Search This Blog

SKRIPSI GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN DI WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN X

SKRIPSI GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN DI WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN X

(KODE KES-MASY-0037) : SKRIPSI GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN DI WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN X




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dalam usaha mewujudkan suatu tingkat kehidupan masyarakat secara optimal. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, mendapatkan pelayanan yang baik dari instansi pelayanan kesehatan dan sebagainya. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut maka diperlukan pembangunan kesehatan dan penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan ke arah yang lebih baik. Berdasarkan Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, salah satu bentuk penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan adalah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna (preventif, promotif, rehabilitatif, dan kuratif) berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya (http://www.jpkm-online.net).
Selanjutnya dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 dinyatakan bahwa Pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara yang dijadikan landasan setiap penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan, yang pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan (Depkes RI, 1997).
Dampak dari krisis moneter sejak beberapa tahun terakhir berlanjut menjadi krisis ekonomi sehingga menimbulkan dampak negatif pada semua sektor usaha yang dirasakan semua kalangan. Dampak dari krisis ekonomi berlanjut pada sektor kesehatan, masyarakat mengeluhkan tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan terutama bagi penduduk kurang mampu (miskin). Itu semua karena menurunnya tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat, serta meningkatnya biaya kesehatan.
Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan meningkatnya angka kesakitan dari penduduk miskin yang disebabkan oleh menurunnya akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi serta rendahnya kemampuan untuk mengakses pelayanan.
Perubahan pola penyakit akibat pergeseran demografi, kemajuan teknologi dan perubahan pola pelayanan kedokteran, peningkatan pengangguran akan memberi pengaruh terhadap sistem pembiayaan kesehatan dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Di sisi lain bahwa sistem pembayaran tunai langsung dari kantong konsumen (out of pocket) dapat memberatkan masyarakat terutama mereka yang tergolong kurang mampu dan pembayaran melalui mekanisme asuransi atas tagihan pemberi pelayanan kesehatan telah mendorong kenaikan biaya kesehatan.
Salah satu arah kebijakan pembangunan kesehatan adalah pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Program ini sebenarnya merupakan kontinuitas pelayanan yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Peran Pemerintah sebagai safe guarding tersebut melahirkan kebijakan baru bagi jaminan kesehatan bagi rakyat miskin. Untuk keluar dari permasalahan tersebut ditetapkan visi Indonesia Sehat XXXX dengan salah satu misinya yaitu memelihara, meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk lingkungannya. Untuk mencapai visi dan misi telah ditetapkan beberapa indikator salah satunya yaitu 100% keluarga miskin mendapat pelayanan kesehatan (Depkes, 1999).
Dalam UUD 1945 pasal 34 mengamanatkan fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggung jawab negara. Salah satu bentuk perwujudan amanat UUD 1945, yang harus dilaksanakan adalah kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan, utamanya pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Tetapi, bila dilihat dari anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah termasuk paling rendah dibandingkan dengan sesama negara berkembang lainnya. Pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia berkisar 1,6% dari GDP, sementara rata-rata di negara berkembang 4,5% dari GDP (Depkes RI, XXXX). Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan pengeluaran kesehatan terendah dibandingkan negara-negara lainnya, yaitu hanya seperempat dari pengeluaran kesehatan Thailand dan masih lebih rendah dari Myanmar. Rendahnya investasi di bidang kesehatan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak memadainya pelayanan kesehatan dalam menangani masalah kesehatan utama.
Untuk memelihara dan melindungi kesehatan penduduk miskin, sejak tahun 1998 pemerintah telah mengembangkan berbagai upaya antara lain penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin atau yang sering disebut JPKM dan JPS BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Program tersebut telah berkembang luas secara nasional sejak krisis moneter dengan pembiayaan pemerintah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan keluarga miskin. Kemudian melalui UU No. 40 tahun XXXX tentang SJSN yang bertujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan atau anggota keluarganya.
Pada tahun XXXX diluncurkan Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) yang kemudian berubah nama menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM Bidang Kesehatan (PKPS-BBM) yang pengelolaannya diserahkan dan dipertanggung jawabkan oleh masing-masing rumah sakit dan puskesmas.
Sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab serta komitmen Pemda Provinsi X terhadap aksesibilitas masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan, seperti diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun XXXX pasal 33 dan 34 ayat 1, 2, dan 3, maka dilaksanakan uji coba Program JPK Gakin dimana dana untuk program tersebut berasal dari dana PKPS BBM bidang kesehatan dan anggaran Pemerintah Daerah Provinsi X.
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) diluncurkan oleh Dinas Kesehatan X sejak tahun XXXX. Program JPK Gakin dibuat oleh Dinas Kesehatan dan uji cobanya berlangsung selama tiga tahun, serta sistemnya disempurnakan terus menerus. Program JPK Gakin ini diarahkan pada sistem asuransi kesehatan dan preminya ditanggung oleh pemerintah (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/3 1/nas09.html).
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) adalah suatu jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada keluarga miskin melalui pendekatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau Asuransi yang preminya dibayar oleh Pemerintah Provinsi X dan dari anggaran Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Peserta JPK Gakin adalah semua keluarga miskin penduduk X (KTP DKI) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) X yang diteliti ulang oleh Tim Desa (Lurah, Kepala Puskesmas Kelurahan beserta kader kesehatan), termasuk peserta uji coba pelayanan Gakin tahun XXXX di 5 Kecamatan se X. Serta Penghuni panti sosial yang direkomendasikan oleh Kepala Dinas Bina Mental dan Spiritual Provinsi X (http://yankes-utara.X.go. id/berita.php?bid=70).
Masyarakat miskin di X dibagi atas empat kategori. Kategori pertama adalah orang miskin yang memang harus dirawat gratis 100 persen. Kategori kedua, orang miskin dengan KTP X, tetapi tidak mendapatkan kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan menghadapi masalah biaya pelayanan kesehatan. Mereka diberi surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari RT/RW. Kategori ketiga adalah orang miskin yang tidak mempunyai kartu JPK Gakin dan tidak bisa mendapatkan surat keterangan tidak mampu dari RT karena tidak mempunyai KTP X. Dan kategori keempat, orang miskin rujukan nasional dari seluruh Indonesia yang berobat ke X (http://www.sarwono.net/berita.php?id=184).
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di X pada tahun XXXX bertambah sekitar 70.000 orang. Dari sekitar 560.000 orang pada tahun XXXX menjadi 630.000 orang. Pertambahan sekitar 15.000 kelurga miskin hanya diantisipasi dengan penambahan 6.000 kartu gakin baru yang diterbitkan di tahun XXXX. Dinas Kesehatan telah menerbitkan 154.121 kartu gakin sejak tahun XXXX hingga XXXX. Ketidakseimbangan antara jumlah kartu gakin dan warga miskin terlihat dari jumlah pemegang surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang mencapai 47.000 keluarga (http://kompas.com/kompas-cetak/0712/15/metro/4080512.htm).
Kemampuan seseorang atau keluarga dalam mengakses/mencapai pelayanan kesehatan adalah berbeda-beda. Bagi orang kaya hal ini bukan merupakan masalah, mereka bisa memilih pelayanan kesehatan sesuai keinginan. Sedangkan bagi keluarga miskin akan menjadi masalah tersendiri. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pemberian pelayanan kesehatan antara lain masyarakat yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan yang tersedia karena keterbatasan sarana dan prasarana, nilai sosial dan budaya masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan/harapan, kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang rendah, serta alokasi dan penggunaan sumber daya untuk penyampaian pelayanan yang tidak memadai (Sukoco dkk, XXXX).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok, dalam hal ini adalah keluarga miskin yang memiliki kartu JPK Gakin. Pengetahuan tentang faktor yang mendorong individu membeli pelayanan kesehatan merupakan informasi kunci untuk mempelajari utilisasi pelayanan kesehatan. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian pelayanan kesehatan berarti juga mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan (Ilyas, XXXX).
Wilayah X merupakan salah satu wilayah administrasi dari Provinsi X. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X, sampai dengan tahun XXXX, jumlah kartu JPK Gakin yang telah didistribusikan kepada keluarga miskin di wilayah X adalah sebanyak 12.085 KK. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun XXXX sebanyak 1.284 KK dari 10.801 KK. Kelurahan X merupakan kelurahan dengan jumlah keluarga miskin paling banyak di kecamatan Jagakarsa yang terlihat dari jumlah keluarga miskin penerima dana BLT tahun XXXX, yaitu sebanyak 209 rumah tangga. Jumlah pemegang kartu JPK Gakin di Kelurahan X berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas adalah sebanyak 106 KK. Pada tahun XXXX total kunjungan pasien pemegang kartu JPK Gakin adalah 89 kunjungan, dengan rata-rata kunjungan 6,99% tiap bulannya.
Hal ini menjadi pertanyaan penting karena pemerintah telah menyediakan sarana pengobatan gratis bagi keluarga miskin, namun sayang hal ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh keluarga miskin. Serta, masih banyaknya warga miskin yang masih kurang memahami dan mengerti betapa pentingnya JPK Gakin.
Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Green (1980) menggambarkan bahwa ada tiga faktor yang mendorong dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu faktor predisposing (meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi), faktor enabling (ketersediaan fasilitas kesehatan, keterjangkauan biaya, jarak dan fasilitas transportasi), dan faktor reinforcing (dukungan dari pemimpin, tokoh masyarakat, keluarga, dan orang tua). Sedangkan Andersen (1975) mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan menjadi 3 kategori, yiatu karakterisetik predisposisi (jenis kelamin, umur, dan status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, kepercayaan kesehatan, dll), karakteristik kemampuan (terdiri dari sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat), dan karakteristik kebutuhan (penilaian individu dan penilaian klinik terhadap suatu penyakit)
Dengan mempelajari pemanfaatan pelayanan kesehatan banyak manfaat yang diperoleh yaitu:
1. Untuk menggambarkan hubungan antara berbagai faktor penentu pemanfaatan pelayanan
2. Untuk memprediksi kebutuhan pelayanan kesehatan masa mendatang.
3. Untuk menentukan distribusi pelayanan kesehatan itu merata atau tidak.
4. Untuk memperkirakan bagaimana cara mengubah atau memanipulasi variabel yang dikehendaki yang terkait dengan kebijakan tertentu.
5. Untuk mengetahui dampak-dampak program kesehatan yang baru. (Azwar, 1998)

1.2 Rumusan Masalah
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) adalah suatu jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada keluarga miskin melalui pendekatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau Asuransi yang preminya dibayar oleh Pemerintah Provinsi X dan dari anggaran Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Peserta JPK Gakin adalah semua keluarga miskin penduduk X (KTP DKI) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) X yang diteliti ulang oleh Tim Desa (Lurah, Kepala Puskesmas Kelurahan beserta kader kesehatan.
Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan meningkatnya angka kesakitan dari penduduk miskin yang disebabkan oleh menurunnya akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi serta rendahnya kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanann kesehatan yang dilihat dari jumlah kunjungan pemegang kartu JPK Gakin di Puskesmas relatif masih rendah, pada tahun XXXX rata-rata pemanfaatan sebesar 6,99% per bulannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini belum diketahuinya gambaran faktor penentu pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga miskin pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas Kelurahan X".

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
2. Bagaimana gambaran Karakteristik keluarga miskin (pendidikan KK, pekerjaan KK, penghasilan) pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
3. Bagaimana gambaran Faktor Predisposing (pengetahuan tentang manfaat kartu JPK Gakin, pengetahuan tentang cara mengakses pelayanan, persepsi terhadap pelayanan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
4. Bagaimana gambaran Faktor Enabling (keterjangkauan jarak dan biaya) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
5. Bagaimana gambaran Faktor Reinforcing (pengambilan keputusan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran Karakteristik keluarga miskin (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
2. Mengetahui gambaran Faktor Predisposing (pengetahuan tentang manfaat kartu JPK Gakin, pengetahuan tentang cara mengakses pelayanan, persepsi terhadap pelayanan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
3 Mengetahui gambaran Faktor Enabling (keterjangkauan jarak dan biaya) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
4 Mengetahui gambaran Faktor Reinforcing (pengambilan keputusan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi X
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan sebagai penyelenggara Program JPK Gakin di Provinsi X, untuk selalu melakukan pemantauan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga miskin, sehingga dapat disusun perencanaan kesehatan yang lebih baik berkaitan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi keluarga miskin
1.5.2 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sarana evaluasi bagi Puskesmas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin agar keluarga miskin dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dengan menggunakan kartu JPK Gakin yang dimiliki.
1.5.3 Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Kelurahan X.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X. Penelitian dilakukan selama bulan Mei-Juni XXXX di RW 06 Kelurahan X. Informasi mengenai kareakteristik keluarga miskin, faktor predisposing, faktor enabling, faktor reinforcing dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan diperoleh dari keluarga miskin pemegang kartu JPK Gakin, Kepala Puskesmas, Petugas Gakin Puskesmas dan Ketua RW 06. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (indepth interview).
SKRIPSI GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

SKRIPSI GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0036) : SKRIPSI GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat termasuk usia lanjut. Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1988 pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia dinyatakan bahwa lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan mengakibatkan meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) dari 66,7 tahun untuk perempuan dan 62,9 tahun untuk laki-laki pada tahun 1995 menjadi 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun untuk laki-laki di tahun XXXX. Tahun 2020 diproyeksikan jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun akan berjumlah 28,8 juta jiwa atau 11,34% dari seluruh penduduk Indonesia (Depkes RI, XXXX).
Meningkatnya jumlah penduduk lansia akan menimbulkan permasalahan di berbagai aspek kehidupan lansia, baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. Permasalahan tersebut berupa aspek kesehatan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi, kesehatan dan kesejahteraan merupakan masalah yang mendominasi dalam kehidupan mereka.
Pola penyakit lansia menempuh siklus hidup yang panjang sebelum menimbulkan komplikasi dan manifestasi klinik. Awalnya seseorang sehat, dengan bertambahnya usia dan tergantung gaya hidup yang dijalaninya dari lingkungan serta pelayanan kesehatan yang diterimanya, orang tersebut menderita penyakit yang biasanya disebut sebagai faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, kolesterol meninggi dan Iain-lain. Apabila penyakit tersebut tidak terdeteksi atau diobati secara dini maka akan terjadi komplikasi penyakit yang menetap dalam tubuh lansia (Hadisaputro dan Martono, 2000). Berdasarkan statistik rumah sakit pusat rujukan di X diperoleh gambaran bahwa pasien lansia pada umumnya menderita kompleksitas penyakit. Penyakit utama adalah penyakit kardiovaskuler, penyakit paru menahun, tuberkulosis, infeksi saluran pernafasan, gangguan pencernaan dan penyakit tulang dan sendi (Depkes RI, XXXX).
Martono (2000) mengutip penelitian Sarjadi tahun 1992 yang menemukan adanya perbedaan persentase tingkat keganasan penyakit lansia laki-laki dan perempuan. Pada lansia laki-laki berumur 65 tahun keatas tingkat keganansan penyakit berupa kanker kulit (11,21%) sedangkan lansia perempuan kanker serviks uteri (18,09%). Kondisi ini tentunya menuntut adanya penanganan secara medik melalui peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi khususnya.
Permasalahan penyakit yang dihadapi lansia tersebut karena adanya kemunduran sel-sel (proses penuaan) yang dapat mempengaruhi fungsi dan kemampuan sistem tubuh termasuk syaraf, jantung dan pembuluh darah akan berdampak pada masalah kesehatan keluarga baik secara langsung maupun tidak langsung. Terutama menyangkut masalah psikis yang dirasakan lansia ketika berada di masa klimakterium yaitu dimana masa peralihan yang dilalui seorang wanita dari periode reproduktif ke periode non reproduktif yang dikenal dengan masa menopause atau andropause pada laki-laki. Oleh karena itu merupakan suatu tantangan bagi kita untuk mengupayakan lansia tetap memiliki kesiapan fisik dan mental serta adanya peningkatan perilaku hidup sehat sehingga menjadi sumber daya manusia yang optimal.
Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan penyakit pada lansia, pemerintah melaksanakan pelayanan kesehatan lansia secara komprehensif yang berkesinambungan dan tatalaksana secara tim syang mencakup pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit dan pelayanan kesehatan lansia berbasis rumah sakit. Sehubungan dengan upaya komprehensif ini diperlukan adanya kerjasama antara masyarakat, petugas kesehatan dan instansi yang berkaitan melalui pengadaan berbagai kegiatan ceramah, symposium, lokakarya, penyuluhan dan penyediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat lansia. (Martono, 2000).
Program Bina Keluarga Lansia (BKL) yang dilaksanakan melalui kegiatan posyandu lansia merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit atas kerjasama antara petugas kesehatan dengan masyarakat. Program BKL merupakan suatu wadah yang dilakukan oleh keluarga yang memiliki lansia untuk mengetahui, memahami, dan mampu membina kondisi dan masalah yang dihadapi lansia. Pada program BKL dituntut peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan lansia diantaranya berupa pemenuhan kebutuhan ekonomi, psikososial dan kesehatan fisik, nutrisi makanan, serta berupaya mendorong lansia agar tetap menanamkan perilaku hidup sehat sehingga lansia tetap sehat bugar dan tidak menjadi beban (BKKBN, XXXX).
Pembinaan kesehatan lansia melalui wadah BKL di posyandu lansia merupakan salah satu pendekatan dari program perawatan kesehatan masyarakat {Public Health Nursing) yang ditujukan untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan adanya pembinaan melalui program posyandu lansia diharapkan terjadi peningkatan perilaku hidup sehat oleh lansia di kehidupan sehari-hari.
Puskesmas X dijadikan salah satu puskesmas percontohan program posyandu lansia di Kota X. Kegiatan BKL merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan lansia. Tujuan kegiatan BKL diadakan agar adanya peningkatan kepedulian keluarga lansia dalam mendukung kualitas hidup lansia melalui keaktifan mereka dalam kegiatan posyandu lansia. Namun berdasarkan cakupan program posyandu lansia tahun XXXX diketahui dari 3547 lansia sebanyak 1189 lansia yang berumur 60 tahun ke atas dan jumlah yang terbanyak di wilayah kerja Puskesmas X dibandingkan dengan puskesmas yang berada di Kota X. Peneliti juga menemukan informasi bahwa rata -rata kunjungan lansia berumur 60 tahun keatas ke posyandu lansia masih sangat sedikit yaitu sekitar 16 lansia di Kelurahan Sei Sekambing D dan 21 lansia di Kelurahan Sei Putih Barat. Sementara banyak dari mereka yang berkeinginan terlibat dalam kegiatan posyandu lansia, namun dengan adanya keterbatasan fisik ditambah kurang dukungan dari keluarga untuk aktif di kegiatan tersebut. Lansia yang berkunjung ke posyandu mempunyai gangguan kesehatan berupa tidak normalnya tekanan darah (16%), Bronchitis (7,4%), Diabetes mellitus (4%), jantung (2%) dan Iain-lain (ginjal, IMT, Osteoporosis) sebesar 8%.
Peneliti menghubungkan kondisi di lapangan dengan pendapat Mangoenprasodjo (XXXX) mengutip dari Wiliam bahwa keluarga adalah jembatan yang menghubungkan seseorang dengan kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya dan berperan dalam membentuk seseorang untuk mandiri mengambil keputusan dalam upaya mempertahankan kualitas hidupnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan perawatan diri lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
2. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
3. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan pemeliharaan kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun
XXXX.
4. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pencegahan potensi kecelakaan pada lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
5. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pencegahan menarik diri dari lingkungan oleh lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
6. Untuk mengetahui perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan informasi bagi masyarakat khususnya keluarga lansia dalam rangka meningkatkan kesadaran lansia untuk berperilaku hidup sehat.
2. Sebagi informasi bagi lansia agar menyadari sekaligus menerapkan perilaku hidup sehat di kehidupan sehari-hari.
3. Sebagai masukan bagi Puskesmas X dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lansia melalui program posyandu lansia dan meningkatkan upaya promosi kesehatan bagi keluarga lansia.
SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE DI KELURAHAN X

SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE DI KELURAHAN X

(KODE KES-MASY-0035) : SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE DI KELURAHAN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah hal mutlak yang harus diperhatikan untuk kemajuan suatu bangsa selain pendidikan dan ekonomi. Derajat kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling mendukung satu sama lain mulai dari lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan hingga genetika yang ada di masyarakat.
Lingkungan adalah salah satu faktor yang memengaruhi derajat kesehatan tersebut. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbulnya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah sebagai reservoir bibit penyakit. Reservoir adalah tempat hidup yang paling sesuai bagi bibit penyakit. Timbul atau tidaknya penyakit pada manusia tergantung dari sifat-sifat yang dimiliki oleh bibit penyakit atau penjamu (Hiswani, XXXX).
Berkaitan dengan lingkungan, salah satu penyakit menular berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah kesehatan dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian anak-anak di Indonesia adalah diare. Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian. Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali dalam setahun, dan menjadi penyebab kematian dengan Case Fatality Rate 15% sampai dengan 34% dari semua kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak (Aman, XXXX).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX, menunjukkan angka kematian akibat diare adalah 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita adalah 75 per 100 ribu balita (Depkes RI, XXXX).
Menurut Depkes RI (XXXX), insiden diare berkisar antara 400 kasus per 100 penduduk, di mana 60-70% di antaranya anak-anak di bawah umur 5 tahun. Setiap anak mengalami diare rata-rata 1 sampai 2 kali setahun dan secara keseluruhan, rata-rata mengalami 3 kali episode diare per tahun (Bela dkk, XXXX).
Pada tahun XXXX, terjadi KLB di 16 provinsi dan 44 daerah tingkat dua di Indonesia, dan salah satunya adalah Provinsi X. Jumlah penderitanya sebesar 10.980 dan 77 penderita meninggal dunia akibat penyakit tersebut (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan survei yang dilakukan Bela dkk (XXXX), diare merupakan penyakit yang sering terjadi di wilayah Puskesmas X selama tahun XXXX dengan rincian sebagai berikut

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Dari data di atas dapat dilihat bahwa kejadian angka insidens paling tinggi terjadi di Kelurahan X pada kelompok umur 0-5 tahun sebanyak 46,75 orang per 1000 penduduk .
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000). Perilaku masyarakat erat kaitannya dengan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam meminimalisir terjadinya diare.
Beberapa ahli kesehatan kemudian menemukan bahwa ada dua faktor penting dari keadaan lingkungan yang memengaruhi timbulnya diare, yaitu keadaan air untuk rumah tangga dan fasilitas jamban (Suharyono, 1980; WHO, 1985). Risiko kejadian diare dan diare berulang lebih besar pada keluarga yang tidak mempunyai jamban keluarga, sedangkan penyediaan jamban umum dapat menurunkan prevalensi diare daripada yang tidak mempunyai jamban, begitu juga dengan penyediaan fasilitas air bersih sedekat mungkin dengan pemakai dapat menurunkan risiko diare (Munir, 1983).
Dari profil Kecamatan X diketahui bahwa 88,14 % KK di Kelurahan X masih menggunakan sumur sebagai sumber air bersihnya, dan 1,34 % masih menggunakan air sungai. Adapun untuk sarana jamban keluarga masih ada 3,73% KK yang belum mempunyai jamban keluarga.
Selain lingkungan, tindakan pencegahan diare juga dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Berdasarkan hasil penelitian Pratama (XXXX) di Bali, ibu balita yang mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah beresiko mengalami kejadian diare.
Menurut Handayani (XXXX) pengetahuan ibu memengaruhi tindakan ibu terhadap pencegahan penyakit diare. Pengetahuan responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan terhadap pencegahan.
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya (Notoatmodjo, XXXX).
Menurut Wolinsky (1998) bahwa masyarakat mengembangkan pengertian sendiri tentang sehat dan sakit sesuai dengan pengalaman hidupnya atau nilai-nilai yang diturunkan oleh generasi sebelumnya, maka pencegahan penyakit diare yang sering dilaporkan terjadi akibat lingkungan yang buruk tergantung persepsi masyarakat tentang diare. Artinya, jika diare dipersepsikan sebagai suatu penyakit tidak serius dan tidak mengancam kehidupannya maka perilaku pencegahan akan penyakit diare pun tidak terlalu serius dilakukan. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa diare merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai, otomatis mereka akan bereaksi serius terhadap penyakit ini dengan mengembangkan perilaku-perilaku pencegahan.
Menurut Soemarno (1995), didapatkan persepsi ibu yang salah tentang diare di Boyolali. Menurut ibu penyebab diare ada yang langsung terhadap anak yaitu masuk angin, terlalu lama mandi, makan makanan rasa asam (kecut), dan tidak langsung bila ibu menyusui masuk angin atau makan makanan yang pedas-pedas, air susu menjadi jelek dan anak menderita mencret. Tidak ada kepercayaan bahwa diare disebabkan oleh roh halus. Sehingga persepsi ibu yang salah tentang diare dan penyebabnya menghasilkan perilaku pengobatan diare pada anak sebagai berikut, mula-mula ditangani sendiri dengan ramuan tradisional, bila tidak sembuh diobati dengan pil Ciba yang dijual bebas di warung-warung yang tersebar di desa, bila tetap belum sembuh baru dibawa ke petugas kesehatan.
Menurut Luthans (XXXX), persepsi berperan penting dalam perilaku seseorang, persepsi berhubungan dengan bagaimana individu menanggapi individu lain. Karakteristik penilai dan orang yang dinilai menunjukkan kompleksitas persepsi sosial.
Menurut Rosenstock dalam Muzaham (1995), kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit tertentu dan persepsi mereka terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut.
Berdasarkan data dan hasil penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX".

1.2. Permasalahan
Dari latar belakang di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa penyakit diare khusus pada anak balita merupakan masalah yang cukup penting hari ini mengingat angka kesakitannya yang tinggi, dan hal tersebut tidak terlepas dari peran ibu sebagai pengasuh terdekat dengan balita untuk melakukan melakukan pencegahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah apakah ada pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4. Manfaat Peneltian
1. Manfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan dapat memberikan informasi tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kejadian diare.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memberikan informasi baru tentang penelitian terkait sehingga dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian pengembangan berikutnya
3. Untuk pengembangan ilmu, penelitian ini dapat membuktikan teori yang berkaitan sekaligus dapat membuka wacana berpikir untuk pengembangan teori yang sudah ada.
SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG

SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG

(KODE PSIKOLOG-0007) : SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Keindahan ataupun penampilan ragawi yang menarik, merupakan salah satu aspek penting dalam membuat kesan pertama dan juga bisa membuat orang lain tertarik pada diri kita. Sekalipun penilaian seperti ini tentulah sangat dangkal dan terkesan tidak melihat 'isi' ataupun hal-hal lain di luar penampilan, tetapi tidak bisa disangkal bahwa orang memang cenderung melihat penampilan fisik ataupun tampilan 'luar' saja.
Menurut pendapat peneliti, kita akan lebih merasa senang jika melihat orang yang memiliki penampilan 'enak dipandang' dan bersih daripada orang yang 'dekil', kotor atau tidak terawat. Salah satu aspek penampilan fisik yang penting dan merupakan hal yang paling 'terlihat' adalah tubuh. Tubuh yang langsing, ramping, kencang bagi wanita ataupun tubuh pria yang berotot, tinggi besar, 'keras' bagi pria merupakan idaman semua orang. Jika dibandingkan dengan tubuh yang 'kerempeng', kurus kering ataupun tubuh gemuk yang buruk, 'malas' dan terlihat tidak lincah, orang lebih ingin memiliki tubuh ideal yang langsing dan kencang, yang menandakan kesehatan dan juga membuat seseorang lebih terlihat percaya diri dan menarik.
Penampilan fisik juga merupakan salah satu aspek yang penting untuk menarik perhatian lawan jenis. Dari segi fisiologis, penelitian pada perilaku hewan yang dilakukan oleh ahli zoologi mengemukakan bahwa binatang jantan maupun betina mengalami perubahan fisiologis yang terjadi tanpa disadari ketika mereka berusaha menarik perhatian satu sama lain. Perilaku yang sama juga terjadi pada manusia, karena terjadi secara tidak disadari dan tidak bisa dijelaskan, perilaku-perilaku ini kemungkinan besar merupakan bawaan (Pease, XXXX).
Menurut Dr.Albert Scheilen dalam artikel 'Quasi-courtship behaviour in psychoterapy', ketika individu memasuki ruangan yang penuh dengan lawan jenis, terjadi beberapa perubahan fisik. Misalnya saja individu akan berjalan lebih tegap, wajah dan mata akan terlihat lebih terang, posisi tubuh tidak akan terlihat malas, secara otomatis perut akan ditahan dan individu akan terlihat lebih muda. Tempat ideal untuk mengobservasi hal ini ialah misalnya saja seperti di pantai dimana wanita dan pria yang berjalan mendekati satu sama lain, jika dilihat dengan cermat maka ketika mereka berdekatan akan terjadi perubahan-perubahan fisik tersebut, dan ketika mereka sudah tidak saling berpandangan perubahan ini akan menghilang dan kembali ke posisi semula. (Pease, XXXX)
Media massa turut memiliki peran dalam 'mengkomunikasikan' bentuk apa yang menarik dan apa yang tidak secara fisik kepada masyarakat. Jika kita lihat televisi, internet ataupun membaca majalah, kita akan melihat bahwa model-model ataupun bintang film yang memiliki tubuh yang dianggap 'ideal' pada masyarakat masa kini, yaitu bagi wanita adalah tubuh yang cenderung kurus dan ramping, sedangkan bagi pria yaitu tubuh yang berotot dengan perut six pack dan otot yang keras. Ketika karakter atau tokoh di televisi memiliki tubuh yang gemuk, mereka cenderung dilihat sebagai obyek humor atau digambarkan sebagai individu yang tidak menarik atau tidak menggairahkan. Individu yang gemuk pada iklan televisi dianggap sebagai imej 'sebelum' pada iklan produk diet atau target dari lelucon ataupun humor. (Thompson, Heinberg, Altabe & Tantleff-Duff, 1999)
Iklan yang memperlihatkan model yang bertubuh gemuk model yang bertubuh tidak 'ideal' tersebut, seperti misalnya iklan suatu produk vitamin yang memperlihatkan dua orang wanita yang berusaha merebut perhatian seorang pria. Wanita pertama bertubuh gemuk sedangkan yang kedua bertubuh langsing, pada akhir cerita diceritakan bahwa wanita pertama harus 'kalah' dan melihat pria tersebut lebih memilih untuk berdansa dengan wanita yang tubuhnya langsing. Menurut pengamatan peneliti, banyak iklan produk untuk wanita seperti misalnya pemutih kulit, pencuci rambut, produk diet, ataupun produk-produk lain dipromosikan dengan model yang memiliki rambut lurus, kulit putih, langsing dan hal ini secara tidak langsung memicu pendapat bahwa tubuh yang benar, baik dan harus dicapai agar seseorang merasa sukses, bahagia dan lengkap adalah wanita yang bertubuh langsing, putih dan berambut lurus. Jika bentuk tubuh yang 'ideal' ini tidak dicapai, pastinya ada sesuatu yang 'salah' pada individu tersebut, media secara tidak langsung menciptakan imej 'ideal' yang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dicapai semua orang.
Peneliti berpikir apa yang terjadi jika tidak semua orang 'lahir' dengan gen yang tidak memungkinkan ia memiliki tubuh ideal tersebut? Kita akan melihat diri sendiri dan cermin serta membandingkan diri dengan orang lain yang menurut kita 'sempurna', Efek dari tekanan budaya dan masyarakat tersebut juga bisa muncul lewat perilaku yang 'langsung' oleh lingkungan sekitar seperti ejekan dari orang lain dan teman, bisa semakin membuat individu merasa gagal dan semakin terpuruk. Citra tubuh atau Body image adalah persepsi seseorang secara subyektif mengenai penampilan fisiknya sendiri memegang peranan yang penting, karena individu cenderung tidak bisa melihat penampilan fisiknya sendiri secara obyektif. Ketidakpuasan citra tubuh ini tidak hanya terjadi pada orang yang memiliki fisik yang buruk, namun hal ini juga bisa terjadi pada orang yang sebetulnya secara obyektif memiliki tubuh yang ideal. Citra tubuh bisa menurun dan memburuk pada orang yang memandang tubuhnya terlalu kurus, gendut, atau tidak 'memuaskan' meskipun secara obyektif jika dilihat oleh orang lain tubuhnya termasuk ideal, sedangkan di sisi lain, orang yang memiliki citra tubuh yang baik dan tingkat kepuasan pada tubuhnya sendiri tinggi meskipun secara obyektif tubuhnya tidak 'ideal', cenderung lebih sehat secara psikologis dan bisa menerima dirinya apa adanya. (Thompson, 1996)
Individu yang memiliki imej tubuh ideal berbeda dari bentuk tubuh mereka yang sebenarnya, misalnya saja pria menginginkan untuk bisa lebih tinggi, memiliki bahu yang lebar ataupun bentuk tubuh yang lebih berotot, sedangkan wanita ingin bisa lebih tinggi ataupun lebih kurus. Pada saat yang bersamaan terdapat perbedaan signifikan, dimana pria dan wanita mempersepsikan bentuk tubuh ideal yang mereka pikir disukai oleh masing-masing jenis kelamin. Misalnya saja wanita berpikir bahwa pria menginginkan wanita yang kurus dan memiliki payudara yang besar, walaupun pada kenyataannya wanita yang betul-betul diinginkan oleh pria ialah bertubuh biasa-biasa saja dan memiliki payudara ukuran sedang (Atwater & Duffy, 1999). Walaupun demikian, terdapat diskrepansi yang kecil pada persepsi pria terhadap tubuh pria yang ideal yang diinginkan oleh wanita dan figur pria yang diinginkan oleh wanita. Sebagai hasilnya, pria lebih bisa menilai berat badan yang sebenarnya, yang ideal, dan ukuran yang mereka pikir diinginkan oleh wanita dibandingkan wanita. (Atwater & Duffy, 1999)
Masalah kekhawatiran pada penampilan fisik ini biasanya merupakan masalah yang dialami oleh sebagian besar wanita, dimana penulis amati bahwa sebagian dari majalah wanita tersebut misalnya saja Cosmopolitan, Harper's Bazaar, ataupun Femina biasanya memuat artikel diet dan olahraga serta menampilkan model-model wanita yang kurus dimana hal ini bisa terus meningkatkan rasa ketidakpuasan wanita terhadap tubuhnya sendiri. Tekanan dari budaya yang dipengaruhi media mengharuskan wanita untuk tampil 'menarik' dan merawat tubuhnya sendiri merupakan hal yang semula dianggap dominan merupakan masalah bagi kaum hawa. Sudah tidak aneh lagi jika kita mengetahui bahwa mayoritas wanita mengalami masalah eating disorder seperti anorexia nervosa, bulimia ataupun binge eating. Perilaku yang tentunya amat destruktif dan bisa mengganggu fungsi individu baik secara psikis maupun fisik ini merupakan salah satu bentuk perwujudan untuk mencapai apa yang ditekankan oleh budaya merupakan hal yang 'ideal' ataupun 'baik'. Terlebih bagi wanita-wanita yang harus sering muncul di muka umum, seperti misalnya seperti mendiang Lady Diana, Lindsay Lohan, Nicole Richie dan Victoria Beckham.
Penekanan pada pentingnya penampilan fisik ini tidak bisa begitu saja diabaikan dan dianggap sebagai masalah bagi wanita saja, pada kaum pria, telah ditemukan bahwa merekapun dalam derajat tertentu memiliki tingkat ketidakpuasan pada tubuhnya sendiri. Walaupun dari segi angka ataupun persen penderita eating disorder masih didominasi oleh wanita, pria ternyata juga mengalami hal ini. Salah satu aspek penting yang ternyata mempengaruhi ketidakpuasan citra tubuh adalah orientasi seks, dimana pria homoseks ataupun disebut juga gay ternyata memiliki ketidakpuasan citra tubuh yang lebih tinggi dan juga kecenderungan mengalami eating disorder dibandingkan pria heteroseks (http://www.msoe.edu/st_life/couns/news/v2_6.shtml). Hal ini tentunya menarik untuk diteliti, karena melihat dari gaya hidup pria gay ataupun heteroseks yang berbeda, tentunya ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan terjadinya perbedaan pada ketidakpuasan citra tubuh ini.
Orientasi seks homoseksual yang sejak dulu sudah menjadi hal yang kontroversial dan menimbulkan debat yang berkepanjangan tidak bisa dihindari menimbulkan stigma di masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang berdosa, memiliki kelainan jiwa, menjijikan ataupun 'menyimpang' dari norma agama ataupun masyarakat yang sudah mantap. Heteroseksualitas dianggap merupakan salah satu orientasi seks yang paling benar dan 'pasti' serta dillindungi oleh institusi resmi seperti pernikahan dan lebih disetujui daripada orientasi homoseksual. (Greene & Croom, 2000)
Penyebab mengapa seseorang bisa menjadi homoseks sampai sekarang masih diperdebatkan, belum ada studi yang dapat membuktikan secara pasti penyebab mengapa seseorang menjadi homoseks. Faktor biologis seperti misalnya genetik, gangguan prenatal, ataupun kelenjar endokrin dan juga faktor psikologis seperti misalnya pola asuh, lingkungan budaya ataupun peran gender tidak memiliki bukti yang konsisten dan kuat untuk menentukan secara pasti penyebab homoseksualitas. (Hyde, 1990)
Pria gay yang harus 'hidup' dengan stigma masyarakat yang menolak mereka tentunya bisa mengalami perasaan depresi, putus asa dan juga kepercayaan diri yang rendah. Hubungan dengan pria gay lain baik sebagai kekasih ataupun teman tentunya menimbulkan kelegaan karena mereka bisa sama-sama 'membagi' perasaan dan mereka sama-sama mengalami hal yang biasanya dialami oleh kaum minoritas dan terpinggirkan ini, seperti misalnya ejekan, hinaan dan juga perasaan ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh keluarga mereka sendiri (Paul, Weinrich, Gonsiorek & Hotvedt, 1982)
Salah satu cara bagi pria gay untuk bisa bertemu dengan gay lain, adalah melalui komunitas homoseks seperti misalnya bar khusus pria gay. Dengan bertemu 'sesama' ini, mereka bisa mengidentifikasikan diri dan juga memantapkan identitas mereka yang sebenarnya tanpa perasaan takut atau ditolak. Bagi sebagian pria gay, perasaan 'feels like home' ini melegakan Selain itu, pria gay yang memiliki jaringan pertemanan yang luas dan ikut serta dalam komunitas khusus gay ini biasanya cenderung memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik daripada pria gay yang tidak memiliki jaringan pertemanan dengan komunitas gay (Komblum & Julian, 1989)
Walaupun demikian, ketika bertemu dengan sesama pria homoseks, pria gay akan cenderung 'melihat' perilaku ataupun 'norma' yang ditetapkan dalam dunia komunitas gay. Subkultur gay cenderung menekankan pada penampilan fisik dan tubuh yang indah, berotot, terjaga dan enak dilihat terutama pada pria gay yang usianya masih muda dan berstatus lajang. Jika hal ini dikaitkan dengan perbedaan seksualitas antara pria dan wanita, dimana pria pada awalnya lebih terfokus pada hubungan seks dan baru ketika bertambah dewasa mulai terfokus pada komponen emosi pada suatu hubungan, sedangkan wanita pada awalnya lebih terfokus pada komponen emosi suatu hubungan, baru ia bisa menikmati hubungan seks (Atwater & Duffy, 1999)
Bisa diambil kesimpulan bahwa baik pria heteroseks maupun homoseks cenderung untuk terfokus pada aspek hubungan badan dan hubungan emosi baru berkembang kemudian, sedangkan wanita cenderung untuk terfokus pada hubungan emosi dan kenikmatan dalam hubungan badan baru bisa berkembang kemudian Dalam subkultur yang menekankan 'norma' bahwa penampilan fisik yang menarik tersebut akan lebih 'diterima' dan akan lebih mudah untuk bisa menarik perhatian pasangan, tidaklah heran jika tingkat ketidakpuasan citra tubuh pria gay semakin meninggi, cenderung bisa mengarah pada eating disorder. (http://www.vanderbilt.edu/AnsS/pscyhology/health_psychology/sexual_orientation.htm)
Penelitian mengenai citra tubuh pada pria masih merupakan hal yang jarang dibahas, khususnya untuk pria gay. Keberadaan mereka terutama di Indonesia masih terbatas untuk kalangan tertentu saja dan merupakan hal yang 'tabu' untuk dibahas. Selain itu, Thompson (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat ketidakpuasan pada tubuh atau masalah citra tubuh lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan orang Asia atau Afrika. Oleh karena itu, skripsi studi kualitatif ini akan melihat dan meneliti gambaran ketidakpuasan citra tubuh pada subyek pria gay dari Indonesia, dan juga pria kulit putih oleh subyek pria gay dari Spanyol. Hal ini dikarenakan budaya memegang peranan penting untuk menekankan apa yang dianggap 'ideal' oleh masyarakat dari budaya tertentu yang bisa saja berbeda dari budaya lain. Konstruk citra tubuh yang menekankan konteks budaya merupakan suatu hal yang penting, dimana konsep ini sudah ada sejak individu kecil, dan apa yang dianggap 'ideal' oleh suatu budaya tertentu akan terus dibawa oleh individu sampai ia besar.

1.2 Masalah penelitian
1. Apakah terdapat ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
2. Apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay sudah terlihat dari masa remaja?
3. Mengapa terjadi ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
4. Faktor-faktor apa yang menyebabkan ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
5. Bagaimana cara pria gay untuk bisa memiliki ataupun mempertahankan citra tubuh yang baik?
6. Apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay merupakan fenomena yang universal ataupun hanya pada budaya tertentu saja?

1.3 Tujuan penelitian
1. Mengetahui dan mendapatkan gambaran mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
2. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
3. Mengetahui apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay sudah terlihat dari masa remaja.
4. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang cara pria gay untuk bisa memiliki ataupun mempertahankan citra tubuh yang baik.
5. Mengetahui dan mendapatkan gambaran mengenai apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay merupakan fenomena yang universal ataupun hanya pada budaya tertentu saja
6. Individu gay bisa memiliki citra tubuh yang realistis dan mampu untuk menerima dirinya apa adanya.

1.4 Manfaat penelitian
1. Mendapatkan gambaran deskriptif secara mendalam mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
2. Menambahkan informasi yang aktual dan akurat serta memberikan kontribusi ilmiah secara umum kepada masyarakat dan secara khusus kepada komunitas gay mengenai topik citra tubuh.
3. Menambah khasanah ikhtisar ilmu pengetahuan terutama mengenai orientasi homoseksual dan komunitasnya, yang merupakan salah satu topik yang masih jarang dibahas dan diteliti di Indonesia.
4. Penelitian ini bisa menjadi dasar atau fondasi bagi penelitian-penelitian lain yang ingin menyingkap lebih mendalam mengenai homoseksual ataupun komunitas gay.
5. Memperoleh gambaran mengenai perbedaan ataupun persamaan dan juga perbandingan ketidakpuasan citra tubuh antar budaya atau multi kultur antara budaya Indonesia dan budaya barat oleh Spanyol.
6. Pada terapi atau intervensi psikologis, pengetahuan mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay bisa membantu psikolog atau terapis untuk bisa menangani dan memahami klien mereka dengan lebih baik.
7. Tujuan utama untuk riset multikultural mengenai citra tubuh ialah untuk menentukan insiden ketidakpuasan citra tubuh dan pola makan pada kelompok etnis yang berbeda (Pertanyaan yang timbul ialah mengenai apakah citra tubuh dan eating disorder memiliki etiologi dan juga pola simptom yang berbeda pada kelompok yang berbeda). Selain itu juga untuk memahami dan mendapatkan pengertian mengenai citra tubuh yang ideal pada budaya yang berbeda.
SKRIPSI PTK PENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB X

SKRIPSI PTK PENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB X

(KODE PTK-0057) : SKRIPSI PTK PENINGKATKAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB X (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SDLB KELAS III)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat memegang peranan penting terutama dalam pengungkapan pikiran seseorang atau merupakan sarana untuk berflkir, menalar dan menghayati kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada seorangpun yang dapat meninggalkan bahasa karena selain sebagai sarana berflkir bahasa juga digunakan sebagai alat komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gorys Keraf (Husain Junus,1996:14) menyatakan bahwa "Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa bunyi suara atau tanda atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada manusia lainnya". Dalam hal ini yang dimaksud dengan bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat adalah Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat ini tidak lepas dari penguasaan kosakata, karena dengan penguasaan kosakata yang cukup akan memperlancar siswa dalam berkomunikasi dan mempermudah siswa untuk memahami bahasa yang terdapat dalam buku-buku pelajaran. Seperti diungkapkan oleh Burhan Nurgiantoro (1988:154) "untuk dapat melakukan kegiatan komunikasi dengan bahasa diperlukan penguasaan kosakata dalam jumlah yang cukup atau memadai". Penguasaan kosakata yang lebih banyak memungkinkan kita untuk menerima dan menyampaikan informasi yang lebih luas dan kompleks". Lebih lanjut Burhan Nurgiantoro (1988:196) mengatakan "Kosakata merupakan alat utama yang harus dimiliki seseorang yang akan belajar bahasa, sebab kosakata berfungsi untuk membentuk kalimat dan mengutarakan isi pikiran serta perasaan dengan sempurna baik secara lisan maupun tulisan".
Penguasaan kosakata pada usia sekolah dasar sangatlah penting dan merupakan dasar yang kuat untuk penguasaan kosakata pada usia selanjutnya. Anak pada saat itu diisi dan dibimbing dengan teratur dan sistematik dalam proses menyadari dunia dan alam sekitarnya, bahkan keluar dunia alam sekitarnya yang disebut proses belajar. Sesuai dengan tujuan pembelajaran yang termuat dalam kurikulum Bahasa Indonesia tahun 2004 menyatakan bahwa pengajaran Bahasa Indonesia ditujukan pada pengembangan kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia meliputi ketrampilan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara seimbang. Tujuan sebagaimana diatas pada hakikatnya disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
Seiring dengan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia, maka siswa pada tingkat dasar diharapkan mampu atau dapat menguasai keempat ketrampilan bahasa secara aktif dan integratif dengan menggunakan komponen bahasa yang komunikatif dan benar, sehingga secara tidak langsung kemampuan dan penguasaan bahasa ini dapat menjawab tantangan di era globalisasi ini. Siswa dituntut mampu untuk mengikuti perkembangan teknologi setaraf dengan kemampuannya yang disesuaikan dengan tingkat usia dan tingkat perkembangan mental anak. Pendidikan bahasa sebagai alat komunikasi sangatlah penting dan harus dipahami oleh siswa pada umumnya dan anak tunagrahita pada khususnya. Bagi anak tunagrahita itu sendiri bahasa yang dimiliki belum cukup untuk berkomunikasi secara lancar, itu semua disebabkan karena kondisi ketunaan yang disandangnya.
Kondisi anak tunagrahita seperti yang diungkapkan oleh Moh Amin (1995:11) yaitu:
"Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada dibawah rata-rata. Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan".
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran Bahasa Indonesia pada anak tunagrahita umumnya masih rendah, khususnya kemampuan dalam penguasaan kosakata. Pernyataan ini diperkuat oleh seorang guru kelas III di SLB Negeri X bahwa sebagian besar siswa kelas III di SLB Negeri X Kabupaten X mempunyai sebuah permasalahan yang serius, yaitu belum terciptanya kebiasaan berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Siswa pada umumnya lebih suka menggunakan bahasa ibu (Bahasa Jawa) atau bahasa dialog dalam berkomunikasi baik dengan teman sekolah maupun dengan gurunya. Beberapa pedoman yang harus diperhatikan dalam penggunaan bahasa pengantar yang termuat dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan bila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau ketrampilan tertentu.
Terkait dengan peristiwa tersebut, beberapa faktor yang menjadi penyebab belum tercapainya tujuan yang diharapkan guru dengan kondisi siswa tunagrahita sebagai berikut:
1. Guru belum dapat menyajikan model pembelajaran Bahasa Indonesia secara aktif, kreatif dan integratif sesuai dengan kondisi anak dilapangan.
2. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang bervariasi, sehingga siswa tunagrahita kurang termotivasi untuk menerapkan apa yang telah disampaikan.
3. Kurangnya kosakata yang dimiliki oleh siswa tunagrahita.
4. Buku pelajaran kurang porposional artinya belum mempunyai porsi yang cukup untuk mengembangkan ketrampilan salah satunya berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Berbagai faktor penyebab di atas dapat diatasi dengan menggunakan suatu metode pembelajaran baru. Pembelajaran yang dimaksud adalah dengan pelaksanaan bermain peran (roleplay). Bermain peran adalah pentas pertunjukan yang dimainkan sejumlah orang. Saat bermain peran (role play) dibuatkan pembagian peran dan deskripsi setiap peran, selebihnya para pemain melakukan improvisasi untuk mengembangkan perannya masing-masing. Selesai permainan, kemudian fasilitator mengajak peserta menarik kesimpulan dari permainan. Bermain peran ini dapat menambah kosakata yang dimiliki anak lewat peran yang dimainkannya. Di samping anak akan menyukai peran yang akan dimainkan, anak akan berusaha untuk menjiwai setiap perannya. Melalui peran yang dimainkannya, dapat menambah perbendaharaan kosakata, selain itu bermain peran tidak terikat pada jadwal, mengingat anak-anak sering mogok tidak mematuhi rencana dikelas. Sutratinah Tirtonegoro (1987:17) mengemukakan bahwa:
"Mengajar di SLB harus fleksibel secara informal dramatisasi menarik perhatian anak, dan tidak boleh terikat pada jadwal mengingat anak-anak tersebut sering mogok tidak mematuhi rencana dikelas. Sehingga dengan demikian aspek-aspek kejiwaan anak akan terangsang begitu pula daya visual auditif motorik anak tertarik. Akibat dari stimulasi dan asosiasi yang berturut-turut dan terus menerus akan menumbuhkan mental yang tinggi".
Bermain peran adalah salah satu metode pembelajaran yang menyajikan hal-hal yang konkret dan melatih anak dalam penguasaan kosakata lewat peran yang dimainkannya. Melihat kondisi dilapangan bahwa anak tunagrahita lemah dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia maka metode bermain peran ini perlu untuk diterapkan. Berdasarkan kenyataan dan permasalahan sebagaimana di atas, maka peneliti mencoba mengadakan penelitian tindakan kelas yang setidaknya mampu mendapatkan formula baru dalam mengatasi permasalahan yang selama ini dihadapi, khususnya dalam ketrampilan berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia melalui peningkatan penguasaan kosakata yang dimiliki anak. Oleh karena itu peneliti mengajukan penelitian tindakan kelas sebagai berikut "Peningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia melalui Metode Bermain Peran pada Anak Tunagrahita Ringan di SLB Negeri X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Seberapa besar peningkatan metode bermain peran dalam meningkatkan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia pada anak tunagrahita ringan yang berlangsung di SLB Negeri X".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia dengan menggunakan metode bermain peran pada anak tunagrahita ringan yang berlangsung di SLB Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Mengetahui peranan penggunaan metode bermain peran untuk meningkatkan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia pada anak tunagrahita ringan kelas III SLB Negeri X tahun pelajaran XXXX/XXXX.
2. Manfaat Praktis
a. Menemukan alternatif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia
b. Mencari solusi permasalahan yang dialami siswa yang mengalami kesulitan dalam penguasaan kosakata dalam Bahasa Indonesia
SKRIPSI PTK UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS EKONOMI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT)

SKRIPSI PTK UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS EKONOMI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT)

(KODE PTK-0056) : SKRIPSI PTK UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS EKONOMI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) (MATA PELAJARAN : IPS EKONOMI) – (SMA KELAS XI)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masalah pendidikan sesungguhnya telah banyak dibicarakan oleh para ahli pendidikan. Mereka menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan yang berkualitas sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya manusia yang cerdas serta mampu bersaing di era globalisasi. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter, perkembangan ilmu dan mental seorang anak, yang nantinya akan tumbuh menjadi seorang manusia dewasa yang akan berinteraksi dan melakukan banyak hal terhadap lingkungannya, baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial.
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan dimasa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.
Secara total, pendidikan merupakan suatu sistem yang memiliki kegiatan cukup kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Jika menginginkan pendidikan terlaksana secara teratur, berbagai elemen (komponen) yang terlibat dalam kegiatan pendidikan perlu dikenali. Pendidikan dapat dilihat dari hubungan elemen peserta didik (siswa), pendidik (guru), dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan. Hubungan antara elemen peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru) seharusnya tidak hanya bersifat satu arah saja berupa penyampaian informasi dari guru kepada peserta didik. Proses belajar mengajar justru lebih baik jika dilakukan secara aktif oleh keduabelah pihak yaitu guru dan peserta didik agar terjadi interaksi yang seimbang antara keduanya. Namun demikian, masih kerap ditemui dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Ekonomi guru menggunakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran lebih mengandalkan metode ceramah sehingga siswa menjadi bosan dan kurang aktif. Mata pelajaran Ekonomi pun masih dianggap i sebagai mata pelajaran yang menuntut kemampuan menghafal. Tanpa perlu upaya pemahaman dan dikaitkan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai masalah dalam kegiatan belajar mengajar dikelas tentu akan berpengaruh pada hasil belajar. Begitu pula dengan permasalahan di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Sumarsono (2007: 8) bahwa "Belajar merupakan proses perubahan sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang berlangsung terus men erus dalam periode waktu yang panjang". Penggunaan metode yang tepat di dalam pelaksanaannya, serta pelaksanaan evaluasi hasil belajar, merupakan aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilah belajar.
Permasalahan seperti di atas terjadi pula di SMAN X. Berdasarkan pandangan guru bersangkutan, kondisi kelas saat kegiatan belajar mengajar masih sering pasif. Sangat sulit untuk terjadinya interaksi aktif baik antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru. Hasil belajar pun masih tergolong rendah. Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh peneliti dengan melaksanakan observasi. Observasi dilakukan di seluruh kelas X SMAN X yang berjumlah lima kelas, mulai dari X1 hingga X5. Berdasarkan hasil observasi tersebut, diketahui bahwa siswa kelas X masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran. Interaksi aktif baik antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru juga kurang. siswa lebih banyak melakukan aktivitas mencatat dan mendengarkan. Aktivitas lain seperti bertanya atau pun berpendapat dan bertukar pikiran masih sangat kurang.
Keadaan tersebut, setelah peneliti cermati ternyata tidak lepas dari metode pembelajaran yang digunakan. Selama pembelajaran guru hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Siswa menjadi kurang aktif dalam pembelajaran. Proses pembelajaran yang kurang berhasil tentu akan berdampak pada hasil belajar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rendahnya hasil belajar siswa kelas X tersebut tidak terlepas dari metode pembelajaran yang kurang variatif.
Rendahnya kektifan siswa dapat diketahui berdasarkan observasi dengan menggunakan lembar observasi. Kegiatan yang diamati beserta tingkat keaktifannya secara rinci adalah 41,67% untuk kegiatan visual, 8,33% untuk kegiatan lisan, 63,89% untuk kegiatan mendengarkan, dan 52,78% untuk kegitan menulis. Rendahnya hasil belajar siswa kelas X SMAN X dapat dilihat dari nilai ulangan harian dan mid semester genap tahun ajaran XXXX/XXXX. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa kelas X memiliki hasil belajar yang masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase jumlah siswa yang nilainya telah memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) masih kurang dari 60% di semua kelas X.
Berdasarkan pandangan di atas, maka permasalahan yang muncul adalah bagaimana guru dapat menciptakan suatu proses pengajaran yang dinamis. Pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran tersebut juga harus dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi sehingga hasil belajar pun meningkat. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan serta hasil belajar siswa adalah pendekatan struktural. Dengan pendekatan struktur tipe NHT, siswa diarahkan untuk bekerja sama dan saling membantu dalam kelompok kecil. Siswa diarahkan pula pada penghargaan kooperatif dan penghargaan individu.
Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan sebuah alternatif pemecahan masalah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran ekonomi, agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satu solusinya yaitu dengan mengembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang membuat siswa lebih aktif dan paham terhadap materi pelajaran.
Model Pembelajaran Kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan aktifitas siswa, interaksi, penguasaan siswa terhadap materi. Salah satu pendekatan dari model pembelajaran Kooperatif adalah Pendekatan Struktural. Pendekatan ini memberikan pemecahan pada penggunaan struktur yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Pendekatan struktural terdiri dari dua macam struktur yang terkenal yaitu Think Pair Share (TPS) dan Numbered-Head Together (NHT). Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antar siswa. Siswa dibagi ke dalam kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 3-5 siswa heterogen. Setiap siswa dalam kelompoknya diberi nomor yang berbeda.
Berdasarkan pemikiran dan permasalahan tersebut di atas maka peneliti ingin menerapkannya apakah ada pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktur terhadap keaktifan peserta didik untuk mencapai hasil belajar pada mata pelajaran IPS Ekonomi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar IPS Ekonomi Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) di SMAN X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX"

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat ditemukan perumusan masalah sebagai berikut :
Apakah pembelajaran kooperatif tipe NHT tersebut dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPS Ekonomi siswa SMAN X?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui pembelajaran kooperatif tipe NHT tersebut dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPS Ekonomi siswa SMAN X.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan :
1. Bagi Guru
Sebagai alternatif pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang tidak hanya berupa nilai tetapi juga ketrampilan dalam menerapkan materi mata pelajaran Ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Siswa
Mendapatkan kemudahan dalam menemukan pengetahuan dan mengimplementasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Bagi Peneliti
a. Mendapatkan wawasan dan pengalaman.
b. Mendapatkan fakta penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) UNTUK MENINGKATKAN MINAT DAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI PADA KOMPETENSI DASAR MENGANALISIS HIDROSFER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) UNTUK MENINGKATKAN MINAT DAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI PADA KOMPETENSI DASAR MENGANALISIS HIDROSFER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

(KODE PTK-0055) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) UNTUK MENINGKATKAN MINAT DAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI PADA KOMPETENSI DASAR MENGANALISIS HIDROSFER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN DI MUKA BUMI (MATA PELAJARAN : GEOGRAFI) – (SMA KELAS X)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Oleh karena itu pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan sumberdaya manusia agar mampu bersaing dalam menghadapi perkembangan zaman. Karena pentingnya bidang pendidikan tersebut maka komponen yang terkait dalam dunia pendidikan baik keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Meningkatkan kualitas pembelajaran merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam suatu proses belajar mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini merupakan tugas bagi masing-masing sekolah dan yang paling utama adalah bagi guru sebagai tenaga pengajar. Guru harus selalu kreatif dan inovatif dalam melakukan pembelajaran agar siswa lebih mudah memahami materi yang disampaikan dan antusias dalam mengikuti proses belajar mengajar, sehingga pembelajaran yang dilaksanakan berkualitas dan prestasi yang dicapai siswa memuaskan. Metode pembelajaran yang dipilih harus sesuai dengan materi pelajaran yang akan disampaikan, karena pemilihan metode pembelajaran yang tepat akan membantu tercapainya tujuan pembelajaran.
Seiring dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai tahun 2006 lalu, guru tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama yaitu guru merupakan pusat kegiatan belajar di kelas (teacher center). Hal ini nampaknya masih banyak diterapkan di ruang-ruang kelas dengan alasan pembelajaran seperti ini merupakan pembelajaran yang paling praktis dan tidak menyita waktu. Hal ini menyebabkan siswa cenderung jenuh, bosan dan akhirnya kurang tertarik terhadap pembelajaran yang berlangsung. Hal ini berpengaruh terhadap capaian hasil belajar siswa.
Secara umum keberhasilan proses belajar mengajar dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu:
1. Faktor guru
a. Penggunaan metode mengajar yang sesuai dengan materi yang diajarkan
b. Penguasaan guru terhadap materi yang disampaikan
c. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan.
2. Faktor siswa
a. Seberapa besar minat dan kemampuan siswa dalam belajar
b. Kemampuan siswa untuk mempelajari buku-buku bacaan sebagai sumber belajar
Berdasarkan pengamatan dan observasi yang telah dilakukan di SMAN X, pembelajaran geografi yang dilakukan guru masih menggunakan metode pembelajaran konvensional ceramah dan pembelajaran berpusat pada guru. Guru geografi tidak menyadari bahwa metode pembelajaran konvensional yang dilakukan monoton dan membosankan sehingga para siswa menjadi kurang antusias, cenderung pasif, dan kurang tertarik dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu dalam pembelajaran guru juga tidak menggunakan media yang menarik. Hal inilah yang menyebabkan hasil belajar yang dicapai siswa cenderung rendah. Kenyataannya di lapangan, guru merasa kesulitan dalam menerapkan metode pembelajaran yang tepat untuk mata pelajaran geografi karena guru sudah terbiasa dengan metode ceramah yang dirasa paling mudah dilaksanakan.
Selain dari faktor guru, rendahnya hasil belajar siswa juga dapat disebabkan karena faktor dari siswa, salah satunya yaitu minat belajar. Pada saat pelajaran geografi berlangsung siswa cenderung pasif di dalam kelas, hanya beberapa siswa yang terlihat mencatat penjelasan guru, sedikit yang mempunyai buku literatur, dan sedikit siswa yang bertanya. Hal ini menunjukkankan bahwa siswa kurang berminat dalam mengikuti pelajaran geografi. Kurangnya minat siswa terhadap pelajaran geografi dapat menyebabkan hasil belajar siswa kurang maksimal dan ketidaktertarikan siswa terhadap pelajaran yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003: 57) yang mengemukakan:
"Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya karena tidak ada daya tarik baginya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu."
Reber dalam Syah (1995:136) menyatakan bahwa minat banyak bergantung pada faktor-faktor internal seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Minat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Misalnya seorang siswa menaruh perhatian besar terhadap mata pelajaran geografi akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian karena pemusatan perhatiannya lebih intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan perbaikan terhadap strategi pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran yang digunakan guru, yaitu dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu dari banyak model pembelajaran yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif lebih melibatkan siswa secara langsung untuk aktif dalam pembelajaran. Jadi dengan diterapkannya model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa terhadap pelajaran geografi.
Berdasarkan informasi dari guru, siswa menganggap bahwa materi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi merupakan materi yang sulit untuk dipelajari dan dipahami. Guru juga merasa kesulitan dalam menyampaikan materi karena keterbatasan waktu dan banyaknya materi yang tercakup dalam KD tersebut yang meliputi siklus hidrologi, berbagai macam perairan darat, dan perairan laut. Luasnya cakupan materi tersebut dengan hanya diterapkan metode ceramah saja menjadikan siswa sangat sulit memahami materi tersebut. Hal ini ditunjukkan pula dengan perolehan nilai siswa pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi yang cenderung rendah dari tahun ke tahun dan lebih rendah pula dibandingkan dengan KD lain pada semester genap.
Apabila dibandingkan dengan Kompetensi Dasar lain pada semester genap, nilai rata-rata siswa pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi juga lebih rendah pada tahun XXXX.
Dari data tersebut menunjukkan masih rendahnya hasil belajar siswa SMAN X pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi. Oleh karena itu perlu diadakan suatu penerapan metode pembelajaran baru untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada Kompetensi Dasar tersebut.
Berdasarkan nilai ulangan pada mid semester genap tersebut menunjukkan bahwa kelas X mempunyai nilai rata-rata kelas yang paling rendah dibanding dengan kelas lain. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan pada kelas X.
Di dalam pembelajaran kooperatif dikenal berbagai metode pembelajaran salah satunya adalah metode Numbered Heads Together (NHT). NHT merupakan pendekatan struktur informal dalam cooperative learning. NHT merupakan struktur sederhana dan terdiri atas 4 tahap yaitu Penomoran (numbering), Mengajukan Pertanyaan (Questioning), Berpikir Bersama (Heads Together), dan Menjawab (Answering) yang digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi para siswa.
Prinsipnya metode ini membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil, dan setiap siswa dalam kelompok akan mendapatkan nomor, nomor inilah yang digunakan sebagai patokan guru dalam menunjuk siswa untuk mengerjakan tugasnya. Selain itu pembagian kelompok juga dimaksudkan agar setiap siswa dapat bertukar pikiran dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ditugaskan oleh guru secara bersama-sama sehingga diharapkan setiap siswa akan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Metode ini berupaya meningkatkan aktivitas siswa untuk aktif dalam belajar secara kelompok, sehingga akan menimbulkan minat dan motivasi yang tinggi dalam belajar baik secara individu maupun kelompok.
Penerapan metode NHT ini sesuai dengan karakteristik pada KD Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi karena dengan melakukan diskusi siswa dapat bertukar pikiran mengenai materi yang dipelajari, sehingga siswa tidak diibaratkan sebagai botol kosong yang kemudian diisi oleh guru. Dengan metode ini semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk melaporkan hasil diskusi, sehingga semua anggota kelompok dituntut untuk memahami materi yang dipelajari. Metode NHT menuntut siswa untuk berdiskusi dengan sungguh-sungguh, tidak hanya mengandalkan pada siswa yang pandai, sehingga memungkinkan siswa untuk memahami materi dan hasil belajar siswa meningkat.
Dalam upaya peningkatan minat dan hasil belajar siswa tersebut, maka perlu dilaksanakan tindakan perbaikan berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran geografi, khususnya pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi. Dengan perumusan judul penelitian sebagai berikut: "Penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) untuk Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Geografi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X Tahun XXXX/XXXX"

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan minat belajar geografi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X tahun ajaran XXXX/XXXX?
2. Apakah penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar geografi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X tahun ajaran XXXX/XXXX?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peningkatan minat belajar Geografi dengan menerapkan Metode Numbered Heads Together (NHT) pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X Tahun XXXX/XXXX.
2. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar Geografi dengan menerapkan Metode Numbered Heads Together (NHT) pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X Tahun XXXX/XXXX.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dalam dunia pendidikan mengenai penerapan pembelajaran kooperatif dengan Metode Numbered Heads Together (NHT) untuk peningkatan minat dan hasil belajar siswa mata pelajaran geografi terutama pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi.
b. Sebagai acuan pembelajaran yang inovatif dan mendukung teori pembelajaran kooperatif.
c. Menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi peneliti di masa yang akan datang di bidang dan permasalahan yang sejenis atau bersangkutan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Mendapatkan kemudahan dalam belajar dan lebih mudah memahami materi geografi yang disampaikan oleh guru.
2) Meningkatkan minat dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran geografi.
b. Bagi Guru
1) Sebagai masukan bagi guru geografi dalam menentukan metode mengajar yang tepat sesuai dengan materi yang bersangkutan, dalam rangka peningkatan minat dan hasil belajar siswa.
2) Meningkatkan kemampuan guru dalam mengembangkan pembelajaran.
3) Mengatasi kendala yang dihadapi guru dalam pembelajaran geografi.
c. Bagi Peneliti
1) Menerapkan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah khususnya yang bersangkutan dengan pendidikan.
2) Mendapatkan pengalaman langsung dalam penerapan metode Metode Numbered Heads Together (NHT) khususnya pada kompetensi dasar menganalisis hidrosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi.
3) Mendapat bekal tambahan sebagai mahasiswa dan calon guru geografi sehingga siap melaksanakan tugas di lapangan.
SKRIPSI PTK THE USE OF TEXT BASED TASK TO IMPROVE STUDENTS LISTENING ABILITY

SKRIPSI PTK THE USE OF TEXT BASED TASK TO IMPROVE STUDENTS LISTENING ABILITY

(KODE PTK-0054) : SKRIPSI PTK THE USE OF TEXT BASED TASK TO IMPROVE STUDENTS LISTENING ABILITY (MATA PELAJARAN : BAHASA INGGRIS) – (SMP KELAS VIII)




CHAPTER I
INTRODUCTION

A. Background of the Study
In the process of teaching and learning English, students' ability in mastering the four language skills becomes an important goal. These will involve receptive skills; listening skill (understanding the spoken language), reading skill (understanding written language) and productive skills; speaking skill (producing spoken language) and writing skill (producing written language). Unfortunately, most of Indonesia education institutions in which English is one of first foreign languages have concerned with the teaching of written language. In fact, mastering spoken language is very important in communication. In order to master the spoken language, we must be able to speak and we must be able to listen to spoken language.
In language classroom, listening tends to be neglected; many language educators assume that listening is automatically acquired while the learners learn to speak a language. Rost states that unlike speaking, however, through which we can record a child's first words and even measure the fluency of a person's contribution to a conversation, listening is less directly observed and less noticeable in both its development and its everyday use (1994:1). However, students need to learn how to listen to improve their listening ability.
Listening is very important in language learning, students understand the content of spoken language by listening. The relationship between listening and language learning is that language learning depends on listening. Listening provides the aural input that serves as the basis for language acquisition and enables learners to interact in spoken language. Rost (1994: 148) states that teaching listening is an important part of second language teaching. Most teaching methodologies emphasize the role of listening in language learning.
Listening is not a simple process. In order to understand the content of spoken language, students require some of listening skills. Nunan describes listening as follows:
In relation to listening, learners need skills in segmenting the stream of speech into meaningful words and phrases: the ability to recognise words, phrases and words classes: ways of relating incoming message to one's own background knowledge, and identifying the rhetorical and functional intent of an utterance or parts of an aural text: skills in interpreting rhythm, stress and intonation to identify information focus and emotional/attitudinal tone: the ability to extract the gist/or essential information from longer aural texts without necessarily understanding every word (1998:6).
In line with Rost (1994:136-137) states that understanding how listening ability develops requires a comprehensive view of what it means to improve. Listening involves psychological skills, such as recognizing between sounds, parsing speech into constituent parts and processing the discourse in term of cohesion, logic and relevant underlying schemas. Rost (1994:148) also says that listening can be taught as component skills. Specific learning activities can be designed which target specific skills. Furthermore, students' listening ability can be improved by developing their listening skill.
Teaching listening of foreign language is the most difficult one. Foreign language students do not have native speakers' competence in using their background knowledge and for recognizing words or grammatical characteristic of spoken language easily. Listening is also more difficult than reading, a reader can cast an eye back over misunderstood phrase, but the listener gets no second time. English is a compulsory subject in Indonesia, which must be taught starting from Junior High School level until University level involving the teaching of listening. The problems which are faced by students in learning listening may be caused by many factors, such as teacher, students, teaching technique and teaching material.
This research focuses on the listening problems as experienced by the eighth grade students of SMPN X. Based on Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) in teaching listening at the eighth grade students of SMP, the students are expected to be able to: 1) understand the meaning of a simple transactional and interpersonal dialogue, 2) understand the meaning of a functional and short simple monologue spoken text in the form of descriptive, narrative, recount, procedure, and report text related to surrounding environment.
In the real condition, the students have lack of listening ability in understanding the content of spoken text. This problem is indicated as follows: 1) the students are difficult to recognize the words and grammatical characteristic of spoken text, 2) the students are difficult to catch the clues information of spoken text, 3) the students are difficult to infer the speaker's intention or meaning, 4) the students are difficult to do the listening task and 5) Most of the students are still confused with the purpose of their listening activity. In addition, the classroom situation is not live during the teaching and learning process, it is shown as follows: 1) Most of the students do not active in answering the teacher's questions, 2) most of the students do not try to ask the teacher about their difficulties in listening, 3) Some of the students just listen to the teacher without doing the listening task, 4) Some of the students are busy in talking to their friends and 5) the students seem to be bored in doing the listening activity.
Those problems are caused by: the lack of the students' vocabularies and grammar, the low of the students' listening strategy; they try to understand the content of spoken language word by word, rather than try to link what they hear with their previous knowledge or try to find clue information, and the difficulties of the listening tasks. Besides, the teaching technique and teaching material are the main factors causing the lack of the students' listening ability. The technique which is used by the teacher is reading the text twice or three times and followed by several questions, rather than gives specific task to the students before listening. It makes the students confused with their listening purpose. The teacher hardly ever uses recorded material in listening that makes the students bored and very difficult to listen to the English of native speakers.
To overcome these problems, the English teacher and I would like to conduct an action research study by using text-based task (TBT). In TBT, students process the text based on the listening task given. Willis gives the term 'text-based task' to design communicative tasks based on reading and listening text or video extracts (1998:67).Text-based tasks also bring efficient listening strategies, strategies to comprehend the content from detail linguistic components and from students' background knowledge. This is argued by Willis (1998:75) who states:
All text based-tasks aim to encourage natural and efficient reading/listening/viewing strategies, focusing initially on retrieval of sufficient relevant meaning for the purpose of the task. This will entail both holistic processing, i.e. gaining an overall impression, and picking up detailed linguistics clues: a combination of what are commonly called 'top-down' and 'bottom-up' processes.
Task is used as a means of delivering teaching materials to students and to create enjoyable classroom environment by engaging students in the learning process through the use of task. According to Willis (1998:40), states that language learners need variety and security. A wide range of topics, texts and task types gives learners variety. A framework with three distinction phases; pre-task, task cycle and language focus also gives them a sense of security. Language focus phase after the task cycle makes students to begin to worry less about new language they meet during the task cycle because they know they will have a chance to explore it later. Willis (1998:83) also explains that the aims of text-based tasks are to provide a wide repertoire of task types and designs based on written and spoken texts and require learners to apply their real-world knowledge and experience to assign meaning to what they see, hear or read.
The research uses recorded text by fluent or native speakers to give variety in teaching listening and to introduce the natural characteristics of spoken text to students. Cross (1995:250) argues that through recording, the class can be offered the chance to hear naturally spoken English, with elisions, linked consonants, weakened vowels and all the hesitations, false starts and imperfections of unplanned speech. In line with Rost (1996:160) states that many language educators, (e.g. Besse, et al) point out that there is a great advantage in using pre-recorded texts of native speaker conversations and native speakers oriented programmes in the classroom because of the genuiness they provide.
Moreover Morton (1999:177) states that the use of authentic texts enable students to study 'real' English instead of the English contrived by teachers. Authentic texts are thought to motivate students because they are derived from the ultimate goal of students' studies-English as used by native speakers. Therefore, recorded text can motivate students and they get a challenge to attempt to understand language as it as actually used by native speakers.
Based on the descriptions above, I am inspired to conduct an action research study at the 8th grade students of SMPN X. Through action research, the teacher and I can observe the students' problems, monitor the students' listening ability improvement by the action research's cycle, and make some reflections to be implemented for further practice. Wallace states that action research involves the collection and analysis of data related to some aspect of our professional practice. This is done so we can reflect on what we have discovered and apply it to our professional action (1999: 16-17). This study aimed at the improvement of the students' listening ability and at the improvement of the classroom listening situation using Text-Based Task.

B. The Problem Statements
The problems of this research can be formulated as follows:
1. Does and to what extent the use of Text-Based Task improve the students' listening ability at the 8th grade students of SMPN X?
2. How is the classroom situation when Text-Based Task is implemented in the listening class?

C. The Objectives of the Study
This study has some objectives which include:
1. To identify the improvement of the students' listening ability during and after implementing Text-Based Task at the 8th grade students of SMPN X.
2. To identify the classroom situation when Text-Based Task is implemented in the listening class.

D. The Benefits of the Study
This research is expected to be able to give some benefits for the students, the teacher, the school and me myself.
Through Text-Based Task, students become more purposeful in their listening activity, they know what they have to do because of the task appearance before listening. The function of integrated bottom-up and top-down strategies in TBT to process the text helps students to link what they heard and what they have known in listening text. The use of text recorded by the native speakers introduces the natural characteristic of English speech and to motivate students in listening as it as actually used by native speakers.
By this research, it is expected that the teacher can choose appropriate listening technique in improving students' listening ability. Moreover, the school where the research is conducted get the beneficial contribution of the use of Text-Based Task to overcome the students' problems in learning listening. The result of the study will also give a great experience to me myself to increase my knowledge about TBT and about listening. For English Department of X University and other researchers, the result of the study provides information to lead further study about listening and about action research.
SKRIPSI PTK IMPROVING STUDENTS READING COMPREHENSION ON NARRATIVE TEXT USING NARRATIVE VIDEO

SKRIPSI PTK IMPROVING STUDENTS READING COMPREHENSION ON NARRATIVE TEXT USING NARRATIVE VIDEO

(KODE PTK-0053) : SKRIPSI PTK IMPROVING STUDENTS READING COMPREHENSION ON NARRATIVE TEXT USING NARRATIVE VIDEO (MATA PELAJARAN : BAHASA INGGRIS) – (SMA KELAS X)




CHAPTER I
INTRODUCTION


A. Background of the Study
As an International language, English is very important in our daily life. Most electronic tools use English in their instructions, such as computer, rice cooker, washing machine, et cetera. It is very dangerous if those tools are used without its instruction being read. If someone wants to communicate with people from other countries, he should master English well. It is because English is the language used in international communication. So, it is very important for people to learn English.
Nowadays, English is one of the subjects that is taught since in the elementary school until university and examined in the national examination to determine the students' graduation. The provision that English is examined in the final examination is stated in Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tahun XXXX pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 as follow:
(1) Mata pelajaran UN SMA/MA Program IP A, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi.
(2) Mata pelajaran UN SMA/MA Program IPS, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi
(3) Mata pelajaran UN SMA/MA Program Bahasa, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya/Antropologi, dan Sastra Indonesia.
There are four main skills in English: those are reading, listening, speaking, and writing. Reading and listening are called receptive skill, in which people need the ability to receive written or spoken language when they do it.
While speaking and writing are called productive skill because when people do it, they need the ability to produce written or spoken language (Harmer, 1998: 44).
Reading, which belongs to receptive skill, can be defined as a process whereby one looks at and understands what has been written (Williams, 1999: 2). It means that, when someone reads, he looks at something written and tries to get the meaning to understand it. Reading can also be described as a mental or cognitive process which involves a reader in trying to follow and respond to a message from a writer, who is in distant space and time (Davies, 1995: 1). It means that reading activity connects the reader and the writer although they are in different time and place; for example reading an ancient book, reading personal letter, et cetera.
The reason for teaching reading to the students is because it belongs to the basic language skills in English, just as important as speaking, listening, and writing. Besides, reading is closely related with other subjects. Most of the materials given by the teacher (in English or other subjects) are presented in written form, for example in handbook, handout, et cetera. It means that to understand the materials, the students must have the ability to look at and get the meaning of written text, that is called reading skill. Because of that, reading is very important to be taught to the students.
According to the researcher's observation, the students' reading skill of SMAN X was still low. They still had difficulties in understanding the text. The texts which were taught in the first grade of Senior High School were descriptive, news item, and narrative. Based on the observation in the classroom and the interview with the teacher and the students, the researcher found that they had difficulties in narrative text. They had difficulties in understanding the characteristics of the text including the social function, generic structure, and language feature. The generic structure includes finding detail information and determining the parts of the text. While, the language feature includes vocabulary, finding references, and understanding the tenses.
The students' difficulties in reading were caused by some factors that might come from the students and the teacher. Most of the students admitted that they often felt bored when they had to read a text, especially a long and uninteresting topic text. In the class, some students were sometimes seemed to lean over their head on the table and talk each other. They just paid attention to the teacher when they did exercises but if the time given to do it was too long, they began to be noisy again. When they read a long text, they were not so interested because they often did not understand the meaning of the words used in the text. It was difficult for them to understand the content of the text. However, they were reluctant to bring the dictionary. They just waited until the teacher explained it for them or asked them about the difficult words. Besides, there were some problems that came from the teacher. Actually, the teacher's way in explaining the materials was clear enough but she was too rivet on the textbook. She usually taught using conventional way by staying in class and doing the exercises on the handbook. She used various techniques and media in teaching rarely. So, the students felt that English lesson was boring. All of those factors made the students to have low motivation in learning English, especially reading.
To improve the students' motivation in learning, the teacher must use interesting teaching strategy. Sudiardjo and Siregar, in their article entitled "Media Pembelajaran Sebagai Pilihan dalam Strategi Pembelajaran" define learning strategy as:
"...suatu kondisi yang diciptakan oleh instruktur dengan sengaja (seperti metode, sarana, prasarana, materi, media dan sebagainya), agar siswa difasilitasi (dipermudah) dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan" (Prawiradilaga and Siregar 2004: 4). If the teacher can make the condition that stimulates the students to learn, it will make easier for them to receive the material, so the goal of the teaching will be achieved. As stated in the teaching strategy's definition above, media is one of the ways to facilitate the students to learn. Related to the use of media in teaching, Arsyad states that "Media pembelajaran secara umum adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar " (2005: 4). Teaching media is a concrete thing that can be used by the teacher to convey the material, for example picture, cassette, video, tape recorder, television, computer, internet, et cetera. Media can be used as AVA (Audio Visual Aids) to give concrete experiences to the students, so the teacher's explanation will not be abstract. It can also be used as communication tools to connect the students with the material, so they can receive the material easier (Prawiradilaga and Siregar, 2004: 6).
Related to video, Sadiman states that the message presented in the video can be a fact or fictitious, can be informative, educative, or instructive (1993: 76). Video can catch the students' attention easily. It is informative, it means that much information from many experts in this world can be recorded in video tape, so it can be received by the students everywhere they are. Video is also educative and instructive; it means that the message of the video can give concrete experiences to the students, so they can apply it in their daily life. By video, the teacher can prepare the difficult demonstrations before, so she/he is able to concern on his presentation. The teacher can also present the dangerous object that cannot be brought into the class (Sadiman, dkk, 1993: 76-77).
Based on the benefits of video in learning, it is expected that through video, the students can be interested and motivated in learning English, especially reading. In this case, the researcher intends to use narrative video because this research is focused on reading narrative text. The writer hopes that by using narrative video, it will give the visualization to the students about the contents of the narrative text, so they can understand it easier.
Based on the problems and the proposed solution above, the writer is interested in conducting an action research entitled "Improving Students' Reading Comprehension on Narrative Text Using Narrative Video (An Action Research at Tenth-Year of SMAN X in Academic Year XXXX/XXXX)".

B. Problem Formulation
Considering the background of the study above, the writer can formulate the problems as follows:
1. Can the use of narrative video improve the students' comprehension on narrative texts of tenth year students of SMAN X?
2. What happens when narrative video is applied in teaching narrative for reading?

C. Objective of the Study
Based on the problem formulations above, the objectives of this research are:
1. To know whether the use of narrative video can improve the students' narrative text mastery of the tenth year of SMAN X.
2. To describe what happen when narrative video is applied in teaching narrative reading.

D. Benefit of the Study
If this research gives positive result, it is expected that the result is able to give some benefits for students, teachers, and other researchers.
1. For the students, it is expected that this technique will help them improve their reading skill. The students will be able to:
- Understand the vocabularies used in the text by looking at its context
- Understand the main idea of the text by skimming
- Understand the detail information of the text by scanning
- Understand the goal, the parts, and the language features of narrative text
2. For the teachers, it is expected that the result of this research will give them a reference in their teaching so they can apply video in improving the students' reading skill.
3. For other researcher, it is expected that the result of this research will help them in finding references or resources for further research.