Search This Blog

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT)

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT)

(KODE : PASCSARJ-0265) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT) (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Resesi perekonomian Indonesia pada tahun 1997 secara nyata menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberi pelajaran penting tentang kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Perekonomian negeri ini ternyata di kuasai sektor korporasi atau usaha besar yang di kuasai segelintir orang. Sementara itu di sisi lain, pilar pembangunan ekonomi lainnya seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Namun, ironisnya ketika terjadi krisis terbukti sektor korporasi tidak mampu bertahan dengan baik, justru UMKM yang tadinya di anggap kurang berperan dalam perekonomian nasional terbukti lebih mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang mengarah pada krisis multidimensi tersebut. Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor ini dengan melahirkan paradigma pengembangan sarana penunjang sektor UMKM yakni lembaga keuangan mikro (LKM) yang sustainable.
Di lain sisi, kita patut bersyukur bahwa saat ini perkembangan industri keuangan syariah telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perkembangannya sendiri secara informal telah di mulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.
Selain perbankan syariah dan asuransi syariah saat ini telah banyak lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) sebagai lembaga keuangan Non-Bank yang telah menunjukkan tajinya. LKMS ini bernama BMT yakni Balai Usaha Mandiri Terpadu atau lebih di kenal dengan istilah Baitul Maal wat Tamwil. BMT menggunakan prinsip-prinsip syariah dan bebas dari unsur riba yang diharamkan di dalam Islam. Adapun fungsi lembaga ini adalah sebagai pendukung peningkatan kualitas usaha ekonomi pengusaha mikro dan pengusaha kecil yang berdasarkan sistem syariah. Menurut Madjid kegiatan BMT untuk mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil antara lain dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya (hal. 182, 2000).
Baitul Maal Wat Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro non-bank yang proses operasionalnya menyerupai proses operasional perbankan syariah yakni dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam khususnya yang menyangkut tata-cara ber muamalat secara Islam. Perwataadmatja menyebutkan bahwa tata cara ber muamalat dalam operasionalisasi bank syariah pada dasarnya menjauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk di isi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan (hal. 38, 1992).
Dilihat dari alur operasional dan konsep syariahnya, lembaga-lembaga keuangan syariah, baik Bank Umum Syariah (BUS), Kantor Cabang Syariah dari Bank Konvensional, Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Syariah (BPRS) maupun Baitul Maal Wat Tamwil tidaklah berbeda. Menurut Wiroso yang membedakan adalah pada skala bisnisnya saja. Bank Umum Syariah (BUS) menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang besar, Bank Perkreditan Syariah (BPRS) menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang sedang sedangkan Baitul Maal Wat Tamwil menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang relatif kecil. Jumlah dana yang di himpun dan disalurkan tersebut sangat tergantung pada besarnya risiko yang di tanggung oleh masing-masing lembaga keuangan syariah (hal. 8, 2005).
Menurut Karim (2003), pada dasarnya produk yang ditawarkan oleh perbankan atau lembaga keuangan syariah dapat di bagi menjadi tiga bagian besar, yaitu : (1). Produk penyaluran dana (pembiayaan/financing), (2). Produk penghimpunan dana (funding) dan (3). Produk jasa (service). Secara garis besar, produk pembiayaan (penyaluran dana) di bagi menjadi empat kategori, yaitu : (a). pembiayaan dengan prinsip jual beli, (b). pembiayaan dengan prinsip sewa, (c). pembiayaan dengan prinsip akad pelengkap, serta (d). pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
BMT merupakan bentuk lembaga jasa keuangan mikro Syariah yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BMT di Indonesia tumbuh dari bawah yang di dukung oleh deposan-deposan kecil. Menurut Widodo pada tahun 2005 telah tercatat jumlah BMT di Indonesia telah mencapai 3.037 buah dengan total aset Rp 300 miliar dan dana swadaya masyarakat Rp 264 miliar. Dari 3.037 BMT yang aktif di Indonesia hanya 63 yang memiliki aset di atas Rp 1 miliar, 1.200 lembaga memiliki aset Rp 50-100 juta, dan 299 lembaga beraset di bawah Rp 50 juta (hal. 34, 1999). Bahkan, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PINBUK beberapa BMT yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia memiliki tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) yang cukup besar mulai dari yang terendah dengan FDR sebesar 86% dan yang tertinggi hingga mencapai 136%. 
Walaupun tidak di akui sebagai bank, namun BMT terbukti telah mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang mengelola dana dari untuk dan oleh masyarakat. Idealnya keseluruhan dana yang terhimpun harus dapat disalurkan kepada masyarakat dengan kapasitas pembiayaan skala mikro maupun skala kecil mengingat salah satu karakteristik lembaga keuangan syariah menurut Wiroso antara lain bahwa secara konseptual kegiatannya lebih banyak terkait dengan sektor riil dibandingkan dengan sektor moneter. Seluruh dana yang terhimpun idealnya disalurkan pada sektor riil yang pada akhirnya akan meningkatkan kuantitas maupun kualitas barang dan jasa (hal. 13, 2005).
Baitul Maal Wat Tamwil X (BMT X) yang berdiri pada tanggal 14 Juli tahun 1994 merupakan salah satu divisi di bawah naungan Koperasi Pondok Pesantren X dengan nomor badan hukum 10999/BH/KWK-21 tanggal 9 April 1994. Dalam operasinya BMT X mengembangkan usaha jasa keuangan yang telah mendapat ijin operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) dengan nomor 1009003/PINBUK/VI/96. Adapun maksud dan tujuan dari pendirian BMT X ini adalah untuk menjadi solusi ekonomi masyarakat berdasarkan syariah.
Pada produk penghimpunan dana (funding), BMT X mempergunakan prinsip bagi hasil yakni dengan akad mudharabah. Kemudian BMT X akan menyalurkan dana tersebut pada produk pembiayaan. Keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan tersebut akan di bagi dua kepada penabung (selaku sahibul maal), berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan yang nisbah bagi hasilnya telah ditetapkan di muka. Oleh karena itu porsi bagi hasil yang didapatkan oleh nasabah (penabung) bersifat fluktuatif karena tergantung kepada keuntungan yang di peroleh lembaga per periode.
Lembaga keuangan syariah harus memastikan bahwa dana yang dihimpunnya dapat menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta bermanfaat bagi masyarakat. BMT menerima dana-dana masyarakat (dana pihak ketiga) dengan skim bagi hasil yang merupakan bentuk dari kesepakatan antara yang menyediakan dana (nasabah) dan yang mengelola (BMT). Di dalam melakukan bisnis dengan para penabung BMT menyatakan keinginannya untuk menerima dana-dana agar dapat diinvestasikan kembali mewakili pemiliknya melalui produk pembiayaan. Kemudian dari produk pembiayaan tersebut pihak BMT akan membagi keuntungan menurut suatu nisbah bagi hasil yang sudah ditentukan di muka dan menyatakan bahwa kerugian akan di tanggung hanya oleh penyedia dana, kecuali jika ada kelalaian atau pelanggaran akad.
Kemudian, untuk produk penyaluran dana dengan orientasi profit (tijaroh) BMT X mendasarkan pembiayaan pada 2 (dua) prinsip, yakni : 
a. Prinsip non-bagi hasil, seperti mark up pada transaksi perdagangan dan fee pada transaksi jasa (fee based income). Pada prinsip ini terdapat sifat natural certainty contract yang melekat atau transaksi dengan insentif pasti. Adapun akad-akad yang dipergunakan antara lain adalah murabahah, dan ijarah.
b. Prinsip bagi hasil, di mana tingkat keuntungan ditentukan dari besarnya keuntungan atau pendapatan usaha sesuai dengan nisbah yang telah di sepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal transaksi. Produk pembiayaan dengan metode bagi hasil biasanya mempergunakan akad mudharabah dan musyarakah. Bagi hasil yang di dapat dari pembiayaan musyarakah dan mudharabah jumlahnya tidak pasti karena tergantung kepada hasil usaha yang di biayai. Ketidakpastian ini menyebabkan musyarakah dan mudharabah dimasukkan ke dalam kelompok Natural Uncertainty Contract (NUC) atau transaksi dengan besaran insentif yang tidak pasti. 
Menurut Zulkifli (2003), Natural Uncertainty Contract (NUC) adalah jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang tidak memiliki kepastian akan keuntungan dan pendapatan bank dalam segi jumlah maupun waktu penyerahannya. Hal ini disebabkan karena transaksi ini tidak bersifat fixed dan predetermined.
Selain penyaluran pembiayaan melalui kedua prinsip tersebut BMT X juga menggulirkan pinjaman kebajikan (Qordhul Hasan), yaitu pinjaman yang digulirkan tanpa adanya keuntungan yang di ambil. Biasanya dipergunakan untuk keperluan pendidikan atau kesehatan nasabah dengan pertimbangan khusus. Sumber dana berasal dari lembaga amil zakat (dalam hal ini Dompet Peduli Umat (DPU)) yang menjadi mitra BMT X.
BMT X sebagai salah satu lembaga keuangan mikro syariah non bank dengan aset yang cukup besar di Indonesia mengeluarkan produk pembiayaan dengan akad bagi hasil maupun non bagi hasil. Berdasarkan laporan neraca bulanan (audited), jumlah pembiayaan yang telah disalurkan oleh BMT X per 31 Desember 2006 adalah 9,7 milyar rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan dari bulan yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 9,2 milyar rupiah. Peningkatan jumlah pembiayaan dapat menambah jumlah pendapatan BMT X.
Untuk meningkatkan jumlah pembiayaan pihak BMT X seyogyanya mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah penyaluran pembiayaan tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah pembiayaan pada BMT. Adapun judul penelitian ini adalah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus BMT X).

B. Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian
BMT X yang telah beroperasi sejak tahun 1994 dan selama kurun waktu 13 (tiga belas) tahun tersebut BMT X telah menyalurkan pembiayaan pada masyarakat maupun sektor UMKM. Terdapat pertumbuhan pembiayaan yang signifikan setiap tahunnya. Dana pihak ketiga (DPK) yang terhimpun digulirkan dengan mempergunakan prinsip non-bagi hasil, prinsip bagi hasil serta dengan prinsip pinjaman kebajikan, seperti yang dapat kita lihat pada diagram berikut ini : 
Aktivitas penyaluran dana melalui pembiayaan merupakan produk yang diunggulkan oleh lembaga jasa keuangan seperti BMT karena merupakan sumber pendapatan terbesar. Selain itu, terkait dengan fungsi intermediasi, idealnya keseluruhan dana yang terhimpun dari masyarakat disalurkan kepada masyarakat juga. Indikasi tidak tercapainya target realisasi pembiayaan dapat disebabkan oleh pengalokasian dana pada pos lain, contohnya penempatan dana (investasi) pada lembaga keuangan lainnya seperti bank syariah.
Dalam menghimpun dana dari masyarakat BMT X mempergunakan prinsip bagi hasil kepada para penabung. Sebagai konsekuensinya BMT X harus membagi keuntungan dari pembiayaan yang tersalurkan berdasarkan proporsi nisbah bagi hasil yang telah di sepakati di muka. Oleh karena itu BMT X harus dapat menjaga agar jumlah pembiayaan yang tersalurkan dapat memenuhi target yang telah ditetapkan berdasarkan perhitungan target profit yang ingin di capai karena jika tidak tercapai akan membuat bagi hasil dari produk penghimpunan dananya tidak kompetitif dan pada akhirnya dikhawatirkan akan terjadi kecenderungan penarikan dana oleh para nasabah yang mencari tingkat return simpanan yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai faktor-faktor internal yang mempengaruhi realisasi penyaluran pembiayaan pada BMT terkait dengan fungsi intermediasi yang dilaksanakannya. Tidak tercapainya target pembiayaan yang akan disalurkan jelas bukanlah sebuah kondisi ideal yang diinginkan, terlebih lagi pada sebuah lembaga keuangan mikro. Mengapa ? Karena selain untuk mencapai target laba dan menutup biaya operasional lembaga ini harus mampu memberikan tingkat bagi hasil yang kompetitif bagi para deposan (penabung) yang telah menempatkan dananya di BMT. Selain itu apabila proporsi pembiayaan yang disalurkan lebih kecil daripada proporsi penempatan dana (investasi) pada lembaga atau instansi lain maka eksistensi BMT dirasakan tidak sesuai dengan ruh ekonomi Islam yang memiliki karakter lebih menitikberatkan pada sektor riil.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab tidak tercapainya target realisasi pembiayaan, khususnya dari beberapa faktor internal dari lembaga. Faktor-faktor internal yang akan di teliti antara lain adalah (1). pendapatan dari pembiayaan, (2). dana pihak ketiga, (3). biaya operasional, (4). NPF (tingkat pembiayaan bermasalah) dan (5). pendapatan bagi hasil penempatan dana BMT pada bank syariah. Dengan mengenali berbagai faktor yang pengaruh dalam penyaluran pembiayaannya dirasakan sangat penting manfaatnya sehingga nantinya pembiayaan di lembaga keuangan mikro syariah, khususnya BMT X dapat lebih dioptimalkan.
Berdasarkan penjabaran mengenai perumusan masalah tersebut, maka akan diturunkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah pendapatan dari pembiayaan periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
2. Apakah jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
3. Apakah biaya operasional dari pembiayaan pada periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
4. Apakah non performing financing dari pembiayaan periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
5. Apakah pendapatan bagi hasil penempatan dana BMT pada bank syariah dari periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan faktor-faktor internal apa saja yang memiliki pengaruh secara parsial terhadap realisasi penyaluran pembiayaan pada BMT X, dengan rincian sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui apakah tingkat pendapatan pembiayaan dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
2. Untuk mengetahui apakah jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT. 
3. Untuk mengetahui apakah biaya operasional yang telah dikeluarkan dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT .
4. Untuk mengetahui apakah tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing) dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
5. Untuk mengetahui apakah pendapatan bagi hasil yang didapatkan melalui penempatan dana BMT pada bank syariah dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
Dengan teridentifikasinya faktor-faktor internal yang diteliti maka diharapkan hasil temuan dalam penelitian ini dapat menjadi acuan bagi lembaga keuangan mikro syariah, khususnya BMT X dalam menjalankan fungsi intermediasi yang diembannya, khususnya dalam menyusun strategi alokasi dana.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademik, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi lebih lanjut oleh lembaga keuangan mikro syariah dalam rangka menentukan strategi realisasi penyaluran dana (pembiayaan).
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi BMT X dalam menentukan langkah-langkah dan kebijakan yang harus di tempuh guna mencapai target realisasi penyaluran dana.

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID

(KODE : PASCSARJ-0264) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zakat sebagai salah satu elemen dari rukun islam tidak hanya memiliki dimensi ibadah namun lebih dari itu, zakat memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan social dan ekonomi masyarakat. Zakat sebagai salah satu instrumen ibadah terlihat dari sejumlah perintah zakat dalam Al Quran yang selalu disandingkan dengan perintah sholat. Setidaknya, terdapat delapan puluh dua perintah zakat yang selalu dikaitkan dengan perintah sholat.
Dan dirikanlah sholat, bayarlah zakat. Dan rukuk lah bersama sama orang yang rukuk (QS, Al Qur'an 2 : 43)
Zakat dalam aspek sosial ekonomi merupakan suatu instrument yang dapat meredistribusikan pendapatan antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin. Dengan ini, maka kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dapat diminimalkan. Bagaimanapun, ukuran kaya dan miskin dalam Islam sangat jelas dilihat dari garis nisab nya. Jika kepemilikan seseorang berada di bawah garis nisab maka termasuk dalam kategori miskin (mustahik). Sebaliknya jika berada di atas garis nisab, maka termasuk dalam kelompok non miskin yang berarti wajib menunaikan zakat (muzakki).
Terlepas dari hal itu, dalam tataran individu, zakat akan merangsang individu untuk melakukan tabungan akherat dan bermakna pula menggugurkan kewajiban zakat sebagai salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi. Selain itu zakat sebagaimana artinya membersihkan menyucikan dan menyuburkan, maka dengan zakat berarti telah memberikan bagian harta si miskin yang ada dalam hartanya. Lebih dari itu, zakat bisa menjadi motivasi bagi individu untuk meningkatkan kinerjanya sehingga selalu termotivasi untuk merubah dirinya dari mustahik menjadi muzakki..
Zakat sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan telah dipraktikkan pada masa pemerintahan Rasulullah dan para sahabat dimana Zakat menjadi salah satu instrumen dalam kebijakan fiscal yang dialokasikan untuk menyantuni orang miskin dan juga menyediakan fasilitas dan segala kebutuhan bagi masyarakat miskin Praktik ini sejalan dengan perintah untuk mengumpulkan zakat oleh Negara sebagaimana yang termaktub dalam surat At Taubah ayat 103, dimana disebutkan bahwa : 
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Perintah ambillah zakat dalam hal ini jelas ditujukan kepada Negara untuk mengambil zakat dari masyarakatnya. Hal ini berarti pula bahwa zakat merupakan satu satunya ibadah muamalah yang mempunyai petugas yaitu amil zakat. Cerita sukses zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dapat kita lihat dari sejarah kejayaan masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahannya tidak lagi ditemukan masyarakat miskin yang berhak menerima zakat sehingga zakat dikirimkan ke negara tetangga yang membutuhkan.
Di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jika dilihat dari besaran jumlah penduduk, maka dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta, dan dengan asumsi penduduk yang beragama Islam sebesar 87 persen, dan dikalikan 20 persennya atau 38,54 juta orang berkewajiban menunaikan zakat sebesar minimal Rp. 170 ribu per tahun, sehingga dapat terkumpul dana zakat sebesar Rp. 6,21 triliun. Pihak Departemen Agama (Depag) memperkirakan potensi zakat hingga ke unit pengumpul zakat di tingkat kecamatan mencapai Rp. 12,7 triliun.
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation yang mencakup 1.500 responden yang tersebar di 11 provinsi, 200 masjid, 50 lembaga ZIS pemerintah, dan 50 lembaga ZIS swasta mengungkapkan, jumlah filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun. Nilai ini terdiri dari Rp. 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp. 14,2 triliun dalam bentuk uang. Dari sejumlah dana yang terkumpul itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah, yaitu Rp 6,2 triliun, dan sisanya zakat harta Rp. 13,1 triliun.
Namun, jika data-data potensi zakat hasil perhitungan ini dibandingkan dengan data realisasinya, maka jumlah zakat yang terkumpul masih sangat kecil dibandingkan dengan data potensinya. 
Adanya kesenjangan antara potensi dengan realisasi ini tentunya mengindikasikan adanya suatu masalah dalam usaha-usaha proses pengumpulan zakat di tanah air. Penelitian ini akan mencoba untuk mengidentifikasi masalah-masalah terkait dengan pengorganisasian pengumpulan dan pendistribusian zakat dan selanjutnya merumuskan masalah penelitian yang relevan yang selengkapnya dibahas di sub bab berikutnya.

B. Perumusan Masalah
Rendahnya realisasi pengumpulan zakat di Indonesia tentunya merupakan suatu masalah tersendiri. Zakat, jika dikembalikan kepada perintahnya sebagaimana tertera pada surat At Taubah jelas perintah untuk mengumpulkan zakat oleh amil zakat dari orang-orang yang memiliki kemampuan. Pada masa pemerintahan Rasulullah dan juga para khalifah sesudahnya, perintah ini menjadi tanggung jawab negara untuk mengumpulkannya, ditempatkan di Baitul Maal sebagai salah satu sumber pendapatan negara, untuk kemudian didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan 8 ashnaf sebagaimana digariskan oleh Al Quran, surat at Taubah ayat 60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di Indonesia, zakat meskipun memiliki potensi yang besar namun bukan termasuk dalam salah satu sumber penerimaan negara. Akibatnya tidak ada kekuatan yang memaksa masyarakat untuk menunaikan zakat karena Undang-Undang tentang zakat Nomor 38 Tahun 1999 hanya mengatur perihal Badan dan Lembaga zakat saja tanpa mencantumkan sanksi hukum bagi muslimin yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Dan potensi zakat yang mestinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan negara dan pengentasan kemiskinan akhirnya dikelola secara parsial, dan separatis. Saat ini, masalah pengumpulan zakat diserahkan kepada Badan amil zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam perkembangannya terdapat sejumlah LAZ/BAZ dan ada satu forum zakat (FOZ). Meski demikian belum ada suatu kekuatan sinergis yang dapat memberdayakan zakat di Indonesia.
Selain itu kelemahan dari keberagaman amil zakat dan juga lembaga zakat yang terpencar ini mengakibatkan efek dari dana zakat ini menjadi tidak dapat dilihat secara langsung. Meski pun saat ini telah terdapat sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) atau BAZ yang dikelola secara profesional namun agaknya masih banyak masyarakat yang menyerahkan zakatnya secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Nasional (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN (2001) menemukan suatu hal yang menarik terkait dengan kebiasaan masyarakat dalam menunaikan zakat. Dari penelitian itu diketahui bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid, BAZ pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta LAZ swasta hanya 4 persen zakat maal. Selain itu, penelitian tentang besaran dan efektifitas dana ZIS di enam negara termasuk Indonesia dilakukan juga oleh Amelia (2000) Hasil penelitiannya menyebutkan kecenderungan masyarakat untuk memberikan ZIS hanya berdasarkan kewajiban dan keinginan untuk menyumbang saja, tanpa diiringi oleh manajemen yang profesional untuk mengelola dana tersebut menjadi lebih produktif dan berorientasi jangka panjang bagi umat.
Sebagai lembaga yang bergerak di sektor volunter, yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada 8 ashnaf yang membutuhkan, pengelolaan ZIS membutuhkan profesionalitas. Hal ini terkait dengan masalah kredibilitas dan legalitas lembaga zakat. Ke-tidak-transparan-an dan tidak akuntabilitas pengelolaan zakat akan menjadi penyebab sehingga masyarakat mengurungkan niatnya untuk menunaikan zakat. Mengacu kepada hasil penelitian UIN (2001) dimana hampir 70 persen dana zakat masyarakat disalurkan melalui Masjid menggambarkan bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan yang besar kepada lembaga Masjid. Mestinya kepercayaan masyarakat yang besar ini diimbangi dengan upaya mengoptimalkan peran Masjid sebagai lembaga ekonomi sebagaimana peran Masjid di jaman Rasulullah yang tidak hanya menjadikan Masjid sebagai tempat ibadah namun juga sebagai basis dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Di Indonesia, masjid masih digunakan hanya sebatas tempat ibadah. Kalaupun digunakan untuk tempat pengumpulan zakat dan sedekah biasanya sifatnya hanya insidental, yaitu pada saat pembayaran zakat fitrah dan pada saat ada acara pengajian, selebihnya masjid tidak diberdayakan secara ekonomi. Hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama mestinya diimbangi oleh keberadaan masjid yang mampu melakukan pengelolaan zakat dan memiliki fungsi sosial yang lebih luas. Selanjutnya jika fungsi tersebut telah dijalankan oleh Masjid, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengkolaborasikan masjid dengan sikap transparansi dan juga profesional.
Salah satu model dalam memanfaatkan masjid sebagai lembaga ekonomi dan memadukan peran pemerintah dalam mengumpulkan zakat adalah dengan menjadikannya Baitul Mal pada Masjid sebagai Basis kegiatan penyelenggaraan Zakat pada tingkat RW. Model tersebut juga sekaligus dapat melihat lebih dekat seberapa besar dampak dan manfaat dana zakat bagi masyarakat yang membutuhkannya di RW tersebut. Seperti kita ketahui bahwa jajaran RW dengan populasi penduduk sekitar 2.500 sampai 3.000 orang dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) antara 350-400 (KK) maka dapat dipastikan bahwa terdapat tingkat distribusi pendapatan masyarakat yang heterogen. artinya pada masyarakat di lingkungan RW tersebut terdapat para muzakki yang secara langsung dapat mempercayakan kewajiban zakatnya kepada Baitul Maal yang berbasiskan Masjid, di sisi lain para muzakki dapat melihat dan mengontrol langsung serta melihat manfaat pendistribusian zakat tersebut yang di berikan kepada para mustahik yang ada dalam lingkungan RW tersebut. Pembentukan Masjid sebagai tempat Baitul Mal, yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah ini telah dilakukan di Baitul Maal Masjid X.
Setelah beroperasi selama sekitar 5 tahun memperlihatkan banyak kemajuan dalam Baitul Maal ini. Meski mengalami banyak kemajuan, namun saat ini dari sekitar 400 KK muslim yang menghuni RW 05 Kelurahan X, hanya 300 KK yang terdaftar sebagai muzakki. Dan dari 300 KK ini hanya 100 KK yang aktif menunaikan zakat setiap bulannya. Perumusan masalah dalam tesis ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat diatas nisab, dalam menunaikan zakat Untuk meningkatkan keaktifan muzakki lainnya, tentunya perlu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi intensitas muzakki dalam menunaikan zakat, sehingga dengan hasil penelitian itu akan dapat dilakukan sejumlah kebijakan yang dapat meningkatkan keaktifan warga dalam menunaikan zakat. Dari perumusan masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 
1. Faktor-faktor apa yang menjadi daya tarik bagi muzakki sehingga muzakki secara intensitas menunaikan zakat ke baitul maal yang ada di lingkungan RW 05
2. Bagaimana karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Maal Masjid X

C. Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya merupakan sebuah studi kasus di salah satu Masjid yang telah memiliki baitul mal yaitu Baitul Mal Masjid X. Fokus penelitian adalah untuk melihat bagaimana efektifitas kebijakan yang diambil oleh Baitul Mal dan juga apa saja yang mempengaruhi Intensitas minat masyarakat untuk menunaikan zakat, serta bagaimana pemanfaatan zakat yang dirasakan oleh mustahik.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, setidaknya ada 2 tujuan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu : 
1. Melihat faktor apa saja yang mempengaruhi minat muzakki untuk menunaikan zakat ke baitul mal sehingga semakin intens dalam menunaikan zakat yang dilakukan Baitul Mal berbasiskan Masjid setingkat RW. Faktor-faktor ini menjadi penting untuk diketahui terutama jika dikaitkan dengan usaha replikasi model ini di tempat lain.
2. Untuk melihat karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Mal Masjid X

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada : 
1. Penulis untuk melengkapi pemahaman teori ekonomi yang berkaitan dengan zakat yang didapat selama kuliah, dan ingin membuktikan secara ilmiah tentang pengalaman empiris dalam pengelolaan Zakat berbasiskan masjid pada tingkat RW.
2. Penulis, sebagai syarat kelulusan pada Program Pasca Sarjana.
3. Bagi akademisi lain sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi pengambil kebijakan untuk dapat dijadikan alternatif menerapkan model pengelolaan zakat melalui Baitul Mal berbasiskan Masjid pada tingkat RW guna mendukung perkembangan syariah islam.
5. Bagi pengelola Masjid dan masyarakat umum, sebagai wacana dan wahana untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang model dalam pengelolaan zakat.

TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASASI PEMANFAATAN ASET TETAP PEMERINTAH DAERAH

TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASASI PEMANFAATAN ASET TETAP PEMERINTAH DAERAH

(KODE : PASCSARJ-0263) : TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASASI PEMANFAATAN ASET TETAP PEMERINTAH DAERAH (PROGRAM STUDI : AKUNTANSI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dengan berlakunya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 merupakan landasan perubahan sistem pemerintahan daerah termasuk perimbangan Keuangan Negara. Perubahan itu mengarah pada pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Arifin et al. 2003). Diberlakukannya kedua undang-undang di atas, untuk menghilangkan ketimpangan, ketidakharmonisan, dan tidak kreatifnya daerah akibat diberlakukannya UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah dan telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pembentukan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perimbangan keuangan mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan UU Nomor 32 dan 33 tahun 2004 adalah daerah telah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur sumber dayanya termasuk bagaimana mengoptimalkan dan memanfaatkan aset daerah yang dimilikinya dengan jalan menerapkan sistem manajemen aset sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian pemerintah daerah dituntut memiliki suatu kemandirian dalam membiayai sebagian besar anggaran pembangunannya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus dapat mengarahkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berdayaguna dan berhasil guna serta mampu melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah termasuk optimalisasi dan pemanfaatan dari aset-aset yang ada.
Aset daerah adalah semua harta kekayaan milik daerah baik barang berwujud maupun barang tak berwujud (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Bab I pasal 1). Barang Daerah adalah semua barang berwujud milik daerah yang berasal dari pembelian dengan dana yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBD dan atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Bab I pasal 1). Barang berwujud atau disebut dengan aktiva tetap adalah barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pelayanan publik. Aktiva tetap antara lain terdiri dari tanah, jalan dan jembatan, bangunan air, instalasi dan jaringan, gedung, mesin dan peralatan, kendaraan, meubelair dan perlengkapan serta bukubuku perpustakaan.
Pentingnya pengelolaan aset terutama tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan dan keberadaan manusia. Salah satu bentuk pengelolaan aset adalah konsep real property, yaitu suatu hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki dalam arti menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah, misalnya hak milik atau hak guna bangunan berikut bangunan (permanen) yang didirikan di atasnya atau tanpa bangunan. Pengertian penguasaan di atas perlu dibedakan antara penguasaannya secara fisik atas tanah dan/atau bangunan yang disebut real estate. Sedangkan real property merupakan kepemilikan sebagai konsep hukum (penguasaan secara yuridis) yang dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah (Siregar, 2004)
Pengelolaan (manajemen) aset daerah merupakan salah satu faktor penentu kinerja usaha yang sehat, sehingga dibutuhkan adanya analisis optimalisasi dalam penilaian aset daerah, yaitu : inventarisasi, identifikasi, legal audit, dan penilaian yang dilaksanakan dengan baik dan akurat. Sekarang ini, Sistem Informasi Manajemen Aset (SIMA) merupakan suatu sarana yang efektif untuk meningkatkan kinerja sehingga transparansi kerja dalam pengelolaan aset sangat terjamin tanpa perlu adanya kekhawatiran akan pengawasan dan pengendalian yang lemah (Siregar, 2004).
Pemerintah Kabupaten X memiliki potensi di berbagai sektor dan untuk menunjang optimalisasi potensi daerah yang ada dan peningkatan pelayanan publik, Pemerintah Daerah didukung oleh sarana dan prasarana yang dimiliki. Sarana dan Prasarana yang merupakan aktiva tetap (fixed aset) yang dimiliki Pemerintah Daerah tersebut diklasifikasikan berupa : tanah, jalan dan jembatan, instalasi dan jaringan, bangunan gedung, alat-alat besar, alat angkutan, alat bengkel dan alat ukur, alat pertanian, alat kantor dan alat rumah tangga, alat-alat studio, alat-alat kedokteran, alat-alat laboratorium, buku perpustakaan, barang bercorak seni dan budaya. 

B. Penelitian Terdahulu dan Perbedaan Penelitian
Penelitian mengenai Manajemen Aset di Kabupaten X belum pernah dilakukan namun beberapa penelitian mengenai manajemen aset telah banyak dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Pakiding (2006) dalam penelitiannya tentang "Pengaruh Manajemen Aset Terhadap Optimalisasi Aset Tetap (Tanah dan Bangunan), Studi Kasus di Kabupaten Bantul. Variabel yang digunakan Inventarisasi, identifikasi, legal audit dan penilaian. Sampel sebanyak 40 orang dengan metode purposive sampling. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas diukur dengan menggunakan statistik deskriptif, korelasi spearman rank dan diestimasi dengan regresi multinomial logistik. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa manajemen aset dalam optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) dipengaruhi secara signifikan oleh inventarisasi dan penilaian aset. Variabel bebas lainnya identifikasi dan legal audit menunjukkan hasil yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh. 
Chair (2001) mengadakan suatu studi kasus di pemerintah daerah DKI Jakarta tentang peranan manajemen dalam upaya meningkatkan kegunaan aset tanah dan bangunan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan keprogresifan status manajemen aset daerah. Metode yang digunakan adalah cluster analysis dan hasil yang diperoleh adalah adanya tingkat aktifitas yang tinggi terhadap pelaksanaan dan pengawasan manajemen aset tanah dan bangunan serta adanya pembedaan kinerja manajemen aset kelurahan yang terbentuk berdasarkan luas tanah dan bangunan yang dimiliki.
Bertovic, et al. (2002) menjelaskan bagaimana teknik mengimplementasikan manajemen aset secara bertahap (studi kasus pemerintah lokal di Negara Kroasia) beserta beberapa permasalahan yang mesti diwaspadai selama pelaksanaan dan solusi praktisnya. Di negara New Zealand (2001) pengelolaan aset tetap dikelola oleh suatu departemen tersendiri (the treasury) dan telah menetapkan garis-garis besar strategi serta mengeluarkan pedoman dan prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan akuisisi dan manajemen aset tetap. Sementara itu, Bohn (2002) mengadakan penelitian tentang pilihan berbagai alternative manajemen terhadap hutang dan aset pemerintah dalam suatu neraca keuangan yang meliputi kekayaan (treasury) The Federal Reserve, serta jaminan sosial. Penelitian ini mengkaji berapa jumlah dana yang harus diinvestasikan oleh pemerintah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa saham pendapatan tetap yang memenuhi kualitas tertinggi (high-quality fixed-income securities) merupakan patokan (benchmark) terbaik dan jaminan sosial yang paling diminati oleh manajer aset pemerintah.
Pahlevi (2002) mengadakan penelitian tentang pengelolaan manajemen aset real estate pada perusahaan daerah (PD) pasar jaya dengan pendekatan analisis Cluster dan Chi-Square untuk mengetahui sejauhmana status kinerja dan kepentingan unit-unit pasar di dalam melaksanakan faktor-faktor kunci manajemen aset Real Estate. Hasil analisis nya menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan kinerja yang signifikan antara status manajemen aset Real Estate yang terbentuk dari analisis cluster berdasarkan variabel klasifikasi unit-unit pasar, pendapatan kotor, jumlah karyawan, dan total luas lantai bangunan. Ciptono dan Wiryawan (2001) mengadakan suatu studi yang menjelaskan tentang penerapan real time strategic dengan memotret praktik manajemen aset bangunan perusahaan (corporate real-estate asset management or CREAM) di Indonesia. Dalam era transformasi (reformasi) nasional dan otonomi daerah, organisasi publik dan bisnis dituntut untuk mampu mengembangkan daya saing, efisiensi, dan keefektifannya guna melakukan proses perubahan secara kreatif dan berkesinambungan (sustainable) untuk menjadi the leader of crisis. Penelitian ini menggunakan metode cluster analysis (chi-square dan Cramer's V analysis) sebagai alat analisisnya.
Mahsun (2003) melakukan studi kasus pada Pemerintah Kota Yogyakarta tahun anggaran 2001/2002 tentang analisis efektivitas manajemen aset properti riil Pemerintah Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pertama dengan melakukan wawancara dengan pejabat di lingkungan pemerintah kota, yang kedua melakukan pengamatan dan observasi di lingkungan pemerintah kota dan yang ketiga melakukan tinjauan data baik literatur akademik maupun laporan
pertanggungjawaban. Hasil penelitian menunjukan bahwa praktek manajemen aset di Pemerintah Kota Yogyakarta masih belum optimal, karena pemkot masih belum mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengelola aset-aset yang dimiliki terutama aset besar.
Agustina (2005) melakukan suatu studi kasus yang dilakukan di Kabupaten Pontianak tentang manajemen aset (tanah dan bangunan) Pemerintah Daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identifikasi atas tanah dan bangunan yang belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah menjadi sumber pendapatan asli daerah dan meningkatkan pelayanan publik (public service). Dadson et. al (2006) menjelaskan tentang mengoptimalkan manajemen aset tanah di Ghana dalam rangka menuju good governance. Langkah-langkah tersebut berada di seputar legislasi, organisasi dalam sektor tanah, data base dan peta serta mekanisme sistem lahan yang berkelanjutan.
Penelitian yang dilakukan Bloom Quist dan Oldach (2005) menjelaskan bahwa optimalisasi aset perusahaan memerlukan pendekatan perbaikan yang "cerdas" dengan memadukan teknologi secara strategis, metodologi yang handal, proses pemeliharaan yang terbaik dan perubahan budaya dalam sebuah program yang terkoordinasi dan berkelanjutan. Sementara itu, Wardhana (2005) meneliti mengenai bagaimana mengelola aset Kota Jakarta. Penelitian ini membahas mengenai keberadaan potensi kota sebagai aset yang dimiliki/dikuasai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, permasalahan yang dihadapi berikut upaya penyelesaiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu adanya restrukturisasi organisasi dalam pengelolaan aset melalui pembentukan Badan Pengelola dan Dewan Supervisi Aset
Kota, sehingga dari sisi anggaran biaya pengelolaan aset dapat ditekan secara signifikan dan kinerja organisasi dalam pengelolaan aset akan dapat diukur.
Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah pada lokasi penelitian yang mana mengambil lokasi Penelitian di Kabupaten X. Adapun alasan dipilihnya Kabupaten X sebagai lokasi penelitian karena memiliki jumlah aset-aset properti khususnya tanah dan bangunan yang sangat banyak. 
Atas dasar uraian di atas, maka penelitian ini tertarik melakukan penelitian terkait pengaruh manajemen aset terhadap optimalisasi aset dengan judul “PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET TETAP PEMERINTAH KABUPATEN X".

C. Perumusan Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada pengaruh manajemen aset terhadap optimalisasi pemanfaatan aset tetap di Pemerintah Kabupaten X. Inventarisasi, legal audit, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian aset daerah berperan sangat penting dalam memberikan informasi yang cepat, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten X adalah pelaksanaan manajemen aset atau pengelolaan asetnya yang meliputi prosedur penatausahaan inventarisasi dan identifikasi aset daerah secara fisik dan yuridis yang belum terlaksana dengan baik dan benar. Ketidaktertiban dalam pengelolaan data base aset, sehingga aset-aset yang dikelola Pemerintah Daerah cenderung tidak optimal dalam penggunaannya. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan dalam optimalisasi dan pemanfaatan aset di masa yang akan datang. Implikasi atas pemanfaatan dari pengelolaan aset yang tidak optimal adalah tidak diperolehnya nilai yang terkandung dalam aset itu sendiri, misalnya dari aspek ekonomi adalah tidak diperolehnya revenue yang sepadan dengan besarnya nilai aset yang dimiliki atau dengan kata lain tingkat pengembaliannya rendah.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan suatu kajian yang mendalam tentang optimalisasi dari pemanfaatan aset tanah dan bangunan yang dimiliki/dikelola oleh Pemerintah Kabupaten X. Kajian-kajian tersebut meliputi optimalisasi potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal yang dimiliki aset sehingga diharapkan daerah dapat menggali sumber-sumber pendapatannya dalam rangka kemandirian daerah dalam hal pendanaannya, serta faktor-faktor yang berhubungan dengan manajemen aset di daerah.
Oleh karenanya, penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh manajemen aset terhadap optimalisasi aset tetap yang berupa tanah dan bangunan. Secara lebih rinci, rumusan masalah dituliskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut ini.
1. Apakah terdapat pengaruh inventarisasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?
2. Apakah terdapat pengaruh identifikasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?
3. Apakah terdapat pengaruh legal audit terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?
4. Apakah terdapat pengaruh penilaian terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh manajemen aset di Pemerintah Kabupaten X dalam optimalisasi aset tetapnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang baik bagi Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan asetnya. Secara lebih rinci, tujuan penelitian dengan mendasarkan pada pertanyaan penelitian di atas adalah sebagai berikut ini.
1. Untuk memperoleh bukti empiris terkait pengaruh inventarisasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.
2. Untuk memperoleh bukti empiris terkait mengetahui pengaruh identifikasi terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.
3. Untuk memperoleh bukti empiris terkait mengetahui pengaruh legal audit terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.
4. Untuk memperoleh bukti empiris terkait mengetahui pengaruh penilaian terhadap optimalisasi aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat sebagai berikut ini.
1. Pemerintah Kabupaten X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten X dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan manajemen aset untuk optimalisasi dan pemanfaatan aset tetapnya.
2. Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah/wawasan dalam bidang ilmu pengetahuan terutama manajemen aset khususnya pengelolaan aset di daerah.

JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA 3

JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA 3

JUDUL-JUDUL TESIS PROGRAM PASCASARJANA 3 :

TESIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN, TRUST, DAN WORD OF MOUTH NASABAH

TESIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN, TRUST, DAN WORD OF MOUTH NASABAH

(KODE : PASCSARJ-0262) : TESIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN, TRUST, DAN WORD OF MOUTH NASABAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Iklim perekonomian yang semakin terbuka membuat kompetisi kian ketat, tidak terkecuali di sektor perbankan. Persaingan perbankan dalam menyalurkan kredit dan menghimpun dana pihak ketiga (DPK) tidak bisa dihindarkan. Menurut Biro Riset Infobank, ada 115 juta orang usia produktif di Indonesia yang belum memiliki rekening di bank (unbanked) yang akan diperebutkan. Perang antar bank memperebutkan dana murah terus berlanjut. Iming-iming hadiah kian gencar dilakukan bank-bank untuk menarik nasabah. Secara khusus untuk Provinsi Bali, jumlah kantor bank yang tercatat beroperasi sampai Agustus 2012 adalah 656 kantor (statistik ekonomi Bank Indonesia 2012). Kantor bank tersebut terdiri dari bank pemerintah, bank pemerintah daerah, bank swasta nasional, serta bank asing dan campuran.
Besarnya pertumbuhan jumlah kantor cabang pembantu dan kantor kas bank swasta nasional pada periode 2010-2011. Kantor cabang pembantu dari yang tercatat 91 pada tahun 2010, telah tumbuh menjadi 193 pada tahun 2011. Kantor kas tercatat 163 buah pada tahun 2011, yang sebelumnya adalah 48 pada periode 2010. Angka ini mengalahkan jauh jumlah kantor kas dan kantor cabang pembantu Bank Pembangunan Daerah Bali yang hanya mempunyai 18 kantor kas dan 28 cabang pembantu. Besarnya pertumbuhan jumlah kantor tersebut didominasi oleh ekspansi kantor pelayanan Bank Sinar sejak diambil alih oleh Bank Mandiri pada pertengahan tahun 2008. Penempatan Kantor Kas Bank Sinar mencapai seluruh pelosok wilayah Provinsi Bali. Jumlah Kantor Kas Bank Sinar hanya bisa disaingi oleh keberadaan kantor teras dan unit-unit dari Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pertumbuhan tersebut sesuai dengan pernyataan David (2004), bahwa intensitas persaingan di antara perusahaan yang bersaing cenderung meningkat ketika jumlah pesaing bertambah. David (2004) juga menyatakan bahwa intensitas persaingan cenderung meningkat ketika perusahaan yang bersaing menjadi setara besarnya dan kemampuannya. Kemampuan perbankan dapat dilihat dari permodalan. Empat dari 43 jumlah bank beroperasi di Bali diantaranya; Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia, adalah beberapa bank bermodal besar yang telah menghadirkan kantor pelayanan di setiap kabupaten di Bali. Tabel 1.2 menunjukkan jumlah modal sendiri lima bank nasional yang beroperasi di Bali dibandingkan dengan BPD Bali sebagai tuan rumah dengan modal sendiri Rp. 784.459.000.000,00. Lima bank nasional tersebut adalah Bank papan atas yang tidak hanya memiliki kemampuan lebih untuk ekspansi kantor, tapi juga punya kemampuan memperluas pelayanannya melalui e-channel, seperti automatic teller machine (ATM), internet banking, sort message service (SMS) banking, dan mobile banking (m-banking).
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Hadad dalam Mukernas Asosiasi Bank-Bank Pembangunan Daerah seluruh Indonesia (Asbanda) 2010, menyatakan modal inti BPD saat ini rata-rata sebesar Rp 635 miliar. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata modal inti bank nasional sebesar Rp 2 triliun. Hadad juga menekankan bahwa modal sangat penting, baik dalam menyerap risiko atau melakukan ekspansi usaha. Permodalan yang masih rendah dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan kegiatan usaha BPD, dan berpotensi melemahkan ketahanan entitas untuk bersaing dengan bank lain. Simpanan masyarakat merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran posisi persaingan. Posisi persaingan dalam pasar perbankan yang dihadapi BPD Bali ditunjukkan pada posisi simpanan masyarakat.
Simpanan masyarakat dihitung dari jumlah dana pihak ketiga yaitu tabungan, giro, dan deposito. Dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh BPD Bali per Pebruari 2010 adalah Rp. 6.356.806 (juta), atau hampir 20% dari keseluruhan penghimpunan dana. Perolehan tersebut menunjukkan posisi BPD Bali dalam kompetisi perbankan. 
Posisi pasar yang dicapai BPD Bali dipengaruhi oleh posisinya sebagai perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki pemerintah daerah. Image BPD Bali sebagai pemegang kas daerah masih melekat. Penempatan dana pemerintah pada rekening giro BPD merupakan salah satu sumber yang ikut mendukung besarnya jumlah nominal dana pihak ketiga BPD Bali, terutama pada giro dan tabungan. Secara tidak langsung, ikatan pemerintah daerah dengan BPD Bali juga membawa pengelolaan gaji serta penyaluran kredit pegawai negeri sipil pada rekening BPD Bali. Pengendapan dana dari tabungan gaji tersebut juga memberikan kontribusi untuk jumlah dana pihak ketiga BPD Bali. Bantuan sosial dan kegiatan operasional pemerintah juga akan tersalurkan melalui rekening-rekening tabungan serta giro BPD Bali.
Posisi dana pihak ketiga yang telah diraih menunjukkan bahwa BPD Bali berhasil mempertahankan comparative advantage ini. Kondisi persaingan yang telah berkembang menuntut BPD Bali untuk tidak hanya mempertahankan comparative advantage ini, tapi harus mempunyai competitive advantage. BPD Bali agar tidak hanya mengandalkan status kepemilikan saham pemerintah daerah saja, karena kompetisi di sembilan kabupaten sudah kian ketat. Potensi ekonomi masing-masing kabupaten telah diperhitungkan, tidak hanya Denpasar dan Badung sebagai barometer pariwisata, bahkan Karangasem yang relatif terlihat tertinggal juga diburu kompetitor BPD Bali.
Salah satu isu yang masih menghambat langkah maju BPD selain permodalan, brand awareness, kompetensi sumber daya manusia (SDM), rendahnya komposisi kredit produktif, serta persoalan jaringan pelayanan BPD, adalah kualitas layanan (Infobanknews.com). Faishal (2010) menyatakan bahwa suatu perusahaan akan memenangkan persaingan bila dapat menciptakan nilai dan memberi kepuasan kepada pelanggan melalui penyampaian produk atau jasa yang berkualitas dan harga yang bersaing, untuk itu BPD Bali dituntut harus mampu menciptakan competitive advantage tersebut.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hadad (economy.okezone.com), menyatakan bahwa industri perbankan nasional menghadapi persaingan non bunga. Perbankan dituntut untuk memberikan layanan maksimal kepada nasabah dalam rangka mendapatkan pendapatan non bunga (fee based income). Hadad menyatakan bahwa bank yang bisa memberikan pelayanan yang maksimal akan menjadi pemenang. Kompetisi sudah mulai meninggalkan persaingan suku bunga (simpanan maupun kredit). Industri perbankan nasional telah memasuki era baru yang lebih mengutamakan layanan.
Kualitas layanan sangat penting untuk mampu ikut bersaing, terutama dalam memperebutkan funding (Haryanto, 2010). Pelayanan yang memuaskan walaupun mahal, akan menjadi rebutan. Haryanto juga merujuk pada survey Frontier tahun 2000, yang menyatakan bahwa 69% penyebab nasabah lari dari bank adalah karena service.
Pentingnya kualitas layanan juga menjadi kunci penting. Seperti yang diungkapkan Muhamad (Biro Riset Infobank) dalam kolom Infobank April 2010. Kualitas layanan sangat penting dalam memperebutkan pendapatan operasional non bunga yang bersumber dari pendapatan berbasis komisi (fee based income). Fee based income yang kian menjadi sumber penting bagi pendapatan bank. Untuk itu bank-bank kian berlomba mendongkrak kualitas layanan dalam bersaing memperebutkan pendapatan operasional non bunga (fee based income).
Majalah InfoBank yang bekerja sama dengan Marketing Research Indonesia (MRI), telah merilis nama-nama bank BPD yang masuk kriteria the best overall performance service excellence. Kriteria yang dinilai dalam penghargaan pelayanan prima antara lain adalah pelayanan satpam, teller, costumer service, dan phone banking handling. 
Menurut Biro Riset Infobank, kelemahan BPD dalam kancah perebutan tabungan disebabkan rendahnya mutu pelayanan para petugas, seperti customer service dan teller. Hasil riset Marketing Research Indonesia (MRI) tahun 2010 menunjukkan betapa kualitas pelayanan BPD masih berada di bawah bank-bank umum. Pemantauan mystery shopper dari Marketing Research Indonesia (MRI) menyatakan bahwa pelayanan BPD bergerak sangat lambat. Kecakapan front liner di BPD seperti customer service, teller, dan petugas telepon, sangat rendah dengan mutu stagnan. Skor yang diraih BPD dalam hal pelayanan prima secara keseluruhan (overall) pun ditopang penilaian terhadap aspek fisik, seperti peralatan banking hall, kenyamanan ruangan, dan automatic teller machine (ATM).
Permasalahan yang muncul pada tidak masuknya BPD Bali ke dalam 10 besar pelayanan prima Bank Pembangunan Daerah, bisa disebabkan oleh masalah layanan dari unit-unit layanan BPD Bali sendiri. Score penilaian untuk BPD Bali, belum tentu menggambarkan semua unit pelayanan, karena profil nasabah BPD Bali secara umum sedikit berbeda untuk setiap daerah layanan. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana kualitas layanan Kantor-Kantor Cabang BPD Bali dalam memberikan layanan pada masing-masing daerah layanan.
Masing-masing Kantor Cabang BPD Bali beroperasi pada wilayah dengan yang mempunyai karakteristik sendiri. Penduduk pada Kota Denpasar dan Badung memiliki profil nasabah yang umumnya berpendidikan dengan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dari kabupaten lain di Bali seperti Karangasem. Penduduk pada Kabupaten Karangasem memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih rendah. Analisis Klassen Typology kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2005 (www.bi.go.id), menempatkan Kabupaten Karangasem ke dalam golongan daerah relatif tertinggal (low growth and low income), dengan pendapatan per kapita terendah diantara kabupaten lain di Bali.
Karakteristik umum tersebut ikut memberikan pengaruh pada kualitas layanan yang diharapkan nasabah. Karakteristik nasabah di Kota Denpasar dan Badung lebih sensitif pada kualitas layanan. Sementara pada Kabupaten Karangasem yang umumnya masyarakat berpendidikan setingkat sekolah menengah umum, belum tentu memiliki persepsi atau tuntutan untuk pemenuhan kualitas layanan seperti pada nasabah di Kota Denpasar dan Badung. Tuntutan Kualitas layanan dalam hubungannya dengan kepuasan pada masing-masing segmen daerah relatif berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut melatarbelakangi pemilihan BPD Bali Cabang Karangasem sebagai tempat penelitian.
Potensi Kabupaten Karangasem telah menjadi daya tarik bagi pesaing, ditunjukkan dengan mulai beroperasinya Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Mandiri pada bulan Oktober 2010. Bank Mandiri telah banyak melakukan ekspansi kredit dengan berhasil membuat cukup banyak nasabah kredit BPD Bali Cabang Karangasem beralih. Bank Mandiri bahkan sudah berhasil memasuki wilayah pemerintahan dengan telah masuknya sebagian dana Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karangasem pada rekening Bank Mandiri. Nasabah pensiunan BPD Cabang Karangasem yang membutuhkan dana cepat juga telah beralih ke BTPN melalui penawaran kemudahan layanan door to door. Bank Sinar sebagai anak perusahaan Bank Mandiri, sudah terlebih dahulu hadir menjadi kompetitor BPD Cabang Karangasem. Bank Sinar berusaha meningkatkan dana pihak ketiga dan ekspansi kredit melalui pelayanan kantor layanan di setiap kecamatan. Keberadaan kantor operasional Bank Sinar menyamai kantor layanan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sementara untuk BPD Bali Cabang Karangasem baru hadir di lima kecamatan. Gebrakan layanan BRI adalah pada ekspansi kredit melalui penambahan jumlah account officer diseluruh kantor layanan. BNI juga telah berbenah dengan penempatan kantor baru yang direncanakan pemerintah kabupaten akan menjadi pusat kota masa depan Karangasem. Bank Danamon berkonsentrasi pada ekspansi kredit melalui Kantor Danamon Simpan Pinjam. Kompetisi juga diramaikan dengan telah hadirnya Bank Bumiputra pada Pebruari 2011.
BPD Cabang Karangasem tidak hanya menghadapi pesaing formal, tapi juga kompetitor non formal seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Koperasi, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang unggul dalam bunga simpanan yang lebih besar serta kemudahan jaminan kredit. Secara tidak langsung bahkan PT Pos sudah menjadi pesaing dalam memperebutkan based income serta pengelolaan dana pensiunan. Perkembangan PT Pos ke depannya, berpotensi akan menjadi pesaing langsung dalam pelayanan transaksi keuangan.
Pelayanan BPD Bali Cabang Karangasem dikenal dengan antreannya yang panjang, dan keluhan pada pelayanan petugas. BPD Cabang Karangasem dalam mengantisipasi antrean nasabah telah menempatkan 5 teller untuk mempercepat pelayanan. Bagaimanapun kualitas layanan tidak hanya pada indikator kecepatan, kualitas layanan BPD Bali Cabang Karangasem mencakup banyak aspek.
Menilai kualitas layanan bank tidak cukup hanya dengan membandingkan performance terhadap standar layanan, tapi juga harus dilihat bagaimana persepsi nasabah (Toelle, 2010). Artinya bahwa Bank BPD Bali dalam melihat kualitas layanannya selayaknya tidak hanya berlandaskan pada standar yang ada, lebih buruk lagi operasional berjalan dengan standar yang telah berumur dan tidak pernah diperbaharui. Toelle menegaskan bahwa kualitas pelayanan adalah apa yang sesuai dengan keinginan nasabah, bukan apa yang sesuai dengan keinginan perusahaan. Perusahaan sering menyatakan dirinya sudah berbuat yang terbaik untuk nasabah. Apa yang telah dilakukan perusahaan tidak selamanya sesuai dengan harapan nasabah, sehingga timbul gap antara persepsi perusahaan dan nasabah dalam menilai kualitas layanan. Untuk itu penelitian ini juga bermaksud melihat bagaimana kepuasan nasabah BPD Bali Cabang Karangasem dalam menerima layanan yang telah diberikan.
Kepuasan pelanggan adalah sangat penting, namun bukan semata sebagai tujuan pemasaran. Kepuasan sebagai batu loncatan dengan tujuan mengembangkan hubungan yang dilakukan berdasarkan satu struktur manfaat jangka panjang. Kepuasan membentuk ikatan antara penyedia jasa dan nasabah untuk meningkatkan kepercayaan nasabah (trust). Variabel yang menandainya adalah network relationship yang meliputi kepercayaan (trust) (Sulistiarini, 2007). Untuk itu, penelitian juga akan melihat bagaimana kualitas layanan, kepuasan, trust, dan word of mouth serta hubungan antara variabel tersebut.
Fungsi bank adalah sebagai agent of trust. Masyarakat akan mau menempatkan dananya di bank apabila dilandasi oleh unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uang tersebut tidak akan disalahgunakan oleh bank, dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan percaya pada saat yang dijanjikan masyarakat dapat menarik lagi simpanan di bank. Kepercayaan merupakan dasar dalam menjalin hubungan, sehingga variabel trust merupakan salah satu variabel yang diangkat dalam penelitian.
Tidak hanya trust, bank akan mampu menciptakan kekuatan baru (competitive advantage) jika mampu memahami pengaruh dari kepuasan nasabah terhadap positif word of mouth. Kepuasan pelanggan menimbulkan hubungan antara perusahaan dan pelanggan menjadi harmonis, memungkinkan pembelian ulang dan terciptanya loyalitas serta pelanggan memberi rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang menguntungkan perusahaan (Faishal, 2010). Pentingnya word of mouth dinyatakan oleh Bharadwaj et al. (1993) dan Ennew et al. (2000), bahwa reputasi terstimulasi dari positif word of mouth. Mazzarol et al. (2006) menyatakan bahwa komunikasi WoM, terutama sekali sangat penting pada konteks jasa, karena jasa adalah tidak berwujud (intangible).
Djatmiko (2010), dalam SWA (swa.co.id), menyatakan bahwa karakteristik konsumen Indonesia relatif lebih suka berbicara dibandingkan orang dari negara mana pun. Kuatnya budaya lisan yang mengakar kuat pada sebagian besar bangsa Indonesia menjadi dasar kenapa WoM akan menjadi begitu efektif sebagai media pemasaran. Penelitian yang dilakukan Onbee Marketing Research bekerjasama dengan Majalah SWA kepada 2000 konsumen di lima kota besar Indonesia, menunjukkan bahwa 89% konsumen Indonesia lebih mempercayai rekomendasi dari teman dan keluarga pada saat memutuskan untuk membeli sebuah produk dalam hal ini adalah pemilihan penyedia jasa keuangan (bank).
Pada kondisi persaingan antar bank, WoM positif menjadi sangat penting. Manfaat WoM diharapkan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat yang belum menjadi nasabah, bahkan menjadi lebih baik jika mampu mengambil nasabah bank lain. Haryanto dalam Infobank Februari 2010 menyatakan bahwa debitur dapat direbut dengan memanfaatkan referral (WoM) dari nasabah sendiri. WoM positif menjadi sangat penting.
Pentingnya penelitian untuk mengetahui seberapa besar kepuasan nasabah BPD Bali Cabang Karangasem dari pelayanan yang telah diberikan, serta tindakan yang diambil selanjutnya bisa menjadi referensi perencanaan jangka pendek serta jangka panjang perusahaan dalam usaha mencapai misi perusahaan menjadi regional champion.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh dimensi kualitas layanan terhadap kepuasan nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ?
2. Bagaimanakah pengaruh kepuasan terhadap trust nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ?
3. Bagaimanakah pengaruh kepuasan terhadap WoM nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ?
4. Bagaimanakah pengaruh trust terhadap WoM nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh dimensi kualitas layanan terhadap kepuasan nasabah PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem.
2. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan nasabah terhadap trust pada PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem.
3. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan nasabah terhadap WoM pada PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem.
4. Untuk mengetahui pengaruh trust terhadap WoM pada PT Bank Pembangunan Daerah Bali Cabang Karangasem.

D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk memperkuat teori tentang faktor yang mempengaruhi suksesnya perusahaan jasa khususnya lembaga keuangan.
2. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dalam merumuskan kebijakan tentang kualitas layanan dalam menciptakan keunggulan kompetitif dengan para pesaing.

TESIS PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT

TESIS PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT

(KODE : PASCSARJ-0261) : TESIS PENGARUH SERVANT LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN MELAYANI) TERHADAP MOTIVASI PELAYANAN DAN DAMPAKNYA PADA KOMITMEN PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gereja Protestan Maluku secara institusi mengenal adanya jabatan organisasi dan jabatan pelayanan fungsional gereja. Jabatan secara organisasi gereja yaitu Ketua Majelis, Wakil, Sekretaris, Bendahara, dan Komisi Pelayanan, atau yang disebut juga Pimpinan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Jabatan pelayanan fungsional yaitu Pendeta, Diaken, Penatua, dan Pengajar. Jabatan organisasi gereja Pendeta sebagai Ketua Majelis jemaat sekaligus pemimpin bagi organisasi gereja. Jabatan pendeta tersebut memiliki peran, tugas dan tanggung jawab pendeta sebagai pelayaan umat dan pemimpin dalam jemaat GPM yang diatur dalam Tata Gereja GPM 1998 : Bab I dan Bab II, demikian : 
Memimpin serta bertanggungjawab atas ibadah, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. Melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi semua pelayan dan anggota jemaat. Bersama Penatua dan Diaken bertanggungjawab atas penyelenggaraan katekisasi, pembinaan umat, pendidikan agama Kristen di sekolah. Bersama Penatua dan Diaken bertanggung jawab atas pelaksanaan Pekabaran Injil, Pelayanan Kasih dan Keadilan. Membina serta mendorong semua warga jemaat untuk menggunakan potensi dan karunia yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab. Melaksanakan fungsi organisasi dalam Gereja Protestan Maluku sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang berlaku. 
Proses pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin jemaat (pendeta) dibantu oleh penatua dan diaken. Dan proses koordinasi pelayanan tersebut dikenal dengan asas kolegial (Tata peraturan GPM) artinya, secara struktur memiliki kedudukan yang berbeda. Namun secara koordinasi pelaksanaan pelayanan antara pemimpin jemaat dan partner kerja (penatua dan diaken) memiliki fungsi kontrol yang sama yakni, secara bersama-sama mengkoordinasikan pelayanannya. Proses koordinasi pelayanan itu penting dilakukan secara efektif supaya, tujuan dan proses pelayanan dapat berjalan dengan baik. Terlebih penting pendeta selaku pemimpin mampu memiliki kemampuan manajerial mencakup; perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, dan evaluasi. Dengan demikian dalam proses kepemimpinannya (pendeta) dapat memberikan pengaruh positif bagi partner kerjanya namun juga bagi warga jemaat.
Pengaruh kepemimpinan pendeta terkadang memberikan cara pandang yang berbeda pada setiap anggota organisasi. Penelitian Latumahina (2011) membuktikan bahwa cara pandang anggota jemaat terhadap pemimpinnya dapat di lihat dari dua sisi yang berbeda yakni, dari sisi negatif dan positif. Pemahaman jemaat yang negatif disebabkan, proses manajemen pelayanan kepada anggota jemaat yang kurang baik, timbulnya rasa resah, kegelisahan, dan rasa tidak nyaman terhadap cara hidup pendeta dalam kegiatan formal gereja ataupun juga kehidupan kesehariannya. Sedangkan dari sisi positif pendeta dipandang sebagai hamba Tuhan yang melakukan pelayanan dengan baik dan menjadi teladan. Kerja keras pendeta dengan kesungguhan dan kegigihannya dalam melayani jemaat, serta spiritualitas pendeta telah melahirkan terciptanya rasa hormat jemaat, sehingga menunjukan cara pandang yang positif dari anggota jemaat.
Secara umum Maxwell (2012) mendefinisikan kepemimpinan sebagai cara pemimpin mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, mempengaruhi berarti membantu orang lain untuk dapat melakukan perubahan. Artinya kepemimpinan menjadi unsur kunci untuk melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif. Semua bentuk kepemimpinan itu penting bagi semua organisasi, dan kepemimpinan yang efektif adalah penting (www.com/aboutdefinition-leadership-theories). Fungsi dari kepemimpinan yang efektif yaitu, dapat menggerakkan para anggota kelompoknya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi (Prodjowijono : 2008). Sejalan dengan itu, Stutzman dan Shenk (1988) sebagaimana dikutip dalam Bennis dan Nanus mengidentifikasikan pemimpin yang efektif adalah memberi diri untuk memimpin orang lain tetapi, harus menjadi pelayaan kepada komunitas orang yang dipimpinnya. Selain itu penelitian Zaluchu (2011) menunjukan fakta bahwa anggapan banyak orang tentang kepemimpinan yang lebih melekat kepada kekuasaan, posisi atau jabatan dibandingkan menjadi pelayan itu tidak benar. Lebih lanjut diungkapkan, kepemimpinan merupakan posisi atau jabatan tertentu dan kedudukan itu membuat orang menjadi takut dan segan. Kedudukan demikian tidak seharusnya membuat anggotanya menjadi takut dan segan namun, dibutuhkan pemimpin yang mampu memberikan pengaruh yang positif bagi anggotanya.
Pendeta sebagai pemimpin dalam organisasi gereja memiliki peran penting yang mampu menguatkan aspek pemberdayaan jemaat dan memanajemen proses pelayanan. Namun menurut Prodjowijono (2008) pendeta tidak hanya melihat aspek-aspek itu saja, tetapi pendeta dalam konteks organisasi gereja diharapkan juga menjadi manajer bagi anggota organisasi. Artinya bahwa, kehadiran atau kepemimpinannya menjadi perekat dan solusi atas masalah-masalah yang di hadapi jemaat. Sebagai pemimpin organisasi gereja dan pelayan perlu menunjukkan karakter kepada jemaat yang dapat memberikan teladan. Untuk itu kekuatan karakter pemimpin yang sesuai dengan lingkungan jemaat sangat diperlukan, yakni bertanggung jawab menjadi pemimpin yang tepat, dalam waktu yang tepat (Right Leader In The Right Time).
Kondisi ini memberi gambaran bahwa kepemimpinan dapat diwujudkan melalui suatu pendekatan kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang mampu memberikan pelayanan dan dari pelayanannya dapat memberikan pengaruh kepada anggotanya. Oleh sebab itu dalam mewujudkan kondisi tersebut tentunya ada sebuah model kepemimpinan yang memberikan pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan servant leadership (kepemimpinan melayani). Zaluchu (2011) berpendapat bahwa, kepemimpinan ini masih relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen dimanapun untuk dikembangkan dan dipraktekkan.
Menurut Senjaya (1997) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Covey bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapat hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya. Pendapat tersebut didukung oleh Blanchard dan Hodges (2006) mengungkapkan, bahwa bagi para pengikut Yesus, kepemimpinan sebagai tindakan pelayanan bukanlah pilihan, itu adalah mandat atau perintah. Dijelaskan servant leadership (kepemimpinan melayani) harus menjadi statemen hidup bila tinggal dalam Yesus, cara memperlakukan sesama memperlihatkan cara hidup Yesus. Cara hidup yang harus menjadi teladan bagi seorang pemimpin bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Pendapat tersebut didukung dengan pendapat (Neuschel : 2008) yang menyatakan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani.
Salah satu tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan (Yulk : 2010). Bront Kark dan Dina Va Dijk (2007) serta Anderson et al., (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) yang menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. Tulisan ini diperkuat oleh Patterson (2003) yang memperlihatkan bahwa dasar servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah kasih atau cinta. Kasih atau cinta dapat memberikan motivasi yang kuat pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Dapat disimpulkan kepemimpinan melayani juga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap motivasi yang terbangun dalam diri individunya. Namun bila tidak bisa memotivasi bawahannya tidak mungkin pemimpin organisasi dapat sukses dalam mencapai tujuan dari organisasi.
Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dari dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong dan menggerakkan individu melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu tujuan tertentu. Menurut Kini dan Hobson (2002), motivasi didefinisikan sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku ke arah pencapaian tujuan. Dengan motivasi yang tinggi akan menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan (McNeese-Smith et al : 1995). Pendapat ini didukung oleh penelitian Burton, J; Lee Thomas; Holtom, B (2002), yang menunjukan hasil bahwa motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Selanjutnya penelitian KuVaas Bard (2006) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Furthermore, Ganesan dan Weitz, menemukan adanya pengaruh positif antara motivasi terhadap komitmen induvidu yang timbul dari dalam dirinya.
Penelitian diatas membuktikan motivasi kerja dalam konteks organisasi secara umum bisa memberikan pengaruh terhadap komitmen. Namun perlu dilihat dalam konteks gereja motivasi pelayanan lebih banyak muncul dari kesadaran induvidu secara internal. Motivasi pelayanan itu timbul dari ketulusan hati individu untuk melayani, melayani tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan. Karena motivasi pelayanan tidak bisa diukur dengan uang atau materi. Namun ada nilai yang terkandung dari proses pengabdian yakni kesadaran akan suatu panggilan pelayanan. Dengan demikian individu mampu akan mempunyai komitmen yang tinggi.
Motivasi pelayanan itu lebih penting, diperlukan dan harus timbul dari dalam diri individu. Motivasi pelayanan itu muncul lebih kuat dari dalam diri induvidu, sehingga mampu meningkatkan kehidupan rohani atau spiritual individu tersebut. Seorang pendeta yang memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) itu akan bisa meningkatkan motivasi pelayanan individu, dan memberikan tambahan dorongan untuk melakukannya walaupun sudah ada dari dalam diri. Dan servant leadership (kepemimpinan melayani) dari pendeta yang baik mampu menjadi teladan bagi induvidu tersebut. Akibatnya induvidu akan lebih berkomitmen tapi tidak secara langsung. Dimaksudkan tanpa induvidu itu mempunyai motivasi internal pelayanan. Untuk itu servant leadership (kepemimpinan melayani) tidak berpengaruh secara langsung terhadap komitmen namun ada kemungkinan melalui motivasi pelayanan. Dengan demikian motivasi pelayanan menjadi variabel mediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan.
Penelitian Cavin dan McCuddy (2009) melibatkan responden yang bekerja di gereja Lutheran. Penelitian ini memperlihatkan penerapan sepuluh karakteristik servant leadership dalam kerangka demografis (status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, gender, usia, dan tempat tinggal responden). Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku servant leadership beragam berdasarkan empat karakteristik demografi (status social ekonomi, tingkat pendidikan, usia dan tempat tinggal responden). Cohen, Colwell, dan Reed (2011) melakukan penelitian yang menghasilkan sebuah pengukuran baru terhadap servant leadership para eksekutif dalam konteks kepemimpinan etis dan dampaknya terhadap anggota, organisasi dan masyarakat.
Melalui penjelasan di atas bahwa ada pertimbangan lain yang mendasari penelitian ini adalah masih minimnya penelitian yang berorientasi pada servant leadership pendeta, dalam kaitan dengan motivasi dan dampaknya pada komitmen pelayanan khususnya di gereja.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Apakah terdapat pengaruh Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat ?
2. Apakah terdapat pengaruh motivasi pelayanan terhadap komitmen pelayanan pada Majelis Jemaat ?
3. Apakah motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dengan komitmen pelayanan.

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui dan menguji pengaruh Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat.
2. Untuk mengetahui dan menguji pengaruh motivasi pelayanan terhadap komitmen pelayanan pada Majelis Jemaat.
3. Untuk mengetahui dan menguji motivasi pelayanan menjadi variabel pemediasi antara Servant leadership dengan komitmen pelayanan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, antara lain : 
1. Secara Teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu bukti empiris bahwa : teori-teori motivasi dan komitmen secara manajemen bisa diterapkan di dalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai informasi, referensi dan pertimbangan bagi pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai pentingnya mengetahui dan memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai role model kepemimpinan seorang pendeta. Selanjutnya dapat memberikan pengaruh terhadap anggota jemaat (diaken dan penatua) dalam meningkatkan motivasi dan komitmen para (diaken dan penatua) dalam melaksanakan pelayanannya.