Search This Blog

TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK

TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK

(KODE : PASCSARJ-0285) : TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan secara historis maupun filosofis telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 dinyatakan pada pasal 3 yaitu : 
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Pendidikan juga merupakan persoalan hidup manusia sepanjang hayatnya, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun sebagai bangsa. Pendidikan telah terbukti mampu mengembangkan sumber daya manusia yang merupakan karunia Allah SWT. serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga kehidupan manusia semakin beradab.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan bagi kehidupan, maka kegiatan pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan melalui kerja sama secara demokratis. UNESCO (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan konsep Islam, yaitu pertama, pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu : a) Learning to know (belajar untuk mengetahui), b) Learning to do (belajar untuk dapat berbuat), c) Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri), dan d) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang lain); kedua, life long learning ( belajar seumur hidup).3 Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultur dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana yang dikatakan Ahmad Watik Pratiknya; bahwa sumber daya manusia yang berkualitas menyangkut tiga dimensi, yaitu : (1) dimensi ekonomi, (2) dimensi budaya, dan (3) dimensi spiritual (iman dan takwa). Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan juga perlu mengacu pada pengembangan nilai tambah.
Sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia (human resources), pada dasarnya pendidikan di sekolah maupun madrasah bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan peserta didik secara utuh, yang meliputi aspek kedalaman spiritual, aspek prilaku, aspek ilmu pengetahuan dan intelektual, dan aspek keterampilan.
Sejalan semakin pesatnya tingkat perkembangan saat ini, maka tuntutan akan ketersediaan sumber daya manusia semakin tinggi. Dengan demikian kualitas yang memadai dan output merupakan sesuatu yang harus dihasilkan oleh sekolah maupun madrasah sebagai satuan pendidikan yang tujuan dasarnya adalah menyiapkan manusia-manusia berkualitas baik secara intelektual, integritas, maupun perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, baik sekolah maupun madrasah harus membekali dirinya dengan kurikulum yang memadai.
Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dirancang untuk mengantarkan siswa kepada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan dan ketakwaan serta kemuliaan akhlak sebagaimana yang tertuang dalam tujuan akan dapat dicapai dengan terlebih dahulu jika siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran agama Islam, sehingga terinternalisasi dalam penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan benar. Kurikulum dan pembelajaran PAI yang dirancang seharusnya dapat menghantarkan siswa kepada pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan tentang agama Islam dengan kemampuan pelaksanaan ajaran serta pengembangan nilai-nilai akhlakul karimah.
Akhir-akhir ini, pendidikan agama Islam dianggap kurang berhasil dalam membentuk sikap dan perilaku akhlak peserta didik serta moralitas etika bangsa. Mochtar Buchari (1992) menilai pendidikan agama gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volatif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat pendidikan agama hanya melahirkan peserta didik yang hanya mampu menghafalkan pelajaran tetapi tidak mau mengamalkan. Terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan ajaran agama, kaya teori dan miskin aplikasi. Sehingga melahirkan peserta didik yang berkemampuan verbal dan kurang memperhatikan nilai-nilai akhlakul karimah. Kenyataan tersebut diperparah dengan kurangnya jam pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran, sementara tuntutannya sangat berat dalam membentuk generasi yang berkepribadian mulia. Pendidikan agama sebagai salah satu kegiatan untuk membangun pondasi mental spiritual yang kokoh, ternyata belum dapat berperan secara maksimal.
Dari fenomena di atas, untuk mengatasi semua persoalan ini; Abudin Nata memberikan solusi yang tepat yaitu dengan menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam kaitan ini, kurikulum tambah atau kegiatan ekstra kurikulum perlu ditambahkan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengalaman agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian kegiatan pendidikan formal dikemas dalam bentuk kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Kurikuler dan kokurikuler telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memfokuskan pada pembelajaran klasikal baik dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada sisi lain, ekstrakurikuler juga harus berjalan sesuai dengan standar yang ada. Ini mengindikasikan bahwa kegiatan ekstrakurikuler sangat menentukan perubahan yang terjadi pada peserta didik dan sangat tergantung dari efektivitas penyelenggaraan kegiatannya.
Dalam hal ini, kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat ditemukan dalam program pengembangan diri. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa pengembangan diri terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu bimbingan konseling dan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan di sekolah melalui wadah organisasi kesiswaan (OSIS/Organisasi Siswa Intra Sekolah). Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam melalui wadah organisasi kesiswaan (OSIS) dapat menciptakan budaya keagamaan di sekolah ?
Melalui kiprah organisasi kesiswaan, peran strategis siswa dapat diaktualisasikan. Organisasi kesiswaan dapat menjadi wahana pembelajaran sesungguhnya, baik dalam kerangka prestasi akademik maupun prestasi non akademik. Organisasi kesiswaan juga dapat mencipta budaya keagamaan dan pentradisian akhlakul karimah. Pokok pangkal sikap yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi organisasi kesiswaan dapat melahirkan kepekaan sosial siswa dalam merespon fenomena sekolah, masyarakat lokal, maupun kebangsaan.
Menelaah kegiatan ekstrakurikuler pada sekolah, kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler keagamaan perlu selalu didorong, sehingga menampakkan kegiatan sekolah yang penuh dengan semangat keagamaan (religious). Dalam artian bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam mengandung unsur pembelajaran yang terdapat di dalamnya kegiatan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam di sekolah akan memberikan banyak manfaat tidak hanya terhadap siswa tetapi juga bagi efektifitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Begitu banyak fungsi dan makna kegiatan ekstrakurikuler dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Hal ini akan terwujud, manakala pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan dengan sebaik-baiknya khususnya pengaturan siswa, peningkatan disiplin siswa dan semua petugas. Biasanya mengatur siswa di luar jam pelajaran lebih sulit dari mengatur mereka di dalam kelas. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler melibatkan banyak pihak, memerlukan peningkatan manajemen yang lebih baik mulai dari perencanaan, pengorganisasian pelaksanaan kegiatan, sampai pada pengevaluasian kegiatan.
Dalam beberapa kegiatan ekstrakurikuler guru terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Keterlibatan ini dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, pengawasan dan pembinaan juga menjaga agar kegiatan tersebut tidak mengganggu atau merugikan aktifitas akademis. Maka dari itu pentingnya buku pedoman organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Budaya Keagamaan dapat membantu tugas guru pembimbing dalam mengembangkan kegiatan organisasi kesiswaan dengan menyusun program kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, suasana yang ada di sekolah.
Sebagaimana peraturan Dirjen Pendidikan Agama Islam (2009) "Bahwa dalam rangka optimalisasi Pendidikan Agama Islam di sekolah perlu dilakukan pengembangan kegiatan ekstrakurikuler. Agar kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah semakin terarah dan tepat sasaran diperlukan pedoman tentang penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler PAI adalah upaya pemantapan, pengayaan, dan perbaikan nilai-nilai serta pengembangan bakat, minat dan kepribadian peserta didik dalam aspek pengamalan dan penguasaan kitab suci, keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, ibadah, sejarah, seni, dan kebudayaan, dilakukan di luar jam intra kurikuler, melalui bimbingan guru PAI, guru mata pelajaran lain, tenaga kependidikan dan tenaga lainnya yang berkompeten, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah".
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di SMK X yang diamati oleh pengembang selama ini, kegiatan ekstrakurikuler hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan sosial semata. Keikutsertaan para siswa dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan biasanya baru terlihat antusias hanya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat perayaan saja atau memperingati hari besar Islam, seperti memperingati Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan peringatan-peringatan lainnya yang bersifat seremonial saja, namun setelah perayaan-perayaan itu berlalu tidak tercermin terbentuknya kepribadian yang sesungguhnya diharapkan melalui kegiatan tersebut.
Dengan mendasarkan pada manajemen organisasi, model pengembangan yang sesuai dengan paparan di atas adalah model Recursive, Reflection, Design and Development, R2D2. Model ini mengamanatkan bahwa pengembangan dilakukan dengan berkolaborasi dalam tim, yang dilakukan secara recursive. Berdasarkan karakteristik dari model R2D2 yang recursive dan fleksibel, maka pedoman guru pembina yang dikembangkan ini menggunakan model R2D2. Pemilihan model R2D2 ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : 1) sifat dari materi yang akan dikembangkan bukanlah merupakan hal yang bersifat prosedural, 2) pedoman dikembangkan berdasarkan adanya permasalahan yang ada di lapangan, sehingga sifatnya adalah bottom-up, 3) adanya perubahan-perubahan yang bersifat dinamis dalam perkembangan keilmuan dibidang manajemen kegiatan organisasi, 4) dalam pengembangan pedoman ini mengikutsertakan pengguna (ket; guru) dalam proses desain dan pengembangan khususnya untuk merancang program kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Budaya Keagamaan yang akan disajikan. Berbagai macam pertimbangan atas permasalahan di atas, pengembang merasa perlu mengembangkan pedoman bagi guru pembina dengan menggunakan teori model pengembangan R2D2.

B. Rumusan Masalah
Terkait dengan konteks penelitian yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang dijadikan dasar pada pengembangan ini adalah : belum adanya buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X. Berdasarkan masalah tersebut, maka rumusan masalah pengembangan manajemen melalui buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agam Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X dirumuskan sebagaimana di bawah ini : 
1. Bagaimana proses penyusunan buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan ?
2. Bagaimana implementasi buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X ?

C. Tujuan Pengembangan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini tujuannya : 
1. Mendeskripsikan langkah-langkah pengembangan buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X.
2. Mendeskripsikan implementasi buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan melalui ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X.

D. Manfaat Pengembangan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis, praktis maupun institusional. Secara teoritis, penelitian ini akan berguna sebagai bahan masukan bagi pengembangan tentang model manajemen kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler PAI dalam pembinaan budaya keagamaan di sekolah.
Secara praktis, hasil penelitian ini menjadi bahan masukan berharga bagi pemerintah, para praktisi pendidikan, kepala sekolah, para pendidik, dan para pemerhati pendidikan Islam terutama sekolah untuk melakukan penelitian lebih mendalam, guna memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kegiatan ekstrakurikuler melalui wadah organisasi kesiswaan sekolah.
Adapun secara institusional, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif bagi beberapa pihak diantaranya : 
1. Bagi sekolah
Bagi SMK X, penelitian pengembangan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
a. Tersedianya contoh model pengembangan kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan.
b. Langkah-langkah pengembangan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh guru Pembina organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam memperbaiki proses manajemen kegiatan.
2. Bagi almamater
Untuk mengembangkan kajian keilmuan Manajemen Pendidikan Islam.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya terlebih tentang pengembangan model manajemen organisasi kesiswaan dan kegiatan ekstrakurikuler PAI dalam pembinaan budaya agama di sekolah.

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SDN

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SDN

(KODE : PASCSARJ-0284) : TESIS STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SDN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Upaya peningkatan mutu merupakan agenda setiap institusi pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hardjosoedarmo (2004), "Berkembangnya tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap mutu layanan jasa pendidikan merupakan sebuah tantangan baru bagi setiap institusi atau lembaga pendidikan di tengah kondisi persaingan yang semakin ketat. Untuk mempertahankan eksistensinya, setiap institusi pendidikan harus memiliki daya saing yang ditunjukkan melalui peningkatan mutu layanannya."
Pada era globalisasi pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu penentu mutu sumber daya manusia. Dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia yang berkorelasi positif dengan mutu pendidikan. Mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan. Komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila input, proses, output, guru, sarana dan prasarana serta biaya pada seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab.
Sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan stakeholder mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peningkatan mutu pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu kegiatan dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan selalu berubah seiring dengan perubahan jaman. Oleh karena itu pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan peningkatan mutu sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan kehidupan masyarakat.
Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu. 
Menurut Syaodih (dalam Mulyasa 2006), Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia (seperti administrator, guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu dan professional), sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, sumber belajar yang memadai, biaya yang mencukupi, manajemen dan strategi yang tepat serta lingkungan yang mendukung. Jika komponen berfungsi optimal akan menentukan terciptanya sekolah yang memiliki mutu lulusan yang unggul, yaitu mutu peserta didik yang mempunyai kemampuan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Keberhasilan sekolah ditingkat pendidikan dasar biasanya dilihat dari hasil Ujian Nasional (UN) yang diperoleh. Kalau sekolah sukses meluluskan siswanya 100% dengan nilai rata-rata UN bagus, maka dikatakan sekolah itu cukup bermutu.
Menurut Maswir (2009) dikatakan bahwa sebuah prestasi dari sekolah, dapat dilihat dari hasil Ujian Nasional (UN) dan input dari sekolah tersebut. Mengukur sebuah prestasi sekolah dengan membandingkan input dengan output. Sekolah yang dapat memproses peserta didik dalam memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lebih tinggilah yang berprestasi. Karena pendidikan itu adalah proses, maka mengukurnya juga dari proses yang telah dilakukan.
Hasil penelitian Dedi Cristiawan (2004) tentang Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Tulungagung menyatakan bahwa langkah-langkah yang digunakan adalah 1) Melakukan strategi mencari siswa yang berkualitas, 2) Melakukan strategi keseimbangan antara sekolah dengan siswa dan mengurangi friksi dan menjalin kerjasama yang baik, 3) Melakukan strategi diversifikasi dengan menciptakan jaringan kerja antar lembaga sekolah dengan lembaga dibawahnya, 4) Menciptakan strategi defensive (pertahanan) terhadap kondisi dalam menghadapi era globalisasi dan persaingannya. Namun diantara 4 strategi tersebut yang paling berperan dalam peningkatan mutu sekolah adalah strategi mencari siswa yang berkualitas dengan menerapkan strategi agresif menjemput bola dalam mendapat siswa yang berkualitas.
Berbeda dengan Munirul (2008), ada beberapa strategi yang digunakan oleh MTsN Babat Lamongan dalam meningkatkan mutu pendidikannya yaitu : peningkatan mutu akademis, peningkatan mutu guru/profesionalisme guru dan tenaga kependidikan lainnya, peningkatan mutu sarana dan prasarana, serta peningkatan hubungan dengan masyarakat. Namun ada beberapa hal yang belum terpenuhi dalam strategi tersebut yaitu tidak dibentuknya tim pengendali dan tim yang mengevaluasi terhadap pelaksanaan strategi tersebut.
Sedangkan Baharun, (2006) menambahkan bahwa strategi meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Pesantren Jadid Paiton Probolinggo meliputi (1) Sinkronisasi kurikulum pada lembaga pendidikan formal dan non formal, (2) mengimplementasikan manajemen berbasiskan mutu, (3) standarisasi (kualifikasi) tenaga kependidikan, (4) participative decision making, (5) pemberdayaan stake holder, (6) evaluasi kerja program, dan (7) mengimplementasikan strategi promosi (syiar) pesantren. Dari pelaksanaan strategi manajemen di pondok pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo tersebut, sangat efektif dalam meningkatkan prestasi santri dalam bidang akademik maupun non akademik, perilaku civitas pesantren yang Islami, kepercayaan stake holder bertambah, dan jumlah santri yang terus meningkat.
Berdasarkan kajian latar belakang dan penelitian sebelumnya maka penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah strategi peningkatan mutu pendidikan di SDN X sama dengan penelitian sebelumnya atau ada hal-hal serupa.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : "Bagaimanakah strategi peningkatan mutu pendidikan di SDN X ?"

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi peningkatan mutu pendidikan di SDN X. 

D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk : 
1. Mengembangkan ilmu manajemen khususnya dibidang pengembangan manajemen pendidikan.
2. Memberikan kontribusi akademis dalam upaya peningkatan dan pengembangan ilmu pendidikan khususnya di bidang peningkatan mutu pendidikan di sekolah. 
3. Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah sehingga sekolah tersebut dapat lebih maju.

TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK

TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK

(KODE : PASCSARJ-0283) : TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.677 buah pulau besar dan kecil yang ditempati sebagai pemukiman penduduk. Dengan wilayah yang terpisah-pisah ini memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat dalam satu pulau terpisah pergaulannya dengan pulau yang lain. Sehingga berkembang struktur budaya yang beraneka ragam. Pulau Bali secara geografis terletak diantara dua pulau dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yakni pulau Jawa dan gugusan pulau Nusa Tenggara Barat (NTB). Mayoritas penduduk pulau Bali sendiri beragama Hindu, dengan demikian kemungkinan untuk terjadinya asimilasi kebudayaan semakin besar.
Berdasarkan data tersebut, bisa dipastikan bahwa pulau Bali memiliki kekayaan baik alam, maupun kebudayaan. Hal ini berimbas kepada dunia pendidikan, dimana pemerintah daerah mempunyai otonomi dalam pengelolaan peraturan pendidikan. Sebagai daerah mayoritas penduduk pemeluk agama Hindu, Bali juga dituntut merespon lebih sensitif keberadaan masyarakat lain yang berada di Bali namun memeluk agama selain Hindu. Kebijakan-kebijakannya dalam dunia pendidikan juga mempertimbangkan kebutuhan pendidikan keagamaan umat lain. Bali menjamin bahwa setiap penduduk di daerahnya telah diberikan fasilitas dan media/sarana bagi kebutuhan rohani umat lain.
Landasan hukum pemenuhan pendidikan agama bagi setiap penduduk Indonesia adalah pertama; UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu". Kedua; UUD 1945 pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang". Ketiga; Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan : "Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri". Keempat; Tap MPRS No. 27 tahun 1966 menetapkan bahwa "Agama, pendidikan dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building, sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap murid/peserta didik sesuai dengan agama masing-masing".
Kelima; UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan seterusnya. Hal tersebut diperkuat dengan Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi "Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, raj in beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Jaminan pemerintah terhadap pemenuhan pendidikan agama bagi setiap penduduk Indonesia teraktualisasi dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan di sekolah. Termasuk di dalamnya adalah pemenuhan pendidikan agama Islam bagi daerah minoritas berpenduduk Muslim seperti Propinsi Bali. Pentingnya pemenuhan kebutuhan Pendidikan Agama Islam bagi penduduk Muslim minoritas di pulau Bali, sejatinya merupakan usaha internalisasi pemahaman unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika) dan internal diversity (perbedaan dalam internal agama) yang memang tidak bisa dihindarkan lagi. Bahkan Muhaimin menyebutkan bahwa pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam mengembangkan pandangan hidup Islami (bagaimana akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam), sikap hidup Islami, yang dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari.
Pendidikan agama (Islam) di sekolah pada dasarnya berusaha untuk membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan terutama pada aspek pemahaman tentang agama. Dengan kata lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama (Islam) bukan knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui) setelah diajarkan di sekolah, tetapi justru mengutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Hal ini sejalan dengan esensi Islam adalah sebagai agama amal atau kerja (praksis). Kesadaran akan besarnya pengaruh agama bagi pembentukan warga negara telah terwujud dengan menjadikan agama sebagai mata pelajaran yang wajib bagi semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Keberadaan agama sebagai mata pelajaran didukung oleh Undang-Undang 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Maka harapan yang muncul ialah pelajaran agama dijadikan tumpuan untuk membentuk moralitas dan kepribadian yang religius.
Moral adalah keterikatan spiritual pada norma-norma yang telah ditetapkan, baik yang bersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau berasal dari tradisi berfikir secara ilmiah. Keterikatan spiritual tersebut akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan (norma) yang akan menjadi pijakan utama dalam menentukan pilihan, pengembangan perasaan dan dalam menetapkan suatu tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Muhaimin bahwa pendidikan agama masih gagal disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dan mengabaikan aspek afektif dan akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan agama dan pengamalannya. Sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Dengan landasan hukum penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah Indonesia, maka Bali sebagai salah satu Propinsi di Indonesia pun ikut berpartisipasi dalam rangka pemenuhan pendidikan agama tersebut yang tidak saja dilaksanakan demi pemenuhan visi dan misi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga demi melihat urgensi penyelenggaraan pendidikan agama tersebut. Namun sejalan dengan kerangka idealis bagi penyelenggaraan pendidikan agama di Bali, realitasnya bahwa sistem birokrasi otonomi daerah turut membawa andil yang besar bagi terlaksananya penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah pusat. Berbagai perisiwa yang terjadi di Bali terkait dengan terganggunya keamanan dan kenyamanan daerah tersebut, salah satu penyebabnya adalah agama sebagai pemicu. Latar belakang agama sebagai kambing hitam atas terjadinya kerusuhan di Bali juga melanda seluruh negara bagian di dunia.
Penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah Indonesia, dan adanya sistem birokrasi otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah kurang memaksimalkan perhatiannya akan pentingnya penyelenggaraan pendidikan agama (selain agama Hindu) di Bali. Faktor lain bagi kurangnya pelaksanaan jaminan tersebut adalah kuantitas peserta didik pada lembaga pendidikan di bawah naungan Diknas pada semua jenjang pendidikan, terlebih pada sekolah menengah atas/kejuruan. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya yang dilakukan pemerintah pusat adalah dengan melakukan pendataan peserta didik yang dibedakan berdasarkan latar belakang agamanya masing-masing, untuk kemudian mendapat bantuan guru Pendidikan Agama Islam dari Departemen Agama. Namun, hal tersebut juga mengalami kendala di tingkatan penerimaan secara individual.
Masalah semacam itu terjadi, disebabkan rendahnya kesadaran pluralism dan multikultural bagi masyarakat sekitar, tentu saja kurangnya sosialisasi di tingkat yang lebih atas, yakni pendidikan di Indonesia pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan agama pada lingkungan sekolah pun kemudian menjadi overlapping dengan konsep pluralism dan multikultural. Untuk menyamakan pelaksanaan pendidikan agama yang sesuai standar mutu proses belajar mengajar dengan wilayah lain di Indonesia, sangat sulit dilakukan. Sebab, mau tidak mau, waktu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar PAI juga harus mengalami adaptasi dengan situasi dan kondisi daerah sekitarnya. Maka tenaga praktisi pendidikan dan pihak lain yang concern dan peduli terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Bali-lah yang kreatif, inovatif, dan jeli dalam usahanya untuk mensejajarkan kualitas PAI dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
Sebagai salah satu cara membumikan pluralism dan multikultural, maka pengembangan budaya agama di sekolah dirintis sebagai arah dan implementasi pendidikan agama (Islam) di bumi Bali. Hal ini menjadi hal yang sedemikian penting mengingat betapa rawannya tindak kriminalitas, kerusuhan dan intrik-intrik yang terjadi dengan ras sebagai penyebab utamanya. Setelah melakukan refleksi dari hasil pengamatan selama mengajar dari berbagai sekolah menengah atas di Kabupaten X, maka penulis tertarik meneliti gagasan pengembangan budaya agama di sekolah yang dimulai dengan merekonstruksi beberapa kebiasaan berlatar kultur sekolah setempat.
Ruang lingkup budaya agama (religious culture) di sekolah meliputi kebiasaan mengucapkan salam, memakai busana Muslim (memakai jilbab bagi siswi Muslim), membaca Al Quran sebagai rutinitas awal sebelum dimulainya proses belajar mengajar, terciptanya kebiasaan shalat duha, kebiasaan shalat berjamaah, budaya tawaddlu', budaya bersih, budaya toleransi (tasamuh), budaya jujur, dan lain sebagainya. Hampir semua sekolah menerapkan medan budaya religious culture tersebut. Terlebih di sekolah yang berlokasi dengan penduduk mayoritas Muslim. Sehingga religious culture yang tercitrakan merujuk pada satu agama yakni Islam. Hal tersebut tidak berlaku pada daerah dengan minoritas Muslim. Sebagaimana diungkapkan Zainuddin bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari pelbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya, maupun agama. Beliau menambahkan bahwa pluralitas merupakan realitas dan keniscayaan bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan agama sendiri menurut Riaz Hassan merupakan sistem keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat. Suparlan mengatakan, agama dilihat dari sudut kebudayaan adalah agama sebagai sistem simbol suci yang ada dalam kebudayaan, serta bagaimana sistem simbol-simbol suci tersebut digunakan sebagai pedoman dalam menghadapi lingkungan sehari-hari.
Merujuk pada pernyataan Zainuddin bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, maka dalam konteks setting sosial, Salie Abraham menjelaskan bahwa Propinsi Bali masuk dalam kategori pluralisme kontekstual (contextual pluralism). Propinsi Bali, lebih khusus lagi Kabupaten X dengan mayoritas penduduk Hindu, termasuk ke dalam wilayah dengan kategori pluralism kontekstual, menyebabkan banyak medan budaya agama (religious culture space) hanya bisa dilakukan sebagai kultur pada tingkatan akhlak. Sedangkan pada tingkatan fiqih namun terintegrasi kepada wilayah akhlak bisa terlihat dalam kultur sekolah melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar. Pembiasaan diri tersebut masih berpijak pada agama mayoritas, yakni Hindu, mengingat Bali khususnya Kabupaten X merupakan kategori pluralism kontekstual seperti yang telah disebutkan di atas.
Selama bertahun-tahun, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah di Bali (khususnya Kabupaten X), selalu dimulai dengan kebiasaan melakukan doa bersama. Hal tersebut dilakukan di berbagai tempat, baik dilakukan di lapangan bersama seluruh Civitas Akademika sekolah maupun dilaksanakan di kelas-kelas. Mereka semua membaca trisandya dan bagi pemeluk agama lain di tempat yang sama dipersilahkan untuk menundukkan kepala dan membaca doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing sebagai wujud penghormatan terhadap pemeluk agama mayoritas. Akibat dari kultur seperti ini yang dilakukan selama bertahun-tahun sebagai sebuah kebiasaan, maka peserta didik yang beragama selain Hindu menjadi terdoktrin dengan trisandya.
Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu dimana agama Hindu melakukan ritual keagamaan pada hari-hari besar keagamaannya, umat agama lain tentu saja berperan serta, karena kebijakan sekolah mengacu pada kebijakan pemerintah daerah tidak pernah menyentuh kebijakan pendidikan pada momen-momen keagamaan seperti itu bagi pemeluk agama lain. Setiap bulan pada tanggal 15 (penanggalan tahun Saka), oleh umat Hindu Bali biasa diperingati sebagai hari raya purnama. Pada hari tersebut seluruh umat Hindu melakukan persembahyangan di Pura. Tak terkecuali di sekolah-sekolah yang ada di kabupaten X. SMKN X pun menyelenggarakan doa bersama di Pura sebagai wujud memperingati hari raya purnama. Warga SMKN X diharuskan memakai pakaian adat umat Hindu, mereka melakukan persembahyangan sebelum pembelajaran dengan mengambil waktu yang lebih lama daripada rutinitas pembiasaan doa bersama sebelum belajar di SMKN X. Tiga sampai empat jam pertama dikosongkan untuk berdoa bersama di Pura.
Kebiasaan yang dilakukan seperti di atas, menjadi sebuah hidden indoktrinasi yang bias pluralism dan multikultural. Kebiasaan yang membawa Membaca tantra atau mantra tertentu yang berasal dari Weda, sebagai wujud doa verbal bagi umat Hindu yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari.
Bercermin dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis menjadi tertarik untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah. Efektifitas pendidikan agama Islam yang diinternalisasikan dalam pengembangan religious culture dilakukan melalui pembiasaan berdoa bersama sebelum memulai aktifitas pembelajaran di sekolah. Pengembangan budaya agama melalui pembiasaan diri berdoa bersama merupakan hal yang biasa terjadi di wilayah-wilayah Indonesia selain Bali. Dan pembiasaan diri tersebut tidak hanya dilakukan pada saat memulai aktifitas pembelajaran di sekolah tetapi juga ketika mengakhiri pembelajaran, bahkan pada momen-momen tertentu. Namun, hal tersebut tidak terjadi di sekolah-sekolah di Bali. Tidak semua sekolah menerapkan pembacaan doa sebelum dan setelah aktifitas pembelajaran, termasuk di SMKN X.
Pentingnya melakukan pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah karena sekolah adalah tempat untuk belajar dan mengembangkan diri, sedangkan doa adalah pengait spiritual antara manusia, Tuhan dan usahanya dalam hidup salah satunya adalah belajar. Belajar menurut Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam suatu situasi. Bahkan menurut Thursan Hakim belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan kemampuan.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disintesiskan bahwa belajar adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai bidang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungannya. Jika di dalam proses belajar tidak mendapatkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengalami kegagalan di dalam proses belajar. Sedangkan aktifitas doa merupakan bagian dari proses komunikasinya manusia kepada Pencipta-nya. Bagi masyarakat yang beragama, berdoa merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan kelompok. Dimana tujuan berdoa diantaranya adalah memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT, agar selamat dunia akhirat, untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT, meminta perlindungan Allah SWT dari setan yang terkutuk.
Dalam kehidupan pribadi, kita berdoa setelah selesai sholat, atau sembahyang, sebelum dan setelah belajar atau bekerja, dan lain sebagainya. Berdoa sebelum belajar yang biasanya dilakukan oleh siswa di SMKN X, menjadi salah satu metode pengembangan religious culture di sekolah. Di samping itu, kegiatan berdoa bersama sebelum belajar merupakan bagian dari proses pembelajaran pendidikan keagamaan. Selain itu, kegiatan tersebut menjadi salah satu kepustakaan bagi kehidupan religious culture di sekolah, mengingat Bali termasuk kategori plural kontekstual dimana umat Islam sebagai minoritas. Penelitian tindakan sekolah melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar dengan cara memisahkan ruang dan tempat berdasarkan latar belakang agama dan kepercayaan siswa ini penting dilakukan mengingat komunitas SMKN X yang terdiri dari beragam pemeluk agama.
Penulis menyadari betapa besar kendala merekonstruksi kebiasaan yang menjadi kultur sekolah di Bali khususnya di SMKN X. Dan apabila upaya merekonstruksi kebiasaan tersebut melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah bisa dilaksanakan, maka hal ini menjadi penelitian pertama dalam upaya pengembangan religious culture di Kabupaten X dan di Propinsi Bali. Maka atas dasar pengembangan religious culture berbasis pendidikan multikultur dan plural di sekolah, peneliti meneliti sekaligus merekonstruksi kultur sekolah dalam upaya sosialisasi pluralism, multikultural dan mensistemikkan budaya agama di sekolah.
Penelitian tindakan sekolah ini juga ingin melihat apakah dampak yang terjadi pada perubahan tingkah laku pada siswa ketika diberlakukan pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar pada skala mikro. Dan untuk melihat pengaruh yang terjadi pada lingkungan sekolah dalam skala makro.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti melakukan penelitian tindakan sekolah dengan memfokuskan penelitian pada pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian pada "Pengembangan Religious Culture melalui Manajemen Pembiasaan Diri Berdoa Bersama sebelum Belajar di SMKN X". Fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pengembangan religious culture di SMKN X melalui manajemen pembiasaan diri berdoa sebelum belajar di sekolah ?
2. Apakah dampak pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah terhadap perilaku siswa di SMKN X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Memahami dan mendeskripsikan pengembangan religious culture di SMKN X melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah.
2. Memahami dan mendeskripsikan bagaimana metode pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah dapat mengembangkan religious culture di SMKN X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian tindakan sekolah yang dilakukan peneliti dalam pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi beberapa pihak, baik secara teoritis maupun praktis. Sehingga manfaat yang diharapkan diantaranya : 
1. Teoritis
a. Pengembangan ilmu manajemen pendidikan terutama berkenaan dengan masalah penelitian tindakan sekolah untuk merubah kultur sekolah menuju kepada pengembangan religious culture di sekolah yang memberikan implikasi praktis bagi penyelenggaraan pendidikan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efisien, efektif dan produktif.
b. Diharapkan dapat menjadi pegangan, rujukan atau sebagai masukan bagi para pendidik, praktisi pendidikan, pengelola lembaga pendidikan yang memiliki kesamaan karakteristik.
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian serupa di masa yang akan datang. Juga sebagai pembanding sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian dan membuka peluang bagi ditemukannya teori-teori baru yang berkaitan dengan hal tersebut.
2. Praktis
Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah yang bersangkutan dan warga sekolah tentang pentingnya pengembangan religious culture melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, perubahan perilaku siswa, dan perubahan kultur sekolah berbasis multikultural untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan sekolah dan masyarakat (stakeholders).
3. Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya terlebih tentang pengembangan religious culture di daerah yang mempunyai karakteristik sama dengan Kabupaten X, dimana Bali merupakan daerah dengan kategori plural kontekstual.

JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 3

JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 3

JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 3

  • (KODE : PSIKOLOG-0163) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0164) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPUASAN KERJA DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN (STUDI DI PT PLN)
  • (KODE : PSIKOLOG-0165) : SKRIPSI KORELASI ANTARA KEBIASAAN BELAJAR EFEKTIF DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA
  • (KODE : PSIKOLOG-0166) : SKRIPSI KONSEP DIRI ANAK PANTI ASUHAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0167) : SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU BULLYING
  • (KODE : PSIKOLOG-0168) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DENGAN DEPRESI PADA REMAJA
  • (KODE : PSIKOLOG-0169) : SKRIPSI PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN PADA MAHASISWA PUTRI
  • (KODE : PSIKOLOG-0170) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK
  • (KODE : PSIKOLOG-0171) : SKRIPSI KECEMASAN WANITA KARIER TERHADAP PERAN GANDA DITINJAU DARI DUKUNGAN SOSIAL SUAMI
  • (KODE : PSIKOLOG-0172) : SKRIPSI CHILD ABUSE PADA ANAK KORBAN TRAFFICKING
  • (KODE : PSIKOLOG-0173) : SKRIPSI PEMAKNAAN MENTORING KEISLAMAN UNTUK INTERNALISASI NILAI INTEGRITAS PEGAWAI
  • (KODE : PSIKOLOG-0174) : SKRIPSI HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI MAHASISWA
  • (KODE : PSIKOLOG-0175) : SKRIPSI PENGARUH TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KEHARMONISAN RUMAH TANGGA PADA SUAMI ISTRI
  • (KODE : PSIKOLOG-0176) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TERITORIALITAS RUANG KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA DI UPTD
  • (KODE : PSIKOLOG-0177) : SKRIPSI KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA AUTISME DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH FORMAL DI SD
  • (KODE : PSIKOLOG-0178) : SKRIPSI PERBEDAAN HUMAN CAPITAL SKILL DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA BERDASARKAN JENIS KELAMIN DAN INTELIGENSI
  • (KODE : PSIKOLOG-0179) : SKRIPSI PENGARUH ABSENSI IBU DALAM KELUARGA TERHADAP KENAKALAN REMAJA
  • (KODE : PSIKOLOG-0180) : SKRIPSI PENGARUH ONE STOP SERVICE TERHADAP KEPUASAN KELUARGA PASIEN INSTALASI GAWAT DARURAT
  • (KODE : PSIKOLOG-0181) : SKRIPSI HUBUNGAN PERSEPSI LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0182) : SKRIPSI PENERAPAN HUMAN RELATION DALAM PENCIPTAAN BUDAYA ORGANISASI YANG EFEKTIF
  • (KODE : PSIKOLOG-0183) : SKRIPSI HUBUNGAN PENERIMAAN PEER GROUP DENGAN RASA PERCAYA DIRI REMAJA SMP
  • (KODE : PSIKOLOG-0184) : SKRIPSI PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TENTANG KONSEP KEADILAN DALAM POLIGAMI
  • (KODE : PSIKOLOG-0185) : SKRIPSI PENGARUH KONSELING SEBAYA TERHADAP PROBLEM SOLVING SISWA MTSN
  • (KODE : PSIKOLOG-0186) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN ZOOFOBIA
  • (KODE : PSIKOLOG-0187) : SKRIPSI PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTIS
  • (KODE : PSIKOLOG-0188) : SKRIPSI KORELASI ANTARA CITRA BADAN DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA DI SMA
  • (KODE : PSIKOLOG-0189) : SKRIPSI PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP TINGKAT KOMPETENSI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH
  • (KODE : PSIKOLOG-0190) : SKRIPSI PENGARUH PERILAKU ASERTIF TERHADAP HUBUNGAN INTERPERSONAL PADA SISWA SMK
  • (KODE : PSIKOLOG-0191) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MENONTON FILM PORNO PADA REMAJA
  • (KODE : PSIKOLOG-0192) : SKRIPSI HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SISWA SMA
  • (KODE : PSIKOLOG-0193) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PROFESIONALITAS GUIDE DENGAN KEPUASAN KONSUMEN
  • (KODE : PSIKOLOG-0194) : SKRIPSI HUBUNGAN PENEMPATAN KARYAWAN DENGAN PRESTASI KERJA KARYAWAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0195) : SKRIPSI POLA ASUH ORANG TUA ANAK BERPRESTASI AKADEMIK DI SEKOLAH (STUDI PADA SISWA SD PLUS)
  • (KODE : PSIKOLOG-0196) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP KAUM WARIA
  • (KODE : PSIKOLOG-0197) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA KELAS VIII
  • (KODE : PSIKOLOG-0198) : SKRIPSI HIPNOSIS DITINJAU DARI PARADIGMA PSIKOLOGI ISLAMI
  • (KODE : PSIKOLOG-0199) : SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN EDUKATIF TERHADAP KREATIVITAS VERBAL PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SD
  • (KODE : PSIKOLOG-0200) : SKRIPSI HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN SELF REGULATION PADA SISWA KELAS VII
  • (KODE : PSIKOLOG-0201) : SKRIPSI HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA BERBAKAT AKSELARASI SMA
  • (KODE : PSIKOLOG-0202) : SKRIPSI TATO SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL
  • (KODE : PSIKOLOG-0203) : SKRIPSI PENGARUH MOTIVATION FACTOR DAN MAINTENANCE FACTOR TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI
  • (KODE : PSIKOLOG-0204) : SKRIPSI KORELASI ANTARA KECERDASAN EMOSI TERHADAP BURNOUT PADA PERAWAT RS
  • (KODE : PSIKOLOG-0205) : SKRIPSI EFEKTIVITAS JIGSAW LEARNING TERHADAP PEMBENTUKAN PERILAKU PROSOSIAL SANTRI
  • (KODE : PSIKOLOG-0206) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA KELAS VII DAN VIII
  • (KODE : PSIKOLOG-0207) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEBERAGAMAAN DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK PADA REMAJA
  • (KODE : PSIKOLOG-0208) : SKRIPSI SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH DI SMA
  • (KODE : PSIKOLOG-0209) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN STRATEGI COPING STRES DALAM MENGALAMI KESULITAN BELAJAR
  • (KODE : PSIKOLOG-0210) : SKRIPSI HUBUNGAN KEBERMAKNAAN HIDUP DENGAN PENERIMAN DIRI PADA ORANG TUA YANG MEMASUKI MASA LANSIA
  • (KODE : PSIKOLOG-0211) : SKRIPSI KEBAHAGIAAN PADA PEMIMPIN PEREMPUAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0212) : SKRIPSI PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING REMAJA DI SMK
  • (KODE : PSIKOLOG-0213) : SKRIPSI HUBUNGAN KOHESIVITAS KELOMPOK DENGAN TINGKAT RELIGIUSITAS PENGURUS OSIS MAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0214) : SKRIPSI DINAMIKA KEPRIBADIAN REMAJA YANG MENGALAMI BROKEN HOME DI SMP
  • (KODE : PSIKOLOG-0215) : SKRIPSI HUBUNGAN SUGESTI TENTANG SUNTIK HIV-AIDS DENGAN MINAT KONSUMEN MENGUNJUNGI MATOS
  • (KODE : PSIKOLOG-0216) : SKRIPSI HUBUNGAN MINAT MENONTON TAYANGAN FILM KARTUN LAGA DI TELEVISI DENGAN AGRESIVITAS SISWA SD
  • (KODE : PSIKOLOG-0217) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA
  • (KODE : PSIKOLOG-0218) : SKRIPSI PERAN GLENN DOMAN SEBAGAI METODE PEMBELAJARAN MEMBACA PADA ANAK YANG MENGALAMI CEDERA OTAK
  • (KODE : PSIKOLOG-0219) : SKRIPSI HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTAR KARYAWAN TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0220) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA AWAL TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI DI SMP
  • (KODE : PSIKOLOG-0221) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN EMOSI NEGATIF MAHASANTRI YANG MENGALAMI PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)
  • (KODE : PSIKOLOG-0222) : SKRIPSI HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEMANDIRIAN SANTRI DI PESANTREN
  • (KODE : PSIKOLOG-0223) : SKRIPSI HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN AKTUALISASI DIRI DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PEGAWAI DINAS PENDIDIKAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0224) : SKRIPSI PERBEDAAN MOTIVASI BELAJAR SISWA YANG BERASAL DARI KELUARGA UTUH DENGAN KELUARGA BROKEN HOME DI MTS
  • (KODE : PSIKOLOG-0225) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEBUTUHAN BERAFILIASI DENGAN RASA KEPERCAYAAN DIRI PADA REMAJA DI MA
  • (KODE : PSIKOLOG-0226) : SKRIPSI HUBUNGAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KARIER TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0227) : SKRIPSI PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL YANG BAIK DALAM MENUMBUHKAN KOMITMEN ORGANISASI PEGAWAI
  • (KODE : PSIKOLOG-0228) : SKRIPSI PENGARUH KREATIVITAS VERBAL TERHADAP KETRAMPILAN BERBICARA MAHASISWA
  • (KODE : PSIKOLOG-0229) : SKRIPSI PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL REMAJA YANG TINGGAL BERSAMA ORANG TUA DENGAN REMAJA YANG TINGGAL DI PONDOK PESANTREN
  • (KODE : PSIKOLOG-0230) : SKRIPSI TRADISI DOA SETELAH SHOLAT FARDHU DAN KESEHATAN MENTAL SANTRI PUTRA
  • (KODE : PSIKOLOG-0231) : SKRIPSI IMPLEMENTASI MODEL HOMESCHOOLING DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR ANAK
  • (KODE : PSIKOLOG-0232) : SKRIPSI PERBEDAAN PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL SISWA SMK DAN MAHASISWA
  • (KODE : PSIKOLOG-0233) : SKRIPSI HUBUNGAN DISIPLIN KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PDAM
  • (KODE : PSIKOLOG-0234) : SKRIPSI MOTIVASI BELAJAR DITINJAU DARI PERSEPSI SISWA TERHADAP GURU DAN TEMAN SEBAYA
  • (KODE : PSIKOLOG-0235) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DI MA
  • (KODE : PSIKOLOG-0236) : SKRIPSI HUBUNGAN MEDIA IKLAN DENGAN KEPUTUSAN MEMBELI HANDPHONE CHINA
  • (KODE : PSIKOLOG-0237) : SKRIPSI PERKEMBANGAN MORAL REASIONING PELAKU KEJAHATAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0238) : SKRIPSI PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN IBU HAMIL ANTARA PERSALINAN CAESAR DENGAN NORMAL
  • (KODE : PSIKOLOG-0239) : SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP INTENSITAS TEMPER TANTRUM PADA ANAK AUTIS
  • (KODE : PSIKOLOG-0240) : SKRIPSI PENGARUH MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA DI MTS
  • (KODE : PSIKOLOG-0241) : SKRIPSI PENGARUH MODEL FILE KOMPUTER TERHADAP KEMAMPUAN MENGINGAT AYAT AL-QURAN PADA SANTRI TPQ
  • (KODE : PSIKOLOG-0242) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN KOMITMEN ORGANISASI PADA PERAWAT
  • (KODE : PSIKOLOG-0243) : SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP FORGIVENESS (MEMAAFKAN) DENGAN SELF-MATURITY (KEMATANGAN DIRI) PADA MAHASISWA PSIKOLOGI
  • (KODE : PSIKOLOG-0244) : SKRIPSI PENGARUH PENCIPTAAN SUASANA RELIGIUS TERHADAP KESEHATAN MENTAL DI PANTI ASUHAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0245) : SKRIPSI TRANSINTERNALISASI NILAI (IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI DI SD)
  • (KODE : PSIKOLOG-0246) : SKRIPSI KONDISI EMOSI TIM PENYIDIK KETIKA MELAKUKAN TAHAP PEMERIKSAAN DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK POLRESTA
  • (KODE : PSIKOLOG-0247) : SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS X SMK
  • (KODE : PSIKOLOG-0248) : SKRIPSI PENGARUH KOHESIVITAS KELOMPOK KERJA TERHADAP SEMANGAT KERJA KARYAWAN DI PT X
  • (KODE : PSIKOLOG-0249) : SKRIPSI PENGARUH KONSEP DIRI DAN ZUHUD TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI SANTRI
  • (KODE : PSIKOLOG-0250) : SKRIPSI POLA MENGINGAT PADA TUNANETRA PENGHAFAL AL-QURAN
  • (KODE : PSIKOLOG-0251) : SKRIPSI PERBEDAAN PENILAIAN TERHADAP HUKUMAN PELAKU PEMERKOSAAN DITINJAU DARI JENIS KELAMIN
  • (KODE : PSIKOLOG-0252) : SKRIPSI DINAMIKA MENTAL PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG RENCANA PEMBUBARAN LOKALISASI
  • (KODE : PSIKOLOG-0253) : SKRIPSI PENGARUH GAYA KELEKATAN THD PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA BARU
  • (KODE : PSIKOLOG-0254) : SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU AGRESIF PADA SUPORTER SEPAK BOLA
  • (KODE : PSIKOLOG-0255) : SKRIPSI PENGARUH PENGETAHUAN MENSTRUASI TERHADAP KECEMASAN MENGHADAPI MENSTRUASI PADA SISWI KELAS V DAN VI
  • (KODE : PSIKOLOG-0256) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP KARAKTERISTIK GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN SELF DISCLOSURE SISWA SMP
  • (KODE : PSIKOLOG-0257) : SKRIPSI PERBEDAAN IMPULSE BUYING PRODUK FASHION MUSLIMAH PADA ANGGOTA KOMUNITAS HIJABERS DAN NON-HIJABERS
  • (KODE : PSIKOLOG-0258) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA DIMENSI KEPRIBADIAN MARSTON DAN KOHESIVITAS TIM KERJA
  • (KODE : PSIKOLOG-0259) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KETIDAKPUASAN AKAN BENTUK TUBUH DENGAN LOCUS OF CONTROL PADA REMAJA WANITA
  • (KODE : PSIKOLOG-0260) : SKRIPSI PENGARUH KEMATANGAN PRIBADI TERHADAP PENYESUAIAN DIRI REMAJA SISWA SMA
  • (KODE : PSIKOLOG-0261) : SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MTS
  • (KODE : PSIKOLOG-0262) : SKRIPSI PENGARUH KOMUNIKASI EFEKTIF ORANG TUA REMAJA DAN SELF-EFFICACY TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI SISWA SMP


JUDUL LAIN :
JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 1
JUDUL SKRIPSI PSIKOLOGI 2

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI

(KODE : PASCSARJ-0282) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Isu penting dunia pendidikan, setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Desember 2005 adalah masalah sertifikasi guru. Hal ini dimaklumi oleh para praktisi pendidikan, seperti guru dan kepala sekolah. Oleh karena, sertifikasi guru merupakan fenomena baru di negeri ini. Sertifikasi guru juga menyangkut nasib dan masa depan guru. Apalagi di era modern sekarang ini, guru merupakan sebuah profesi. Profesi guru kedudukannya sejajar dengan profesi lain, misalnya profesi pengacara, notaries, dokter, atau akuntan.
Menurut Muhammad Zen, bahwa pemerintah melakukan sertifikasi guru, salah satu alasannya adalah mengangkat nasib guru dan pengakuan profesi guru disejajarkan dengan profesi bergengsi lainnya sebagai tenaga professional (Muhammad Zen, 2010 : 20). Karena guru adalah sebuah profesi maka perlu adanya proses pembuktian tentang profesionalitas dari yang bersangkutan.
Sehubungan hal tersebut, maka pemahaman mengenai sertifikasi guru harus tersampaikan dengan benar dan dipahami secara baik oleh semua pihak, khususnya pemegang pelaksana kebijakan di lapangan. Para guru pun menyesuaikan hal tersebut. Ini dimaksudkan, agar isi kebijakan sertifikasi guru tidak dipandang secara keliru. Apabila tiba waktunya diberlakukan kebijakan tersebut, maka para pelaksana kebijakan dapat menjalankan perannya sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Guru pun harus menyiapkan dirinya secara baik. Mereka mencari sebanyak mungkin informasi (mengupdate) tentang sertifikasi. Agar makna dari kebijakan sertifikasi guru tidak salah penafsiran, tetapi disikapi secara benar.
Oleh karena, berbagai interpretasi mengenai sertifikasi bagi guru masih dimaknai secara keliru. Sebagian guru memahami sertifikasi, yaitu guru yang mempunyai pendidikan sarjana kependidikan secara otomatis sudah bersertifikasi.
Sebagian guru lain memahami sertifikasi bagi guru itu, yaitu guru yang telah menempuh pendidikan khusus, yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang ditunjuk oleh pemerintah (Masnur Musnich, 2007 : 1).
Untuk memahami pengertian sertifikasi secara jelas dan utuh, maka dapat menyimak dari kutipan beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen atau UUGD sebagai berikut
• Pasal 1 butir 11 : Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.
• Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
• Pasal 11 butir 1 : Sertifikat pendidik sebagaimana dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
• Pasal 16 : Guru yang memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, guru negeri maupun swasta dibayar pemerintah.
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak.
Singkat kata, dengan lahirnya UUGD mengindikasikan upaya pemerintah dalam mengangkat mutu guru semakin tampak. Kompetensi guru menjadi dasar utama melihat mutu guru. Hal ini terkait profesinya (sebagai pendidik dan pengajar). Dengan demikian, konsep kompetensi menjadi penting sekali. Ini berkenaan dengan kompensasi sertifikasi yang dijanjikan oleh pemerintah, bahwa kesejahteraan guru akan meningkat seiring dengan kompetensi yang dimilikinya.
Banyak fenomena yang berkenaan dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru yang menarik perhatian. Seperti yang dikutip Harian Kompas 7 Februari 2007 bahwa pimpinan sejumlah LPTK pesimistik dengan sertifikasi menjamin peningkatan kualitas guru. Hal ini disebabkan kebijakan sertifikasi guru yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik dan kompetensi, ternyata memicu pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan sertifikasi massal. Jika bersifat massal, maka ini berdampak pada kualitas. Yang pada akhirnya, sertifikasi tidak lebih dari formalitas belaka dan tidak menyentuh substansi.
Sedangkan Muhammad Zen dalam bukunya yang berjudul "KIAT SUKSES MENGIKUTI SERTIFIKASI GURU" mengemukakan bahwa program sertifikasi guru cukup kental dengan pemalsuan dokumen. Dokumen yang dipalsukan, yaitu dokumen berkas-berkas portofolio yang dikumpulkan guru ketika mengikuti sertifikasi seperti modul pembelajaran, lokakarya, seminar, pelatihan, dan kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat yang tidak otentik. Merebaknya pemalsuan ini memang memungkinkan, mengingat berkas yang dikumpulkan adalah dalam bentuk fotokopi bukan berkas yang asli (Muhammad Zen, 2010 : 35).
Hastuti dan kawan-kawan (2010) dalam penelitian berjudul "PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN 2007 : STUDI KASUS DI PROVINSI JAMBI, JAWA BARAT, DAN KALIMANTAN BARAT”, hasil temuannya adalah pertama, umumnya informan kurang meyakini program sertifikasi guru yang sekarang dilaksanakan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan secara umum. Oleh karena, mekanismenya tidak dirancang untuk menjaring atau mengidentifikasi guru-guru terbaik yang diharapkan akan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Terlebih lagi, dalam pembuatan portofolio banyak ditemui penyimpangan sehingga portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sebenarnya. Kedua, informan berpendapat program sertifikasi sebagaimana yang diterapkan saat ini tidak memiliki paradigma yang jelas. Apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, maka mekanismenya dirancang lebih sederhana dan tidak menyulitkan guru. Sebaliknya, apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru, maka mekanisme yang dianggap cocok untuk meningkatkan kemampuan guru adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang intensif. Diklat profesi guru pada program sertifikasi saat ini sudah dinilai bagus, namun hanya mampu "menyegarkan" pengetahuan guru, bukan meningkatkan.
Oktora Melansari (2010) dalam tesis berjudul "ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI DI KECAMATAN CIPAYUNG KOTA JAKARTA TIMUR", hasil temuannya adalah sertifikasi sebagian besar hanya dianggap oleh guru untuk meningkatkan kesejahteraan saja daripada meningkatkan kualitas guru. Hal ini berkenaan dengan kurang jelasnya mengenai isi kebijakan sertifikasi guru dalam buku pedoman maupun sosialisasi.
Bambang Raharjo (2009) dalam penelitian berjudul "DAMPAK KEBIJAKAN AKREDITASI SEKOLAH DAN SERTIFIKASI GURU TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANYUMAS, PROVINSI JAWA TENGAH", hasil temuannya adalah pertama, proses sertifikasi guru dan koordinasi antar unit, kemudahan untuk member dan memperoleh layanan, telah dilaksanakan meskipun belum semuanya memuaskan peserta sertifikasi guru. Yang kedua, ditemukan sejumlah permasalahan sertifikasi guru seperti penetapan peserta sertifikasi guru, workshop penyusunan portofolio, kesiapan peserta sertifikasi guru, penyusunan portofolio, pengiriman berkas portofolio, penerimaan pengumuman hasil, penerimaan sertifikat, pengusulan tunjangan profesi, realisasi pencairan tunjangan, jadwal dan tahapan pelaksanaan sertifikasi guru, koordinasi antar unit dalam pelaksanaan sertifikasi guru, memperoleh layanan dari pihak yang terkait dengan sertifikasi guru, dan pemenuhan kuota sertifikasi guru.
Winarsih (2008) dalam penelitian berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU SEKOLAH DASAR (STUDI KASUS DI KABUPATEN SEMARANG)", hasil temuannya adalah 1) Implementasi sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang secara umum sudah berjalan baik, 2) Pada faktor komunikasi, sub faktor transmisi dan konsistensi informasi adalah baik. Namun dari sub faktor kejelasan ada masalah. Ketidakjelasan informasi antara lain mengenai persyaratan masa kerja guru, format portofolio dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 3) Pada faktor sumber daya, sub faktor staf, informasi, dan wewenang, berjalan efektif. Namun sub faktor fasilitas kurang memadai. Fasilitas yang berupa sarana dan prasarana maupun anggaran khusus untuk pelaksanaan sertifikasi di Kabupaten Semarang tidak ada, 4) Pada faktor disposisi implementer termasuk baik, 5) pada faktor struktur birokrasi juga mendukung implementasi kebijakan tersebut, 6) faktor kondisi sosial ekonomi juga merupakan faktor pendukung implementasi kebijakan sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang.
Malem Sendah Sembiring (2010) dalam penelitian berjudul "KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM SERTIFIKASI GURU", hasil temuannya adalah 1) Implementasi kebijakan uji kompetensi guru melalui uji portofolio diragukan pengaruhnya terhadap peningkatan kompetensi guru dan mutu pembelajaran serta terdapat kecenderungan pemahaman yang keliru tentang pengertian portofolio, 2) Terdapat variasi proporsi guru yang masuk kuota untuk disertifikasi antar kabupaten/kota diperkirakan berdampak pada perbedaan kebijakan di daerah masing-masing, 3)Terindikasi adanya praktek-praktek kurang terpuji dalam proses mendapatkan dokumen yang diperlukan untuk penilaian portofolio guru, dan 4) Belum terlihat perbedaan kompetensi guru antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat.
Sedangkan yang menyangkut masalah pembiayaan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan sertifikasi guru, maka seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UUGD dibebankan kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah menyiapkan dana 2,78 trilyun untuk tunjangan profesi guru, tunjangan tersebut diperuntukkan bagi 180 ribu guru yang lolos uji sertifikasi pada kuota 2007 (Muhammad Zen, 2010 : 37). Melihat kesiapan pemerintah dalam menyediakan anggaran tunjangan guru, menjadi tolok ukur pemerintah begitu serius merealisasikan program sertifikasi guru. Bagi pemerintah, memang tidak ada program lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru, selain melalui program ini. Sebuah program yang diharapkan berimbas pada peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Selanjutnya melihat dari sisi sosialisasi, Rektor Universitas Negeri Jakarta, sekaligus anggota perumus UUGD, Haris Supratno menyatakan kurangnya sosialisasi sertifikasi guru terutama berkenaan dengan cara pengisian dan penyusunan portofolio. Kurangnya sosialisasi ini mengakibatkan terjadinya banyak kesalahan pengisian portofolio yang kerapkali menjadi faktor penyebab ketidaklulusan guru dari program sertifikasi (Winarsih, 2008 : 17).
Sementara itu, yang menyangkut permasalahan, yang mengacu pada efektifitas program sertifikasi terhadap peningkatan kualitas guru. Program uji sertifikasi guru yang dilakukan melalui penilaian portofolio dirasakan kurang efektif. Oleh karena, hampir semua tim penilai sertifikasi guru yang mengadakan penilaian terhadap portofolio guru menemui banyak kejanggalan. Kejanggalan yang dimaksud adalah banyak peserta yang mencantumkan dokumen atau berkas-berkas portofolio fiktif (tidak otentik) seperti piagam, sertifikat, surat keterangan pengangkatan (SK), dan berkas rencana proses pembelajaran (Muhammad Zen, 2010 : 35). Hal ini dimungkinkan sekali, ini dikarenakan portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sesungguhnya. Sementara tim penilai tidak memiliki kewenangan menindak setiap kecurangan.
Persoalan menjadi lebih rumit lagi dari aspek kualifikasi pendidikan guru. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Oleh karena, menurut ketentuan perundang-undangan atau peraturan pemerintah menyatakan guru adalah tenaga professional. Sebagai tenaga professional, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma empat (D-4) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya. Menurut data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 guru baik SD, SMP, maupun SMA tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal (Masnur Muslich, 2007 : 6).
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut : untuk guru SD, yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang, yang terdiri dari 378.740 berijazah SMA dan 12.767 berijazah diploma satu (D-1). Untuk guru SMP, jumlah yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 orang, yang terdiri dari 130.753 orang berijazah diploma satu (D-1) dan 186.359 orang berijazah diploma dua (D-2). Sedangkan SMA, terdapat 87.133 orang, yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yang terdiri dari 164 orang berijazah diploma satu (D-1), 15.589 orang berijazah diploma dua (D-2), dan 71.380 orang berijazah diploma tiga (D-3) (Masnur Muslich, 2007 : 6). Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila melihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.s
Melihat realita tersebut, hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama guru, khususnya ditujukan bagi guru yang belum memenuhi kriteria pendidikan minimal (sebagai salah satu persyaratan mengikuti sertifikasi). Mereka tidak berkesempatan akan diundang menjadi calon peserta sertifikasi sampai kapanpun apabila PP No. 19 Tahun 2005 menjadi patokan dalam menetapkan kriteria dan persyaratan guru dalam mengikuti sertifikasi. Dengan kata lain, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal kehilangan hak dan kesempatannya mendapatkan tunjangan profesi sebagai kompensasi dari sertifikasi ini.
Terlepas dari sejumlah permasalahan seputar implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, pada hakekatnya implementasi kebijakan ini harus dilakukan dalam konteks organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang jelas, serta sumber daya pendukung yang jelas pula. Kebijakan sertifikasi tidak hanya dipandang sebagai cara memberikan tunjangan profesi, tetapi sebagai upaya memotivasi guru dalam meningkatkan kualitas dirinya dan kinerjanya secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Apabila kinerja dan kesejahteraan guru sudah meningkat, maka mutu pendidikan juga akan meningkat pula. Inilah yang menjadi muara dari diberlakukannya kebijakan sertifikasi terhadap guru oleh pemerintah tersebut. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riant Nugroho (2003 : 158) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Demikian juga dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru ini memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, banyak faktor penentu keberhasilan yang harus dikaji. Dari berbagai model implementasi kebijakan yang dikemukakan beberapa ahli, ada lima faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan kondisi sosial ekonomi. Kelima model ini mengadopsi dari teori implementasi kebijakan yang digagas oleh George C. Edward dan Daniel Van Meter-Carl Van Horn.
Melihat kondisi SMA di Kecamatan X, menarik dan layak untuk diteliti. Ini dikarenakan Kecamatan X, memiliki dua SMA berstatus sekolah negeri, yaitu SMAN Y dan SMAN Z, yang sebagian besar 95% gurunya berstatus sebagai pegawai negeri sipil. 
Melihat kualifikasi pendidikan guru di SMAN 1 dan SMAN 2, hanya empat orang atau 3,85% yang belum berpendidikan sarjana (S-1), sementara sembilan puluh empat orang atau 90,38% telah berpendidikan sarjana (S-1). Sedangkan empat orang atau 3,85% berpendidikan magister (S-2) dan satu orang atau 0,96% yang berpendidikan doktor (S-3) adalah kepala sekolah.
Melihat kuota guru di SMAN 1 dan SMAN 2, yang ditetapkan sebagai peserta sertifikasi dari tahun 2007 hingga 2010 menunjukkan jumlah yang semakin bertambah. Dari yang semula lima orang tahun 2007 kemudian bertambah menjadi enam puluh delapan orang di tahun 2010.
Apabila melihat data guru di SMAN 1 dan SMAN 2, maka jumlah guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi dari 2007 hingga 2010 semakin bertambah jumlahnya. Dari yang semula 5 orang (2 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 3 orang melalui jalur PLPG) di tahun 2007, sekarang sudah bertambah menjadi 68 orang (31 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 37 melalui jalur PLPG) di tahun 2010.
Melihat sisi komunikasi, proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN 1 dan SMAN 2 dilakukan pada saat sosialisasi, pengumpulan berkas portofolio maupun dalam pengumuman hasil sertifikasi. Dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, sebelumnya diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh panitia pelaksana sertifikasi guru Dinas Pendidikan kabupaten X. Dalam hal ini diwakili oleh kepala seksi kurikulum, kepala seksi tenaga dan teknis beserta staf. Strategi yang digunakan untuk memudahkan sosialisasi dari dinas, yaitu dengan mengumpulkan guru yang telah mendapat undangan sebagai peserta sertifikasi di sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi tempat melakukan sosialisasi.
Namun, tidak ada pos anggaran khusus dari pemerintah pusat dalam kegiatan sosialisasi tentang sertifikasi guru, akan tetapi pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar 50 juta setiap tahunnya dari APBD. Anggaran ini dialokasikan agar proses implementasi kebijakan sertifikasi guru dapat berjalan lancar. Dari empat periode pelaksanaan sertifikasi yaitu tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010, kegiatan sosialisasi menggunakan dana rutin dari pemerintah daerah setempat. Minimnya dana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, berdampak pada kegiatan sosialisasi tidak berjalan efektif. Ini mengakibatkan beberapa kesalahan dilakukan guru-guru dalam pengisian formulir dan pengumpulan berkas portofolio akibat kurang maksimalnya sosialisasi ini.
Melihat sisi sumber daya yang dimiliki Dinas Pendidikan Kabupaten X terkait dengan minimnya dana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Ini berpengaruh pada kinerja staf pelaksana sertifikasi. Pekerjaan dan jam kerja yang bertambah tanpa diimbangi dengan pemberian insentif yang sesuai juga berpotensi terhadap kurang berhasilnya implementasi sertifikasi guru SMA. Selain minimnya dana, sumber daya juga terkait dengan kemampuan para pelaksana. Selama ini kemampuan pelaksana terbatas karena pembekalan yang dilakukan hanya bersifat sosialisasi dan bukan program pelatihan tentang konsep portofolio dan teknis.
Melihat dari sisi sikap para pelaksana sertifikasi guru SMA di Kabupaten X ini sangat mendukung terhadap kebijakan tersebut. Dalam menjalankan kebijakan seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, para pelaksana kebijakan sertifikasi ini memiliki sikap atau komitmen yang baik sehingga proses implementasi kebijakan bisa berjalan cukup baik dan lancar.
Melihat dari sisi struktur birokrasi organisasi yang mengimplementasikan kebijakan ini, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan sertifikasi. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP) yang menjadi pedoman bagi staf pelaksana dalam bekerja. SOP yang digunakan dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X mengacu pada buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yaitu Buku 2 Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio.
Dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X dibentuk struktur organisasi pelaksana dengan mengacu pada buku pedoman. Kinerja semua komponen dalam struktur organisasi ini harus maksimal karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Melihat dari sisi kondisi sosial maka status sosial guru SMA mampu mendukung pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Para guru SMA ini banyak yang aktif menjadi pengurus kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya maupun masyarakat guru. Misalnya menjadi pengurus RT/RW, menjadi pengurus Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) tingkat kabupaten X, dan sebagainya. Mereka merupakan kelompok intelektual pada masyarakat desa sehingga banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Program sertifikasi bagi guru SMA ini juga memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan bagi para guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan. Dengan kesejahteraan yang meningkat maka guru diharapkan akan lebih konsentrasi pada tugasnya sebagai pendidik.
Hal-hal tersebut merupakan gambaran awal dari penelitian tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Dari Penelitian ini diharapkan akan mendapatkan gambaran menyeluruh tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Penelitian ini akan difokuskan kepada Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di SMAN Y dan SMAN Z dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, secara khusus penelitian ini akan mengarahkan rumusan permasalahan pada pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : 
1. Bagaimana faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
2. Bagaimana faktor sumber daya dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z sehingga dapat berjalan dengan efektif ?
3. Bagaimana faktor sikap para pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
4. Bagaimana faktor struktur birokrasi organisasi pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
5. Bagaimana faktor lingkungan sosial ekonomi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah, maka penelitian implementasi kebijakan sertifikasi guru ini bertujuan untuk : 
1. Menganalisis faktor komunikasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
2. Menganalisis faktor sumberdaya dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
3. Menganalisis faktor sikap para pelaksana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
4. Menganalisis faktor struktur birokrasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
5. Menganalisis faktor lingkungan eksternal (sosial dan ekonomi) dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya kajian implementasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga pada akhirnya dapat memberi sumbangan pemikiran baru untuk penelitian lanjutan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi : 
a. Para pengambil kebijakan untuk dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran, khususnya untuk lembaga penyelenggara uji sertifikasi yaitu dinas pendidikan kabupaten X sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi bagi guru.
b. Para guru SMAN Y dan SMAN Z untuk menyiapkan diri menghadapi sertifikasi guru dengan lebih meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi profesional, pedagogik, dan sosial.

 TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASIONAL PEGAWAI KELURAHAN

TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASIONAL PEGAWAI KELURAHAN

(KODE : PASCSARJ-0281) : TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASIONAL PEGAWAI KELURAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemerintahan sebagai salah satu bentuk organisasi harus bisa mencapai tujuannya yaitu melayani masyarakat dengan pelayanan yang baik dan memuaskan. Pelayanan yang bersifat langsung kepada masyarakat merupakan salah satu tugas organisasi kelurahan.
Kelurahan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan. Kelurahan merupakan perangkat daerah terkecil di bawah Kecamatan dan termasuk Pemerintah Daerah. Sebagaimana diterangkan dalam peraturan pemerintah ini yang termasuk ke dalam Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Dengan kata lain Kelurahan merupakan perangkat daerah yang juga merupakan suatu organisasi, khususnya organisasi pemerintahan.
Menghadapi perubahan kebijakan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, kelurahan mengalami perkembangan dan perubahan. Oleh karena itu pergeseran perubahan status desa menjadi kelurahan menunjukan perbedaan-perbedaan kondisi lingkungan kerja di kelurahan dari keadaan sebelumnya.
Kelurahan dipimpin oleh Lurah dibantu oleh perangkat kelurahan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota, selain daripada itu Lurah mempunyai tugas : 
1. Pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan
2. Pemberdayaan masyarakat
3. Pelayanan masyarakat
4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
Tenaga kerja yang kemudian disebut pegawai di kelurahan merupakan aset yang sangat penting untuk menjalankan organisasi kelurahan. Pegawai di kelurahan khususnya kelurahan yang berada di Kecamatan X terdiri dari bermacam-macam status pegawai. Tugas kelurahan yang utama adalah memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak terlepas dari kualitas pelayanan dan komitmen pegawai yang dimiliki, baik komitmen terhadap pekerjaannya maupun terhadap organisasi kelurahan itu sendiri.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan menyebutkan bahwa Susunan Organisasi Kelurahan terdiri dari Lurah dan Perangkat Kelurahan. Perangkat Kelurahan sebagaimana dimaksud diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah. Disinilah munculnya perbedaan kenyataan yang tampak di lapangan bahwa terdapat bermacam-macam status pegawai di kelurahan. Pegawai terdiri dari pegawai tetap dan tidak tetap. Bermacam-macam status pegawai di kelurahan berawal dari perubahan desa menjadi kelurahan. Status tenaga kerja di kelurahan yang awalnya tidak ada Pegawai Negeri Sipil (PNS), kini bercampur baur terdiri dari pegawai tetap berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap berstatus Tenaga Kerja Kontrak (TKK) dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS).
Tenaga Kerja Kontrak (TKK) dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) telah ada sejak masa Pemerintahan Desa. Meskipun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan bahwa Perangkat Kelurahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Kecenderungan orang beranggapan bahwa PNS lebih besar gajinya dibanding tenaga kerja lainnya yang ada di kelurahan. Sementara di sisi lain semua pegawai baik PNS, TKK maupun TKS harus tetap menunjukan performa pelayanan terbaik bagi masyarakat harus dapat diatasi organisasi kelurahan itu sendiri. Perbedaan status di satu lingkungan kerja kelurahan tersebut harus bisa di satukan agar karyawan tetap memiliki komitmen kerja yang tinggi walaupun dari segi penghasilan tentu saja berbeda satu sama lain.
Beberapa teori menunjukkan bahwa motivasi seseorang dapat berdampak terhadap kepuasan kerjanya. Teori-teori motivasi yang mempunyai dampak pengaruh yang sangat kuat terhadap kepuasan kerja, diantaranya adalah hirarki kebutuhan Maslow, Teori dua faktor atau motivation-hygiene Herzberg, dan teori distribusi keadilan Lawler (2008) mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses yang menghasilkan intensitas, arah, dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan. Kondisi ini mengisyaratkan adanya kepuasan para individu dalam organisasi seseorang bertahan dalam usahanya. Hanya individu-individu yang termotivasi yang akan tetap bertahan pada pekerjaan cukup lama untuk mencapai tujuan mereka, dan mereka akan bekerja keras. Usaha keras tersebut disesuaikan dan disalurkan kepada keuntungan organisasi atau perusahaan dengan jalan mengarahkan usaha keras secara konsisten menuju tercapainya tujuan organisasi dan ketekunan.
Kepuasan kerja sangat abstrak dan kompleks, bahkan berpendapat menjadi tak terlukiskan dan mitos (Malik, 2011). Prinsip-prinsip yang mendasari kepuasan kerja dan motivasi berkaitan erat satu sama lain, dan untuk menumbuhkan tempat kerja yang efektif dan produktif dua konsep tidak boleh terpisah (Mowday et al, 1982;. Mathieu dan Zajac, 1990; Bono dkk, 2001;. Koys, 2001; Chen dan Francesco 2003, Greguras et al, 2004;. Tziner et al,. 2008). Pentingnya kedua konsep ini ditekankan dalam Loosemore, Dainty dan Lingard (2003) sebagai erat untuk kesejahteraan industri konstruksi di mana populasi penelitian beroperasi. Koys (2001), Chen dan Francesco (2003) dan Tziner dkk. (2008) menegaskan bahwa keberhasilan relatif dari organisasi telah terikat pada dua motivasi konstruksi kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Selain itu, menurut Locke (1976) kebijakan dan peraturan yang ditetapkan organisasi akan menentukan jenis tugas, dan pekerjaan, beban tugas, tanggung jawab, kesempatan promosi, tingkat gaji, serta kondisi fisik lingkungan kerja. 
Oleh karena itu pegawai akan merasakan kepuasan kerja pada organisasi yang kebijakannya membantu pegawai memperoleh apa yang dibutuhkannya. Berkaitan dengan kepuasan kerja dan komitmen pegawai, kebutuhan sumber daya manusia di kelurahan yang diiringi dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks menuntut kinerja kelurahan yang maksimal. Hal ini tentunya didukung dengan kesiapan sumber daya manusia di kelurahan dengan mengisi jabatan di kelurahan dengan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana harapan peraturan perundang-undangan tersebut. Di samping itu sebagian tenaga honorer yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil diharapkan dapat menambah kuantitas sumber daya manusia di organisasi pemerintahan dan kelurahan pada khususnya.
Perubahan status desa menjadi kelurahan memang belum sepenuhnya sesuai aturan yang diharapkan. Selama berstatus desa, pegawai di kelurahan terdiri dari pegawai honorer yang merangkap jabatan sebagai Kepala Seksi (Kasi) dan unsur Staf (Pelaksana). Seharusnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah bahwa Lurah di Kelurahan adalah eselon IV.a sementara itu Sekretaris Kelurahan dan Kasi di Kelurahan adalah eselon IV.b yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil. Harapan dalam peraturan tersebut adalah mengisi seluruh kekosongan jabatan di kelurahan dengan Pegawai Negeri Sipil. Menurut pasal 12 peraturan pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang desa disebutkan bahwa pemerintah desa terdiri dari perangkat desa lainnya yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan. Berkaitan dengan itu menurut pasal 6 dalam peraturan pemerintah RI Nomor 73 Tahun 2005 tentang kelurahan disebutkan bahwa perangkat kelurahan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat.
Namun, pada kenyataannya perangkat kelurahan di Kota X belum semua berstatus PNS karena awalnya terbentuk dari desa dengan sumber daya manusia pegawai berstatus Tenaga Kerja Kontrak (TKK), dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) . Pegawai TKK dan TKS yang sudah ada sejak berdirinya desa sampai berubah statusnya menjadi kelurahan, harus bekerja di satu lingkungan kelurahan dengan perbedaan gaji yang cukup besar namun dituntut untuk bersama-sama melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian dibutuhkan cara-cara untuk menjaga kebersamaan mereka dalam satu organisasi yang solid. Hal ini sangat penting untuk diketahui agar setiap organisasi mampu memberikan perhatian yang khusus kepada sumber daya manusia dalam perannya sebagai seorang karyawan di organisasi tersebut. Organisasi dituntut untuk menjaga keberadaan pegawai dengan memperhatikan kepuasan kerja pegawai dan diperlukannya komitmen pegawai untuk tetap berada dalam organisasi. Komitmen organisasional pegawai merupakan salah satu faktor penting bagi kelanggengan suatu organisasi. Tanpa adanya komitmen organisasional yang kuat dalam diri individu, tidak akan mungkin suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal.
Berdasarkan uraian di atas walaupun sudah ada beberapa penelitian tentang hubungan kepuasan kerja dan komitmen organisasional, penulis tetap tertarik untuk melakukan penelitian hubungan kepuasan kerja dengan komitmen organisasi pegawai di kelurahan karena tampaknya pegawai yang berstatus bukan PNS dan mendapat gaji yang rendah pun tetap mau bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya. Penulis ingin mengetahui dengan melihat kemungkinan hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen pegawai. Dari hasil penelitian ini penulis berharap dapat mengungkapkan tingkat kepuasan dan tingkat komitmen organisasi pada pegawai kelurahan se-Kecamatan X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran para ahli tentang esensi komitmen dan dianggap pentingnya komitmen pegawai bagi suatu organisasi, maka tentu saja perlu diteliti di lapangan bagaimana sebenarnya yang terjadi. Sebagaimana telah dijelaskan di latar belakang masalah, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 
a. Apakah terdapat hubungan antara tingkat kepuasan kerja pegawai Kelurahan se-Kecamatan X Kota X dengan tingkat komitmen mereka terhadap organisasi Kecamatan ?

C Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
a. Mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat kepuasan kerja pegawai kelurahan se-Kecamatan X dengan tingkat komitmen pegawai se-Kecamatan X Kota X terhadap organisasi Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun signifikansi penelitian yang dibuat ini antara lain ditujukan untuk : 
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu administrasi dan pengembangan sumber daya manusia.
- Hasil penelitian ini secara teoritis dapat menjadi acuan/memberi masukan terhadap penelitian-penelitian sejenis, dalam hal ini tentang kepuasan kerja dan komitmen pegawai. Anggapan bahwa komitmen sangat penting dalam meningkatkan kinerja organisasi dan kepuasan kerja harus diutamakan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai.
- Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan bagi kajian ilmu manajemen sumber daya manusia mengenai perilaku organisasi secara umum
- Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan bagi kajian ilmu manajemen sumber daya manusia mengenai komitmen pegawai secara khusus.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk : 
- Dapat menjadi masukan bagi organisasi kelurahan yang berada di lingkungan Kecamatan X Kota X dalam usaha menciptakan dan meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen pegawainya.