Search This Blog

TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN

TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN


(KODE : PASCSARJ-0152) : TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era perubahan global yang timbul sebagai akibat perubahan teknologi yang cepat terjadi pada hampir semua aspek kehidupan manusia dan menimbulkan pergeseran serta paradigma baru. Perubahan di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, nilai, dan budaya, pasar serta lingkungan akan mendorong timbulnya persaingan yang tajam baik antar individu, kelompok, masyarakat, dan bahkan di tingkat organisasi hingga antar negara. Semuanya bergerak dan berlomba-lomba melakukan aktivitas yang lebih baik, lebih efisien, efektif, lebih unggul satu sama lain dalam mengelola sumber-sumber daya, memanfatkan peluang dan tantangan untuk menghadapi atau memenangkan persaingan tersebut, sesuai paradigma baru yang dipakainya.
Setiap organisasi baik itu organisasi pemerintah, swasta, dalam bentuk manufaktur, jasa ataupun dagang akan dihadapkan pada permasalahan mengenai pengelolaan sumber. Hal itu disebabkan karena pengelolaan sumber daya manusia ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lainnya yaitu bahan baku (material), modal (money), mesin (machines), dan metode (method), serta energi (energy) dalam organisasi tersebut. Semakin baik pengelolaan sumber daya manusia (tenaga kerja) maka semakin baik pula pengelolaan sumber daya yang lain, sebaliknya semakin buruk pengelolaan sumber daya manusia maka hal itu berakibat pengelolaan sumber daya yang lain semakin tidak baik.
Good Governance merupakan persyaratan bagi instansi pemerintah dalam dalam rangka mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa. Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk dapat bekerja secara profesional dengan berlandaskan moral yang baik, berdaya guna, bersih dan mengutamakan kepentingan masyarakat dan dapat melayani masyarakat sebaik-baiknya.
Namun dalam pelaksanaannya permasalahan pelayanan, pengawasan, dan korupsi yang melekat pada birokrasi pada umumnya dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X pada khususnya, masih banyak Pegawai Negeri Sipil dilingkungan KPKNL X yang belum mampu memaksimalkan kinerjanya, hal ini ditandai oleh tidak tercapainya target kinerja yang telah ditentukan dalam pelaksanaan tugas pokok maupun tugas tambahan, masih lambatnya pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya, pegawai di lingkungan KPKNL X masih belum menunjukkan motivasi kerja yang maksimal dengan kompensasi yang diberikan.
Sebagai aparat pemerintah, maka setiap pegawai KPKNL X harus menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya membuahkan suatu hasil. Suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya karena adanya prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama dan prakarsa disebut kinerja. Kinerja itu dapat berupa produk akhir (barang dan jasa) dan atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan, sasaran organisasi. Dalam hubungan ini seseorang dikatakan mempunyai kinerja baik, apabila mampu memperlihatkan hasil kerja atau kemampuan kerja yang baik dan dapat memberi kontribusi terhadap pencapaian organisasi atau mempunyai perilaku yang baik, kecakapan, kompetensi, keterampilan spesifik yang tinggi, bersedia di gaji/diberi upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan (expention) masa depan lebih baik, Prawirosentono (2007, 78). Namun kenyataannya adanya beberapa personil masih belum dapat memberikan kontribusi kepada kantor secara total dan kurang pemahaman bidang tugasnya baik disebabkan faktor intern personil atau faktor ekstern.
Hal ini terjadi bukan karena hanya kesalahan pegawai itu sendiri akan tetapi ada kemungkinan instansi pemerintah kurang memperhatikan kondisi-kondisi yang menyebabkan pegawai tidak bekerja dengan baik tersebut. Untuk itu instansi pemerintah harus memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kinerja pegawai yang rendah. Faktor-faktor tersebut banyak sekali, antara lain kemungkinan kompensasi yang diterima tidak mencukupi untuk kesejahteraan pegawai dan keluarga, adanya faktor lingkungan yang tidak kondusif, perlunya faktor pembinaan pegawai melalui program mutasi, sistem mutasi yang berjalan dan masih banyak faktor-faktor lainnya.
Kompensasi yang diberikan pemerintah masih belum dapat memenuhi kebutuhan bagi pegawai. Manusia bekerja tidak hanya untuk mendapatkan uang saja, tetapi juga mendapatkan perhargaan dan kepuasan kerja. Kompensasi dalam bentuk asuransi belum semua membuat pegawai tenang dalam bekerja, misalnya belum adanya asuransi jiwa dan asuransi pendidikan. Dengan adanya kompensasi kembali akan meningkatkan semangat kerja, motivasi kerja dan kinerja pegawai yang mempunyai peran penting terhadap organisasi.
Mengingat begitu pentingnya peran pegawai, pimpinan KPKNL X perlu memperhatikan permasalahan yang timbul di dalam pegawai antara lain pelaksanaan mutasi. Kegiatan mutasi pegawai dari satu seksi satu ke seksi lain khususnya pada KPKNL X belum sepenuhnya berjalan sehingga terjadi ketidakseimbangan pegawai, timbulnya rasa bosan di suatu tempat sehingga dapat mempengaruhi kinerja pegawai dan berpengaruh pada kinerja kantor.
Dengan adanya mutasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja pegawai dan sebagai alat pendorong agar motivasi kerja pegawai meningkat dan untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaanya agar tercipta penyegaran terhadap pegawai yang juga akan terjadi penyegaran organisasi.
Persaingan yang kurang sehat biasanya berawal dari lingkungan kerja yang kurang efektif, artinya hubungan atasan dan bawahan serta hubungan antar bawahan kurang memiliki komunikasi yang baik, selain itu kondisi kerja yang kurang mendukung antara lain, suhu udara, kebisingan, penerangan, fasilitas kantor yang kurang mendukung. Faktor lingkungan kerja tersebut juga harus diperhatikan pimpinan institusi, sehingga pegawai dapat bekerja dengan baik di ingkungan yang menyenangkan. KPKNL X menempati gedung yang sudah tua dan sarana penunjang yang kurang mendukung pegawai untuk bekerja dengan nyaman.
Merosotnya kinerja dapat diidentifikasi dengan adanya terlambatnya laporan pekerjaan inventarisasi barang milik negara, sering terjadi kesalahan yang diperbuat, berkembangnya rasa tidak puas, produktivitas kerja melorot seperti tidak tercapainya target pengurusan piutang dan lelang serta inventarisasi barang milik negara. Kompensasi yang kurang memadai, kondisi kerja tidak mendukung gairah kerja, peraturan dan kebijaksanaan yang tidak stabil dapat pula menimbulkan dismotivasi dan berakibat merosotnya kinerja pegawai. Bertitik dari uraian di atas, maka penelitian bermaksud mengajukan penelitian tesis ini dengan judul "Pengaruh Kompensasi, Mutasi, dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai KPKNL X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah, sebagai berikut :
1. Pegawai di lingkungan KPKNL X masih belum menunjukkan kinerja yang maksimal dengan kompensasi yang diberikan dalam bentuk remunerasi
2. Dengan diterapkannya absen finger print untuk disiplin pegawai belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
3. Kompensasi yang diberikan kepada pegawai belum dapat meningkatkan kinerja pegawai KPKNL X.
4. Mutasi pegawai belum sepenuhnya berjalan.
5. Kondisi lingkungan kerja di KPKNL X belum memadai.
6. Lingkungan Kerja di KPKNL X belum cukup menunjang dalam peningkatan kinerja pegawai.
7. Masih belum tercapainya target KPKNL X yang telah ditetapkan Kantor Pusat DJKN.
8. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat masih dapat ditingkatkan.
9. Pimpinan KPKNL X memandang kinerja karyawan belum optimal.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup Kantor Pelayanan Kekayaan Negaradan Lelang X. Penulis menganalisa faktor variabel kompensasi, mutasi, dan lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta uraian di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
2. Apakah terdapat pengaruh mutasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
3. Apakah terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, mutasi dan lingkungan kerjasecara bersama-sama terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui faktor kompensasi, mutasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara sendiri-sendiri terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.
b. Untuk mengetahui faktor kompensasi, mutasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.
2. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan sumbangan pada lembaga pemerintah, dunia keilmuan dan pengetahuan maupun informasi bagi individu seperti :
a. KPKNL X, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terutama di bagian kepegawaian di KPKNL X untuk melaksanakan program peningkatan kualitas aparat melalui pemberian motivasi berupa kompensasi, mutasi, dan lingkuangan kerja yang baik efektif guna melecut pegawai agar menunjukkan kinerja yang optimal.
b. Memberikan sumbangan ilmu dan bahan kajian teoritis berkaitan dengan motivasi secara umum dan aplikasinya di lapangan serta kaitannya dengan penelitian kinerja pegawai di organisasi pemerintahan.
c. Sebagai bahan kajian pendahuluan bagi para peneliti lain untuk melakukan dan mengembangkan penelitian lebih lanjut.

TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK

TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK


(KODE : PASCSARJ-0151) : TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah
Globalisasi di era pasar bebas ini membuat seluruh elemen harus mampu bersaing, dengan para pesaingnya baik lokal maupun internasional. Termasuk didalamnya persaingan sumberdaya manusia itu sendiri. Kecanggihan teknologi yang dulu menjadi ciri kemajuan zaman modern kini tidak lagi menjadi nomor wahid yang begitu diagungkan namun kebutuhan manusia yang menguasai teknologi dan budaya produksi lebih mendominasi dalam era persaingan global, sehingga peran manusia produktif amat diperlukan dalam menjamin keunggulannya. Karenanya diperlukan keselarasan antara strategi pengembangan secara umum dan perencanaan sumberdaya manusia yang tepat.
Ditengah kesadaran akan kerasnya tuntutan lingkungan dan pentingnya sumberdaya manusia dalam organisasi, ditemui kenyataan masih begitu banyaknya organisasi yang belum mampu menghasilkan produktivitas kerja yang optimal sesuai yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi antara lain dari sisi karyawan, masalah motivasi diri yang kurang mendukung upaya untuk menampilkan kinerja yang optimal. Sementara di sisi lain terdapat, masalah remunerasi, budaya organisasi dan motivasi yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk peningkatan kinerja pegawai.
Motivasi adalah gabungan dari keinginan seseorang dengan energi yang diarahkan untuk bisa mencapai goal (tujuan) yang dituju. Motivasi adalah penyebab dari suatu aksi. Motivasi dapat berupa kepuasan pribadi, perasaan bisa mencapai sesuatu, memperolah rewards (penghargaan/hadiah) atau menghindari punishment (sangsi atau hukuman). Tidak semua orang termotivasi oleh suatu hal yang sama, dengan berlalunya waktu motivasi bisa berubah. Masalah berkurangnya motivasi pada seseorang dapat disebabkan karena tekanan ekonomi dari keluarga, konflik kepribadian, tiadanya pemahaman bahwa suatu sikap bisa memberikan dampak tertentu kepada orang lain.
Aspek penting lain dalam kaitannya dengan kinerja pegawai adalah bagaimana budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Besarnya tuntutan sebagai akibat perubahan zaman yang begitu cepat membuat institusi/lembaga pemerintah harus mampu mengembangkan strategi yang dinamis dan adaptif untuk menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Untuk itu setiap lembaga pemerintah harus memantapkan atau mempertegas nilai-nilai budaya yang menunjang kinerja serta meningkatkan produktivitas yang kemudian diterapkan sebagai strategi organisasi.
Budaya kerja yang kuat diyakini dapat menjadi andalan peningkatan kinerja dalam hal ini pengembangan budaya kerja menjadi fokus internal yang sangat penting, karena budaya kerja merupakan esensi filosofi untuk mencapai sukses, yaitu dengan adanya penciptaan nilai-nilai yang memberikan pengarahan umum dan petunjuk perilaku bagi semua komponen organisasi dari atasan hingga level paling bawah dalam organisasi.
Untuk menghadapi perubahan yang makin pesat dan beraneka ragam, organisasi dituntut agar dapat mengembangkan kemampuan manajemen guna mengantisipasi kejadian-kejadian serta perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam kurun waktu yang singkat maupun waktu yang panjang, serta strategi dan metode yang perlu dirancang untuk menghadapi atau mengatasi jika hal-hal tersebut menjadi bentuk masalah. Termasuk dalam pengembangan budaya organisasi ini adalah strategi untuk memberikan pelayanan pada pengguna jasa organisasi.
Pengaruh budaya organisasi, tak lepas dari keberadaan organisasi sebagai sebuah masyarakat manusia, yang seperti masyarakat lainnya, mendorong tumbuhnya bentuk budaya tertentu. Tiap organisasi mempunyai bahasanya sendiri mengenai sejarah (mitos-mitosnya) dan orang yang menjadi contoh perilaku baik maupun kurang baik (legendanya), baik historis maupun kontemporer. Dengan berbagai cara, berbagai elemen budaya tersebut, menyatakan kepada anggota organisasinya apa yang boleh dan apa yng tidak boleh menurut Hammer (998, 47).
Budaya kerja merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kinerja organisasi. Sebagai sebuah instrumen penting dalam organisasi, diyakini oleh para ahli bahwa semua organisasi memiliki budaya. Perbedaanya terletak apakah budaya yang dimiliki organisasi tersebut kuat atau lemah. Selain itu yang menjadi permasalahan adalah apakah organisasi yang ada menunjang pada pencapaian visi dan misi organisasi atau tidak. Budaya pada kenyataannya memang menghasilkan efek sangat besar yang mempengaruhi individu dan kinerja. Pengaruh ini bahkan bisa menjadi lebih besar dari pada semua faktor lain.
Pengaruh faktor budaya masyarakat sekitar dimana organisasi berada pada operasi organisasi juga tergantung pada tingkat keterkaitan dan perkembangan organisasi. Hal ini disebabkan dalam suatu organisasi terdapat pegawai-pegawai yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan disatukan dalam suatu ikatan di tempat bekerja.
Masalah perbedaan budaya ini dapat berubah menjadi suatu masalah yang lebih kompleks apabila tidak ditangani secara hati-hati. Dimana akan dapat menimbulkan suatu masalah atau konflik antara karyawan yang berbeda budaya hanya disebabkan masalah yang kecil, yaitu hanya berbeda pandangan atau persepsi terhadap suatu masalah, sehingga akan menurunkan kinerja organisasi itu sendiri.
Seperti kita ketahui bersama saat ini pendapatan negara masih sangat tergantung dari pendapatan pajak, karena komponen pendapatan negara terbesar masih didominasi dari pajak. Mengingat sumber-sumber pendapatan lain yang begitu diandalkan seperti minyak bumi dan gas alam serta hasil hutan kini tidak dapat dipertahankan lagi, menyadari hal tersebut pemerintah bertekad untuk menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara dalam membiayai pembangunan nasional.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa image masyarakat terhadap pajak selama ini yaitu menganggap pajak sebagai hal yang ditakuti masyarakat. Masyarakat masih memberikan penilaian negatif pajak baik dari sisi pelayanan yang buruk maupun praktek-praktek korupsi yang terjadi di instansi Direktorat Jendral Pajak (DJP). Hal tersebut cukup beralasan mengingat media massa pernah menyebutkan bahwa hasil survey Transparency International Indonesia terhadap 900 pengusaha di 15 kota di luar Jabotabek menyebutkan bahwa 40% sampai dengan 60% penerimaan pajak dikorupsi oleh aparat pajak.
Korupsi, kolusi dan nepotisme telah membudaya di Indonesia juga dialami di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, hal ini terjadi antara lain disebabkan Wajib Pajak tidak mau melaporkan secara jujur pajak yang harus dibayar sehingga memberi kesempatan bagi petugas pajak dengan wajib pajak untuk melakukan negosiasi. Budaya organisasi yang tidak tepat dapat menimbulkan penyimpangan tujuan organisasi, selain itu pengawasan terhadap petugas pajak sendiri masih kurang seperti kurangnya tindakan tegas terhadap petugas pajak yang melakukan penyelewengan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Budaya aparat dilingkungan Dirjen pajak yang selama ini dikatakan masih belum sesuai dengan kaidah yang ada sehingga sampai memunculkan ide untuk membentuk internal revenue services (IRS) yang bertindak sebagai polisi pajak. Selain itu mengusulkan pembentukan federasi pembayar pajak (tax payer federation) untuk mengurangi kebocoran pajak. Respon dan opini berbagai kalangan seperti yang banyak diungkapkan melalui media menggambarkan betapa DJP selama ini belum mampu meningkatkan kinerja dan citranya. Hal itulah salah satu yang mendorong harus dilakukannya reformasi perpajakan.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010 masuk dalam pos reformasi birokrasi, remunerasi pejabat negara tidak dapat dipisahkan dari reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah, anggaran ini untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan. Dengan adanya reformasi birokrasi, pemerintah dituntut bisa mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu instansi Pemerintah dibawah Departemen Keuangan, saat ini tengah berbenah dengan menerapkan Sistem Administrasi Modern dalam rangka memperbaiki kompetensi pada organisasinya, baik kompetensi instansi maupun kompetensi tiap individu di dalamnya agar tercapai kinerja yang baik.
Hal ini sejalan dengan reformasi birokrasi yang tengah digaungkan oleh Kementrian Keuangan. Reformasi birokrasi ini dilaksanakan terutama untuk memperbaiki performa dalam organisasi tersebut dalam rangka mempersiapkan diri ke arah yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat mewujudkan visi Direktorat Jenderal Pajak yaitu menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi dan misi Direktorat Jenderal Pajak yaitu menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Karena hal itu yang dapat menggambarkan kinerja lembaga khususnya Direktorat Jenderal Pajak X.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak khususnya Pegawai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X menempati posisi yang sangat penting dalam menjamin kelancaran kerja, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan aktivitas utama organisasi untuk menghasilkan output tertentu yang diusahakan. Akibatnya tenaga pegawai yang berhubungan langsung dengan aktivitas utama organisasi tersebut, dituntut dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan tersebut yang akhirnya secara langsung dapat diterima dari kuantitas, maupun kualitasnya.
Besarnya tuntutan tersebut membuat institusi/lembaga pemerintah khususnya di lingkungan Dirjen Pajak harus mampu mengembangkan strategi yang dinamis dan adaptif untuk menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, kebijakan instansi dimasa yang akan datang lebih dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan secara umum. Oleh karena itu pengelola pada berbagai tingkatan dituntut untuk mampu menentukan kebijakan yang dapat memahami lingkungan tersebut dan mendukung rencana makro dimasa yang akan datang.
Dalam hubungan ini pegawai dikatakan mempunyai kinerja yang baik, antara lain bila mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan Evaluasi, Penilaian, Kenaikan Dan Penurunan Jabatan Dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana Dilingkungan Departemen Keuangan, yaitu menjadi sumber daya manusia yang berkinerja baik dengan memiliki pengetahuan, kemampuan dan keahlian yang handal, profesional serta berdedikasi tinggi, jujur dan memiliki disiplin yang tinggi.
Peningkatan kinerja bagi pegawai tidak terlepas dari rangsangan maupun motivasi dari pegawai itu sendiri atau dari eksternal. Dalam hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung remunerasi merupakan salah satu pendorong semangat kerja dan produktivitas kerja pegawai, dengan memanfaatkan dan menggunakan serta memaksimalkan sumber daya yang dimiliki yang didukung budaya organisasi yang tepat diharapkan dapat tercapainya kinerja yang optimal. Remunerasi diharapkan mampu memberikan dorongan dan motivasi kerja terhadap para pegawai untuk tetap bekerja giat. Disamping memotivasi, peranan remunerasi sangat penting dalam rangka menciptakan kinerja yang tinggi. Hal ini disebabkan karena setiap karyawan mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan harapan yang berbeda-beda.
Peran utama budaya kerja adalah dapat mempengaruhi orang lain untuk secara bersama-sama bekerja secara serius dalam mencapai tujuan. Tanpa adanya budaya kerja yang tepat, tujuan perseorangan dan tujuan organisasi menjadi tidak selaras. Keadaan ini dapat menimbulkan sikap bekerja untuk kepentingan pribadi sehingga keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga budaya kerja dapat dikatakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya kegiatan seseorang dalam organisasi dalam jalur tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi yang bersangkutan.
Dengan jumlah pegawai yang ada, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X harus dapat memaksimalkan kerja pegawainya untuk dapat memperoleh kinerja yang diharapkan sehingga peran Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X terhadap pembangunan negara terlihat nyata, hal ini tidak luput dari peran remunerasi untuk memotivasi pegawainya agar bekerja maksimal. Budaya organisasi yang tepat serta motivasi kerja yang tinggi, mengingat kondisi karyawan saat ini memerlukan motivasi yang tinggi.
Penilaian kepada Direktorat Jendral Pajak secara umum inilah yang menjadikan Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X harus lebih meningkatkan motivasi bekerja sesuai dengan petunjuk pelaksanaan teknis Menteri Keuangan. Dengan remunerasi dan budaya kerja yang tepat diharapkan untuk dapat membangkitkan motivasi kerja pegawainya sehingga akan dapat diperoleh kinerja yang maksimal sebagaimana yang diharapkan Direktorat Jendral Pajak dan pemerintah sehingga akan memberikan dampak positif dari penilaian publik yang sebelumnya terkesan belum sesuai dengan harapan.
Mengingat tanggung jawab yang dibebankan kepada pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X yang ada, peneliti ingin mengetahui seberapa besar faktor remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja dapat mempengaruhi kinerja pegawai, dengan mengambil judul "Analisis Pengaruh Remunerasi, Motivasi dan Budaya Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X"

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perlunya peningkatan etos kerja pegawai pada Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
2. Kedisiplinan pegawai masih perlu ditingkatkan
3. Pelaksanaan remunerasi meningkatkan kinerja para pegawai
4. Motivasi kerja perlu ditingkatkan
5. Motivasi kerja para pegawai sangat berperan dalam meningkatkan kinerja.
6. Budaya kerja para pegawai belum sesuai dengan harapan.
7.Budaya Kerja yang sesuai untuk dapat membangkitkan kinerja pegawainya belum maksimal.
8. Kinerja para pegawai belum optimal.
9. Kinerja para pegawai dapat dipengaruhi remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja.
10.Pemahaman tentang Budaya kerja perlu ditingkatkan agar kinerja dapat meningkat.
11.Diperlukan Budaya kerja yang tepat untuk mendukung semangat kerja pegawainya agar dapat diperoleh Kinerja Pegawai yang optimal

C. Ruang Lingkup Penelitian
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai dan permasalahan yang ada pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X, maka dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang berpengaruh antara lain Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.

D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh remunerasi terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X
2. Bagaimanakah pengaruh motivasi Kerja terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
3. Bagaimanakah pengaruh Budaya kerja terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
4. Bagaimanakah pengaruh remunerasi, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
5. Faktor manakah yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai baik secara parsial maupun simultan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X
b. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja pegawai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi Pimpinan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X Kantor dalam rangka menunjang peningkatan kinerja pegawainya.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi Pimpinan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X untuk dapat lebih memperhatikan Kinerja karyawannya melalui peningkatan Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya Kerja.
c. Menambah pengetahuan peneliti dalam rangka pengembangan teori yang diperoleh dari pendidikan formal di Universitas.
d. Sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya dalam mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X


(KODE : KEBIDANN-0036) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X 


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini peradaban manusia semakin berkembang dengan pesat. Pola kehidupan manusia akan selalu berubah, disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sistem perekonomian yang semakin tertata, peralatan elektronik dan telekomunikasi yang semakin canggih serta pemberdayaan dalam semua bidang kehidupan yang semakin optimal. Kesemuanya tidak terlepas dari campur tangan pendidikan. Bisa dikatakan pendidikan memegang pengaruh penting dalam menciptakan kualitas suatu bangsa. Mulai dari bagaimana cara manusia memngenali sesuatu, sampai bagaimana melatih manusia agar mampu memunculkan suatu inovasi yang luar biasa. Oleh karena itu, untuk memajukan suatu bangsa, pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 th 2003 dalam Hasbulloh, 2005 : 4). Dalam pendidikan tentunya mencakup peserta didik, pengajar dan keluarga, dimana ketiganya saling berkaitan erat. Pada pelaksanaannya, proses belajar-mengajar akan menghasilkan suatu output berupa prestasi belajar (Rahayu, 2004 : 2).
Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan melalui mata (Kamus Besar bahasa Indonesia, 2001 : 895). Menurut Rahayu (2004 : 48) prestasi belajar merupakan perwujudan keberhasilan belajar peserta didik yang menunjukkan keuletan dan kesungguhannya dalam belajar.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tentunya hasil yang ingin dicapai adalah predikat baik, namun kenyataannya dalam setiap proses belajar mengajar menunjukkan tidak semua peserta didik memperoleh prestasi belajar yang memuaskan. Ada sebagian peserta didik yang memperoleh hasil kurang meskipun penyampaian materi sama. Hal ini dapat dimaklumi karena kemampuan dan kecakapan yang dimiliki setiap peserta didik tidak sama (Rahayu, 2004 : 3).
Belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif (Skinner dalam Syah, 2005 : 64). Menurut Gerungan (2000 : 54) salah satu usaha seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya adalah dengan interaksi sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa interaksi sosial peserta didik terhadap lingkungannya dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyesuaian diri (belajar).
Menurut Rahayu (2004 : 51) pada prinsipnya faktor yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik berasal dari internal maupun eksternal. Faktor internal mencakup keadaan fisiologis dan psikologis.. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan yang meliputi faktor sosial dan non sosial. Interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Syani, 2002 : 151). Dalam hal ini interaksi merupakan perpaduan antara faktor psikologis peserta didik (internal) dengan faktor lingkungan khususnya lingkungan sosial (eksternal) untuk mencapai suatu hasil belajar yang optimal.
Salah satu faktor lingkungan sosial yang turut berperan dalam proses belajar peserta didik adalah lingkungan institusi pendidikan. Lingkungan institusi pendidikan adalah lingkungan yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik selain lingkungan keluarga (Syah, 2005 : 152-153). Dikatakan oleh Sukmadinata (2003 : 28) bahwa lingkungan institusi pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pendidikan. Sehingga faktor lingkungan institusi pendidikan yang mencakup interaksi sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap tingkat pencapaian belajar.
Interaksi sosial peserta didik dalam lingkungan institusi pendidikan di bedakan menjadi beberapa macam, dapat terjadi antara peserta didik dengan peserta didik yang lainnya, dengan pengajar atau karyawan. Khusus dalam lingkup kelas interaksi sosial antara peserta didik dengan temannya, dinilai sangat penting karena dapat memberikan motivasi belajar yang baik bagi peserta didik tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Slameto (2003 : 68) yaitu relasi peserta didik dengan peserta didik yang lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan X Klaten berdiri pada tahun 2005 dengan membuka dua Program Studi, yaitu S1 Keperawatan dan Diploma III Kebidanan. Sebagai salah satu institusi pendidikan yang bergerak dibidang kesehatan, tentunya Stikes X memiliki tujuan yang sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu menghasilkan output mahasiswa yang kompeten baik dari segi teori maupun praktek. Untuk mencapai tujuan tersebut, hendaknya segala faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar harus diperhatikan. Yang sudah baik dipertahankan dan yang masih kurang memadai harus segera ditingkatkan, mengingat Stikes X merupakan institusi pendidikan yang tergolong masih muda berkecimpung di kancah pendidikan kesehatan. Kualitas harus ditingkatkan, agar dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat.
Telah dijelaskan di depan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar mahasiswa, salah satunya adalah interaksi sosial. Dalam penelitian ini, penulis hanya mengambil responden mahasiswa tingkat I, harapannya adalah memperoleh perbedaan interaksi sosial yang lebih signifikan antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain, mengingat mahasiswa tersebut berada pada tahun pertama yang merupakan masa adaptasi dengan lingkungan sekolah, baik dengan dosen, karyawan atau sesama teman.
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud membahas mengenai hubungan antara interaksi sosial (khususnya interaksi sosial mahasiswa dengan mahasiswa yang lain) dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
Apakah ada hubungan antara interaksi sosial dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui : Hubungan antara interaksi sosial dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X.

D. MANFAAT PENELITIAN 
1. Bagi institusi pendidikan Stikes X
Sebagai masukan positif bagi pihak institusi pendidikan, untuk lebih memperhatikan mahasiswa dengan prestasi belajar rendah. Apabila interaksi sosial terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar, segenap anggota institusi pendidikan harus berupaya untuk dapat memaksimalkan interaksi sosial yang positif di dalam lingkungan institusi pendidikan tersebut.
2. Bagi mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X
Memberikan motivasi positif bagi mahasiswa agar dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan institusi pendidikan yang memiliki peran penting dalam proses pembelajaran mahasiswa.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian yang relevan dan mendalam pada masa yang akan datang.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


(KODE : KEBIDANN-0035) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka (Syah, 2005).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Si stem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1), pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Syah, 2005).
Tujuan pendidikan nasional itu sendiri menurut TAP MPR No. II Tahun 1998, adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial.
Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Hal tersebut berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan amat bergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik, baik ketika ia berada di lingkungan pendidikan seperti sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 2005).
Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor pendekatan belajar. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi munculnya peserta didik yang berprestasi tinggi atau rendah atau mungkin gagal sama sekali (Syah, 2005).
Intelegensia (IQ) merupakan salah satu faktor internal yang memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan peserta didik. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk sukses. Selain faktor intelegensi, terdapat faktor lain yang cukup besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa yaitu motivasi (Syah, 2005).
Motivasi mendorong seseorang untuk bertingkah laku (Uno, 2007). Seseorang yang memiliki motivasi untuk sukses akan berusaha untuk mencapai keinginannya tersebut. Tanpa motivasi seseorang akan melakukan kegiatan tanpa terarah dan sungguh-sungguh dan kemungkinan besar tidak akan membawa hasil (Sukmadinata, 2004).
Motivasi berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik.
Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya (Sardiman, 2007). Tumbuhnya motivasi pada seseorang senantiasa dilandasi kesadaran akan diri berkenaan dengan hakikat dan keberadaan kehidupannya masing-masing. Motivasi memiliki peranan yang penting ketika seorang peserta didik melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, termasuk melanjutkan pendidikannya ke DIII Kebidanan. Setiap peserta didik memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam melanjutkan jenjang pendidikannya ke DIII Kebidanan. Salah satu motivasinya adalah untuk menjadi seorang bidan.
STIKES X merupakan salah satu lembaga pendidikan kesehatan milik Pemerintah Daerah X. STIKES X berdiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 39/D/O/2005. Program studi D III Kebidanan merupakan salah satu program studi yang terdapat di STIKES X.
Intensitas motivasi menjadi bidan yang berbeda-beda antara mahasiswa satu dengan yang lainnya berpengaruh terhadap usaha belajar mahasiswa dalam mempelajari materi setiap mata kuliah, terutama mata kuliah yang berhubungan langsung dengan tugas bidan, seperti mata kuliah Asuhan Kebidanan Ibu Hamil.
Asuhan Kebidanan Ibu Hamil merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari mahasiswa kebidanan semester II. Mata kuliah ini sangat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup sebagai bekal seorang bidan dalam menghadapi pasien di lahan praktek dan di masyarakat setelah lulus nanti.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengkaji "Adakah hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan ?"

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui motivasi menjadi bidan pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.
b. Mengetahui prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.

D. Manfaat Penelitian
Membantu mahasiswa mencapai prestasi belajar yang optimal dengan menumbuhkan motivasi mahasiswa melalui tenaga pendidik, orang tua maupun sesama mahasiswa.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X


(KODE : KEBIDANN-0034) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pada tahun 1902 bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi dan lulusan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang kurang mampu secara cuma-cuma.
Pada tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Pada tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada tahun 1975-984 institusi pendidikan ditutup, sehingga 10 tahun tidak menghasilkan bidan.
Pada tahun 1989 dibuka kursus program pendidikan bidan secara nasional, program ini dikenal sebagai program Pendidikan Kebidanan Bidan A (PPB/A). Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B dan C.
Selain program pendidikan bidan diatas, sejak tahun 1994-995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning), kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan mutu tenga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Kebidanan di seluruh Indonesia pada tahun ini telah meluluskan peserta didik sebanyak 1196 orang. Harapan yang tinggi terhadap lulusan yang dihasilkan oleh pendidikan ini ialah mampu menganalisis, mengantisipasi, dan lebih cepat dan tepat mengambil keputusan untuk menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga.
Pengembangan pendidikan kebidanan seyogianya dirancang secara berkesinambungan, berlanjut sesuai dengan prinsip belajar seumur hidup bagi bidan yang mengabdi ditengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan yang berkelanjutan ini bertujuan untuk mempertahankan profesionalisme bidan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan formal. Dikatakan professional apabila memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan pendidikan yang cukup untuk memenuhi kompetensi profesionalnya.
Bidan dalam melakanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan, dimana wewenang yang diberikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Permenkes 900, 2002).
Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa, dimana dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kwewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian yaitu dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat difokuskan pada tiga pesan kunci Making Pregnency Safer (MPS), yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat dan setiap wanita subur mempunyai akses terhadap pncegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dibutuhkan tenaga kesehatan yang terampil dan didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan standar kebidanan (Azwar, 2002).
Kurikulum Pendidikan Diploma III Kebidanan disusun melalui proses pemahaman dasar kesehatan reproduksi, analisa, asuhan, dan pelayanan kebidanan, penetapan peran, fungsi dan kompetensi bidan. Berdasarkan kompetensi tersebut ditentukan mata kuliah yang diperlukan dalam memenuhi kualifikasi bidan professional, salah satunya adalah mata kuliah praktek klinik kebidanan.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa yaitu faktor internal yang meliputi intelegensia, sikap, bakat, minat dan motivasi. Faktor eksternal yang meliputi keluarga, akademik, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Pada penelitian juga akan dibahas kemampuan dosen, serta kegiatan pembelajaran (Djaali, 2007).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rospita Lubis, di AKBID X pada mahasiswa tingkat II semester IV tahun 2005, didapati kesimpulan bahwa faktor motivasi mempunyai pengaruh terhadap pencapaian kemampuan dari matakuliah asuhan kebidanan pada ibu, dimana didapati dari 69 responden didapatkan bahwa75.3% memiliki motivasi yang tinggi sehingga mendapat nilai yang baik, 71,0% responden berpendapat tingkat kemampuan dosen yang paling tinggi adalah berada pada kategori mampu, 74% responden berpendapat bahwa kegiatan pembelajaran yang paling sering dilakukan di AKBID X adalah kegiatan pembelajaran dengan metode diskusi.
Nilai mahasiswa X angkatan pertama dari matakuliah praktek klinik kebidanan untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik 6 orang, baik sebanyak 59 orang, cukup sebanyak 4 orang. Nilai semester VI yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 10 orang, baik sebanyak 35 orang, dan yang mendapat nilai cukup 24 orang. Nilai mahasiswa angkatan kedua untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik 17 orang, baik sebanyak 40 orang, cukup sebanyak 12 orang. Nilai semester VI yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 8 orang, baik sebanyak 37 orang, cukup sebanyak 24 orang. Nilai angkatan ketiga untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 6 baik, baik sebanyak 49 orang, dan yang mendapat nilai cukup 4 orang.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan di Akademi Kebidanan X.

1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan di Akademi Kebidanan X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan DI Akademi Kebidanan X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi faktor internal (faktor dari dalam) terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
2. Mengidentifikasi faktor eksternal (faktor dari luar) terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
3. Mengidentifikasi kemampuan dosen terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
4. Mengidentifikasi kegiatan pembelajaran terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek kilnik kebidanan.
5. Mengidentifikasi lahan praktek klinik terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.

1.4. Manfaat Penelitian 
1.4.1 Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang pentingnya mata kuliah praktek klinik kebidanan dalam melakukan penelitian.
1.4.2. Bagi Institusi Tempat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi staf pengajar AKBID X sebagai bahan pertimbangan dalam hal pemberian mata kuliah praktek klinik kebidanan.
1.4.3. Bagi Institusi
Sebagai bahan masukan bagi program pendidikan D-IV Bidan Pendidik untuk penelitian selanjutnya.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK


(KODE : KEBIDANN-0033) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Motivasi berarti dorongan dalam diri manusia untuk bertindak atau berprilaku (Notoatmodjo, 2007). Motivasi merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti halnya keberhasilan dalam proses belajar. Semakin baik motivasi dalam diri seseorang untuk proses belajar. Semakin baik motivasi dalam diri seseorang untuk belajar, semakin baik pula hasil belajar yang didapatkan. Hal ini menyangkut kepada seluruh mahasiswa dari berbagai jurusan, salah satunya adalah jurusan kebidanan.
Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan (Sofyan, 2004).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19/2005 tentang standar Nasional pendidikan menyatakan Guru adalah pendidik profesional. Untuk itu, ia dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana/Diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran (Brodjonegoro, 2007).
Jenjang pendidikan untuk para bidan kini amat terbatas. Sampai sekarang strata pendidikan bidan belum ada yang mencapai S1. Pilihan bagi bidan hanya mencakup D3 atau D4. Jumlah akademi kebidanan di seluruh Indonesia hanya 120 buah untuk jenjang D3 dan hanya 4 buah untuk D4 (Musbir, 2007). D4 Bidan Pendidik terdapat di kota Bandung, Yogyakarta, Padang dan Medan (Hasan, 2007).
Sumber Daya Manusia kesehatan yang kompeten dan professional adalah individu yang memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang sesuai dengan syarat di dunia kerja serta dapat berpartisipasi secara aktif ditempat kerja sesuai dengan keahliannya. Untuk menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang kompetensi dan profesional diperlukan berbagai komponen, seperti : sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi yang baik dan benar serta dosen memadai jumlah dan kualitasnya (Supari, 2007).
Tujuan pendidikan program studi D-IV kebidanan adalah untuk menghasilkan Sarjana Saint Terapan (SST) kebidanan professional yang mampu melaksanakan tugas-tugas dan kompetensi, seperti : mengembangkan dirinya sebagai bidan profesional yang berkepribadian Indonesia, menerapkan konsep keilmuan dan keterampilan profesinya dalam pelayanan kebidanan, memberikan pelayanan kebidanan di masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kultur budaya, mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang pendidik secara profesional dibidang ilmu kebidanan, meningkatkan penguasaan ilmu kebidanan untuk kepentingan dirinya baik sebagai bidan maupun pendidik (Brodjonegoro, 2007).
Saat ini pendidikan di bidang kesehatan banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika para pelajar berbondong-bondong dan berlomba-lomba untuk dapat mengikuti atau memasuki sekolah dan kampus-kampus kesehatan. Seperti program studi D-IV bidan pendidik, terlihat jumlah mahasiswa yang mengikuti program studi D-IV bidan pendidik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun akademi 2007/2008 adalah tahun terbanyak menerima mahasiswa program studi D-IV bidan pendidik yaitu berjumlah 77 orang, dibanding dengan tahun-tahun akademi sebelumnya.
Dari tahun ketahun terlihat jelas bahwa mahasiswa yang mengikuti program studi D-IV bidan pendidik mengalami peningkatan. Hal ini berarti disebabkan karena ada dorongan atau motivasi yang mempengaruhi dan menyebabkan mereka mempunyai keinginan yang besar untuk mendaftar dan mengikuti program studi D-IV bidan pendidik.
Berdasarkan pendekatan yang peneliti lakukan terhadap beberapa mahasiswa D-IV Bidan Pendidik, mereka menyatakan bahwa alasan mereka mengikuti Program D-IV Bidan Pendidik adalah karena tuntutan pekerjaan yang telah mereka geluti sebelumnya. Dengan kata lain, mereka tidak sepenuhnya tulus dari hati nurani untuk mengikuti Program D-IV Bidan Pendidik, melainkan karena keterpaksaan (tuntutan pekerjaan). Hal ini yang memungkinkan buruknya hasil belajar yang akan didapat oleh mahasiswa D-IV Bidan Pendidik, karena salahnya motivasi yang mendorong mereka untuk mengikuti program D-IV bidan pendidik. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Robiatul Adawiyah Siregar (2004) yang berjudul "Motivasi mahasiswa memasuki Akademi Kebidanan" menyatakan bahwa jika motivasi seseorang baik dalam melakukan sesuatu maka hasilnya juga akan baik.
Dari data diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : "Motivasi Mahasiswa Mengikuti Program Pendidikan D-IV Bidan Pendidik".

1.2 Pertanyaan penelitian
Apakah yang menjadi motivasi bagi mahasiswa mengikuti program pendidikan D-IV bidan pendidik ?

1.3 Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi motivasi mahasiswa D-IV Bidan Pendidik memilih program Pendidik D-IV Bidan Pendidik.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi intrinsik mahasiswa D-IV Bidan Pendidik memilih program Pendidik D-IV Bidan Pendidik.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi ekstrinsik mahasiswa D-IV Bidan Pendidik memilih program Pendidik D-IV Bidan Pendidik.

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi institusi pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pembinaan mahasiswa D-IV bidan pendidik dalam mengoptimalkan proses pembelajaran dan masukan bagi dosen untuk menyikapi motivasi yang berbeda dari mahasiswa sehingga keberhasilan belajar dapat dicapai.
1.4.2 Bagi bidang penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi panduan atau bahan perbandingan untuk melakukan penelitian yang akan datang demi tercapainya hasil penelitian yang lebih sempurna.
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK X


(KODE : KEBIDANN-0032) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK X


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita. Meskipun tidak selalu diakui demikian, peningkatan dan perluasan pelayanan Keluarga Berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita.
Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan Nasional KB, kesehatan individual dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Maryani, 1998).
Memasuki awal tahun pertama Pembangunan Jangka Panjang Tahap II Pembangunan Gerakan Keluarga Berencana Nasional masih tetap ditujukan terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keluarga sebagai kelompok sumber daya manusia terkecil yang mempunyai ikatan batiniah dan lahiriah. Di mana merupakan pengembangan sasaran dalam mengupayakan terwujudnya visi Keluarga Berencana Nasional yang kini telah diubah visinya menjadi "Keluarga Berkualitas Tahun 2015" keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misinya sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. (Sarwono,2003)
Keluarga berencana merupakan tindakan untuk membantu individu atau pasangan suami istri mendapat objek tertentu, menghindari kelahiran yang diinginkan, menghindari interval di antara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dan hubungan dengan suami istri, serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hanafi H. 2004).
Dalam pelaksanaan Keluarga Berencana, pemerintah menganjurkan penggunaan kontrasepsi yang merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan (Sarwono P,2002 hal 902). Seperti yang kita ketahui ada beberapa metode kontrasepsi seperti metode sederhana, kontrasepsi hormonal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), dan kontrasepsi mantap.
Salah satu metode kontrasepsi hormonal yang populer di Indonesia adalah metode suntikan. Terdapat dua jenis suntikan yakni sediaan kombinasi dan long action progestin. Kontrasepsi suntikan progestin (long action progestin) terdiri dari dua jenis Depo Medroksi Enatat (Depo Noristat) dan Depo Medroxi Progesteron Asetat (DMPA). DMPA tersedia dalam bentuk mikro cristal yang tersuspensi dalam larutan akuosa dengan dosis kontrasepsi 150 mg, DMPA disuntikan secara intramuskular pada otot gluteal atau deltoid yang diberikan setiap 3 bulan sekali. (Leon Speroff, 2005).
Cara kerja DMPA dengan cara mencegah ovulasi mengentalkan lendir serviks, menjadikan selaput lendir rahim tipis atau atropi, serta menghambat transportasi garnet ke tuba. Keuntungan penggunaan DMPA yakni sangat efektip mencegah kehamilan dalam jangka waktu panjang dan tidak memiliki pengaruh terhadap ASI. Sedangkan keterbatasannya yaitu sering di temukan gangguan haid (terganggunya pola haid diantaranya adalah amenorhoe, menoragia dan muncul bercak (spotting), klien tergantung pada sarana pelayanan, terlambatnya kembali kesuburan setelah penghentian pemakaian, terdapatnya beberapa keluhan seperti di bawah ini seperti nyeri kepala, kekeringan pada vagina, peningkatan berat badan, gangguan emosi, nervositas, jerawat, dan penurunan libido (Sarwono P 2004 hal 41).
Penelitian yang dilakukan oleh Lia Ayu Yuliani (2004) dengan judul Hubungan antara penggunaan alat kontrasepsi Depo Provera dengan siklus menstruasi. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional dengan analisis statistik yang digunakan adalah uji korelasi non parametris dengan teknik koefisien kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44 akseptor (97,8%) mengalami gangguan menstruasi berupa : amenorrhoea 43 kasus (55,3%), menorrhagia 12 kasus (15,4%), metrorrhagia 6 kasus (7,8%) dan spotting 15 kasus (19,3%), serta 1 akseptor (2,2%) tidak mengalami gangguan Menstruasi
Dokumentasi hasil pelayanan terhadap beberapa peserta KB diketahui adanya perubahan pola haid .Dalam rangka aksepbilitas program metode kontrasepsi suntik DMPA dan efek sampingnya maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang "Perubahan Pola Menstruasi Pada 9 Bulan Pertama Dalam Aseptor KB Suntik (DMPA) di. Klinik X"

B. Rumusan Masalah
Belum diketahui perubahan pola menstruasi yang terjadi Pada 9 Bulan Pertama aseptor KB suntik DMPA di Klinik X.

C. Tujuan Penenelitian 
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi Perubahan Pola Menstruasi Pada 9 Bulan Pertama Pemakaian Aseptor KB Suntik DMPA Di Klinik X.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi yang tidak mengalami haid pada 9 Bulan Pertama Aseptor KB Suntik DMPA di Klinik X.
2. Untuk mengidentifikasi perdarahan berupa bercak /spotting pada 9 Bulan Pertama Aseptor KB Suntik DMPA Di Klinik X.
3. Untuk mengidentifikasi perdarahan di luar siklus menstruasi pada 9 bulan Pertama Aseptor KB Suntik DMPA Di Klinik X.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Klinik Bersalin
Sebagai sumber informasi untuk pelaksanaan program pelayanan kontrasepsi
2. Bagi institusi dan Pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian yang sejenis dan lebih mendalam
3. Bagi peneliti
- Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang di dapat selama perkuliahan.
- Sebagai bahan masukan dalam memberikan penyuluhan kepada WUS (wanita usia subur)
- Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat.

SKRIPSI ANALISIS USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DENGAN ALAT TANGKAP PANCING PRAWAI DASAR (BOTTOM LONG LINE) OLEH NELAYAN

SKRIPSI ANALISIS USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DENGAN ALAT TANGKAP PANCING PRAWAI DASAR (BOTTOM LONG LINE) OLEH NELAYAN


(KODE : PRTANIAN-0004) : SKRIPSI ANALISIS USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DENGAN ALAT TANGKAP PANCING PRAWAI DASAR (BOTTOM LONG LINE) OLEH NELAYAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai potensi sumber daya kelautan (perikanan) yang melimpah, negeri ini memiliki peluang yang sangat besar untuk memulihkan perekonomian nasional, khususnya dengan bertumpu pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara tepat dan optimal. Hal itu didasarkan pada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa permintaan akan hasil perikanan cenderung terus meningkat, baik untuk permintaan dari dalam maupun luar negeri. Kebutuhan ikan Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan mencapai minimal 9,5 juta ton. Peningkatan volume tersebut disebabkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia terus meningkat dari 24 kg menjadi 32 kg per kapita per tahun. Selain itu, target nilai ekspor kelautan dan perikanan pun meningkat dari 2 miliar dolar AS (2003) menjadi 5 miliar dolar AS di tahun 2006. Kebutuhan ini meningkat sangat pesat dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan pada tahun 2001 yang mencapai 4,6 juta ton atau ekuivalen dengan 22,4 kg / kapita / tahun (Anonim, 2009).
Perikanan adalah semua kegiatan yang terorganisir berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Umumnya, Perikanan ada untuk kepentingan penyediaan makanan bagi manusia, walaupun mungkin ada tujuan lain (seperti olahraga atau pemancingan yang berkaitan dengan rekreasi), mungkin juga memperoleh ikan untuk tujuan membuat perhiasan atau produk ikan seperti minyak ikan. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial atau bisnis) (Wikipedia, 2009).
Perikanan tangkap mempunvai peranan yang cukup penting, terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mendukung pembangunan wilayah dengan tetap memperhatikan kelestarian dan fungsi lingkungan hidup (Achmad,1999).
Menurut Wikipedia (2009) penangkapan ikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya. Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi permintaan akan ikan.
Perikanan tangkap Indonesia sangat khas dengan karakteristik multialat dan multispesies, tersebar di seluruh wilayah pendaratan. Dilihat dari segi kemampuan usaha nelayan, jangkauan daerah laut serta jenis alat penangkapan yang digunakan oleh para nelayan Indonesia dapat dibedakan antara usaha nelayan kecil, menengah, dan besar. Dalam melakukan usaha penangkap ikan dari tiga kelompok nelayan tersebut digunakan sekitar 15 s/d 25 jenis alat penangkap.
Keanekaragaman istilah dan definisi alat tangkap pancing yang berkembang di masyarakat nelayan, akan menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam penamaan, sehingga diperlukan standard istilah dan definisi alat tangkap pancing. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2008) pancing prawai dasar merupakan pancing yang tersusun dari rangkaian tali yang dilengkapi dengan pemberat atau jangkar yang dioperasikan secara menetap. Penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) merupakan salah satu cara pemanfaatan potensi sumber daya kelautan.
Kabupaten X merupakan salah satu bagian dari 35 kabupaten atau kota di Jawa Tengah dan barada di pesisir Pantai Utara Jawa Tengah yang memiliki garis pantai mencapai 40 km. Kondisi wilayah Kabupaten X berpotensi yang sangat besar untuk usaha di bidang perikanan, terutama perikanan laut. Perikanan di Kabupaten X meliputi usaha perikanan laut (tangkap), perikanan budidaya (tambak, sawah, kolam) dan perairan umum (waduk, sungai, danau).
Pada tahun 2008 komoditi perikanan laut mempunyai jumlah produksi yang paling besar dalam subsektor perikanan Kabupaten X dibandingkan dengan ikan tambak maupun udang tambak, yaitu sebesar 197.115,48 Kw.
Selama 7 tahun terakhir ini, produksi perikanan tangkap di Kabupaten X cenderung fluktuatif tiap tahunnya, baik di lihat dari jumlah produksi (Kg) maupun dalam nilai (rupiah).
Pada tahun 2007 produksi maupun nilai perikanan tangkap di Kabupaten X berfluktuatif. Penurunan volume produksi perikanan tangkap antara lain disebabkan oleh overfishing, kondisi cuaca alam dan kerusakan lingkungan laut. Fluktuasi nilai nominal perikanan tangkap dikarenakan adanya inflasi yang terjadi di Kabupaten X. Sehingga pada tahun 2005 dan 2007 meskipun volume produksinya mengalami penurunan, namun dari segi nilai nominal mengalami peningkatan.
Adanya potensi perikanan tangkap di Kabupaten X telah menyebabkan sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, baik sebagai juragan (nelayan pemilik kapal) maupun pandega (nelayan yang tidak mempunyai kapal). Usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (Bottom Long Line) ini mampu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat sekitar sehingga mampu menambah pendapatan masyarakat setempat. Bagi pemilik kapal, usaha ini merupakan usaha yang menjadi sumber pendapatan pokok. Sedangkan bagi masyarakat sekitar lainnya, usaha penangkapan ikan ini merupakan salah satu contoh usaha yang berdaya serap kerja yang cukup tinggi karena dalam satu armada kapal memerlukan tenaga sekitar 30 orang sebagai anak buah kapal (ABK), tenaga pengisi bahan bakar, dan tenaga pengisi bahan pendingin. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (Bottom Long Line) oleh nelayan dari Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Dilihat dari segi geografis, Indonesia didominasi oleh lautan sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan subsektor perikanan. Kabupaten X salah satu daerah yang memiliki garis pantai dibagian Pantai Utara Pulau Jawa dengan garis pantai sepanjang 40 Km, selebar 4 Mil sehingga ada masyarakatnya yang bermata pencaharian dibidang perikanan, baik bidang budidaya tambak maupun bidang penangkapan di laut. Hasil dari subsektor perikanan terutama perikanan tangkap Kabupaten X adalah berbagai macam ikan segar dan ikan olahan misalnya ikan asin, ikan pindang, dan ikan asap yang digunakan sebagai sumber gizi dan protein oleh masyarakat. Salah satu wujud pemanfaatan potensi subsektor perikanan di Kabupaten X adalah dengan cara mengusahakan usaha penangkapan ikan laut.
Tujuan setiap pengusaha dalam menjalankan usahanya adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara memaksimalkan keuntungan, meminimumkan biaya, dan memaksimalkan penjualan. Tetapi dalam kenyataannya, seringkali pengusaha dalam menjalankan usahanya hanya berdasarkan prinsip asal usahanya bisa berjalan dengan lancar tetapi kurang memperhatikan besarnya biaya, penerimaan, keuntungan, dan efisiensi usahanya. Selain analisis tersebut, analisis risiko juga diperlukan dalam usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) oleh nelayan dari Kabupaten X. Hal ini disebabkan karena nelayan menghadapi risiko dalam menjalankan usahanya, yaitu perubahan cuaca dan iklim, perbedaan kemampuan SDM tenaga kerja maupun adanya overfishing yang terjadi di laut sekitar Indonesia.
Usaha penangkapan ikan laut di Kabupaten X mempunyai ciri khas yaitu menggunakan sistem bagi hasil (keuntungan) dalam pembagian keuntungan diantara juragan (pemilik armada kapal) maupun nelayan pandega (nelayan yang tidak punya armada kapal). Menurut Subiyanto (2009) pola bagi hasil ini setidaknya mengurangi risiko bagi pemilik kapal tidak memberi upah yang tidak sepadan bilamana hasil tangkapannya sedang buruk. Hal ini terjadi disebabkan penghasilan nelayan yang tidak dapat dipastikan, namun tergantung dari jumlah hasil tangkapan serta hasil penjualan yang dilakukannya. Dengan adanya sistem bagi hasil dari keuntungan ini maka dapat digunakan untuk analisis keuntungan dan risiko nelayan (pandega maupun juragan). Berkaitan dengan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Berapa besarnya biaya,penerimaan, keuntungan, efisiensi dan risiko usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) oleh nelayan dari Kabupaten X ?
2. Berapa besarnya keuntungan dan risiko setelah sistem bagi hasil yang diterima oleh nelayan (pandega dan juragan) dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) dari Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian usaha penangkapan ikan laut skala sedang dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) di Kabupaten X bertujuan untuk :
1. Menentukan besarnya biaya, penerimaan, keuntungan efisiensi dan risiko usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) oleh nelayan dari Kabupaten X.
2. Menentukan besarnya keuntungan dan risiko setelah sistem bagi hasil yang diterima oleh nelayan (pandega dan juragan) dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) dari Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian.
2. Bagi Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan terutama dalam pengembangan perikanan tangkap.
3. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian-penelitian sejenis.
4. Bagi nelayan, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam rangka peningkatan usaha dan mampu memperbaiki manajemen usaha perikanan tangkap.

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT KOTA TENTANG SIFAT-SIFAT INOVASI PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT KOTA TENTANG SIFAT-SIFAT INOVASI PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN


(KODE : PRTANIAN-0003) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT KOTA TENTANG SIFAT-SIFAT INOVASI PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang masih mendukung kehidupan manusia, dalam hal ini kebutuhan akan pangan. Oleh karena itu, manusia dapat melanjutkan hidup bila kebutuhan akan pangan juga terpenuhi. Akan tetapi, karena lahan pertanian yang ada juga semakin sempit akibat laju pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah dari tahun ke tahun, maka secara tidak langsung hal ini akan mengurangi pasokan kebutuhan pangan masyarakat.
Menurut Mardikanto (1994), penyusutan luas lahan pertanian dapat diartikan sebagai akibat langsung dari pertambahan penduduk. Sebab dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, semakin bertambah keperluan manusia akan tempat pemukiman (perumahan), kesempatan kerja (pembangunan industri, perkantoran dan sarana perdagangan), sarana kesejahteraan sosial (pendidikan, kesehatan, olahraga, tempat ibadah), serta sarana transportasi (jalan raya, jalan kampung, jalan lingkungan).
Demikian halnya dengan Kota X, pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah juga menyebabkan semakin sempitnya lahan pertanian, maka usaha budidaya pertanian yang selama ini ditekuni oleh masyarakat berangsur-angsur beralih ke usaha lain. Masalah kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan terbuka menyebabkan kondisi lingkungan yang semakin terasa gersang dan panas, banyak lingkungan perumahan tidak mengoptimalkan lahan pekarangan untuk usaha pertanian, disamping dapat meningkatkan pendapatan juga sebagai salah satu usaha peningkatan ketersediaan bahan pangan. Oleh sebab itu, pemanfaatan lahan pekarangan menjadi salah satu usaha alternatif dalam usaha peningkatan dan pengembangan pertanian serta peningkatan ketahanan pangan di kota X (Departemen Pertanian, 2006).
Salah satu program yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Kota X adalah peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan. Program ini mempunyai dua pokok kegiatan didalamnya yaitu ketahanan pangan dan intensifikasi lahan pekarangan. Dimana kedua kegiatan ini sama-sama mengefektifkan penggunaan lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat Kota X. Kegiatan ketahanan pangan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk lebih meningkatkan nilai gizi dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Sedangkan kegiatan intensifikasi lahan pekarangan bertujuan untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dengan membudidayakan tanaman hias yaitu anggrek.
Pada pelaksanaan kegiatan ini juga sangat diperlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak terutama masyarakat setempat agar program ini dapat berjalan lancar. Melalui program inilah pemerintah berusaha untuk menyerap aspirasi dari masyarakat guna mendukung keberlangsungan program yang lain di masa yang akan datang. Dengan tujuan agar kekurangan yang terdapat dalam program sebelumnya tidak ditemui kembali pada program selanjutnya.

B. Perumusan Masalah
Kota X merupakan daerah perkotaan yang padat penduduknya, dengan berkembangnya pembangunan di daerah perkotaan yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan pertanian akan berpengaruh terhadap usaha di bidang pertanian baik tanaman pangan, peternakan, perkebunan maupun perikanan. Sejalan dengan hal tersebut maka Pemerintah Kota X berupaya mengadakan "Program Peningkatan dan Pengembangan Pertanian Perkotaan" melalui kegiatan ketahanan pangan dan intensifikasi lahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, untuk lebih meningkatkan gizi masyarakat dan meningkatkan pendapatan (Departemen Pertanian, 2006).
Program ini merupakan satu bentuk kepedulian pemerintah setempat yang berusaha untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat. Dimana pada saat ini lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat belum begitu optimal dimanfaatkan. Dengan pemanfaatan dan pengelolaan yang baik, maka lahan pekarangan yang ada dapat memberikan nilai tambah tersendiri bagi masyarakat dan hasil yang diperoleh akan kembali ke masyarakat.
Program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan ini merupakan salah satu program baru di masyarakat. Sehingga berhasil tidaknya program ini didukung oleh masyarakat itu sendiri melalui persepsi masyarakat mengenai program. Persepsi timbul karena adanya proses kognitif yang dialami oleh seseorang dalam memahami informasi tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan melalui penglihatan, pandangan, serta perasaan masing-masing masyarakat. Persepsi itu sendiri tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal, luas pekarangan, pendapatan, kosmopolitan dan akses informasi.
Masyarakat dapat memberikan persepsi mengenai program ini melalui sifat atau karakteristik inovasi yang nampak dalam program tersebut. Karakteristik yang dapat dilihat dalam program ini antara lain yaitu keuntungan relatif yang dapat diperoleh, kerumitan, kesesuaian dengan lingkungan setempat, dapat dicoba dan dapat dilihat hasil maupun contoh.
Dari uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dikaji beberapa masalah yaitu :
1. Apa sajakah karakteristik sosial ekonomi masyarakat kota yang mempengaruhi persepsi tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X ?
2. Bagaimana persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi yang terdapat dalam program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X ?
3. Bagaimana hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi pada program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi masyarakat kota tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.
2. Mengetahui tingkat persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi yang terdapat dalam program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.
3. Mengetahui hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi pada program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu proses belajar yang ditempuh untuk mendapatkan banyak pengetahuan tentang persepsi masyarakat kota dengan adanya program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah penelitian dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
2. Bagi instansi terkait yaitu Dinas Pertanian Kota X, yaitu agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan dijalankannya program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah penelitian.
3. Bagi peneliti yang lain dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam bidang kajian penelitian sejenis dan untuk mendapatkan pengetahuan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat kota tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.

SKRIPSI BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

SKRIPSI BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


(KODE : KES-MASY-0049) : SKRIPSI BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta semakin luas penyebarannya. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktifitas vektor dengue pada musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD pada manusia melalui vektor Aedes. Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya, DBD disebut the most mosquito transmitted disease (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, dan di Jakarta dilaporkan pada tahun 1969. Pada tahun 1994 kasus DBD menyebar ke 27 provinsi di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan kasus DBD di Indonesia terus meningkat, tahun 1968 jumlah kasus DBD sebanyak 53 orang (Incidence Rate (IR) 0.05/100.000 penduduk) meninggal 24 orang (42,8%). Pada tahun 1988 terjadi peningkatan kasus sebanyak 47.573 orang (IR 27,09/100.000 penduduk) dengan kematian 1.527 orang (3,2%) (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Timur baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung mengalami peningkatan jumlah kasus maupun kematiannya. Seperti KLB, DBD secara nasional juga menyebar di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Penyebaran kasus DBD di Jawa Timur terdapat di 38 kabupaten/kota (semua kabupaten/kota) dan juga di beberapa kecamatan atau desa yang ada di wilayah perkotaan maupun di pedesaan. Jumlah kasus dan kematian akibat penyakit DBD di Jawa Timur selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. 
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kabupaten X tahun 2007 kasus DBD di daerah tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 KLB DBD terjadi di semua Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten X, dan kasus terbanyak terjadi di Kecamatan X pada wilayah kerja Puskesmas Y. Dalam profil dinas kesehatan disebutkan jumlah kasus DBD dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ditemukan 82 kasus, tahun 2006 ditemukan 156 kasus, pada tahun 2007 ditemukan 362 kasus dan pada tahun 2008 ditemukan 449 kasus. Pada tahun 2007 jumlah kematian akibat penyakit DBD ditemukan sebanyak 2 orang, attack rate 0,07%, CFR 0,55% dan pada tahun 2008 jumlah kematian ditemukan sebanyak 4 orang, attack rate 0,083% dan CFR 0,75%. Dari standar WHO, sebuah daerah dapat dikatakan baik penanganan kasus DBD bila nilai CFR-nya di bawah 1%. Jadi penanganan kasus DBD di Kabupaten X dapat dikatakan baik. Sesuai dengan indikator keberhasilan propinsi Jawa Timur untuk angka kesakitan DBD per-100.000 penduduk adalah 5 (Dinkes Jatim, 2006).
Berdasarkan data penyebaran kasus DBD per desa dari Dinas Kesehatan X selama 3 tahun terakhir jumlah kasus DBD di Puskesmas Y terus mengalami peningkatan, mulai dari tahun 2006 ditemukan sebanyak 72 kasus, tahun 2007 sebanyak 132 kasus dan tahun 2008 ditemukan kasus DBD sebanyak 218 kasus. Wilayah kerja Puskesmas Y yang melayani 15 desa/kelurahan merupakan daerah dengan jumlah kasus DBD terbanyak tiap tahunnya. Dari 15 desa/kelurahan terdapat 3 desa yang selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah kasus DBD nya yaitu Kelurahan Y pada tahun 2005 ditemukan 1 kasus, tahun 2006 ditemukan 25 kasus, tahun 2007 ditemukan 22 kasus dan tahun 2008 ditemukan 14 kasus; Kelurahan X pada tahun 2005 ditemukan 1 kasus, tahun 2006 ditemukan 5 kasus, tahun 2007 ditemukan 19 kasus dan tahun 2008 ditemukan 45 kasus; dan Kelurahan X tahun 2005 tidak ada kasus, tahun 2006 ditemukan 10 kasus, tahun 2007 ditemukan 32 kasus dan tahun 2008 ditemukan 37 kasus.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kelurahan dengan jumlah kasus DBD paling banyak tiap tahunnya adalah Kelurahan X. Melihat jumlah kasus DBD 3 tahun terakhir di Kelurahan X yang selalu meningkat, hal ini disebabkan karena lokasi rumah warga yang dekat pasar, lingkungan sekitar rumah yang dekat dengan kebun, masyarakat masih terlihat membuang sampah sembarangan, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan PSN kurang (JUMANTIK tidak berjalan), kurangnya penyuluhan tentang DBD. Sehingga dapat digambarkan bahwa perilaku masyarakat X khususnya kepala keluarga kurang memperhatikan kebersihan lingkungan dan belum melakukan pencegahan serta pemberantasan sarang nyamuk (PSN-DBD) dengan mengendalikan nyamuk vektor Aedes aegypti.
Dari beberapa faktor lingkungan yang ada di kelurahan X peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kejadian DBD di kelurahan X yang meliputi keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer, kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup pada kontainer, frekuensi pengurasan kontainer dan pengetahuan responden tentang DBD, sehingga dapat membantu dalam menurunkan jumlah kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD serta membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan faktor-faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab penularan penyakit DBD.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Adakah hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
2. Adakah hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
3. Adakah hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
4. Adakah hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
5. Adakah hubungan antara pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
3. Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
4. Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
5. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam pemecahan masalah pada program kesehatan bidang penyakit menular, khususnya masalah pencegah penyakit DBD agar dapat dijadikan sebagai monitoring dan evaluasi program pemberantasan penyakit menular (P2M).
2. Bagi Masyarakat
Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD.
3. Bagi Peneliti lain
Menambah pengetahuan dan pengalaman khusus dalam melakukan penelitian ilmiah terhadap beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus DBD.