PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA)


BAB II 
KAJIAN TEORETIS 

Dalam bab ini membahas teori-teori yang relevan dengan penelitian ini yaitu (1) metode pembelajaran, (2) metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, (3) media pembelajaran, (4) gambar fotografi sebagai media pembelajaran, (5) langkah-langkah pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, (6) hakikat menulis, (7) jenis-jenis karangan, (8) karangan narasi, (9) ciri-ciri narasi, (10) struktur narasi, (11) unsur pembentuk karangan narasi, (12) jenis-jenis karangan narasi.

A. Metode Pembelajaran 

1. Pengertian Metode
Dalam kegiatan belajar mengajar, strategi pembelajaran, khususnya metode pembelajaran mempunyai peranan penting. Iskandar Wassid dan Sunendar (2009; 40-41) menuturkan bahwa metode adalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada pengajaran bahasa, metode digunakan untuk menyatakan kerangka yang menyeluruh tentang proses belajar mengajar. Proses ini tersusun dalam rangkaian kegiatan yang sistematis, tumbuh dari pendekatan yang digunakan sebagai landasan. Adapun sifat metode adalah prosedural.
Metode adalah suatu cara kerja yang sistematik dan umum yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan (Rohani 2004 : 118). Metode belajar mengajar menurut Ahmadi (1997 : 52) adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur. Dalam pengertian lain adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara individual maupun kelompok. Agar pelajaran tersebut dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. Sayuti (1985 : 213) menyatakan bahwa penggunaan metode yang tepat akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Akan tetapi harus disadari pula, bahwa faktor guru lah yang pada akhirnya banyak menentukan berhasilnya pengajaran. Oleh karena itu, guru jangan sampai terbelenggu oleh salah satu metode yang dipilihnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin baik suatu metode semakin efektif pula dalam pencapaian hasil belajar siswa. Metode yang bervariasi diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Seorang guru tidak dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar.
Metode memiliki peranan penting yaitu sebagai alat motivasi intrinsik; strategi pengajaran, dan alat untuk mencapai tujuan. Djamarah dan Aswan (2010 : 72-74) memaparkan bahwa metode yang tepat dan bervariasi dapat dijadikan sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Metode mengajar yang sesuai dengan karakteristik siswa, materi, bahan ajar, media belajar dapat menjadi strategi pengajaran yang tepat dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pemanfaatan metode yang sesuai merupakan cara efektif untuk mencapai tujuan pengajaran.

2. Syarat-Syarat Metode Belajar Mengajar
Menurut Ahmadi (1997 : 53) syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode mengajar yaitu 1) dapat membangkitkan motif, minat, atau gairah belajar siswa; 2) dapat menjamin perkembangan kegiatan kepribadian siswa; 3) dapat memberikan kesempatan siswa untuk mewujudkan hasil karya; 4) merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi; 5) dapat mendidik siswa dengan teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi; 6) dapat memberikan siswa pengalaman atau situasi yang nyata dan bertujuan; 7) dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang menjadi kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Ibrahim dan Syaodih (2010 : 108-109) mengatakan metode yang digunakan harus memiliki faktor-faktor berikut. Pertama, kesesuaian dengan tujuan instruksional khusus maupun umum. Kedua, keterlaksanaan dilihat dari waktu dan sarana. Berdasarkan uraian di atas, dalam memilih metode pembelajaran diupayakan agar dapat mewujudkan proses belajar mengajar yang bermakna dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif. Selain itu, tujuan instruksional menjadi titik akhir proses pembelajaran.

B. Metode Pengelompokan Ide (Clustering) Berbasis Media Gambar Fotografi
1. Metode Pengelompokan Ide (clustering) a. Pengertian Metode Pengelompokan Ide (clustering)
Pengelompokan ide (clustering) merupakan salah satu metode dalam buku Quantum Learning yang memberikan kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses yang dapat menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan daya ingat dan membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Strategi ini dirancang untuk menyemarakkan kelas dan membentuk suasana pengalaman belajar aktif dan menakjubkan.
Pengelompokan ide (clustering) dalam buku Quantum Learning yang dikemukakan oleh Bobbi Deporter dan Mike Hernacki bertolak pada konsep suggestopedia (eksperimen seorang ahli pendidikan berkebangsaan Bulgaria bernama Dr. Georgi Lozanov), bahwa pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar (DePorter, 1999 : 14). Teknik pengelompokan ide merupakan salah satu bentuk spesifikasi dari tiga teknik yang disebut Hernowo (2004) sebagai menulis sinergis, di samping teknik menulis cepat dan teknik menunjukkan bukan memberitahukan.
Mengingat pentingnya pembelajaran menulis ini, diperlukan strategi yang tepat dalam pembelajarannya. Menurut Weinstein dan Meyer (Trianto, 2007 : 143) pengajaran yang baik meliputi mengajarkan siswa bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, strategi belajar dalam pembelajaran adalah strategi yang dapat membantu siswa untuk berpikir dan memahami materi.
Metode yang dipandang efektif adalah metode pengelompokan ide (clustering). Metode ini merupakan cara kreatif bagi siswa untuk menghasilkan berbagai gagasan. Clustering berarti kegiatan mengelompokkan sesuatu. Teknik clustering adalah teknik menulis dengan cara mengelompok-kelompokkan ide dengan bantuan gambar. Teknik ini dikembangkan oleh Dr. Rico dengan berpijak pada teknik "mind mapping" (pemetaan pikiran) yang ditemukan oleh Tony Buzan. Cara mengoperasikan teknik ini berlandaskan temuan Roger Sperry yang menunjukkan kepada kita bahwa ada dua belahan otak di kepala kita yang masing-masing belahan tersebut berfungsi secara sangat berbeda. Kedua belahan itu disebut belahan otak kiri (left hemisphere) yang suka ketertiban dan bersimbolkan teks dan belahan otak kanan (right hemisphere) yang suka kebebasan dan bersimbolkan gambar.
Istilah pengelompokan ide (clustering) ini dikemukakan oleh Gabriele Lusser Rico. Rico (Hernowo, 2003 : 142) menyatakan bahwa bagian paling sulit dalam menulis adalah sulitnya menuangkan ide ke dalam tulisan, tidak mengetahui apa yang akan ditulis, yaitu apa temanya, dan bagaimana memulainya. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menanggulangi kesulitan ini, antara lain dengan membuat pengelompokan ide (clustering). Setiap orang memiliki ide dalam benaknya, yang sulit adalah menuangkannya dalam tulisan. Dengan membuat pengelompokan ide (clustering), Anda dipaksa mengidentifikasi ide-ide pokok dan ide-ide penunjangnya.
Metode ini dapat membantu memilah pemikiran-pikiran kita menjadi logis dan bersistem. Clustering merupakan strategi sebelum menulis untuk menemukan hal yang akan dikembangkan dalam tulisan. Strategi ini dikembangkan oleh Gabriele Lusser Rico. Dalam bukunya, Gabriele menyatakan bahwa clustering sebagai suatu teknik pengajaran menulis yang menekankan pada generalisasi ide-ide.
Pengelompokan ide atau gagasan meliputi asosiasi bebas sebagai suatu arti yang berhubungan dengan gambaran-gambaran dan pemikiran-pemikiran. Sebuah kelompok dapat diawali dengan sebuah kata, mengarah pada kata-kata yang lain dan ungkapan-ungkapan pada pemikiran ide-ide yang terkait pada ide orisinal. Seringkali metode ini tersusun dalam sebuah diagram yang bisa menjadi suatu kerangka yang memuaskan bagi seorang penulis untuk menyusun pola suatu tulisan. Jika siswa kerap berlatih menulis dengan memanfaatkan metode pengelompokan ide (clustering) ini, siswa akan terampil dalam mengembangkan ide-ide. Siswa juga akan dimudahkan dalam merumuskan ide-ide tersebut.
Deporter (2004 : 15) berpendapat bahwa metode pengelompokan ide (clustering) sangat efektif dan menyenangkan, sehingga mampu memberikan sugesti yang positif bagi siswa dalam pembelajaran menulis. Dengan clustering seseorang dapat menemukan apa yang disebut Deporter sebagai " AHA!" yaitu suatu kata dalam cluster memunculkan titik awal ide yang akan ditulis dan desakan untuk menulis terasa tak terbendung lagi. Selain itu, Deporter (2004 : 184) mengatakan bahwa metode clustering dapat digunakan untuk berbagai jenis tulisan dari laporan, esai, proposal, cerita, hingga puisi.
Selanjutnya, DePorter (1999 : 180) memberikan batasan metode pengelompokan ide (clustering) adalah suatu teknik memilah pemikiran-pemikiran yang saling berkaitan dan menuangkannya di atas kertas secepatnya, tanpa mempertimbangkan kebenaran atau nilainya.
Senada dengan DePorter, Ahmadi (1990 : 65) menyatakan bahwa clustering adalah suatu jenis teknik pengumpulan gagasan, dengan asosiasi bebas mengenai satu kata atau konsep yang menghasilkan informasi yang dihubungkan, tetapi tidak dihalangi oleh struktur.
Sedikit berbeda dengan kedua pendapat di atas, Miriam (2004) dalam bukunya Daripada Bete Nulis Aja menyatakan bahwa metode clustering atau pengelompokan adalah teknik yang dapat membantu "mengembangkan" tulisan dengan berbagai cara sekaligus dengan mengambil suatu gagasan dan membuat percabangannya ke berbagai arah.
Ada dua prinsip penting yang harus diingat dalam melakukan pengelompokan (clustering). Pertama, belum dipikirkan ide-ide yang dihasilkan itu benar atau salah, penting tidak penting, dapat dipraktikkan atau tidak, dan sebagainya. Yang terpenting dalam proses ini adalah pengumpulan ide-ide yang berkaitan dengan topik itu sebanyak-banyaknya. Kedua, terjadinya tumpang tindih ide dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena memang belum dievaluasi. Nanti akan dipikirkan kembali sekaligus ide-ide yang terkumpul itu akan dievaluasi dalam kesempatan berikutnya (Darmadi, 1996 : 43).

TESIS PENGEMBANGAN KINERJA KEPALA SEKOLAH (STUDI TENTANG PENGARUH DIKLAT DAN KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH)

TESIS PENGEMBANGAN KINERJA KEPALA SEKOLAH (STUDI TENTANG PENGARUH DIKLAT DAN KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH)

(KODE : PASCSARJ-0308) : TESIS PENGEMBANGAN KINERJA KEPALA SEKOLAH (STUDI TENTANG PENGARUH DIKLAT DAN KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Pandangan Tentang Kinerja
Kata performance dalam bahasa Inggeris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sering berbeda-beda dalam kata yang sampai sekarang belum dibakukan. Ada yang menterjemahkan sebagai, unjuk kerja, kinerja, hasil karya, pelaksanaan kerja atau hasil pelaksanaan kerja.
Ilyas (1999 : 65) menterjemahkan performance menjadi unjuk kerja. Sedangkan menurut the Scribner-bantam English Dictionary (dalam Prawirosantono 1991 : 1) kinerja berasal dari akar kata " to form" yang mempunyai beberapa "entries" sebagai berikut : 
1. To do carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan).
2. To discharge or fulfill; as avow (memenuhi atau menjalankan suatu kewajiban atau nazar)
3. To portray, as a character in a play (menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan)
4. To render by voice or a musical instrument (menggambarkan dengan suatu atau alat musik.
5. To execute or complete or undertaking (melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab)
6. To act a part in a play (melakukan sesuatu kegiatan dalam suatu permainan)
7. To perform music (memainkan pertunjukkan musik)
8. To do what is expected of a person or machine (melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin).
Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Mangkunegara (2001 : 67) " mendefinisikan kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya". Jadi kinerja merupakan penampilan hasil karya seseorang dalam bentuk kualitas atau kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja pegawai, sehingga ada tiga hal penting dalam kinerja yaitu, tujuan ukuran dan penilaian.
Menurut Grounlond (1982 : 86) : "Kinerja merupakan penampilan perilaku kerja yang ditandai oleh keluwesan gerak, ritme, dan urutan kerja yang sesuai dengan prosedur, sehingga diperoleh hasil yang memenuhi syarat kualitas, kecepatan dan jumlah". Sejalan dengan itu pula August W. Smith (1982 : 393) menyatakan bahwa kinerja adalah "output derive from processes, human or other wise ". Maksudnya adalah bahwa kinerja merupakan hasil atau output dari suatu proses. Bernardin & Russell (1998 : 239) memberi batasan mengenai kinerja sebagai "...the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period" yang berarti catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu.
Hikman dalam Husaini (2008 : 456) " Kinerja selalu merupakan tanda keberhasilan suatu organisasi dan orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Sejalan dengan pendapat di atas Stoner dan Freeman (1994) " kinerja adalah kunci yang harus berfungsi secara efektif agar organisasi secara keseluruhan dapat berhasil.
Menurut Salim Peter dalam Husaini (2008 : 457) " kinerja digunakan apabila seseorang menjalankan tugas atau proses dengan terampil sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada. Diperkuat dengan pendapat Kotter dan Hesket (1998) mengartikan bahwa kinerja sebagai hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai dalam satuan waktu tertentu. Jadi kedua pandangan ini menunjukkan bahwa kinerja adalah hasil karya nyata dari seseorang atau suatu organisasi yang dapat dilihat, dihitung jumlahnya serta dinilai secara kuantitatif.
Adapun yang mempengaruhi kinerja diantaranya adalah motif-motif individu, seperti yang dikemukakan oleh Steers dan Porter (1987 : 30) yang menyatakan bahwa, "Kinerja (performance) dipengaruhi oleh motif-motif individu dan berinteraksi dengan lingkungannya". Randall (1997 : 11) mengemukakan kriteria kinerja ada tiga jenis, yaitu : "(1) kriteria berdasarkan sifat, (2) kriteria berdasarkan perilaku, (3) kriteria berdasarkan hasil". Selain kriteria tersebut ada beberapa dimensi yang mempengaruhi kinerja, seperti yang dikemukakan (Peter Drucker, 1977 : 237-242), diikuti dari D. Sutisna (1999) bahwa : 
Kinerja mempunyai lima dimensi, yaitu : (1) dimensi fisiologis yaitu manusia akan bekerja dengan baik bila bekerja dalam konfigurasi operasional bersama tugas dan ritme kecepatan sesuai dengan fisiknya, (2) dimensi psikologis yaitu bekerja merupakan ungkapan kepribadiannya karena seseorang yang mendapatkan kepuasan kerja akan berdampak pada kinerja yang lebih baik, (3) dimensi sosial yaitu bekerja dapat dipandang sebagai ungkapan hubungan sosial diantara sesama karyawan, (4) dimensi ekonomi yaitu bekerja dalam kehidupan bagi karyawan. Imbalan jasa yang tidak sepadan dapat menghambat atau memicu karyawan dalam berprestasi, (5) dimensi keseimbangan antara apa yang diperoleh dari pekerjaan dengan kebutuhan hidup akan memacu seseorang untuk berusaha lebih giat guna mencapai keseimbangan.
Dimensi ini disebut juga dimensi kekuasaan pekerjaan karena ketidakseimbangan dapat menimbulkan konflik yang dapat menurunkan kinerja. Secara umum terbentuknya kinerja disebabkan oleh tiga faktor yaitu : (1) faktor kemampuan, (2) faktor upaya, dan (3) faktor kesempatan/peluang. 
Persamaan diatas menyoroti faktor-faktor dasar yang berperan penting dalam bentukan kinerja. Ketidakhadiran salah satu faktor dapat mengakibatkan tidak bernilainya kedua faktor lainnya. Faktor kemampuan (ability) merupakan fungsi dari pengetahuan, keterampilan dan kemampuan teknologi, karena faktor tersebut dapat memberikan indikasi terhadap batas kemungkinan kinerja yang dapat dicapai. Upaya (effort) merupakan fungsi dari kebutuhan, sarana, harapan dan ganjaran.
Berapa banyak kemampuan individu yang dapat direalisasikan sangat tergantung dari tingkat individu dan atau kelompok termotivasi, sehingga dapat mencurahkan upaya atau usaha sebesar mungkin. Kinerja tidak akan terbentuk bila pimpinan tidak memberikan kesempatan atau peluang (opportunity) kepada individu agar dapat menggunakan kemampuan dan upaya mereka di tempat-tempat yang berarti.
Stoner (1982 : 11), di dalam organisasi, pimpinan bekerja dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Yang dimaksud dengan "orang" disini, bukan saja bawahan dan atasan, tetapi juga pimpinan lainnya yang bekerja di organisasi yang sama. Oleh karena itu "orang" dapat mencakup individu di luar organisasi, misalnya : pembeli, nasabah, rekanan, wakil buruh dan seterusnya. Orang-orang ini dan yang lainnya menyediakan pelayanan jasa dan barang atau menggunakan produk atau jasa yang dihasilkan organisasi. Dengan demikian para pimpinan bekerja dengan siapa saja pada setiap tingkat di dalam dan di luar organisasinya yang dapat membantu dalam mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya menurut Prawirosentono dalam Husaini (2008 : 457) bahwa : 
Kinerja atau performance adalah usaha yang dilakukan dari hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal sesuai dengan moral dan etika.
Kinerja yang baik dapat diraih apabila seseorang atau kelompok orang bekerja keras dalam rangka mencapai tujuan organisasi, dengan tidak mengesampingkan moral dan etika dalam rangka jabatan yang di emban, sehingga ada kebanggaan tersendiri dalam mendapatkan hasil dari kinerja tersebut.
Dari beberapa definisi kinerja yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa kinerja dipandang sebagai hasil pekerjaan atau hasil dari pelaksanaan fungsi-fungsi pekerjaan. Pengertian ini oleh sebagian besar ahli dapat diterima dengan prinsip tersebut, tetapi sebagian lain memandang bahwa kinerja bukan saja hasil kerja melainkan juga termasuk proses atau prilaku dalam melaksanakan pekerjaan dalam rangka mencapai hasil kerja tersebut.
Jadi secara umum kinerja tidak dapat dipandang sebagai hasil pekerjaan semata, tetapi juga kita harus melihat proses pencapaian hasil pekerjaan tersebut, yang mana dapat dilihat dari ungkapan secara legal, tidak melanggar hukum, yang sesuai pula dengan moral dan etika. Hal ini berarti bahwa hasil kerja yang baik tetapi dihasilkan melanggar etika dan moral yang berlaku, maka kinerjanya belum dapat dikatakan tinggi atau baik. Sesuai pula dengan pendapat Brumbrach (Armstrong dan Baron, 1998 : 16) mengemukakan bahwa " performance means both behaviors and result", yang dapat diterjemahkan bahwa kinerja berarti dua hal yaitu prilaku dan hasil, yang dimaksud prilaku disini adalah pada konteks proses pencapaian hasil kerja tersebut. Senada dengan pendapat diatas Hariandja (2002 : 195) mengemukakan bahwa hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan perannya dalam organisasi.
Smith (Sudarmayanti, 2001 : 50) kinerja "... output drive from process human otherwise ". Menurut Smith bahwa kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Pendapat ini hanya memandang kinerja dari sebuah proses keluaran, tidak melihat apakah keluaran itu memenuhi syarat etika, moral ataukah keluaran itu dapat dimanfaatkan oleh organisasi. Sehingga kinerja hanya mementingkan kuantitas bukan kualitas yang diharapkan.
Darma (1991 : 10) menyatakan bahwa " prestasi kerja adalah suatu yang dikerjakan atau produk jasa yang dihasilkan atau diberikan oleh orang atau kelompok orang". Pendapat ini memperluas pengertian kinerja bagi pihak yang menghasilkan atau produk kinerja dimana kinerja bisa diartikan hasil kerja individu atau kelompok kerja dari sebuah organisasi.
Di dalam organisasi atau masyarakat, para individu menyumbangkan kinerjanya ke kelompok dan kelompok menyumbangkan kinerjanya kepada organisasi atau masyarakat. Bagi organisasi yang efektif, manajemen selalu menciptakan kesinambungan (sinergi) yang positif dan menghasilkan satu keseluruhan menjadi lebih besar dari jumlah seluruh komponen bagiannya (Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1988 : 18). Oleh karena itu pimpinan pada semua tingkatan perlu menggunakan waktunya untuk merencanakan, mengorganisir, memimpin dan mengendalikan aktivitas tugas-tugasnya agar dapat mencapai tujuan organisasi. Namun cara pimpinan menggunakan waktu. keterampilan dan melakukan kegiatan manajemen akan berbeda antara pimpinan yang satu dengan pimpinan yang lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan tingkatan dan kedudukan pimpinan di dalam hirarki organisasinya.
Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah sebuah produk yang dihasilkan oleh seorang pegawai dalam suatu waktu tertentu dengan kriteria tertentu pula. Produk dapat berupa layanan, jasa atau barang, sedangkan satuan waktu yang ditentukan bisa berapa bulan, tahun atau jangka lima tahun. Kriteria ditentukan oleh persyaratan yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang dan mempunyai hak untuk menilai kinerja.

TESIS PENGARUH KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP KEEFEKTIFAN SEKOLAH

TESIS PENGARUH KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP KEEFEKTIFAN SEKOLAH

(KODE : PASCSARJ-0307) : TESIS PENGARUH KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP KEEFEKTIFAN SEKOLAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Keefektifan Sekolah

Hingga saat ini belum ditemukan rumusan pasti tentang istilah efektivitas, penyebabnya adalah setiap orang memberi arti yang berbeda-beda, karena mereka memandang dari sudut yang berlainan tergantung dari sudut mana efektivitas tersebut dilihat.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990 : 219) efektif berarti adanya efek, dampak, dapat dan membawa hasil. Dengan demikian efektivitas dapat diartikan efektivitas atau daya guna atau adanya kesesuaian dalam suatu aktivitas antara apa-apa yang telah dilakukan dengan tujuan yang diinginkan.
Efektif adalah keseimbangan memanfaatkan berbagai peranan dengan yang dihasilkan oleh peranan-peranan. Agar peranan yang mereka mainkan efektif, maka tenaga kependidikan antara lain dapat membiasakan tujuh kebiasaan yang dikembangkan oleh Covey. Cara memulai kebiasaan itu adalah mulai dari diri sendiri, dari yang mudah, dari yang kecil dan dari yang murah.
Sementara Gibson (1987 : 25) membagi efektivitas dalam tiga perspektif yaitu (1) efektivitas dari perspektif individu, (2) efektivitas dari perspektif kelompok dan (3) efektivitas dari perspektif organisasi. Efektivitas individu menempati posisi dasar dalam konteks efektivitas organisasi. Perspektif organisasi menekankan pada penampilan tugas setiap individu dalam melaksanakan tugasnya secara efektif sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya keterampilan, pengetahuan, kecakapan, sikap, motivasi dan stres.
Masalah keefektifan dan efisiensi merupakan hal yang pokok dalam kehidupan sistem organisasi. Organisasi mempunyai kehidupan seperti organisme. Ia lahir, tumbuh dan berkembang, menua dan mati. Ia berkembang karena ia mampu mempertahankan efektifitas dan efisiensinya yang tinggi dan ia mundur karena terjadi penurunan antara lain penurunan kualitas efektifitas dan efisiensi itu sendiri. Alasan penurunan itu antara lain karena terjadi proses kelelahan (fatigue), kerusakan dan kekeroposan dari dalam (decay) yang menjadi tertutup sehingga mengalami kemunduran genetic (inbreeding), kehilangan sensitivitas terhadap masukan (feedback) serta tidak berlangsungnya proses belajar dalam organisasi sehingga organisasi tersebut menjadi statis (stuck). Sebagai akibatnya, organisasi tersebut tidak lagi responsive terhadap tantangan dari luar, sebagaimana halnya proses penuaan yang terjadi dalam organisme atau mengalami entropy. Lingkungan yang terus menerus berubah yang tidak direspon dengan proses peningkatan efisiensi menjadikan beban organisasi bertambah berat. Dalam hubungan tersebut, dapat dilihat kelambanan organisasi pendidikan, termasuk sekolah dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi di luar sistem. Organisasi yang berat secara birokratis dapat menyebabkan kelambanan proses peningkatan efisiensi tersebut.
Dalam kesehariannya, setiap individu tidak bekerja sendirian akan tetapi berada ditengah-tengah kelompok. Karenanya selain efektivitas individu terdapat pula efektivitas kelompok, tetapi harus diingat pula bahwa efektivitas kelompok tidak secara otomatis terwujud dari kumpulan efektivitas individu, demikian halnya gabungan individu-individu yang efektif tidak secara otomatis akan menghasilkan kelompok yang efektif. Secara umum efektivitas kelompok sangat ditentukan oleh tingkat kekompakan kelompok, kepemimpinan, struktur kelompok, status, peran masing-masing, serta norma yang berlaku dalam kelompok (Mulyadi, 1988 : 278).
Suatu organisasi ada karena adanya individu-individu dan kelompok-kelompok. Efektivitas organisasi tidak hanya sekedar efektivitas individu dan kelompok akan tetapi karena organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang kompleks, maka efektivitas ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, teknologi, strategi, struktur, proses dan iklim kerjasama.
Lipham dan Hoeh (1974 : 62) meninjau efektivitas dari segi pencapaian tujuan seperti dikemukakan : effectiveness related to the accomplishment of the cooperative purpose, which is social and non personal ini character. Selanjutnya dikatakan bahwa efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan bersama buka pencapaian tujuan pribadi. Artinya suatu organisasi dikatakan efektif bila tujuan bersama dalam organisasi dapat dicapai. Suatu organisasi belum dikatakan efektif meskipun tujuan individu yang ada didalamnya dapat terpenuhi.
Etzioni (Komariah, et al, 2008 : 7) berpendapat bahwa : efektivitas organisasi diukur dari tingkat sejauhmana ia berhasil tujuannya sedangkan efisiensi suatu organisasi bisa dikaji dari sudut jumlah sumber daya yang dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu unit masukan (input). Sedangkan menurut Engkoswara (Komariah, et al, 2008 : 8) dalam dunia pendidikan, efektivitas dapat dilihat dari : (1) masukan yang merata (2) keluaran yang banyak dan bermutu tinggi (3) ilmu dan keluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun (4) pendapatan tamatan atau lulusan yang memadai.
Sementara keefektifan berasal dari kata efektif yang berarti tepat guna atau tepat sasaran. Efektif mengarah pada pengertian ketepatan atau kesesuaian antara usaha yang dilakukan dengan tujuan yang telah ditentukan. Pengertian ini searah dengan pengertian yang dikemukakan oleh Hugo F. Reading yang mengatakan bahwa efektif mempunyai arti derajat dimana kelompok mencapai tujuannya atau mempunyai arti pencapaian nilai-nilai maksimum dengan alat yang terbatas. Jadi keefektifan proses pembelajaran berarti setelah mengalami proses belajar siswa dapat mencapai tujuan instruksional dan usaha atau aktifitas yang dilakukan siswa tersebut mempunyai ketepatan atau kesesuaian dengan tujuan yang telah ditentukan. Pencapaian tujuan tersebut ditandai dengan adanya penilaian terhadap hasil belajar siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Semakin baik hasil yang dicapai siswa maka dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran tersebut semakin efektif.
Keefektifan proses pembelajaran dapat diketahui dan tercapai tidaknya tujuan instruksional yang telah dirumuskan. Hal ini dipertegas Kemp yang menjelaskan bahwa untuk mengukur keefektifan hasil belajar sebagai akibat kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan dapat dilihat dan berapa jumlah siswa yang berhasil mencapai seluruh tujuan belajar dalam waktu yang telah ditentukan. Keefektifan proses pembelajaran dapat juga ditinjau dan beberapa teori belajar yaitu teori Humanis, teori kognitif dan teori behaviorisme. Adapun tinjauan teori belajar tersebut terhadap keefektifan proses pembelajaran adalah sebagai berikut : 
1. Teori Humanis
Proses pembelajaran dapat efektif jika tenaga pendidik mampu mendemonstrasikan bahwa siswa telah memperoleh isi pelajaran yang relevan dengan tujuan dan kebutuhannya dan juga telah mampu mengapresiasikan dan memahami pikiran dan perasaan orang lain serta mampu mengenal perasaannya tentang isi bahan pelajaran.
2. Teori Kognitif
Proses pembelajaran dapat efektif jika tenaga pendidik mampu menggunakan prosedur kelas yang cocok sesuai dengan ciri-ciri kognitif siswa, dapat mengorganisasikan informasi dan menyajikannya untuk memajukan kemampuan pemecahan masalah dan berfikir orisinal pada siswa mengenai masalah-masalah, serta dapat meningkatkan kemampuan siswa berfikir produktif dan memecahkan masalah.
3. Teori Behaviorisme
Proses pembelajaran yang efektif dapat ditunjukkan jika tenaga pendidik mampu menuliskan tujuan instruksional yang relevan dengan isi pelajaran, merinci prosedur pengajaran termasuk penguatan dan pengaturan kecepatan penyampaian, memerinci perilaku siswa yang diperlukan untuk mempelajari tujuan instruksional, serta dapat menunjukkan bahwa siswa telah mencapai tujuan instruksional tersebut setelah pelajaran selesai.
Selanjutnya dari ketiga teori belajar tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa keberhasilan pencapaian tujuan instruksional yang telah dirumuskan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tenaga pendidik mengajar dan siswa di dalam melaksanakan proses belajar.
Keefektifan siswa dalam belajar selain dipengaruhi oleh faktor internal dalam diri siswa itu sendiri juga dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar diri siswa tersebut. Untuk faktor-faktor dari dalam diri siswa, sangat dipengaruhi oleh karakteristik siswa, bakat, minat dan motivasi siswa itu sendiri. Sedangkan untuk faktor-faktor dari luar yang berpengaruh terhadap keefektifan belajar siswa adalah sangat tergantung pada bagaimana tenaga pendidik mengelola proses pembelajaran di kelas dan bagaimana sekolah menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang dapat memungkinkan siswa untuk aktif dan kreatif. Pengelolaan kelas yang efektif dapat diciptakan tenaga pendidik melalui komunikasi yang efektif, model dan cara mengajar yang tepat dan bervariasi, sikap yang menghargai siswa sebagai subyek didik, dll. Kondisi lingkungan sekolah yang efektif dapat ditempuh melalui pemenuhan fasilitas yang memadai, penyiapan lingkungan, lembaga pendidikan yang menyenangkan dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas tidak semata-mata berorientasi kepada sesuatu yang sudah dihasilkan tetapi lebih dari itu bagaimana prosesnya sehingga sesuatu tersebut bisa dihasilkan. Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran bahwa untuk mengukur efektivitas terhadap suatu usaha yang panjang dan bertahap-tahap seperti pendidikan membawa kita kepada suatu pertanyaan apa yang menjadi indikator efektivitas pada setiap tahapannya. Indikator tersebut tidak saja hanya mengacu kepada apa yang ada (input, output serta outcome) tetapi juga kepada apa yang terjadi (proses). Beberapa indikator tersebut menurut Anisah (1955 : 33) meliputi : 
1. Indikator input, meliputi karakteristik guru, karakteristik fasilitas, karakteristik perlengkapan, materi pendidikan dan kapasitas administrasi.
2. Indikator proses meliputi perilaku administrasi, alokasi waktu guru serta alokasi waktu siswa
3. Karakteristik output, meliputi hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik dan dinamikanya, sistem sekolah (attainment effect), hasil-hasil yang berhubungan dengan prestasi belajar (achievement effect) dan hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap (attitude behavioral effect) serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan dan kesamaan (equality dan equity effect)
4. Indikator outcome, meliputi jumlah lulusan ke tingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan.
Dari uraian diatas membuka kita kepada suatu pemikiran bahwa kajian terhadap efektivitas pendidikan hendaknya dilihat secara sistematik, mulai dari input, proses, output dan outcome. Sedangkan indikator efektivitas tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga bersifat kualitatif. 

TESIS KONTRIBUSI PEMBERIAN INSENTIF DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA MENGAJAR GURU

TESIS KONTRIBUSI PEMBERIAN INSENTIF DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA MENGAJAR GURU

(KODE : PASCSARJ-0306) : TESIS KONTRIBUSI PEMBERIAN INSENTIF DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA MENGAJAR GURU (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Administrasi Pendidikan
Istilah administrasi secara etimologis diartikan sebagai kegiatan pengaturan sumberdaya manusia, peralatan, dan sumberdaya lain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan pemiliknya. Administrasi dapat dipahami sebagai pola kehidupan modern yang berorientasi pada kemajuan, ketertiban, efektivitas, dan efisiensi.
Mendefinisikan administrasi pendidikan menyangkut pengertian yang luas ditinjau dari berbagai aspek yang melingkupinya, sebagaimana oleh Hoy dan Miskel (2008 : 92) berikut : 
(1) the systematic study of education administration is as new as the modern school; the one-room schoolhouse of rural America did not need specialized administrators; (2) Research on administration and development of theories of organization and administration are relatively recent phenomena. ...however, we need a basic understanding of the nature and meaning of organization theory.
Sementara itu Nasution (2000) mengemukakan bahwa administrasi pendidikan sebagai suatu proses keseluruhan, semua kegiatan bersama dalam bidang pendidikan dengan memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia baik personal, material maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal senada disampaikan oleh Walter S Monroe (1952) "Educational administration is the direction, control and management of all matters pertaining the school affairs, including business administration, since all aspect of school affairs may be considered as carried on for educational ends".
Engkoswara (2001 : 1) mengemukakan bahwa "administrasi pendidikan dalam arti seluas-luasnya adalah suatu ilmu yang mempelajari penataan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara produktif".
Ilustrasi keterpaduan antara fungsi administrasi pendidikan sebagai penjabaran dari istilah penataan yang dikemukakan pada definisi di atas, dan garapan kerja administrasi pendidikan sebagai penjabaran dari sumber daya. Fungsi utama penataan administrasi pendidikan adalah perencanaan (planning), pelaksanaan (implementing), dan pengawasan (evaluating) pendidikan yang menyangkut tiga sumberdaya/bidang garapan utama yaitu : (1) Sumberdaya manusia (SDM) yang terdiri atas peserta didik, tenaga kependidikan, dan masyarakat pemakai jasa pendidikan; (2) Sumber belajar (SB) adalah alat atau rencana kegiatan yang akan dipergunakan sebagai media, di antaranya kurikulum; dan (3) Sumber fasilitas dan dana (SFD) sebagai faktor pendukung yang memungkinkan pendidikan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Semua fungsi dan sumber daya administrasi pendidikan ini merupakan media (teknologi pendidikan) atau perilaku berorganisasi yang diharapkan dapat mencapai tujuan pendidikan secara produktif (TPP) baik untuk kepentingan perorangan maupun untuk kelembagaan.
Jadi administrasi pendidikan merupakan pengarahan, pengawasan dan pengelolaan segala hal yang berkaitan dengan sekolah. Dalam konteks administrasi pendidikan, penelitian ini berkaitan dengan sumber daya manusia, khususnya perilaku guru dalam organisasi sekolah.
Secara khusus pendidik pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat 2 disebutkan : 
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Guru menempati peranan strategis terhadap efektivitas pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah. Kondisi seperti ini mengisyaratkan perlunya seorang guru yang mempunyai produktivitas kerja tinggi dalam mengajar. Dengan demikian produktivitas kerja tinggi mengajar guru merupakan salah satu aspek kajian penting dalam ilmu administrasi pendidikan yang berada pada wilayah kajian SDM.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan motivasi. Motivasi mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan dan kemajuan perusahaan.
Pemberian insentif merupakan salah satu jenis motivasi ekstrinsik karena bersumber dari kondisi di luar individu. Menurut Rivai (2004) diartikan sebagai bentuk pembayaran yang dikaitkan dengan kinerja dan gain sharing, sebagai pembagian keuntungan bagi karyawan akibat peningkatan produktivitas atau penghematan biaya. Sistem ini merupakan bentuk lain dari kompensasi langsung di luar gaji dan upah yang merupakan kompensasi tetap, yang disebut sistem kompensasi berdasarkan kinerja (pay for performance plan).
Selain pemberian insentif, motivasi berprestasi tak kalah pentingnya untuk meningkatkan produktivitas kerja. Menurut McClelland dan Atkinson (1953 : 78) bahwa Atonement motivation should be character zed by high hopes of success rather than by fear of failure artinya motivasi berprestasi merupakan ciri seorang yang mempunyai harapan tinggi untuk mencapai keberhasilan dari pada ketakutan kegagalan. Selanjutnya dinyatakan McClelland (1953 : 78) bahwa motivasi berprestasi merupakan kecenderungan seseorang dalam mengarahkan dan mempertahankan tingkah laku untuk mencapai suatu standar prestasi.
Fenomena yang terjadi di lapangan berbeda dengan yang diharapkan. Hasil pengamatan penulis di lapangan menunjukkan bahwa kesejahteraan guru di daerah ini masih memprihatinkan, motivasi mengajar dan produktivitas kerja mengajar guru masih kurang optimal. Dalam hubungannya dengan produktivitas kerja mengajar guru, terdapat fenomena di antaranya masih kurang maksimalnya guru dalam menganalisis dan menjabarkan kurikulum menjadi program pengajaran, seperti program semester, silabus, dan rencana pembelajaran; banyaknya buku sumber yang dipergunakan guru untuk menghimpun materi pelajaran yang diajarkan masih sangat terbatas; masih ada guru yang kurang maksimal menggunakan keterampilan mengajar dalam pengajaran yang dilakukannya; metode mengajar yang dipergunakan guru masih ada yang kurang relevan dengan materi yang disampaikan; masih ada guru yang jarang melakukan analisis terhadap tingkat kemajuan hasil belajar peserta didik; serta masih ada guru yang tidak mau terlibat dalam kegiatan membimbing kegiatan ekstrakurikuler.
Dalam hubungannya dengan tingkat kesejahteraan guru, terdapat fenomena yaitu masih ada guru yang mencari tambahan pendapatan, di luar jam kerja; gaji dan insentif (finansial) yang diterima guru masih dirasakan kurang mencukupi kebutuhan guru dan keluarga secara layak; masih ada kasus guru yang meninggalkan tugas mengajar, karena mencari tambahan pendapatan; serta beberapa kebijakan pemerintah menyebabkan harga barang kebutuhan hidup menjadi tinggi, sehingga gaji dan insentif yang diterima menjadi berkurang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari guru dan keluarga.
Selain itu, masih ada guru yang melaksanakan tugasnya hanya sekadar memenuhi tanggung jawabnya mengajar, belum pada taraf meningkatkan pelayanan sehingga menghasilkan prestasi belajar siswa secara maksimal; masih ada guru yang hanya puas dengan hasil belajar peserta didik biasa-biasa saja, belum pada kepuasan untuk mencapai hasil maksimal peserta didiknya; masih kurangnya minat baca guru untuk mempelajari materi bahan ajar yang akan diajarkan kepada peserta didik; masih ada guru yang kurang menguasai keterampilan mengajar, sehingga berdampak pada kurang maksimalnya hasil belajar peserta didik; serta masih ada guru yang kurang mampu menerapkan prinsip-prinsip ilmiah hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran.

B. Insentif
1. Pengertian Insentif
Suatu sukses organisasi memerlukan strategi efektif yang harus dicapai untuk menuju keberhasilan. Para manajer dan departemen SDM dapat menggunakan insentif dan bagi hasil sebagai alat untuk memotivasi pekerja guna mencapai tujuan organisasi. Sebab, ini merupakan bentuk kompensasi yang berorientasi pada hasil kerja. Sistem insentif menghubungkan kompensasi dan kinerja dengan menilai kinerja yang telah dicapai atau besarnya jumlah jam kerja. Walaupun insentif mungkin sudah diberikan kepada kelompok, mereka sering memberikan penghargaan terhadap individu.
Insentif menurut Rivai (2004) diartikan sebagai bentuk pembayaran yang dikaitkan dengan kinerja dan gain sharing, sebagai pembagian keuntungan bagi karyawan akibat peningkatan produktivitas atau penghematan biaya. Sistem ini merupakan bentuk lain dari kompensasi langsung di luar gaji dan upah yang merupakan kompensasi tetap, yang disebut sistem kompensasi berdasarkan kinerja (pay for performance plan).
Adapun menurut George R. Terry (1972) : "Literally incentive : That which incites our has a tendency to incite action". Seseorang mau bekerja kalau ada pendorong, maka pimpinan harus berupaya mendorong guru agar mau bekerja, insentif memiliki kecenderungan untuk mendorong guru mau bekerja.
Tujuan utama dari insentif adalah untuk memberikan tanggung jawab dan dorongan kepada karyawan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil kerjanya. Sedangkan bagi perusahaan, insentif merupakan strategi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, di mana produktivitas menjadi satu hal yang sangat penting.
Mengenai jenis-jenis insentif, menurut Kast and Risenzwieg bentuk insentif itu dapat berupa : 
"Material rewards or sanction come primarily in the from money (or lack of it), which can be used to buy goods and service. Monetary incentive system. Including power that can be used in organization to influence the behavior or participants. Symbolic means of influencing behavior are those that are not physical or material. They relate primarily to prestige and esteem or love and acceptance."