Search This Blog

SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X

SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0003) : SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang handal dan memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi dan sikap profesionalisme tinggi yang dapat dicapai melalui pendidikan.
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan SDM yang berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 31 ayat (2) setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya serta ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini sejalan dengan undang-Undang Bab IV Bagian Kesatu dijelaskan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, pasal 5 ayat 1 menyebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Masih di bab yang sama, pada bagian keempat ihwal Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 (1) berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Suatu kebijakan pendidikan di daerah dalam konteks otonomi daerah dikaitkan dengan kebijakan publik desentralisasi (UU 32 Tahun 2004) bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, dan kebijakan pendidikan nasional (UU No. 20 tahun 2003). Dalam kebijakan pendidikan nasional ada dua hal khusus yang berkenaan dengan hal tersebut adalah pertama menetapkan alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% baik pada APBN dan APBD, kedua UU no. 20 tahun 2003 pasal 11 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintahan daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan baik setiap warga Negara. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan gratis bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun yang dikenal sebagai wajib belajar sembilan tahun.
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan aparat dalam merumuskan program/kebijakan untuk dilaksanakan oleh aparat pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat yang ikut serta bersama-sama melaksanakan program/kebijakan yang telah diputuskan, yang harusnya didukung oleh sarana dan prasarana yang ada.
Sejalan dengan adanya program pemerintah Kabupaten X yang mengarahkan pada kebijakan Pendidikan gratis sebagai salah satu program andalan. Dalam perspektif pembangunan daerah dewasa ini, seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka daerah dituntut agar mampu mengembangkan daerahnya sendiri secara mandiri yang ditandai dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten X dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini sangat baik dalam hal peningkatan pendidikan anak-anak usia sekolah, sehingga tingkat buta huruf atau tidak bersekolah dapat berkurang. Program pendidikan gratis ini, pada awal pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan daerah No.10 tahun 2008 tentang pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pemerintah Kabupaten X yakni gerakan membangun X menuju masyarakat maju dan mandiri dengan meneruskan layanan pendidikan gratis yang semakin dimantapkan.
Keunikan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pendidikan gratis di Kabupaten X adalah satu-satunya kabupaten yang ada di yang membuat dan melaksanakan program tersebut yang bukan hanya untuk siswa wajib belajar 9 tahun sebagaimana program nasional tetapi juga pada SMA. Selain itu pemberian subsidi ini bukan hanya sekolah negeri tetapi juga sekolah swasta dan Madrasah (dalam naungan Departemen Agama).
Fenomena yang terjadi di Kabupaten X berdasarkan hasil survey pendahuluan pada awal September berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat dan kepala sekolah bahwa kebijakan pemerintah daerah tentang pendidikan gratis dalam pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai, masih adanya pungutan dana di sekolah, banyak keluhan dari beberapa sekolah akan minimnya dana, alokasi dana yang tidak merata antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya, tersendatnya pencairan dana, kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah ke masyarakat sehingga pemahaman tentang pendidikan gratis itu semua gratis pada hal hanya beberapa item saja yang digratiskan (pemberian subsidi biaya pendidikan).
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis memandang perlu mengkaji lebih lanjut berbagai masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. sehingga mendorong penulis memilih judul : “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis : penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam ilmu pemerintahan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu tentang kebijakan pendidikan gratis, sehingga dapat mengembangkan konsep-konsep mengenai kebijakan pendidikan gratis.
2. Secara praktis : hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintahan Kabupaten X agar daerah tersebut kedepanya lebih baik dan pemerintah setempat lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan masyarakat.
SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X

SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X


(KODE : FISIP-IP-0002) : SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota X ialah mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota X telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini telah tergambar dari nama kota X itu sendiri.
Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota X pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh massa.
Pemerintah kota X sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Sebenarnya pemerintah kota X sudah melakukan banyak upaya penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam program X Great Expectation9, kasus kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah X sebagai pintu gerbang di Indonesia bagian timur.
Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok merupakan penyakit masyarakat yang sering menjadi bahan pembicaraan di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar.
Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas. Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan mengenai tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri penulis mengenai apakah sebenarnya peran pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat bisa saja terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan akan diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan penelitian dalam judul : Analisis Peran Pemerintah Kota terhadap Perkelahian antar Kelompok.

I.2 Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa perkelahian antar kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi kekerasan yang merebak di masyarakat. Bilamana telah terjadi penurunan angka perkelahian antar kelompok, maka patut pula untuk mengetahui upaya apa yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan ke depannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perkelahian antar kelompok di Kota X ?
2. Bagaimana peran pemerintah kota X dalam menanggulangi persoalan perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi ?

I.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka penyebab timbulnya perkelahian, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok di kota X.
2. Untuk memperoleh gambaran dan penjelasan tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok.

I.4 Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. Selain itu juga memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab kekerasan massa yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah ilmu pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran pemerintah dalam menangani kasus tertentu.
2. Dari segi metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji masalah peran strategis pemerintah dan penanggulangan kekerasan massa di masyarakat.
3. Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah khususnya Pemerintah kota X, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka penanggulangan perkelahian antar kelompok.
SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERANAN DAN FUNGSI BKBPP)

SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERANAN DAN FUNGSI BKBPP)


(KODE : FISIP-IP-0001) : SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERANAN DAN FUNGSI BKBPP)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, social budaya, agama serta lingkungan penduduk setempat. Di samping itu di sebutkan pula perkembangan kependudukan dan pembanguna keluarga adalah upaya terencana untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk.
Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai populasi pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Menurut data dari Tribunnews.com Indonesia berada pada posisi ke empat jumlah penduduk terbanyak di dunia, dengan jumlah penduduknya sebanyak 237,6 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang semakin besar ini tentu membawa tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kesempatan kerja, menghilangkan kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan, meningkatkan infrastruktur, dan pelayanan publik. Dari hasil data di atas pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan agar dapat meminimalisisr jumlah perumbuhan penduduk yang sangat tinggi, dan salah satu upaya yang dapat di lakukan yaitu memaksimalkan peranan Badan atau instansi yang kompeten dalam menangani masalah pertumbuhan penduduk.
Didalam proses meminimalisir pertumbuhan penduduk harus dilakukan dengan beberapa tahap-tahap yang sudah di desain sedemikian baiknya agar pada saat melaksanakan proses tersebut dapat berjalan dengan baik, karena setiap saat pertumbuhan penduduk dapat berubah-ubah, maka dari itu pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya atau perbandinagan populasi yang dapat dihitung sebagai perubahan jumlah individu dalam suatu populasi.
Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah ialah memeberikan sosialisasi langsung kepada masyarakat atau ajakan-ajakan yang dapat merubah pola pikir masyarakat tentang perlunya meminimalisir jumlah pertumbuhan penduduk, dan untuk menunjang keberhasilan proses ini peran aktif masyarakat juga sangat diperlukan, karena apabila masyarakat hanya menjadi pendengar saja tanpa ada respon yang dilakukan, semuanya hanya akan menjadi suatu yang tidak berarti dan boleh dikatakan tidak ada manfaat yang dapat mereka peroleh.
Namun dalam pelaksanaannya masih sering terjadi hambatan-hambatan dalam menjalankan program ini. Hal ini disebabkan oleh hal-hal teknis dan non teknis yang dapat mempengaruhi misalnya, kurangnya kemampuan dalam mengemban dan menjalankan tugasnya serta penyediaan fasilitas yang terbatas. Hal ini sangat berkaitan erat dengan proses untuk meminimalisir pertumbuhan penduduk yang ada di Negara kita baik dalam skala nasional maupun di tingkat daerah, bertolak dari hal itu dapat dijadikan suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan penduduk.
Disamping itu dari data yang saya dapatkan pertumbuhan penduduk di kabupaten X yang mencapai angka 206.752 jiwa pada tahun 2010 dan angka ini meningkat dibandingkan pada tahun 2009. Adanya peningkatan jumlah penduduk memacu keinginan pemerintah khususnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional untuk melakukan tindakan yang dapat mengontrol laju pertumbuhan penduduknya.
Berdasarkan hal telah diuraikan diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian “ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERAN DAN FUNGSI BKBPP DALAM MEMINIMALISIR PERTUMBUHAN PENDUDUK DI KEC. X)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena-fenomena dalam latar belakang yang telah dituliskan diatas, maka pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini disusun sebagai berikut :
1. Bagaimana peran dan fungsi Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk di Kec. X.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengendalian pertumbuhan penduduk di Kec. X.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran dan fungsi Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk di Kec. X.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengendalian pertumbuhan penduduk di Kec. X

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis, sebagai salah satu bahan perbandingan dari sudi lebih lanjut dalam peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam proses pengendalian pertumbuhan penduduk.
2. Manfaat praktis, sebagai salah satu masukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, diutamakan untuk memberikan masukan kepada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan demi untuk mengatur SDM yang semakin meningkat.
TESIS ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA KPP

TESIS ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA KPP


(KODE : PASCSARJ-0156) : TESIS ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA KPP (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hingga saat ini pendapatan Negara masih sangat tergantung dari pendapatan pajak, karena penyokong pendapatan Negara terbesar masih didominasi dari pajak. Mengingat sumber- sumber pendapatan lain yang bergitu diandalkan seperti minyak bumi dan gas alam serta hasil hutan ternyata tidak dapat dipertahankan lagi dan menyadari hal tersebut pemerintah bertekad untuk menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara dalam membiayai pembangunan.
Direktorat Jendral Pajak merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk mengintegrasikan dan mensinergikan segala sumber daya yang ada dalam mencapai tujuan dan sasaran dari program-program yang selaras dengan empat tujuan Direktorat Jendral Pajak yaitu : peningkatan pelayanan perpajakan; peningkatan kepatuhan Wajib Pajak melalui pengawasan dan penegakan hokum; peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi melalui reformasi dan modernisasi; peningkatan profesionalisme dan integritas sumber daya manusia, yang pada akhirnya akan membuat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama X memenuhi target klasik yang diamanahkan yaitu penerimaan pajak.
Salah satu sumber keunggulan kelembagaan atau organisasi adalah sumberdaya manusia itu sendiri. Tingginya teknologi yang menjadi cirri kemajuan zaman modern ini masih membutuhkan peran Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin keunggulannya. Sehingga diperlukan keselarasan antara strategi kelembagaan secara umum dan perencanaan sumbedaya manusia yang tepat. Manusia sebagai salah satu sumberdaya akan menjadi subjek dan titik perhatian yang strategis bagi suatu lembaga. Pengelolaan sumberdaya manusia sendiri kemudian dipandang sebagai perluasan dari gagasan untuk mengelola jaryawan secara efektif dan efisien, untuk itu perlu pengetahuan tentang perilaku manusia dan kemampuan mengelolanya yang kemudian membentuk suatu pola gaya kepemimpinan. Peran utama gaya kepemimpinan adalah dapat mempengaruhi orang lain untuk secara bersama-sama bekerjasecara serius dalam mencapai tujuan.
Ditengah keadaan akan kerasnya tuntutan lingkungan dan pentingnya sumber daya manusia dalam lembaga ditemui juga kenyataan bahwa karyawan KPP Pratama X masih perlu meningkatkan diri untuk menghasilkan produktivitas kerja yang optimal sesuai target kinerja yang diharapkan.
Walau telah ditunjang dengan teknologi yang modern namun masih harus diiringi dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan karyawan sesuai dengan didangnya dan semangat bekerja yang tinggi dari karyawannya agar tercapai produk yang optimal dengan efektif, dan efisien agar dapat menghasilkan kinerja yang optimal sesuai target yang diharapkan. Sehingga lembaga mampu memberikan kompensasi yang memuaskan bagi semua pihak.
Peningkatan kinerja bagi karyawan tidak terlepas dari rangsangan maupun dorongan dari karyawan itu sendiri atau dari pihak eksternal. Dalam hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung gaya kepemimpinan merupakan salah satu pendorong semangat kerja bagi produktivitas kerja karyawan, dengan memanfaatkan dan menggunakan serta memaksimalkan sumber daya yang dimiliki yang didukung pendidikan dan pelatihan yang tepat diharapkan tercapainya kinerja yang optimal.
Kompensasi juga diharapkan mampu memberikan dorongan dan motivasi kerja terhadap para karyawan agar selalu bekerja giat. Selain kompensasi, peranan gaya kepemimpinan sangat penting dalam rangka menciptakan kinerja yang tinggi. Tanpa pembekalan pendidikan dan pelatihan dan pemberian kompensasi yang sesuai, tujuan perseorangan dan tujuan lembaga menjadi tidak selaras. Keadaan ini dapat menimbulkan pegawai mempunyai sikap bekerja untuk kepentingan pribadi sehingga keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan formal yang diambil organisasi untuk memastikan bahwa hanya pegawai yang berkualifikasi dan berpengalaman ,yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan oleh lembaga.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama X merupakan salah satu Instansi Pemerintah yang bertugas untuk memungut penerimaan pajak, peningkatan pelayanan dan pengawasan, membuka kesempatan usaha, terwujudnya pengawasan yang efektif dan efisien dalam rangka penegakkan hokum perlindungan masyarakat serta terwujudnya kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Kantor Pelayanan Pajak Pratama X memerlukan karyawan yang tangguh, berdisiplin tinggi, berdedikasi dan memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dibebankan dapat sesuai dengan target, pada saat ini kinerja karyawn dirasakan belum optiml walau berbagai kompensasi telah diberikan.
Dengan jumlah pegawai yang ada, Kantor Pelayanan Pajak Pratama X harus berusaha memaksimal kerja karyawannya untuk dapat memperoleh kinerja yang diharapkan sehingga peran Kantor Pelayanan Pajak Pratama X terhadap pembangunan Negara terlihat nyata, hal ini tidak lepas dari peran pemberian kompensasi untuk memberikan dorongan karyawannya agar bekerja maksimal. Penilaian kepada Direktorat Jendral Pajak secara umum dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, secara khusus inilah yang menjadikan karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X harus lebih meningkatkan kinerjanya untuk bekerja sesuai dengan petunjuk pelaksanaan teknis Direktorat Jendral Pajak. Hal inilah diperlukan upaya untuk dapat membangkitkan semangat kerja pegawainya sehingga akan dapat diperoleh kinerja yang maksimal sebagaimana yang diharapkan Direktorat Jendral Pajak dan pemerintah sehingga akan memberikan dampak positif dari penilaian public yang terkesan belum sesuai dengan yang diharapkan.
Selain pembekalan pendidikan dan pelatihan dan pemberian kompensasi yang sesuai diperlukan gaya kepemimpinan yang sesuai diperlukan gaya kepemimpinan yang sesuai demi kontinuitas etos kerja karyawannya karena hanya dengan gaya kepemimpinan yang sesuai yang dapat memberikan kepuasan kedua belah pihak sehingga mampu memberikan semangat kerja bagi karyawannya untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu. Gaya kepemimpinan yang sesuai mampu mengubah situasi kerja yang lesu menjadi bergairah sehingga mampu mendorong produktivitas karyawan yang berdampak peningkatan kinerja karyawannya.
Mengingat begitu besar tanggung jawab yang dibebankan kepada karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, namun menurut pengamatan penulis bahwa kinerja karyawan belum sesuia dengan Rencana Kerja Tahunan dan Rencana Kerja Operasional yang diharapkan oleh Direktorat Jendral Pajak sehingga penulis ingin mengetahui seberapa besar faktor pendidikan dan pelatihan, kompensasi, dan gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja karyawan, dengan mengambil judul "Analisis Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan, Kompensasi dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X"

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Rendahnya/belum optimalnya dalam peningkatan etos kerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Ketaatan pada peraturan yang ada belum optimal pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
3. Pendidikan dan Pelatihan para karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X belum optimal dalam menunjang kompetitif
4. Kurangnya kesempatan pendidikan dan pelatihan para karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, sehingga produktivitas kerja belum memenuhi sasaran.
5. Gaya kepemimpinan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X belum tepat sehingga sangat diperlukan gaya kepemimpinan yang sesuai.
6. Kinerja para pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama X belum optimal.
7. Kinerja para pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama X dipengaruhi pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dengan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya peneliti serta banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai dan permasalahan yang ada pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, maka dalam penelitian ini dibatasi pada analisis pengaruh pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja pegawai pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Bagaimanakah kompensasi terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
3. Bagaimanakah pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
4. Bagaimanakah pengaruh pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan secara bersama-sama terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
5. Faktor manakah yang paling dominan memberikan peranan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X baik secara simultan maupun parsial
b. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan memberikan peranan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pimpinan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X dalam rangka menunjang peningkatan kinerja karyawannya.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pimpinan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X untuk dapat lebih memperhatikan kinerja karyawannya melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL REMUNERASI BERBASIS KOMPETENSI DI PT. X

TESIS PENGEMBANGAN MODEL REMUNERASI BERBASIS KOMPETENSI DI PT. X


(KODE : PASCSARJ-0155) : TESIS PENGEMBANGAN MODEL REMUNERASI BERBASIS KOMPETENSI DI PT. X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sumber Daya manusia(SDM) merupakan modal dasar pembangunan nasional, oleh karena itu maka kualitas SDM senantiasa harus dikembangkan dan diarahkan agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Berbicara mengenai sumber daya manusia sebenarnya dapat dilihat dari 2 aspek yaitu aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kuantitas mencakup jumlah SDM yang tersedia/penduduk, sedangkan aspek kualitas mencakup kemampuan SDM baik fisik maupun non fisik/kecerdasan dan mental dalan melaksanakan pembangunan. Sehingga dalam proses pembangunan pengembangan sumber daya manusia sangat diperlukan, sebab kuantitas SDM yang besar tanpa didukung kualitas yang baik akan menjadi beban pembangunan suatu bangsa.
Dalam mewujudkan misi dan visi perusahaan maka organisasi dapat memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya seoptimal mungkin, supaya dapat memberikan 'added value' bagi organisasi tersebut. Oleh karena itu untuk mewujudkannya, diperlukan SDM yang terampil dan handal di bidangnya. Salah satu cara untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam perusahaan yaitu dengan jalan meningkatkan kompetensi individu karyawan pada perusahaan tersebut.
Kata kunci dalam mengembangkan kompetensi karyawan adalah rekayasa perilaku/behaviour engineering tenaga kerja. Rekayasa perilaku mengandung makna tersirat bahwa perilaku dapat diubah dan diperbaiki. Untuk mencapai pengembangan perilaku harus dilakukan secara sadar, yaitu melalui proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumbert daya manusia adalah usaha meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral pegawai yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau jabatan dalam suatu perusahaan.
Bagi sebuah perusahaan pengembangan SDM semakin memegang peranan penting dan diperlukan diantaranya karena sumber daya manusia merupakan salah satu unsur strategis. Hal tersebut diperkuat kondisi bahwa akibat perubahan dan globalisasi, kebutuhan akan tenaga terampil semakin meningkat begitu pula kebutuhan akan angkatan kerja yang lebih berpendidikan, terlatih dan memiliki keahlian beragam. Ditambah lagi restukturisasi perusahaan dan organisasi yang terus berlangsung, perubahan IPTEK/Ilmu dan Teknologi yang cepat, serta ketatnya persaingan, menghasilkan anggapan baru bahwa untuk mengatasi semua tantangan tersebut dibutuhkan individu yang tidak hanya memiliki keahlian sejenis yang memang diharuskan bagi pekerjaannya, tapi juga keahlian-keahlian pendukung pekerjaan tersebut yang merupakan ragam keahlian di luar yang diwajibkan. Sehingga dengan memiliki multi skilling, seorang karyawan diharapkan akan benar-benar kompeten dalam pekerjaannya.
Penelitian akhir-akhir ini pun sangat jelas menunjukkan bahwa telah terjadi persaingan, baik di antara negara-negara maupun di antara perusahaan-perusahaan dalam negara tersebut, dimana perusahaan itu banyak bergantung pada keterampilan tenaga kerjanya dalam rangka memenuhi permintaan yang terus-menerus berubah baik dari faktor domestik maupun global. Namun disayangkan bahwa dalam persaingannya dengan negara-negara lain, Indonesia belum dapat unggul bahkan dalam mutu SDM-nya Indonesia mendapat urutan terjelek dibanding dengan negara-negara tetangganya di Asia tenggara. Hal tersebut harusnya menyadarkan kita untuk segera bangkit dan memperbaiki kompetensi SDM kita. Kondisi tersebut dapat dilihat pada keterangan gambar sebagai berikut :
Untuk dapat bersaing dengan sukses di pasar yang ada sekarang atau lebih ke depan lagi untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi AFTA, pada saat ini semakin banyak organisasi yang berusaha untuk menemukan strategi-strategi baru dalam upaya meningkatkan pengembangan dan performa para pegawainya. Banyak diantara perusahaan-perusahaan tersebut mulai memperkenalkan dan melaksanakan program sumber daya manusia yang berbasis pada kompetensi (competency based human resources program), dan bahkan dari perkembangannya ada pula perusahaan yang mulai mencoba untuk mengembangkan konsep competency based pay atau dikenal dengan remunerasi berbasis kompetensi/RBK.
Konsep remunerasi berbasis kompetensi ini merupakan konsep yang masih sangat baru terutama di Indonesia. Sekalipun sejumlah perusahaan mulai menjadikan kompetensi sebagai bagian integral dari manajemen kinerja serta sistem staffing, ataupun pelatihan dan pengembangan karyawan yang diterapkan dalam perusahaan. Serta meskipun secara implisit pada beberapa kebijakannya tentang penggajian, perusahaan selalu berusaha memberikan reward atas kompetensi-kompetensi yang dimiliki dan diberikan oleh individu karyawan serta atas atribut-atribut lainnya yang dimiliki pegawai tersebut. Namun masih sangat sedikit di antara perusahaan-perusahaan itu yang secara formal dan eksplisit mengkaitkan antara kompetensi dengan keputusan tentang remunerasi.
Walaupun telah diketahui banyak kritikan terhadap berbagai macam sistem penggajian dan perubahaannya dari waktu ke waktu. Tetapi pada saat yang sama sejumlah besar organisasi dan perusahaan baik dari sektor publik maupun swasta berupaya untuk menemukan cara-cara baru guna mengkaitkan secara lebih langsung antara kinerja organisasional, kontribusi individual dan penggajian. Sehingga muncullah istilah-istilah seperti gaji baru, gaji strategis, penggajian berdasar kontribusi dan strategi penghargaan alternatif yang tampil begitu dominan di berbagai buku dan artikel yang menyarankan alternatif-alternatif desain dan administrasi penggajian pegawai (Kanter 1989, dkk). Sementara itu di beberapa perusahaan, konsep remunerasi berbasis kompetensi ini telah dianggap sebagai bagian dari upaya untuk melakukan perubahan besar yang mana dapat menyentuh berbagai aspek aktivitas yang dilakukan oleh seluruh sumber daya manusia di dalam perusahaan. Model RBK ini diharapkan bisa menjadi salah satu cara efektif untuk memotivasi pegawai dan dalam rangka menciptakan perubahan perusahaan ke arah yang lebih baik. Sebab sistem penggajian ini antara lain dapat membatasi perasaan ketidakadilan yang muncul di kalangan para pegawai. Di antaranya sebagaimana yang seringkali terjadi dalam perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem penggajian berdasar pada senioritas, yaitu bahwa mereka sebenarnya berhak mendapatkan kenaikan gaji yang lebih signifikan didasarkan pada kemampuan dan keahlian yang dimiliki, bukan pada semata-mata dari lama mereka bekerja di perusahaan.
Selain itu konsep RBK tersebut juga dapat memperkuat keterkaitan antara unsur-unsur keahlian dengan gaji, yaitu dapat menentukan secara spesifik jenis-jenis perilaku apa saja yang dapat mendorong pada tercapainya kinerja yang superior. Dengan kata lain sistem ini memiliki potensinya untuk bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dimiliki oleh sistem penggajian tradisional. Gaji karyawan diberikan berdasarkan pada keragaman, kedalaman dan jenis keahlian (skill) yang dimiliki oleh pegawai yang bersangkutan. Sehingga sistem ini dapat dikatakan merupakan pergeseran logika penggajian dari yang umumnya memberikan penghargaan (reward) kepada pegawai berdasarkan pada karakteristik-karekteristik pekerjaannya atau tugas yang mereka miliki pada saat ini, kepada penghargaan berdasarkan kompetensi individu karyawan yang dapat terus mereka kembangkan dan pergunakan secara terus-menerus pada perusahaan. Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa pada konsep penggajian berbasis kompetensi ini, proses pemberian reward-nya didasari atas faktor-faktor keahlian manusiannya(human) bukan merupakan sistem reward yang semata-mata didasarkan pada jenis pekerjaan apa yang dimiliki dan dapat disumbangkan oleh karyawan yang bersangkutan terhadap perusahaan. Sehingga dalam penerapan sistem ini keterampilan individu karyawan akan dihargai secara sepadan. Itu artinya pada konsep ini pengembangan kompetensi karyawan sebagai salah satu faktor utama dalam perusahaan mendapat porsi yang cukup besar. Jika diimplementasikan dan ditegakkan dengan benar, maka harapan bahwa sistem RBK ini dapat memberikan hasil-hasil yang sangat menjanjikan baik bagi karyawan maupun perusahaan bisa terwujud, sehingga hal tersebut dapat pula membantu tercapainya tujuan perusahaan.
PT. X yang merupakan salah satu perusahaan terbesar di bidang manufaktur di Indonesia saat ini juga tengah berbenah dalam rangka memperbaiki kompetensi pada organisasinya, baik kompetensi perusahaan maupun kompetensi tiap individu di dalamnya. Hal ini dilaksanakan terutama untuk memperbaiki performa dalam perusahaan tersebut dalam rangka mempersiapkan diri ke arah yang lebih baik. Sehingga diharapkan dapat bersaing dengan perusahaan lain, bahkan negara-negara lain ataupun untuk menghadapi AFTA. Namun dalam faktanya menurut pihak manajerial perusahaan, ternyata masih ada beberapa kendala bagi PT. X untuk mengembangkan perusahaannya sesuai yang diharapkan. Salah satu yang dianggap kendala bagi perusahaan adalah keluhan karyawan masalah penggajian. Kondisi tersebut muncul setelah sistem penggajian yang dilaksanakan perusahaan saat ini, dianggap kurang memenuhi harapan karyawan. Diketahui bahwa sistem penggajian yang diterapkan pada awal saat pertama kali perusahaan berdiri adalah sistem tradisional, dimana menganut pembagian tingkat penggajian berdasarkan lama bekerja(senioritas). Kemudian dilanjutkan dengan munculnya peraturan pemerintah yang mengharuskan sistem penggajian berdasarkan golongan-golongan. Namun cara tersebut dianggap perusahaan tidak efektif, sehingga sistem penggajian dirubah dengan menggunakan sistem merit yaitu gaji karyawan diterima berdasarkan bagus tidaknya kinerja karyawan atau didasarkan pada seberapa besar output yang diberikan karyawan terhadap perusahaan setiap tahunnya. Dari pengamatan kemudian didapati sistem merit tersebut malah menimbulkan banyak gejolak, di antaranya bahwa karyawan banyak yang merasa penilaian kinerja yang dilakukan pihak manajemen tidaklah selalu obyektif. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya ukuran yang jelas pada jenjang yang terdapat di tiap kenaikan tingkat gajinya. Selain itu karyawan merasa bahwa semua kebijakan reward yang ada, seolah-olah selalu tergantung pada tiap individu manajernya. Maka akhirnya timbul anggapan pada karyawan bahwa mereka lebih tenang melaksanakan pekerjaannya ketika sistem penggajian tradisional diterapkan, namun perlu dipahami pula bahwa ada beberapa kekurangan dalam implementasi sistem tradisional yang telah lalu. Sehingga tidak relevan lagi bila sistem tersebut diterapkan pada perusahaan seperti PT. X yang selalu berkembang dan mengutamakan keahlian para karyawannya dalam rangka melaksanakan tugas perusahaan.
Berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas dan juga dalam rangka memperhatikan secara lebih intensif peningkatan kompentensi yang dimiliki para karyawan PT. X. Maka untuk melengkapi dan menyelaraskan masa transisi tersebut, pada penelitian ini disusun sebuah konsep competency based pay yang masih ada kaitannya dengan penerapan competency based pada karyawan yang mulai dilakukan PT. X. Harapan dari diterapkannya sistem ini antara lain supaya karyawan dapat senantiasa meningkatkan keahliannya, dalam upaya mendapatkan reward yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Namun dengan tetap memperhatikan seberapa besar peluang keberhasilan penerapan sistem ini, maka dianggap perlu kiranya mengkaitkan unsur aspirasi karyawan di dalamnya terutama yang meliputi harapan-harapan karyawan sehubungan dengan reward yang selama ini telah mereka terima. Sehingga pada penyusunan pengembangan model remunerasi berbasis kompetensi di PT. X ini selain faktor keahlian yang memegang peranan besar dalam menentukan tingkat dan besaran gaji yang akan diterima tiap individu, unsur aspirasi karyawan juga diperhitungkan di dalam struktur penggajiannya. Dengan demikian keinginan agar terbentuknya suatu sistem remunerasi yang relevan dengan kondisi perusahaan dan harapan karyawan sedapat mungkin dapat terpenuhi.

1.2. Rumusan Masalah
Sistem kompensasi yang seringkali menjadi permasalahan pada perusahaan terutama berkaitan dengan bagaimana mempraktekannya sehingga dapat diterima karyawan, ternyata juga memberikan kendala tersendiri bagi PT. X. Hal tersebut ditampakkan melalui kondisi yang ada pada perusahaan bahwa dengan sistem yang selama ini telah dilaksanakan ternyata masih ada beberapa ketimpangan di dalamnya. Disamping itu juga permasalahan mengenai penolakan karyawan terhadap setiap sistem kompensasi baru yang ditawarkan. Sehingga keadaan tersebut banyak menimbulkan keluhan baik pada para karyawan maupun terhadap perusahaan seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, dimana baik pihak perusahaan maupun para karyawan masih merasa belum terpenuhi harapannya.
Berpangkal dari latar belakang masalah bahwa perlu dikembangkannya suatu sistem yang dapat menjembatani kesenjangan antara penghargaan yang diharapkan karyawan, kemampuan karyawan yang dibutuhkan perusahaan serta penghargaan yang seharusnya diberikan perusahaan agar tercipta suatu kesesuaian antara sistem reward dengan kondisi yang ada. Maka dianggap perlu disusun suatu alternatif penyelesaian bagi sistem penggajian di PT. X yang setidaknya akan dapat diterima baik dari dimensi karyawan maupun organisasional.
Oleh karena itu dirumuskan permasalahan berkenaan dengan pengembangan model remunerasi sebagai berikut : “Bagaimana Pengembangan Model Remunerasi Berbasis Kompetensi di PT. X agar sesuai dengan aspirasi karyawan dan kebutuhan organisasi”.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengembangkan model remunerasi berbasis kompetensi yang ada dengan model remunerasi yang sejalan dengan aspirasi karyawan dan kondisi perusahaan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mempelajari model remunerasi berdasarkan teori.
2. Menyusun model remunerasi berdasarkan kebijakan perusahaan.
3. Menyusun model remunerasi berbasis kompetensi dan aspirasi karyawan yang berisi struktur klasifikasi penggajian karyawan.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi PT. X dapat dipakai sebagai salah satu cara dalam melakukan penyempurnaan sistem penggajian yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dengan pendekatan terhadap kompetensi individu dan aspirasi karyawan, sehingga dapat diterapkan model remunerasi yang sesuai dengan kondisi perusahaan.
1.4.2. Bagi peneliti sebagai sarana menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan terutama dalam hal remunerasi dan kompetensi serta kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia, juga untuk memperluas wawasan tentang model terutama dalam hal mengembangkan model penggajian berbasis kompetensi terhadap karyawan.

TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI

TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI


(KODE : PASCSARJ-0154) : TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaruan sistem kelembagaan, peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa serta hubungan antar bangsa yang mengarah pada terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good governance).
Fenomena perubahan mendasar yang dimanifestasikan dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 43 tahun tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kepegawaian pegawai negeri sipil yang mempunyai implikasi langsung terhadap kesiapan pengembangan sumber daya manusia, dan ketersediaan sumber daya lainya.
Perubahan tersebut membawa dampak pada perubahan budaya kerja, mau tidak mau harus dihadapi dan serangkaian adaptasi harus dilakukan terhadap keberagaman (diversitas) yang mengacu pada perbedaan atribut demografi seperti ras, kesukuan, gender, usia, status fisik, agama, pendidikan, atau orientasi seksual.
Selain keberagaman (diversitas), tantangan yang cukup kompleks adalah bagaimana mengubah budaya kerja lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya kerja baru pada seluruh pegawai atas keinginan secara sukarela dan partisipasi pegawai. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya hanya karena diperintah, dan hanya akan berubah kalau dia menginginkannya secara suka rela, karena menyadari. Dan orang yang bersedia meninggalkan cara lama sangat sedikit jumlahnya bahkan ketika situasi menjamin sekalipun (O'Neil, Osborn dan Plastrik, 2000 : 241). Kenyataan selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit untuk berubah tapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja aparatur negara.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, selain organisasi pemerintah daerah sudah terlalu banyak, pegawai negeri sipil banyak yang nganggur, hanya mondar-mandir dan membaca koran hingga jam kerja selesai (Jawa pos, Oktober 2003 : 10). Aktivitas yang menunjukkan nuansa kesibukan kerja hanya tampak di satuan kerja yang "ada proyeknya". Sehingga tidak salah jika ada sementara pengamat yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih cenderung berorientasi pada proyek ketimbang melaksanakan tugas-tugas rutinnya (Yudoyono, 2002 : 64).
Disamping itu, banyak fakta menunjukkan bahwa 80 hingga 90 persen dana alokasi yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, habis untuk membiayai birokrasi dan legislasi pemerintahan daerah (Jawa Pos, 20 Oktober 2003 : 10). Lebih menyedihkan lagi ternyata sebagian besar tidak lebih sebagai sarana "bargaining" politik untuk bagi-bagi kekuasaaan.
Sepertinya tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan sulit diatasi bahkan cenderung mengarah menjadi budaya baru. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kerja pegawai negeri sipil belum terlalu kuat dan masih jauh dari harapan.
Secara tidak sengaja atau tanpa disadari, nampaknya sebagian besar pegawai negeri sipil telah larut dalam kesibukan sehari-hari untuk memperbesar kekuasaan, wewenang, peran dan mengejar target fisik sambil memanfaatkan peluang di antara celah-celah ketentuan formal dan prosedur administratif yang berbeli-belit ciptaannya sendiri. Dan telah sekian lama aparat birokrasi lari di tempat hingga "loyo" kehabisan energi, karena mengabaikan nilai-nilai dasar budaya kita sendiri yang telah diajarkan oleh orang tua, guru, ulama/pendeta dan para pejuang kita. (Susilo, 2000 : 3).
Potret manusia Indonesia secara jelas diungkapkan oleh budayawan Mochtar Lubis pada tahun 1977, meskipun tidak menyebut ciri-ciri manusia Indonesia tersebut sebagai budaya kerja, tetapi sangat sulit dipungkiri bahwa apa yang disebutnya merupakan warna dasar budaya kehidupan aktual dan perilaku kerja sehari-hari kita. Enam ciri manusia Indonesia yang di potret : 1) Munafik atau hipokrit. 2) Enggan bertanggung jawab. 3) Berjiwa feodal. 4) Percaya takhyul. 5) Artistik. 6) Berwatak lemah. (Lubis dalam Sinamo, 2002 : 61-63).
Seiring dengan itu, dari kenyataan yang ada selama ini pegawai di Biro Kepegawaian ternyata hampir tak pernah bekerja serta bergerak secara impulsive atau terarah. Mereka bekerja seenaknya sendiri dengan cara kerja yang hanya asal kerja, acak-acakan, semrawut, dan fungsi manajemen hampir tidak berlaku. Disiplin kerja luntur. Banyak jam kerja yang tidak diefektifkan dengan tugas pekerjaannya.
Sikap-sikap bekerja ringkas, rapi, resik, rawat, rajin (5 R) dan lain sebagainya belum memuaskan. Selain itu belum adanya kesadaran bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Baginya yang penting adalah menerima gaji. Sehingga kinerja pelayanan sektor aparatur dan pengawasan masih di bawah dari harapan yang diinginkan. Hal ini dapat di lihat dari data Biro Kepegawaian dalam laporan pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah Tahun Anggaran 2003. "Meskipun demikian diakui bahwa secara umum kinerja pelayanan umum aparatur masih di bawah dari harapan yang diinginkan".
Untuk menentukan sejauh mana perlu melakukan perubahan, langkah pertamanya adalah dengan menganalisis budaya yang hidup dalam satuan kerja atau organisasi untuk memutuskan apa saja yang perlu diubah dan kedua adalah mengembangkan dan mengimplementasikan strategi perubahan tersebut (McKenna dan Beech, 2000 : 77, Pragantha, 1995). Namun seringkali pula ketika perubahan budaya dilakukan, kinerja yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan (Carnal, 1995, dalam Sofo : 349) akan mengganggu dan merusak, mengaduk-aduk yang tetap dan stabil sebelumnya (status quo). Sejumlah alasan mengapa hal ini terjadi; salah satunya adalah organisasi tidak mampu mengubah fundamental psikologis pegawainya untuk berubah (Riza, 1998).
Dekonstruksi budaya tersebut hanya akan mungkin jika seluruh komponen bersedia mengubah dirinya dalam konstruk budaya kerja baru, dan adanya dukungan pimpinan puncak untuk memudahkan penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada terciptanya pegawai negeri sipil profesional, bermoral dan bertanggung jawab serta memiliki persepsi tepat terhadap pekerjaan. Perubahan budaya juga harus mengindahkan kode etik tertentu, baik dalam melancarkan perubahan maupun dalam menghadapi pihak yang menentang perubahan. (Sathe, 1985 : 380 dalam Ndraha, 2003 : 94). Oleh O'Leary, dalam Osborne dan Plastrik (2000 : 259) "Mengubah budaya pemerintah adalah seperti membangun Tembok Besar Cina".
Harus disadari pula bahwa budaya erat kaitannya dengan manusia (Kisdarto : 2000). Kuatnya budaya kerja akan terlihat dari bagaimana pegawai memandang budaya kerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku yang digambarkan memiliki motivasi, dedikasi, kreativitas, kemampuan dan komitmen yang tinggi. Semakin kuat budaya kerja, semakin tinggi komitmen dan kemampuan yang dirasakan pegawai. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai makin tinggi kemampuan dan komitmen mereka pada nilai-nilai itu makin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996 : 292). Menurut Wolsely dan Campbell (Prasetya, No. 01, Januari 2001 : 12) orang yang terlatih dalam budaya kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan baru dan fakta baru, memecahkan permasalahan secara mandiri, berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadi dan sosialnya.
Pentingnya pembudayaan, pengetahuan dan pendidikan juga dikatakan BJ.Habibie (Kompas, 19 Februari 2004 : 9) bahwa dalam proses pembudayaan, individu menerima transfer nilai-nilai budaya dan agama sehingga yang bersangkutan memiliki perilaku sopan, berbudaya, bermoral, dan beretika. Dan melalui proses pengetahuan, seseorang dapat memiliki budaya bebas berpikir, menilai, mengkritik, dan bebas dikritik dalam mencari ilmu. Adapun lewat pendidikan, memungkinkan seseorang dapat memahami dan memiliki dasar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi terampil dalam suatu bidang.
Mengingat kompleksitas dan pluralitas kondisi masyarakat X, maka aparatur dalam melaksanakan tugas kenegaraan senantiasa meningkatkan kualitas moral, akhlak, iman dan tentunya juga harus diikuti peningkatan kemampuan dan komitmen yang didasari dengan semangat pengabdian yang berlandaskan kejujuran dan keiikhlasan dalam pelayanan publik. (Soenarjo, dalam Prasetya No. 7, Juli 2003).
Untuk itu sebagai unit kerja yang melaksanakan tugas pelayanan dan pembinaan dalam bidang kepegawaian di lingkungan Pemerintah Provinsi X, Biro Kepegawaian tidak terlepas dari nilai-nilai budaya kerja yang ditanamkan dan mempersepsikan nilai-nilai tersebut sehingga mampu mengubah sikap dan perilaku pegawai khususnya di Biro Kepegawaian guna menghadapi tantangan masa depan. Dan melakukan perubahan cara kerja lama menjadi cara kerja baru dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Instruksi Gubernur X No. 4 Tahun 2002).
Dari hasil program budaya kerja tahun 2003 mencerminkan budaya kerja (kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek) belum menunjukkan kemampuan dan komitmen pegawai sesuai dengan apa yang diharapkan, seperti;
- Kurangnya komitmen pegawai terhadap visi dan misi organisasi (28,8%)
- Sikap pegawai yang tidak memegang teguh amanah dan komitmen dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. (10,68%)
- Masih sering terjadi penyimpangan dan kesalahan (deviasi dan distorsi) dalam kebijakan kepegawaian yang berdampak luas kepada masyarakat. (4,39%)
- Banyaknya sorotan masyarakat terhadap kemampuan pegawai (29,88%)
- Banyaknya pegawai yang sering mangkir, datang terlambat, pulang lebih awal, menunda-nunda pekerjaan dan lain-lain. (26,25%)
Mengingat budaya kerja merupakan salah satu elemen kunci pengelolaan sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan dan kehancuran (Sulaksono, 2002), maka penting untuk menganalisis budaya kerja pegawai sebagai upaya membangun kemampuan dan komitmen pegawai di Biro Kepegawaian. Dan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh setiap aparatur adalah kemampuan (Soekarwo, dalam Prasetya No. 3, Maret 2004), serta kurangnya komitmen, profesionalisme dalam tugas dengan pelaksanaan kebijakan (Tamin, 2001)
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menganalisis budaya kerja pegawai dalam membangun kemampuan dan komitmen pegawai dengan melihat hubungan tentang budaya kerja, kemampuan dan komitmen pegawai. Hal ini dilandasi fakta bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI telah mengeluarkan Keputusan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Keputusan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Instruksi Gubernur X Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Program Budaya Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi X.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan :
1.2.1 Apakah budaya kerja yang terdiri dari budaya kejujuran, budaya ketekunan, budaya kreativitas, budaya kedisiplinan, budaya iptek berpengaruh terhadap kemampuan pegawai negeri sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi X ?
1.2.2 Apakah budaya kerja yang terdiri dari budaya kejujuran, budaya ketekunan, budaya kreativitas, budaya kedisiplinan, budaya iptek berpengaruh terhadap komitmen pegawai negeri sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi X ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Menganalisis pengaruh budaya kerja yang ada terdiri dari kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek terhadap kemampuan pegawai negeri sipil
1.3.2 Menganalisis pengaruh budaya kerja yang ada terdiri dari kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek terhadap komitmen pegawai negeri sipil.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Sebagai masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi X khususnya Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi dalam menerapkan nilai-nilai budaya kerja.
1.4.2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia.

TESIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIRJEN KEKAYAAN NEGARA

TESIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIRJEN KEKAYAAN NEGARA


(KODE : PASCSARJ-0153) : TESIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIRJEN KEKAYAAN NEGARA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sumber Daya Manusia merupakan komponen utama suatu organisasi yang menjadi perencana dan pelaku aktif dalam setiap aktivitas organisasi. Mereka mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status dan latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin yang heterogen yang dibawa ke dalam suatu organisasi sehingga tidak seperti mesin, uang dan material, yang sifatnya pasif dan dapat dikuasai dan diatur sepenuhnya dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan Sumber Daya Manusia yang mampu menjadi pelaksana dan pengendali semua proses pencapaian tujuan organisasi. Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh organisasi, dimana dalam mencapai tujuan nasional dibutuhkan Pegawai Negeri Sipil yang mampu dan siap menghadapi tantangan masa depan serta siap akan adanya berbagai perubahan-perubahan dalam menghadapi era globalisasi. Dalam pelaksanaan tugas disini Pegawai Negeri Sipil harus mempunyai jiwa yang profesional sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara telah sesuai dengan program kerja yang telah direncanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Namun masih terdapat beberapa pegawai yang belum menyadari akan tanggung jawab tugasnya. Hal tersebut dikarenakan Dipandang dari segi kompetensi yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia di Direktorat KNL, masih terdapat Sumber Daya Manusia yang belum memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas dengan baik sehingga Kualitas pekerjaan yang dihasilkan belum optimal dan dari segi kuantitas, jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh Direktorat KNL belum seimbang dengan beban kerja selama ini dan potensi beban kerja di masa yang akan datang serta pemerataan alokasi Sumber Daya Manusia di setiap subdirektorat belum sesuai dengan beban kerja.
Terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain yang belum efisien dan efektif, hal tersebut diakibatkan oleh masih perlunya dukungan perangkat hukum untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dan di tingkat peraturan pelaksanaan, masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum ditetapkan. Selain itu, beberapa peraturan pelaksanaan yang sudah ada masih belum sempurna dan belum mengatur secara lengkap pelaksanaan tugas dan fungsi.
Sumber Daya Manusia baik yang menduduki posisi pimpinan maupun pegawai merupakan faktor terpenting dalam setiap organisasi atau instansi baik pemerintah maupun swasta. Hal ini karena berhasil tidaknya suatu organisasi atau instansi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor manusia selaku pelaksana pekerjaan, baik pimpinan maupun pegawai. Seringkali pimpinan di Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara kurang memperhatikan kesulitan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan maupun penghargaan kepada pegawai.
Organisasi merupakan suatu kumpulan orang-orang yang saling bekerjasama dengan memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Tujuan organisasi adalah tercapainya suatu tujuan dimana individu-individu tidak dapat mencapainya sendiri. Dengan adanya sekelompok orang yang bekerjasama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat mencapai hasil yang lebih daripada dilakukan oleh satu orang. Dengan demikian tiang dasar dalam pengorganisasian yaitu prinsip pembagian kerja atau division of labour. Dalam mencapai tujuan organisasi banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya Sumber Daya Manusia, Kualitas Sumber Daya Manusia atau pegawai, dan Tata Kelola Pemerintahan yang menunjang tercapainya tujuan.
Sebagai salah satu peran kinerja yang penting adalah Sumber Daya Manusia. Kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencakup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan mendasari setiap tingkah laku yang hendak dilaksanakan. Demikian luasnya cakupan kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan mengikat para anggota yang dilingkupi kebudayaan itu untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang ada. Apabila pengertian ini ditarik ke dalam organisasi, maka seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, sehingga anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat mengerahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai kinerja yang baik dapat dipastikan semua anggota organisasi yang sudah menganggap norma itu sebagai budaya, anggota organisasi tersebut akan melaksanakan dengan baik. Akhirnya pelaksanaan budaya itu akan menghasilkan output kinerja yang baik.
Model Sumber Daya Manusia yang ideal untuk suatu organisasi adalah yang memiliki paling sedikit dua sifat. Pertama, kuat (strong), artinya Sumber Daya Manusia yang dikembangkan harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan anggota organisasi) untuk menyelasaraskan (goal congruence) antara tujuan individu dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi. Selain itu, Sumber Daya Manusia yang dibangun tersebut harus mampu mendorong para pelaku organisasi dan organisasi itu sendiri untuk memiliki tujuan, sasaran (objectives), persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial, dan norma-norma bersama yang mempunyai arah yang jelas sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka ke arah dan tujuan yang sama, serta semangat yang sama pula.
Kedua, dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive) artinya Sumber Daya Manusia yang akan dibangun harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi (mega environments) seperti tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi, pemanufakturan dan lainnya.
Setiap organisasi baik itu organisasi pemerintah, swasta, dalam bentuk manufaktur, jasa ataupun dagang akan dihadapkan pada permasalahan mengenai pengelolaan Sumber Daya Manusia (human resources). Hal ini disebabkan karena pengelolaan sumber daya manusia ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lainnya yaitu bahan baku (material), modal (money), mesin (machines), dan metode (method), serta energi (energy) dalam organisasi tersebut. Semakin baik pengelolaan Sumber Daya Manusia (tenaga kerja) maka semakin baik pula pengelolaan sumber daya yang lain. Sebaliknya semakin buruk pengelolaan Sumber Daya Manusia maka hal itu berakibat pengelolaan sumber daya yang lain semakin tidak baik.
Kualitas Sumber Daya Manusia merupakan inventaris yang penting bagi organisasi, mengingat pentingnya unsur Sumber Daya Manusia dalam pertumbuhan dan perkembangan organisasi karena didalamnya terdapat bakat, kreativitas keinginan dan aktivitas kerja. Oleh karenanya Sumber Daya Manusia atau tenaga kerja harus mendapatkan perhatian khusus dari organisasi sehingga apabila tenaga kerja merasa nyaman bekerja maka semangat kerjanya akan meningkat, hal itu berakibat produktivitas kerjanya meningkat pula dan pada akhirnya tujuan organisasi untuk memperoleh hasil maupun laba akan tercapai.
Keberhasilan suatu organisasi dalam kegiatan usahanya, jika individu-individu yang terlibat didalamnya mau bekerja sama dengan giat dan penuh semangat, dimana suatu organisasi dan pihak pegawai terdapat saling pengertian dan saling membutuhkan maka organisasi akan terus hidup dan maju.
Agar pengelolaan Sumber Daya Manusia di dalam suatu organisasi dapat bekerja dengan efisien maka pendidikan, keterampilan dan kepemimpinan memegang peranan penting untuk dapat mempengaruhi dan menggerakkan pegawai guna mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Selain itu diperlukan untuk meningkatkan Kualitas atau mutu pelayanan sebagai upaya untuk mengantisipasi lingkungan eksternal dan di lain pihak perhatian ke lingkungan internal merupakan faktor yang harus didahulukan.
Selain Sumber Daya Manusia dan Kualitas Sumber Daya Manusia, Tata Kelola Pemerintahan merupakan salah satu faktor yang turut berperan dalam pencapaian kinerja organisasi. Tata Kelola Pemerintahan yang mengedepankan asas-asas Tata Kelola Pemerintahan yang baik merupakan salah satu syarat pencapaian kinerja. Permasalahan yang melekat pada instansi publik adalah transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan hukum. Pemerintahan yang baik, cita negara berdasarkan hukum, di mana masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel, karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat. Dalam konteks lain (hukum), Pemerintahan yang baik merupakan suatu asas yang dikenal sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yang merupakan jembatan antara norma hukum dengan norma etika.
Berdasarkan uraian di atas serta hasil pengamatan, Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan Terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah dalam penelitian ini dalam bentuk pernyataan penelitian (research question) sebagai berikut :
1. Sarana dan prasara penunjang dalam pekerjaan belum optimal.
2. Pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain belum efisien dan efektif.
3. Pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain masih perlu didukung dengan perangkat hukum untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
4. Di tingkat peraturan pelaksanaan, masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum ditetapkan. Selain itu, beberapa peraturan pelaksanaan yang sudah ada masih belum sempurna dan belum mengatur secara lengkap pelaksanaan tugas dan fungsi.
5. Dipandang dari segi kompetensi yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia di Direktorat KNL, masih terdapat Sumber Daya Manusia yang belum memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas dengan baik sehingga Kualitas pekerjaan yang dihasilkan belum optimal.
6. Dari segi kuantitas, jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh Direktorat KNL belum seimbang dengan beban kerja selama ini dan potensi beban kerja di masa yang akan datang serta pemerataan alokasi Sumber Daya Manusia di setiap subdirektorat belum sesuai dengan beban kerja.
7. Seringkali pimpinan tidak memperhatikan kesulitan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan.
8. Kurangnya penghargaan dari pimpinan bagi pegawai yang telah berkerja dengan baik.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada lingkup Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia, Tata Kelola Pemerintahan dan Kinerja pada Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan ruang lingkup penelitian tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?
2. Apakah ada pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?
3. Apakah ada pengaruh Tata Kelola Pemerintahan terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?
4. Apakah ada pengaruh Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan secara bersama-sama terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tingkat pengaruh variabel Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
2. Mengetahui tingkat pengaruh variabel Kualitas Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
3. Mengetahui tingkat pengaruh variabel Tata Kelola Pemerintahan terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
4. Mengetahui tingkat pengaruh variable Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan secara bersama-sama terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain dalam peningkatan kinerja organisasi, khususnya dari Sumber Daya Manusia dalam melaksanakan tugasnya.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai sumber kontribusi sumbangan pemikiran bagi Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain dalam pengambilan keputusan terkait manajemen Sumber Daya Manusianya.
3. Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi bagi dunia akademik, khususnya Universitas mengenai pengaruh-pengaruh Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan terhadap Kinerja suatu organisasi khususnya pada kantor pemerintahan.

TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN

TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN


(KODE : PASCSARJ-0152) : TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era perubahan global yang timbul sebagai akibat perubahan teknologi yang cepat terjadi pada hampir semua aspek kehidupan manusia dan menimbulkan pergeseran serta paradigma baru. Perubahan di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, nilai, dan budaya, pasar serta lingkungan akan mendorong timbulnya persaingan yang tajam baik antar individu, kelompok, masyarakat, dan bahkan di tingkat organisasi hingga antar negara. Semuanya bergerak dan berlomba-lomba melakukan aktivitas yang lebih baik, lebih efisien, efektif, lebih unggul satu sama lain dalam mengelola sumber-sumber daya, memanfatkan peluang dan tantangan untuk menghadapi atau memenangkan persaingan tersebut, sesuai paradigma baru yang dipakainya.
Setiap organisasi baik itu organisasi pemerintah, swasta, dalam bentuk manufaktur, jasa ataupun dagang akan dihadapkan pada permasalahan mengenai pengelolaan sumber. Hal itu disebabkan karena pengelolaan sumber daya manusia ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lainnya yaitu bahan baku (material), modal (money), mesin (machines), dan metode (method), serta energi (energy) dalam organisasi tersebut. Semakin baik pengelolaan sumber daya manusia (tenaga kerja) maka semakin baik pula pengelolaan sumber daya yang lain, sebaliknya semakin buruk pengelolaan sumber daya manusia maka hal itu berakibat pengelolaan sumber daya yang lain semakin tidak baik.
Good Governance merupakan persyaratan bagi instansi pemerintah dalam dalam rangka mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa. Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk dapat bekerja secara profesional dengan berlandaskan moral yang baik, berdaya guna, bersih dan mengutamakan kepentingan masyarakat dan dapat melayani masyarakat sebaik-baiknya.
Namun dalam pelaksanaannya permasalahan pelayanan, pengawasan, dan korupsi yang melekat pada birokrasi pada umumnya dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X pada khususnya, masih banyak Pegawai Negeri Sipil dilingkungan KPKNL X yang belum mampu memaksimalkan kinerjanya, hal ini ditandai oleh tidak tercapainya target kinerja yang telah ditentukan dalam pelaksanaan tugas pokok maupun tugas tambahan, masih lambatnya pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya, pegawai di lingkungan KPKNL X masih belum menunjukkan motivasi kerja yang maksimal dengan kompensasi yang diberikan.
Sebagai aparat pemerintah, maka setiap pegawai KPKNL X harus menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya membuahkan suatu hasil. Suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya karena adanya prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama dan prakarsa disebut kinerja. Kinerja itu dapat berupa produk akhir (barang dan jasa) dan atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan, sasaran organisasi. Dalam hubungan ini seseorang dikatakan mempunyai kinerja baik, apabila mampu memperlihatkan hasil kerja atau kemampuan kerja yang baik dan dapat memberi kontribusi terhadap pencapaian organisasi atau mempunyai perilaku yang baik, kecakapan, kompetensi, keterampilan spesifik yang tinggi, bersedia di gaji/diberi upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan (expention) masa depan lebih baik, Prawirosentono (2007, 78). Namun kenyataannya adanya beberapa personil masih belum dapat memberikan kontribusi kepada kantor secara total dan kurang pemahaman bidang tugasnya baik disebabkan faktor intern personil atau faktor ekstern.
Hal ini terjadi bukan karena hanya kesalahan pegawai itu sendiri akan tetapi ada kemungkinan instansi pemerintah kurang memperhatikan kondisi-kondisi yang menyebabkan pegawai tidak bekerja dengan baik tersebut. Untuk itu instansi pemerintah harus memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kinerja pegawai yang rendah. Faktor-faktor tersebut banyak sekali, antara lain kemungkinan kompensasi yang diterima tidak mencukupi untuk kesejahteraan pegawai dan keluarga, adanya faktor lingkungan yang tidak kondusif, perlunya faktor pembinaan pegawai melalui program mutasi, sistem mutasi yang berjalan dan masih banyak faktor-faktor lainnya.
Kompensasi yang diberikan pemerintah masih belum dapat memenuhi kebutuhan bagi pegawai. Manusia bekerja tidak hanya untuk mendapatkan uang saja, tetapi juga mendapatkan perhargaan dan kepuasan kerja. Kompensasi dalam bentuk asuransi belum semua membuat pegawai tenang dalam bekerja, misalnya belum adanya asuransi jiwa dan asuransi pendidikan. Dengan adanya kompensasi kembali akan meningkatkan semangat kerja, motivasi kerja dan kinerja pegawai yang mempunyai peran penting terhadap organisasi.
Mengingat begitu pentingnya peran pegawai, pimpinan KPKNL X perlu memperhatikan permasalahan yang timbul di dalam pegawai antara lain pelaksanaan mutasi. Kegiatan mutasi pegawai dari satu seksi satu ke seksi lain khususnya pada KPKNL X belum sepenuhnya berjalan sehingga terjadi ketidakseimbangan pegawai, timbulnya rasa bosan di suatu tempat sehingga dapat mempengaruhi kinerja pegawai dan berpengaruh pada kinerja kantor.
Dengan adanya mutasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja pegawai dan sebagai alat pendorong agar motivasi kerja pegawai meningkat dan untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaanya agar tercipta penyegaran terhadap pegawai yang juga akan terjadi penyegaran organisasi.
Persaingan yang kurang sehat biasanya berawal dari lingkungan kerja yang kurang efektif, artinya hubungan atasan dan bawahan serta hubungan antar bawahan kurang memiliki komunikasi yang baik, selain itu kondisi kerja yang kurang mendukung antara lain, suhu udara, kebisingan, penerangan, fasilitas kantor yang kurang mendukung. Faktor lingkungan kerja tersebut juga harus diperhatikan pimpinan institusi, sehingga pegawai dapat bekerja dengan baik di ingkungan yang menyenangkan. KPKNL X menempati gedung yang sudah tua dan sarana penunjang yang kurang mendukung pegawai untuk bekerja dengan nyaman.
Merosotnya kinerja dapat diidentifikasi dengan adanya terlambatnya laporan pekerjaan inventarisasi barang milik negara, sering terjadi kesalahan yang diperbuat, berkembangnya rasa tidak puas, produktivitas kerja melorot seperti tidak tercapainya target pengurusan piutang dan lelang serta inventarisasi barang milik negara. Kompensasi yang kurang memadai, kondisi kerja tidak mendukung gairah kerja, peraturan dan kebijaksanaan yang tidak stabil dapat pula menimbulkan dismotivasi dan berakibat merosotnya kinerja pegawai. Bertitik dari uraian di atas, maka penelitian bermaksud mengajukan penelitian tesis ini dengan judul "Pengaruh Kompensasi, Mutasi, dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai KPKNL X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah, sebagai berikut :
1. Pegawai di lingkungan KPKNL X masih belum menunjukkan kinerja yang maksimal dengan kompensasi yang diberikan dalam bentuk remunerasi
2. Dengan diterapkannya absen finger print untuk disiplin pegawai belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
3. Kompensasi yang diberikan kepada pegawai belum dapat meningkatkan kinerja pegawai KPKNL X.
4. Mutasi pegawai belum sepenuhnya berjalan.
5. Kondisi lingkungan kerja di KPKNL X belum memadai.
6. Lingkungan Kerja di KPKNL X belum cukup menunjang dalam peningkatan kinerja pegawai.
7. Masih belum tercapainya target KPKNL X yang telah ditetapkan Kantor Pusat DJKN.
8. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat masih dapat ditingkatkan.
9. Pimpinan KPKNL X memandang kinerja karyawan belum optimal.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup Kantor Pelayanan Kekayaan Negaradan Lelang X. Penulis menganalisa faktor variabel kompensasi, mutasi, dan lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta uraian di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
2. Apakah terdapat pengaruh mutasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
3. Apakah terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, mutasi dan lingkungan kerjasecara bersama-sama terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui faktor kompensasi, mutasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara sendiri-sendiri terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.
b. Untuk mengetahui faktor kompensasi, mutasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.
2. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan sumbangan pada lembaga pemerintah, dunia keilmuan dan pengetahuan maupun informasi bagi individu seperti :
a. KPKNL X, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terutama di bagian kepegawaian di KPKNL X untuk melaksanakan program peningkatan kualitas aparat melalui pemberian motivasi berupa kompensasi, mutasi, dan lingkuangan kerja yang baik efektif guna melecut pegawai agar menunjukkan kinerja yang optimal.
b. Memberikan sumbangan ilmu dan bahan kajian teoritis berkaitan dengan motivasi secara umum dan aplikasinya di lapangan serta kaitannya dengan penelitian kinerja pegawai di organisasi pemerintahan.
c. Sebagai bahan kajian pendahuluan bagi para peneliti lain untuk melakukan dan mengembangkan penelitian lebih lanjut.

TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK

TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK


(KODE : PASCSARJ-0151) : TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah
Globalisasi di era pasar bebas ini membuat seluruh elemen harus mampu bersaing, dengan para pesaingnya baik lokal maupun internasional. Termasuk didalamnya persaingan sumberdaya manusia itu sendiri. Kecanggihan teknologi yang dulu menjadi ciri kemajuan zaman modern kini tidak lagi menjadi nomor wahid yang begitu diagungkan namun kebutuhan manusia yang menguasai teknologi dan budaya produksi lebih mendominasi dalam era persaingan global, sehingga peran manusia produktif amat diperlukan dalam menjamin keunggulannya. Karenanya diperlukan keselarasan antara strategi pengembangan secara umum dan perencanaan sumberdaya manusia yang tepat.
Ditengah kesadaran akan kerasnya tuntutan lingkungan dan pentingnya sumberdaya manusia dalam organisasi, ditemui kenyataan masih begitu banyaknya organisasi yang belum mampu menghasilkan produktivitas kerja yang optimal sesuai yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi antara lain dari sisi karyawan, masalah motivasi diri yang kurang mendukung upaya untuk menampilkan kinerja yang optimal. Sementara di sisi lain terdapat, masalah remunerasi, budaya organisasi dan motivasi yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk peningkatan kinerja pegawai.
Motivasi adalah gabungan dari keinginan seseorang dengan energi yang diarahkan untuk bisa mencapai goal (tujuan) yang dituju. Motivasi adalah penyebab dari suatu aksi. Motivasi dapat berupa kepuasan pribadi, perasaan bisa mencapai sesuatu, memperolah rewards (penghargaan/hadiah) atau menghindari punishment (sangsi atau hukuman). Tidak semua orang termotivasi oleh suatu hal yang sama, dengan berlalunya waktu motivasi bisa berubah. Masalah berkurangnya motivasi pada seseorang dapat disebabkan karena tekanan ekonomi dari keluarga, konflik kepribadian, tiadanya pemahaman bahwa suatu sikap bisa memberikan dampak tertentu kepada orang lain.
Aspek penting lain dalam kaitannya dengan kinerja pegawai adalah bagaimana budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Besarnya tuntutan sebagai akibat perubahan zaman yang begitu cepat membuat institusi/lembaga pemerintah harus mampu mengembangkan strategi yang dinamis dan adaptif untuk menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Untuk itu setiap lembaga pemerintah harus memantapkan atau mempertegas nilai-nilai budaya yang menunjang kinerja serta meningkatkan produktivitas yang kemudian diterapkan sebagai strategi organisasi.
Budaya kerja yang kuat diyakini dapat menjadi andalan peningkatan kinerja dalam hal ini pengembangan budaya kerja menjadi fokus internal yang sangat penting, karena budaya kerja merupakan esensi filosofi untuk mencapai sukses, yaitu dengan adanya penciptaan nilai-nilai yang memberikan pengarahan umum dan petunjuk perilaku bagi semua komponen organisasi dari atasan hingga level paling bawah dalam organisasi.
Untuk menghadapi perubahan yang makin pesat dan beraneka ragam, organisasi dituntut agar dapat mengembangkan kemampuan manajemen guna mengantisipasi kejadian-kejadian serta perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam kurun waktu yang singkat maupun waktu yang panjang, serta strategi dan metode yang perlu dirancang untuk menghadapi atau mengatasi jika hal-hal tersebut menjadi bentuk masalah. Termasuk dalam pengembangan budaya organisasi ini adalah strategi untuk memberikan pelayanan pada pengguna jasa organisasi.
Pengaruh budaya organisasi, tak lepas dari keberadaan organisasi sebagai sebuah masyarakat manusia, yang seperti masyarakat lainnya, mendorong tumbuhnya bentuk budaya tertentu. Tiap organisasi mempunyai bahasanya sendiri mengenai sejarah (mitos-mitosnya) dan orang yang menjadi contoh perilaku baik maupun kurang baik (legendanya), baik historis maupun kontemporer. Dengan berbagai cara, berbagai elemen budaya tersebut, menyatakan kepada anggota organisasinya apa yang boleh dan apa yng tidak boleh menurut Hammer (998, 47).
Budaya kerja merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kinerja organisasi. Sebagai sebuah instrumen penting dalam organisasi, diyakini oleh para ahli bahwa semua organisasi memiliki budaya. Perbedaanya terletak apakah budaya yang dimiliki organisasi tersebut kuat atau lemah. Selain itu yang menjadi permasalahan adalah apakah organisasi yang ada menunjang pada pencapaian visi dan misi organisasi atau tidak. Budaya pada kenyataannya memang menghasilkan efek sangat besar yang mempengaruhi individu dan kinerja. Pengaruh ini bahkan bisa menjadi lebih besar dari pada semua faktor lain.
Pengaruh faktor budaya masyarakat sekitar dimana organisasi berada pada operasi organisasi juga tergantung pada tingkat keterkaitan dan perkembangan organisasi. Hal ini disebabkan dalam suatu organisasi terdapat pegawai-pegawai yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan disatukan dalam suatu ikatan di tempat bekerja.
Masalah perbedaan budaya ini dapat berubah menjadi suatu masalah yang lebih kompleks apabila tidak ditangani secara hati-hati. Dimana akan dapat menimbulkan suatu masalah atau konflik antara karyawan yang berbeda budaya hanya disebabkan masalah yang kecil, yaitu hanya berbeda pandangan atau persepsi terhadap suatu masalah, sehingga akan menurunkan kinerja organisasi itu sendiri.
Seperti kita ketahui bersama saat ini pendapatan negara masih sangat tergantung dari pendapatan pajak, karena komponen pendapatan negara terbesar masih didominasi dari pajak. Mengingat sumber-sumber pendapatan lain yang begitu diandalkan seperti minyak bumi dan gas alam serta hasil hutan kini tidak dapat dipertahankan lagi, menyadari hal tersebut pemerintah bertekad untuk menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara dalam membiayai pembangunan nasional.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa image masyarakat terhadap pajak selama ini yaitu menganggap pajak sebagai hal yang ditakuti masyarakat. Masyarakat masih memberikan penilaian negatif pajak baik dari sisi pelayanan yang buruk maupun praktek-praktek korupsi yang terjadi di instansi Direktorat Jendral Pajak (DJP). Hal tersebut cukup beralasan mengingat media massa pernah menyebutkan bahwa hasil survey Transparency International Indonesia terhadap 900 pengusaha di 15 kota di luar Jabotabek menyebutkan bahwa 40% sampai dengan 60% penerimaan pajak dikorupsi oleh aparat pajak.
Korupsi, kolusi dan nepotisme telah membudaya di Indonesia juga dialami di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, hal ini terjadi antara lain disebabkan Wajib Pajak tidak mau melaporkan secara jujur pajak yang harus dibayar sehingga memberi kesempatan bagi petugas pajak dengan wajib pajak untuk melakukan negosiasi. Budaya organisasi yang tidak tepat dapat menimbulkan penyimpangan tujuan organisasi, selain itu pengawasan terhadap petugas pajak sendiri masih kurang seperti kurangnya tindakan tegas terhadap petugas pajak yang melakukan penyelewengan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Budaya aparat dilingkungan Dirjen pajak yang selama ini dikatakan masih belum sesuai dengan kaidah yang ada sehingga sampai memunculkan ide untuk membentuk internal revenue services (IRS) yang bertindak sebagai polisi pajak. Selain itu mengusulkan pembentukan federasi pembayar pajak (tax payer federation) untuk mengurangi kebocoran pajak. Respon dan opini berbagai kalangan seperti yang banyak diungkapkan melalui media menggambarkan betapa DJP selama ini belum mampu meningkatkan kinerja dan citranya. Hal itulah salah satu yang mendorong harus dilakukannya reformasi perpajakan.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010 masuk dalam pos reformasi birokrasi, remunerasi pejabat negara tidak dapat dipisahkan dari reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah, anggaran ini untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan. Dengan adanya reformasi birokrasi, pemerintah dituntut bisa mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu instansi Pemerintah dibawah Departemen Keuangan, saat ini tengah berbenah dengan menerapkan Sistem Administrasi Modern dalam rangka memperbaiki kompetensi pada organisasinya, baik kompetensi instansi maupun kompetensi tiap individu di dalamnya agar tercapai kinerja yang baik.
Hal ini sejalan dengan reformasi birokrasi yang tengah digaungkan oleh Kementrian Keuangan. Reformasi birokrasi ini dilaksanakan terutama untuk memperbaiki performa dalam organisasi tersebut dalam rangka mempersiapkan diri ke arah yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat mewujudkan visi Direktorat Jenderal Pajak yaitu menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi dan misi Direktorat Jenderal Pajak yaitu menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Karena hal itu yang dapat menggambarkan kinerja lembaga khususnya Direktorat Jenderal Pajak X.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak khususnya Pegawai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X menempati posisi yang sangat penting dalam menjamin kelancaran kerja, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan aktivitas utama organisasi untuk menghasilkan output tertentu yang diusahakan. Akibatnya tenaga pegawai yang berhubungan langsung dengan aktivitas utama organisasi tersebut, dituntut dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan tersebut yang akhirnya secara langsung dapat diterima dari kuantitas, maupun kualitasnya.
Besarnya tuntutan tersebut membuat institusi/lembaga pemerintah khususnya di lingkungan Dirjen Pajak harus mampu mengembangkan strategi yang dinamis dan adaptif untuk menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, kebijakan instansi dimasa yang akan datang lebih dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan secara umum. Oleh karena itu pengelola pada berbagai tingkatan dituntut untuk mampu menentukan kebijakan yang dapat memahami lingkungan tersebut dan mendukung rencana makro dimasa yang akan datang.
Dalam hubungan ini pegawai dikatakan mempunyai kinerja yang baik, antara lain bila mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan Evaluasi, Penilaian, Kenaikan Dan Penurunan Jabatan Dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana Dilingkungan Departemen Keuangan, yaitu menjadi sumber daya manusia yang berkinerja baik dengan memiliki pengetahuan, kemampuan dan keahlian yang handal, profesional serta berdedikasi tinggi, jujur dan memiliki disiplin yang tinggi.
Peningkatan kinerja bagi pegawai tidak terlepas dari rangsangan maupun motivasi dari pegawai itu sendiri atau dari eksternal. Dalam hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung remunerasi merupakan salah satu pendorong semangat kerja dan produktivitas kerja pegawai, dengan memanfaatkan dan menggunakan serta memaksimalkan sumber daya yang dimiliki yang didukung budaya organisasi yang tepat diharapkan dapat tercapainya kinerja yang optimal. Remunerasi diharapkan mampu memberikan dorongan dan motivasi kerja terhadap para pegawai untuk tetap bekerja giat. Disamping memotivasi, peranan remunerasi sangat penting dalam rangka menciptakan kinerja yang tinggi. Hal ini disebabkan karena setiap karyawan mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan harapan yang berbeda-beda.
Peran utama budaya kerja adalah dapat mempengaruhi orang lain untuk secara bersama-sama bekerja secara serius dalam mencapai tujuan. Tanpa adanya budaya kerja yang tepat, tujuan perseorangan dan tujuan organisasi menjadi tidak selaras. Keadaan ini dapat menimbulkan sikap bekerja untuk kepentingan pribadi sehingga keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga budaya kerja dapat dikatakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya kegiatan seseorang dalam organisasi dalam jalur tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi yang bersangkutan.
Dengan jumlah pegawai yang ada, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X harus dapat memaksimalkan kerja pegawainya untuk dapat memperoleh kinerja yang diharapkan sehingga peran Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X terhadap pembangunan negara terlihat nyata, hal ini tidak luput dari peran remunerasi untuk memotivasi pegawainya agar bekerja maksimal. Budaya organisasi yang tepat serta motivasi kerja yang tinggi, mengingat kondisi karyawan saat ini memerlukan motivasi yang tinggi.
Penilaian kepada Direktorat Jendral Pajak secara umum inilah yang menjadikan Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X harus lebih meningkatkan motivasi bekerja sesuai dengan petunjuk pelaksanaan teknis Menteri Keuangan. Dengan remunerasi dan budaya kerja yang tepat diharapkan untuk dapat membangkitkan motivasi kerja pegawainya sehingga akan dapat diperoleh kinerja yang maksimal sebagaimana yang diharapkan Direktorat Jendral Pajak dan pemerintah sehingga akan memberikan dampak positif dari penilaian publik yang sebelumnya terkesan belum sesuai dengan harapan.
Mengingat tanggung jawab yang dibebankan kepada pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X yang ada, peneliti ingin mengetahui seberapa besar faktor remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja dapat mempengaruhi kinerja pegawai, dengan mengambil judul "Analisis Pengaruh Remunerasi, Motivasi dan Budaya Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X"

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perlunya peningkatan etos kerja pegawai pada Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
2. Kedisiplinan pegawai masih perlu ditingkatkan
3. Pelaksanaan remunerasi meningkatkan kinerja para pegawai
4. Motivasi kerja perlu ditingkatkan
5. Motivasi kerja para pegawai sangat berperan dalam meningkatkan kinerja.
6. Budaya kerja para pegawai belum sesuai dengan harapan.
7.Budaya Kerja yang sesuai untuk dapat membangkitkan kinerja pegawainya belum maksimal.
8. Kinerja para pegawai belum optimal.
9. Kinerja para pegawai dapat dipengaruhi remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja.
10.Pemahaman tentang Budaya kerja perlu ditingkatkan agar kinerja dapat meningkat.
11.Diperlukan Budaya kerja yang tepat untuk mendukung semangat kerja pegawainya agar dapat diperoleh Kinerja Pegawai yang optimal

C. Ruang Lingkup Penelitian
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai dan permasalahan yang ada pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X, maka dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang berpengaruh antara lain Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.

D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh remunerasi terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X
2. Bagaimanakah pengaruh motivasi Kerja terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
3. Bagaimanakah pengaruh Budaya kerja terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
4. Bagaimanakah pengaruh remunerasi, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
5. Faktor manakah yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai baik secara parsial maupun simultan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X
b. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja pegawai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi Pimpinan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X Kantor dalam rangka menunjang peningkatan kinerja pegawainya.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi Pimpinan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X untuk dapat lebih memperhatikan Kinerja karyawannya melalui peningkatan Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya Kerja.
c. Menambah pengetahuan peneliti dalam rangka pengembangan teori yang diperoleh dari pendidikan formal di Universitas.
d. Sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya dalam mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai.