Search This Blog

Showing posts with label tayangan televisi. Show all posts
Showing posts with label tayangan televisi. Show all posts

SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0085) : SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi informasi sekarang ini, Indonesia diramaikan oleh hadirnya beberapa televisi swasta seperti AN-TV, INDOSIAR, TRANSTV, MNC TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), TV-Global, TV ONE, TRANS7, Metro-TV, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sudah lebih lama beroperasi. Apabila sampai akhir dekade 80-an masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan mau tidak mau, suka tidak suka hanya TVRI, saat ini masyarakat lebih leluasa memindah saluran yang satu ke saluran yang lain sesuai dengan acara yang dinikmati. Semua televisi swasta tersebut berusaha menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya dan dapat menempati porsi tertinggi. Hal ini berarti masuknya dana meliputi iklan yang menopang dari televisi tersebut. Dalam situasi demikian sudah tentu televisi harus menyiarkan hal-hal atau film-film import, meskipun porsinya mulai dikurangi, tetapi tidak mungkin atau belum berhasil seluruhnya.
Kekhawatiran muncul karena diduga akan menjadi muntahan acara dari luar negeri tersebut, sebab isinya tidak sesuai dengan budaya, kepribadian bahkan falsafat bangsa Indonesia. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak semua keliru, karena pada kenyataannya masyarakat tidak bisa menolak masuknya segala hal yang “berbau” asing. Bahkan tidak hanya dalam bidang komunikasi, tetapi dalam hal mode busana, rambut dan makanan alternatif sama dengan yang ada di luar negeri.
Dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia (bandingkan dengan jaman dahulu) dengan berbagai macam acara yang lebih mengutamakan hiburan (kecuali TVRI), tentu membawa konsekuensi semakin berat bagi pemirsa, khususnya orang yang sudah tua harus mulai mengarahkan anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil teknologi tersebut. Kondisi ini menantang para orang tua untuk lebih selektif dan berkompromi dengan anak-anaknya untuk menyaksikan tayangan yang patut dinikmati dan acara yang seharusnya tidak dilihat oleh anak. Apalagi usia anak-anak merupakan usia yang strategis dan lebih mudah terkena pengaruh, baik dari lingkungan dengan kontak langsung maupun media elektronik.
Penelitian pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial (52%) lebih banyak dari pada adegan prososial (48%). Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama (share), kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek (B. Gunarto, 1995 : 24).
Tayangan televisi berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak tergantung dari penyesuaian anak, (Hurlock, 1978 : 344), “Anak yang penyesuaiannya baik kurang kemungkinannya terpengaruh secara negatif, apakah permanen atau temporer dibandingkan dengan anak yang buruk penyesuaiannya, dan anak yang sehat dibanding anak yang tidak sehat.”
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap prilaku seseorang telah dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 1995, yang mengatakan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk, bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka dapat dari media semenjak usia anak-anak. Pengaruh sinetron dapat kita saksikan setiap hari, diantaranya banyak anak-anak yang menirukan ucapan-ucapan nakal dari tokoh film animasi 'Shinchan' yang kasar dan jorok. Belum lagi beberapa contoh prilaku negatif lain seperti pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar, dan lain-lain yang dilakukan remaja karena pengaruh tayangan televisi.
Dalam sebuah buku yang berjudul Sex, Violence and The Media diungkapkan bahwa membaca dan melihat tayangan televisi yang berbau seks dan kekerasan dapat berpengaruh kepada perilaku seseorang. Media, televisi, majalah porno, dan juga iklan yang makin hari makin bebas menonjolkan seks dan kekerasan, sangat berpengaruh terhadap penyimpangan seks dan kekerasan di masyarakat, meningkatnya kejahatan, pemerkosaan dan lainnya. Yang paling menarik, dalam buku itu, juga memberikan kesimpulan bahwa mass media sebenarnya berpengaruh terhadap perilaku, penampilan, dan situasi mental para pemirsa dan pembacanya.
Pengaruh yang diingat seseorang melalui membaca ternyata hanya sekitar 15% saja, namun pengaruh terlihat semakin meningkat kalau disertai suara bahkan adegan visual yang ternyata berpengaruh 50% bagi yang menontonnya. Karena itulah televisi sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku penontonnya. Imitasi adalah tingkat pertama pengaruh yang kelihatan jelas, dimana pemirsa melihat secara berulang-ulang perilaku tokoh idolanya dan cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa dimaklumi karena salah satu perkembangan perilaku seseorang dihasilkan dari contoh mereka yang lebih dewasa, orang tua, keluarga, guru, bahkan orang lain yang menjadi idola.
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta tayangan televisi sangat besar dalam perkembangan anak, terkhusus lagi terhadap pola pikir, sikap dan perilaku anak di sekolah. Dikhususkan pada anak usia 2-7 tahun (menurut konsep kognisi Piaget) dimana anak mengalami perkembangan pesat dalam bahasa, dan hanya bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Apabila anak pada usia ini selalu mendapatkan teman yang berupa tayangan televisi, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Mereka sedikit banyak akan meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi tersebut. Menurut APA, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak bukti menunjukan bahwa tayangan televisi khususnya tayangan kekerasan dapat menyebabkan perilaku agresif, desensitisasi terhadap kekerasan, mimpi buruk, dan takut dirugikan. Menonton tayangan kekerasan juga dapat menyebabkan penontonnya kurang memiliki empati terhadap orang lain. Maka dari itu, apabila anak- anak terlalu sering didampingi oleh tayangan televisi, akan ada kemungkinan nantinya anak tersebut tidak sengaja menonton tayangan kekerasan tersebut. Disinilah diperlukan peran serta orang tua dan guru, yang mana sebelumnya sudah dikatakan bahwa guru dan orang tua merupakan pembimbing si anak dalam memanfaatkan tayangan yang ada di televisi tersebut.
Dikutip dari artikel Ningsih (2009), dibawah ini dicantumkan data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia : 
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam x 7 hari = 168 jam.
4. 40% waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Anak-anak dan televisi merupakan dua hal yang agak sulit untuk pisahkan, menurut Cooney (dikutip dalam Yonathan, 2010), anak-anak dan televisi adalah suatu perpaduan yang sangat kuat yang diketahui orangtua, pendidik, dan pemasang iklan. Televisi juga merupakan suatu alat yang melebihi budaya dalam mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak. Televisi dapat membantu anak mengetahui hak-hak dan kewajiban anak sebagai warga negara yang baik dan bisa membangkitkan semangat anak untuk melibatkan diri dalam perbaikan lingkungan masyarakat, yang disertai oleh panduan orang tua (Chen, 1996). Singkat kata, sedikit banyak tayangan televisi dapat mempengaruhi cara pikir serta sikap dan perilaku anak.
Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK”.
SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0067) : SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi informasi sekarang ini, Indonesia diramaikan oleh hadirnya beberapa televisi swasta seperti AN-TV, INDOSIAR, TRANSTV, MNC TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), TV-Global, TV ONE, TRANS7, Metro-TV, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sudah lebih lama beroperasi, sedangkan untuk X (Jawa Tengah) masih ada TV swasta yaitu Borobudur-TV dan Pro-TV. Apabila sampai akhir dekade 80-an masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan mau tidak mau, suka tidak suka hanya TVRI, saat ini masyarakat lebih leluasa memindah saluran yang satu ke saluran yang lain sesuai dengan acara yang dinikmati. Semua televisi swasta tersebut berusaha menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya dan dapat menempati porsi tertinggi. Hal ini berarti masuknya dana meliputi iklan yang menopang dari televisi tersebut. Dalam situasi demikian sudah tentu televisi harus menyiarkan hal-hal atau film-film import, meskipun porsinya mulai dikurangi, tetapi tidak mungkin atau belum berhasil seluruhnya.
Kekhawatiran muncul karena diduga akan menjadi muntahan acara dari luar negeri tersebut, sebab isinya tidak sesuai dengan budaya, kepribadian bahkan falsafat bangsa Indonesia. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak semua keliru, karena pada kenyataannya masyarakat tidak bisa menolak masuknya segala hal yang "berbau" asing. Bahkan tidak hanya dalam bidang komunikasi, tetapi dalam hal mode busana, rambut dan makanan alternatif sama dengan yang ada di luar negeri.
Dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia (bandingkan dengan jaman dahulu) dengan berbagai macam acara yang lebih mengutamakan hiburan (kecuali TVRI), tentu membawa konsekuensi semakin berat bagi pemirsa, khususnya orang yang sudah tua harus mulai mengarahkan anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil teknologi tersebut. Kondisi ini menantang para orang tua untuk lebih selektif dan berkompromi dengan anak-anaknya untuk menyaksikan tayangan yang patut dinikmati dan acara yang seharusnya tidak dilihat oleh anak. Apalagi usia anak-anak merupakan usia yang strategis dan lebih mudah terkena pengaruh, baik dari lingkungan dengan kontak langsung maupun media elektronik.
Penelitian pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial (52%) lebih banyak dari pada adegan prososial (48%). Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama (share), kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek (B. Gunarto, 1995 : 24).
Tayangan televisi berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak tergantung dari penyesuaian anak, (Hurlock, 1978 : 344), "Anak yang penyesuaiannya baik kurang kemungkinannya terpengaruh secara negatif, apakah permanen atau temporer dibandingkan dengan anak yang buruk penyesuaiannya, dan anak yang sehat dibanding anak yang tidak sehat."
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap prilaku seseorang telah dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 1995, yang mengatakan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk, bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka dapat dari media semenjak usia anak-anak. Pengaruh sinetron dapat kita saksikan setiap hari, diantaranya banyak anak-anak yang menirukan ucapan-ucapan nakal dari tokoh film animasi 'Shinchan' yang kasar dan jorok. Belum lagi beberapa contoh prilaku negatif lain seperti pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar, dan lain-lain yang dilakukan remaja karena pengaruh tayangan televisi.
Dalam sebuah buku yang berjudul Sex Violence and The Media diungkapkan bahwa membaca dan melihat tayangan televisi yang berbau seks dan kekerasan dapat berpengaruh kepada perilaku seseorang. Media, televisi, majalah porno, dan juga iklan yang makin hari makin bebas menonjolkan seks dan kekerasan, sangat berpengaruh terhadap penyimpangan seks dan kekerasan di masyarakat, meningkatnya kejahatan, pemerkosaan dan lainnya. Yang paling menarik, dalam buku itu, juga memberikan kesimpulan bahwa mass media sebenarnya berpengaruh terhadap perilaku, penampilan, dan situasi mental para pemirsa dan pembacanya.
Pengaruh yang diingat seseorang melalui membaca ternyata hanya sekitar 15% saja, namun pengaruh terlihat semakin meningkat kalau disertai suara bahkan adegan visual yang ternyata berpengaruh 50% bagi yang menontonnya. Karena itulah televisi sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku penontonnya. Imitasi adalah tingkat pertama pengaruh yang kelihatan jelas, dimana pemirsa melihat secara berulang-ulang perilaku tokoh idolanya dan cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa dimaklumi karena salah satu perkembangan perilaku seseorang dihasilkan dari contoh mereka yang lebih dewasa, orang tua, keluarga, guru, bahkan orang lain yang menjadi idola.
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta tayangan televisi sangat besar dalam perkembangan anak, terkhusus lagi terhadap pola pikir, sikap dan perilaku anak di sekolah. Dikhususkan pada anak usia 2-7 tahun (menurut konsep kognisi Piaget) dimana anak mengalami perkembangan pesat dalam bahasa, dan hanya bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Apabila anak pada usia ini selalu mendapatkan teman yang berupa tayangan televisi, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Mereka sedikit banyak akan meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi tersebut. 
Menurut APA, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak bukti menunjukan bahwa tayangan televisi khususnya tayangan kekerasan dapat menyebabkan perilaku agresif, desensitisasi terhadap kekerasan, mimpi buruk, dan takut dirugikan. Menonton tayangan kekerasan juga dapat menyebabkan penontonnya kurang memiliki empati terhadap orang lain. Maka dari itu, apabila anak- anak terlalu sering didampingi oleh tayangan televisi, akan ada kemungkinan nantinya anak tersebut tidak sengaja menonton tayangan kekerasan tersebut. Disinilah diperlukan peran serta orang tua dan guru, yang mana sebelumnya sudah dikatakan bahwa guru dan orang tua merupakan pembimbing si anak dalam memanfaatkan tayangan yang ada di televisi tersebut.
Dikutip dari artikel Ningsih (2009), dibawah ini dicantumkan data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia : 
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam X 7 hari = 168 jam.
4. 40% waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Anak-anak dan televisi merupakan dua hal yang agak sulit untuk pisahkan, menurut Cooney (dikutip dalam Yonathan, 2010), anak-anak dan televisi adalah suatu perpaduan yang sangat kuat yang diketahui orangtua, pendidik, dan pemasang iklan. Televisi juga merupakan suatu alat yang melebihi budaya dalam mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak. Televisi dapat membantu anak mengetahui hak-hak dan kewajiban anak sebagai warga negara yang baik dan bisa membangkitkan semangat anak untuk melibatkan diri dalam perbaikan lingkungan masyarakat, yang disertai oleh panduan orang tua (Chen, 1996). Singkat kata, sedikit banyak tayangan televisi dapat mempengaruhi cara pikir serta sikap dan perilaku anak.
Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul : KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan pemilihan judul di atas dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok dalam penelitian ini yaitu : 
1) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
2) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
3) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
4) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
5) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
6) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kita melakukan kegiatan baik secara perorangan maupun secara kelompok, hal yang bisa dipastikan adalah pencapaian tujuan dari kegiatan itu, demikian pula dengan penelitian ini.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
(1) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variable sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(2) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(3) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(4) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X.
(5) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman X.
(6) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X.

D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi khasanah ilmu, terutama bagi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dalam memberikan gambaran jelas tentang pengaruh atau intervensi tayangan televisi terhadap perkembangan perilaku anak. Serta dapat memberikan informasi dan masukan pada teori yang telah ada, terutama berkaitan dengan pengaruh tayangan televisi dengan perkembangan perilaku negatif anak.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini dibagi menjadi 4, yakni untuk : 
(a) Guru
Guru sebagai seorang pendidik seyogyanya mampu memberikan arahan agar siswanya lebih banyak belajar dari pada nonton TV, dengan lebih banyak memberi berbagai tugas belajar di rumah.
(b) Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada orang tua berkaitan dengan tayangan televisi, dan bila memungkinkan agar orang tua berkenan untuk selalu mendampingi anaknya dalam menyaksikan acara atau tayangan televisi.
(c) Peneliti
Sebagai aplikasi antara teori yang diperoleh dari bangku kuliah dengan pengalaman kongkrit di lapangan, dengan demikian penelitian akan memperoleh fakta kesesuaian atau ketidaksesuaian antara teori dan praktek.