Search This Blog

Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts
Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts

SKRIPSI MANAJEMEN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH INKLUSI DI SD

(KODE : PENDPGSD-0018) : SKRIPSI MANAJEMEN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH INKLUSI DI SD

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sebagaimana tertera dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Selain itu, pendidikan termasuk di dalam konsepsi Hak Asasi Manusia, yaitu hak atas pendidikan yang termasuk dalam wilayah hak atas ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, maka siapapun warga Negara dari berbagai budaya, kalangan ekonomi tinggi maupun rendah, baik itu yang terlahir normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Hak untuk mendapatkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tertera dalam UU No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat (2) berbunyi : warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus.
Suparno (2007 : 1-1) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya.
Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) terselenggara di Sekolah Luar Biasa (SLB), namun program tersebut mengalami kendala. Istiningsih (2005 : 12-13) menyatakan bahwa pendidikan bagi anak yang berkelainan diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Lokasi SLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian anak-anak berkelainan, karena faktor ekonomi terpaksa tidak disekolahkan oleh orang tuanya karena lokasi SLB jauh dari rumahnya, sedangkan SD terdekat tidak bersedia menerima karena tidak mampu melayaninya.
Memperhatikan hal tersebut di atas, dan juga guna menghindari adanya diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus, maka muncullah sekolah inklusi yang merupakan model terkini dari model pembelajaran bagi anak luar biasa yang secara formal. Kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada konferensi dunia tentang pendidikan berkelainan pada bulan juni 1994. Misyad (dalam Saputra : 2011) mengemukakan bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Abdurrahman (2003 : 27) menyatakan bahwa tujuan pendidikan tidak selamanya terprogram, terkontrol, dan terukur. Menjadikan anak-anak saling menghargai, menjalin kerjasama, menghargai pikiran dan perasaan orang lain, tenggang rasa adalah beberapa contoh dari tujuan pendidikan yang tidak selamanya terprogram, terkontrol dan terukur. Untuk mencapai tujuan pendidikan semacam itu, sering diperlukan integrasi antara anak-anak luar biasa dengan anak-anak lain pada umumnya atau yang sering disebut 'anak normal'.
Salamanca (1994 : pasal 2) menyatakan bahwa : Sekolah regular dengan orientasi inklusi ini merupakan tempat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih jauh, sekolah tersebut memberikan pendidikan yang efektif kepada sebagian besar anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menjadi sistem pendidikan yang paling ekonomis.
UNESCO (dalam Stubs 2002 : 40 ) mengemukakan bahwa sebuah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusi merupakan sekolah yang memperhatikan pengajaran dan pembelajaran, pencapaian, sikap, dan kesejahteraan setiap anak. Sekolah efektif adalah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusi.
Di dalam sekolah inklusi, anak normal dan anak berkebutuhan khusus belajar di satu kelas. Menurut Smith pendidikan inklusi (2006 : 18) adalah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berlainan.
Rencana Strategis Depdiknas tahun 2010-2014 menyatakan bahwa dalam rangka pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, program pendidikan untuk semua yang inklusi diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal dengan sistem pendidikan terbuka dan demokratis serta berkesetaraan gender agar dapat menjangkau mereka yang berdomisili di tempat terpencil serta mereka yang mempunyai kendala ekonomi dan social. Paradigma ini menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik dan mental untuk mendapatkan pendidikan yang setara.
Menurut survey yang dilakukan penulis, sekolah yang menerapkan sekolah inklusi masih sangat sedikit, hal ini disebabkan karena guru belum mempunyai keterampilan khusus untuk menangani anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Selain itu, manajemen pembelajaran yang diterapkan juga harus memperhatikan kebutuhan siswa secara khusus.
Dari beberapa sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi ini, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang MANAJEMEN PEMBELAJARAN SEKOLAH INKLUSI.
SKRIPSI VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK

SKRIPSI VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK

(KODE : PG-PAUD-0072) : SKRIPSI VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ada suatu ungkapan "seorang guru yang tidak bisa bercerita ibarat orang yang hidup tanpa kepala" betapa tidak, bagi para pengasuh anak-anak (guru, tutor) keahlian bercerita merupakan salah satu kemampuan yang wajib dimiliki. Melalui metode bercerita inilah para pengasuh mampu menularkan pengetahuan dan menanamkan nilai budi luhur pekerti luhur secara efektif, dan anak-anak menerimanya dengan senang hati. Pada saat ini begitu banyak cerita yang tersebar, namun masih jarang tulisan dari para ahli cerita, yang mampu mengarahkan secara khusus untuk ditujukan kepada anak-anak usia dini, sehingga penceritaan yang disampaikan kurang mengena. Apalagi model cerita yang khusus didasarkan pada material kurikulum pengajaran di TPA/KB/RA/BA/TK yang berlaku. Padahal panduan praktis semacam ini sangat dibutuhkan oleh tenaga pendidik di nusantara. Pada umumnya mereka masih terbatas kemampuannya tentang metode bercerita.
Anak Usia Dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan yang pesat. Dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang berharga dibanding usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dengan karakteristik, baik secara fisik, psikis, sosial, dan moral. Anak pada usia dini memiliki kemampuan belajar luar biasa, khususnya pada masa awal kanak-kanak keinginan anak untuk belajar menjadikan anak aktif dan eksploratif. Anak belajar dengan seluruh panca indranya untuk memahami sesuatu dan dalam waktu singkat anak beralih ke hal lain untuk dipelajari. Lingkunganlah yang kadang menjadi penghambat dalam mengembangkan kemampuan belajar anak dan seringkali lingkungan mematikan keinginan anak untuk bereksplorasi.
Masa kanak-kanak merupakan masa paling penting karena merupakan pembentukan kondisi kepribadian yang menentukan pengalaman anak selanjutnya, karakteristik anak usia dini menjadi mutlak dipahami untuk memiliki generasi yang mampu mengembangkan diri secara optimal mengingat pentingnya usia tersebut. Mengembangkan kreatifitas anak memerlukan peran penting pendidikan hal ini secara umum sudah banyak dipahami. Anak kreatif memuaskan rasa ingin tahunya melalui berbagai cara seperti bereksplorasi, bereksperimen dan banyak mengajukan pertanyaan pada orang lain. Suratno (2005 : 19) menjelaskan anak kreatif dan cerdas tidak terbentuk dengan sendirinya. Melainkan perlu pengarahan salah satunya dengan memberi kegiatan yang dapat mengembangkan kreatifitas anak.
Fenomena yang ada selama ini kreatifitas yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya masih rendah. Hal ini dapat diketahui dengan masih banyaknya orang-orang yang belum mampu menghasilkan hasil karya sendiri. Mereka masih meniru karya orang lain. Keadaan tersebut disebabkan karena kurangnya pengembangan kreatifitas sejak usia dini. Anak-anak usia dini pada khususnya TK X juga masih memiliki daya kreatifitas yang rendah. Dari sejumlah 18 anak baru 16,67% yang mampu menyerap pembelajaran.
Permasalahan tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya media pembelajaran kurang menarik, pembelajaran yang hanya menitikberatkan pada membaca dan berhitung saja dan penggunaan metode yang statis sehingga membuat anak bosan dan kurang dapat memunculkan ide kreatifnya. Selain itu penggunaan metode bercerita kurang optimal ditetapkan diterapkan di TK X. Kegiatan yang biasa dilakukan untuk mengembangkan kreatifitas antara lain dengan musik, mengunjungi pameran, olah raga, bercerita dan lain-lain.
Bercerita dengan buku cerita adalah sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan di TK X untuk mengembangkan kreatifitas anak. Buku cerita sangat disenangi hampir semua anak apalagi kalau buku cerita tersebut berupa cerita ilustrasi bagus dengan sedikit permainan yang melibatkan mereka. Anak-anak akan merasa terlibat dalam petualangan dan konflik-konflik yang dialami karakter-karakter didalamnya, sehingga membaca pun akan semakin menyenangkan. Permainan adalah kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Permainan merupakan kesibukan yang dipilih sendiri tanpa ada paksaan, tanpa didesak olah rasa tanggungjawab. Anak-anak suka bermain karena di dalam diri mereka terdapat dorongan batin dan dorongan mengembangkan diri.
Pengalaman yang dialami anak usia dini berpengaruh kuat terhadap kehidupan selanjutnya, pengalaman tersebut akan bertahan lama tidak terhapus hanya tertutupi, suatu saat jika ada rangsangan terhadap stimulan pengalaman hidup yang pernah dialami maka efek tersebut akan muncul lagi, dalam bentuk yang berbeda. Kreatifitas anak yang tinggi akan mendorong anak belajar dan berkarya lebih banyak sehingga suatu hari mereka dapat menciptakan hal-hal baru di luar dugaan kita. Bercerita menjadi stimulasi yang berdampak positif bagi perkembangan kreatifitas anak. Anak terbiasa berkonsentrasi pada suatu topik, berani mengembangkan kreasinya, merangsang anak untuk berfikir secara imajinasi serta bertambah perbendaharaan kata baru.
Kenyataan di lapangan bahwa kegiatan bercerita masih belum mampu mengembangkan kreatifitas anak di TK X. Guru masih menggunakan buku yang sama dalam bercerita sehingga anak merasa bosan dan tidak tertarik dengan materi yang disampaikan. Mengingat hal yang dipaparkan diatas maka penulis memilih penelitian dengan judul "VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Kreatifitas kurang mendapat perhatian karena sistem pendidikan yang lebih mengembangkan kemampuan akademik seperti membaca dan berhitung.
2. Bercerita dengan buku cerita yang bervariasi belum dilakukan oleh pendidik padahal hal ini bisa menjadi salah satu metode bercerita yang menarik bagi anak.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas maka penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Tema-tema cerita apa saja yang digunakan guru dalam pembelajaran bercerita dengan buku cerita ?
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi guru dalam mengembangkan tema bercerita ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 
1. Mengetahui tema-tema cerita apa saja yang dipergunakan guru dalam pembelajaran dengan menggunakan metode bercerita.
2. Mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi guru dalam pengembangan metode bercerita.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan bagi peneliti tentang bagaimana cerita dapat meningkatkan kreatifitas anak.
2. Manfaat Praktis
a. Mempermudah hal yang dipelajari
b. Mempermudah pelaksanaan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.
c. Meningkatkan mutu TK melalui peningkatan prestasi anak dan kinerja guru.

SKRIPSI TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

SKRIPSI TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

(KODE : PG-PAUD-0071) : SKRIPSI TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi pada anak secara fungsional. Perkembangan anak meliputi beberapa aspek perkembangan. Salah satu aspek yang penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa ini berkaitan dengan perkembangan lainnya (Halida, 2011 : 27).
Perkembangan bahasa memerlukan beberapa kemampuan, yaitu berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan menggunakan bahasa isyarat. Keterampilan berbicara merupakan hal yang paling kodrati dilakukan oleh semua orang, termasuk anak-anak. Keterampilan berbicara selalu dibutuhkan setiap hari mulai kita bangun tidur hingga akan tidur kembali sebagai sarana untuk berkomunikasi.
Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Menurut Hurlock (1978 : 185) belajar berbicara mencakup tiga proses terpisah, tetapi saling berhubungan satu sama lain, yaitu mengucapkan kata, membangun kosakata, dan membentuk kalimat. Kegagalan menguasai salah satunya akan membahayakan keseluruhan pola bicara. Oleh karena itu, Peraturan Menteri No. 58 (2009 : 10) menyebutkan bahwa tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-<6 bahasa="" banyak="" berhitung="" berkomunikasi="" bunyi="" cerita="" dalam="" dan="" dengan="" diperdengarkan.="" dongeng="" gambar="" ide="" kalimat-predikat-keterangan="" kalimat="" kata-kata="" kata="" kelompok="" kompleks="" lain="" lebih="" lengkap="" lingkup="" lisan="" melanjutkan="" meliputi="" membaca="" memiliki="" mengekpresikan="" mengenal="" mengungkapkan="" menjawab="" menulis="" menyebutkan="" menyusun="" orang="" p="" pada="" perbendaharaan="" perkembangan="" persiapan="" pertanyaan="" pokok="" sama="" sebagian="" secara="" sederhana="" serta="" simbol-simbol="" struktur="" tahun="" telah="" untuk="" yang="">
Kemampuan berkomunikasi pada awal masa kanak-kanak masih dalam taraf rendah, sehingga masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan baik (Hurlock, 1990 : 109). Hal ini dapat dilihat berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat anak yang belum mampu mengekspresikan ide pada orang lain. Sebagai contoh, pada saat guru meminta anak maju untuk menceritakan pengalaman anak, anak belum mampu menceritakan secara rinci. Permasalahan ini perlu diatasi melalui peningkatan kemampuan komunikasi pada anak yang dapat dilakukan melalui metode bermain.
Bermain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) diartikan sebagai berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak). Bermain memiliki fungsi memberikan efek positif terhadap perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Montessori, sebagaimana dikutip oleh Sudono dalam buku "Manajemen PAUD" (Suyadi, 2011) bahwa ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, anak yang bermain adalah anak yang menyerap berbagai hal baru di sekitarnya seperti kosakata. Pemilihan jenis permainan yang cocok sesuai dengan perkembangan anak menjadi penting agar pesan edukatif dari permainan dapat ditangkap anak dengan mudah dan menyenangkan. Jenis permainan yang dapat dipilih untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak adalah bermain peran. Hal ini disebabkan pada saat anak memilih peran dan memainkan perannya, kosakata baru yang dimiliki anak bertambah (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Metode bermain peran merupakan pembelajaran yang menyenangkan. Menurut buku Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003 : 41) dalam Maghfiroh (2011) salah satu tujuan dari bermain peran adalah melatih anak berbicara dengan lancar. Berdasarkan pengamatan di lapangan pelaksanaan bermain peran belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari intensitas bermain peran yang masih rendah. Guru memberikan bermain peran hanya pada tema-tema tertentu. Salah satu tema yang biasa digunakan untuk bermain peran adalah tema profesi.
Dilihat dari jenisnya bermain peran terdiri dari bermain peran makro dan bermain peran mikro. Bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerja sama lebih dari 2 orang bahkan lebih khususnya untuk anak usia taman kanak-kanak, sedangkan bermain mikro adalah awal bermain kerja sama dilakukan hanya 2 orang saja bahkan sendiri. Perbedaan konsep antara bermain peran makro dan bermain peran mikro akan memberikan perbedaan tingkat keterampilan berbicara pada anak.
Bermain peran makro dapat melatih kerja sama pada anak dalam kelompok. Dengan adanya kerja sama tersebut akan terjadi interaksi antara anak dengan teman mainnya sehingga dapat menambah kosakata yang dimiliki anak. Sedangkan pada bermain peran mikro dimana bermain peran ini merupakan awal bermain kerja sama, sehingga peluang anak untuk bekerjasama lebih sedikit. Hal ini disebabkan lawan main anak pada bermain peran mikro lebih sedikit dibandingkan pada bermain peran makro yang dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tidak menutup kemungkinan penambahan kosakata melalui bermain peran mikro lebih sedikit.
Anak bertindak sebagai dalang dalam bermain peran mikro, sehingga anak merupakan otak penggerak yang menghidupkan alat main untuk memainkan suatu adegan, serta peran-peran dalam skenario main peran (Arriyani & Wismiarti, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada bermain peran mikro anak dapat memainkan lebih dari satu peran. Sedangkan pada bermain peran makro anak hanya memainkan satu peran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan jika dilihat dari kerjasama yang terjadi, bermain peran makro memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Sedangkan dilihat dari segi peran yang dimainkan, bermain peran mikro yang memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smilansky (1968) dalam Arriyani & Wismiarti (2010) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki sedikit pengalaman main peran terlihat mendapatkan kesulitan dalam merangkai kegiatan dan percakapan mereka. Sejalan dengan Smilansky (1968), Levy, et.al. (1992) dalam Shim (2007) mengungkapkan adanya hubungan positif antara bermain pura-pura dengan peningkatan kemampuan bahasa pada anak usia taman kanak-kanak.
Metode bermain peran makro memiliki pengaruh yang baik terhadap kualitas bermain peran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shim (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kuantitas bermain peran adalah rendahnya keterlibatan teman sebaya, kemampuan bahasa anak, serta media yang digunakan. Sejalan dengan Shim, hasil penelitian yang dilakukan Fitriani (2010 : 89) di TK Lab. School UPI bahwa "Terdapat perbedaan secara signifikan antara kosakata bahasa Indonesia pada anak kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diterapkannya metode bermain peran (role play) makro."
Metode bermain peran makro untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halida (2011) bahwa bermain peran makro merupakan metode yang tepat dalam menjembatani anak untuk lebih leluasa dalam berbicara. Hal ini disebabkan dalam melakonkan tokoh dari sebuah cerita, anak dituntut untuk melakukan percakapan dengan lawan mainnya. Hal yang sama diungkapkan oleh Yulia Siska (2011) yang membuktikan bahwa penerapan metode bermain peran makro cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah digunakan dan sangat menarik. Dalam bermain peran makro ini, anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang dipilih untuk diperankan.
Hasil penelitian lain diungkapkan oleh Andresen (2005) bahwa bermain peran makro sebagai bentuk tindakan pada ZPD, termasuk perkembangan bahasa dimana bahasa memegang peranan penting sebagai sarana pembentukan daya khayal anak. Dengan adanya komunikasi yang terjadi secara verbal dalam bermain, anak dapat bertukar ide mengenai maksud dari permainan.
Sejalan dengan pendapat Andresen (2005), hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen (2002) menunjukkan hubungan yang jelas antara keterampilan sosial dan kompetensi bahasa dengan tingginya kualitas daya khayal anak. Sehingga bermain peran makro dimana anak bermain dengan teman sebaya dapat membantu perkembangan bahasa anak. Hal yang sama diungkapkan oleh Anderson (2010) bahwa bermain peran makro dapat memperluas daya imajinasi anak dimana anak menggunakan kosakata baru untuk mengekspresikan cerita yang dimainkan. Anak dapat meningkatkan keterampilan berbicara dengan meniru anak yang lain maupun orang dewasa sebagai modelnya.
Berbeda dengan hasil penelitian mengenai bermain peran makro, hasil penelitian tentang pengaruh bermain peran mikro pada perkembangan bahasa sangat terbatas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li (2012) menunjukkan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dikembangkan melalui pendekatan bermain peran di rumah dimana daya khayal anak secara individual dapat terlihat melalui bermain peran mikro. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Maryatun (2010) yang membuktikan bahwa pemanfaatan wayang damen dapat meningkatkan moral behavior pada anak melalui metode bermain peran mikro. Selain hasil penelitian dari Maryatun, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2012) membuktikan bahwa secara umum keterampilan sosial anak meningkat dengan baik melalui metode bermain peran mikro.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lilis (2012) memperoleh hasil bahwa penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kompetensi dasar komunikasi menggunakan telepon. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI AP 2 SMK N X. Hal ini menunjukkan bahwa bermain peran tidak hanya dapat diterapkan pada anak usia dini, namun dapat diterapkan juga pada anak usia sekolah menengah atas. Dengan demikian bermain peran merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk mendukung perkembangan bahasa.
Penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-kanak X Kota Y yang merupakan TK inti sebagai TK percontohan di kota Y. Dengan demikian berdasarkan hasil survey yang dilakukan, ketersediaan media pembelajaran sudah mencukupi, sedangkan pada TK non Pembina ketersediaan media kurang mencukupi terutama pada area drama.
Model pembelajaran di Taman Kanak-kanak X Kota Y masih menggunakan model area. Model area merupakan model pembelajaran dimana dalam satu hari membuka tiga area, sehingga intensitas bermain drama lebih rendah dibandingkan dengan intensitas bermain drama dengan menggunakan model pembelajaran sentra. Hal ini tidak seimbang dengan ketersediaan media pembelajaran pada area drama yang sudah mencukupi. Dengan demikian penerapan metode bermain drama dalam kegiatan pembelajaran belum maksimal. Jika ditinjau dari segi keterampilan berbicara, anak TK X memiliki keterampilan berbicara yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada laporan perkembangan anak yang menunjukkan bahwa masih terdapat indikator-indikator pada aspek bahasa terutama pada lingkup perkembangan mengungkapkan bahasa yang belum tercapai dengan baik, diantaranya indikator menyebutkan nama orang tua, alamat rumah dengan lengkap; berkomunikasi dengan bahasanya sendiri (sesuai anak); serta bercerita tentang gambar yang disediakan dengan bahasa yang jelas. Oleh karena itu diperlukannya metode pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. Hal ini dapat dilakukan karena TK X terbuka dengan saran dari pihak luar sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti melakukan penelitian di Taman Kanak-kanak X Kota Y.
Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN". Dalam hal ini apakah ada perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, maka dapat dirumuskan permasalahan adakah perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan pengalaman serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penelitian yang berkaitan dengan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi guru
Dari hasil penelitian ini guru dapat : 
1) Mengetahui pentingnya metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak.
2) Menciptakan proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara melalui metode yang tepat bagi anak.
3) Meningkatkan intensitas pelaksanaan bermain peran dalam kegiatan pembelajaran.
c. Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak (TK)
Hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan kualitas proses belajar mengajar melalui metode yang tepat untuk anak usia 5-6 tahun.

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANGTUA MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANGTUA MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK

(KODE : PG-PAUD-0070) : SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANGTUA MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah amanah dari Allah, anak juga menjadi buah hati orang tua, kehadiran seorang anak dapat membahagiakan dan menyenangkan setiap orang, apalagi bila melihat anak itu sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia. Setiap orang tua selalu mendambakan anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat jasmani maupun rohaninya.
Menjadikan anak yang sehat jasmani dan rohaninya, orang tua harus berupaya keras dan selalu memperhatikan pertumbuhannya, dengan memberikan asupan gizi yang baik, menjaga kesehatan tubuh anak dan melindungi dari penyakit, untuk sehat rohaninya orang tua dapat mendidik dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih.
Orang tua menjadi sangat khawatir apabila anak-anaknya sakit, sehingga dengan berbagai upaya dilakukan oleh orang tua agar anaknya sembuh dan menjadi sehat kembali. Diantaranya dengan pergi ke dokter praktek, rumah sakit ataupun puskesmas, selain itu orang tua juga memijatkan anak pada pemijat bayi sebagai alternatif untuk menjaga kesehatan anak.
Studi ini bermaksud mengungkap motivasi orang tua melakukan pijat bayi dan menggunakan jasa pijat bayi. Karena fenomena yang terjadi sampai sekarang, banyak para orang tua bahkan para ibu muda yang melakukan pijat bayi pada putra-putrinya atau menggunakan jasa pijat bayi yang dalam istilah jawa disebut "dadah", atau "ndadahke" (SA. Mangunsuwito dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa) yang artinya memijatkan atau meng-urut kan anak pada orang yang dianggap bisa dan biasa memijat anak bayi maupun balita yang disebut "dukun bayi". Orang tua yang bisa dan mampu memijat bayinya sendiri, melakukannya sendiri tanpa bantuan dukun pijat bayi.
Dari studi awal, peneliti mengajak dialog untuk mendapatkan informasi dari ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok orang tua anak didik pos pendidikan anak usia dini (Pos PAUD) X yang berada di Kelurahan X sebanyak lima belas orang, yang sebagian besar adalah ibu muda yang baru mempunyai anak satu atau dua anak. adapun ibu-ibu tersebut apabila putra-putrinya mengalami tidak enak badan, badannya panas, sering menangis dan gelisah dalam tidurnya maka ibu-ibu tersebut tidak ke dokter dulu namun membawa anaknya ke dukun bayi dulu untuk didadahke (diurut). Setelah anaknya diurut, ibu-ibu muda tersebut merasa tenang karena sang buah hati dapat tidur nyenyak, tidak sering menangis, mau makan dan badannya sudah tidak hangat atau panas lagi.
Hal demikian biasa dilakukan oleh ibu-ibu tersebut, namun tidak menutup kemungkinan ibu-ibu tersebut juga membawa anaknya untuk ke dokter. Apabila setelah dipijat belum ada perubahan, terutama bila suhu badan anak masih juga panas. Kebiasaan orang tua memijat bayinya atau memijatkan bayinya pada dukun pijat bayi, secara turun menurun masih banyak dilakukan oleh para orang tua ataupun keluarga yang mempunyai anak bayi maupun balita. Dengan alasan dan penyebab yang hampir sama.
Disamping itu juga memijat bayi ataupun memijatkan bayinya masih banyak dilakukan karena pijat bayi dapat mengatasi anak yang mengalami keseleo yang disebabkan karena bayi itu banyak gerak, dan kelelahan yang dialami bayi tersebut selama mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan.
Kebiasaan pijat memijat ini sendiri dalam kehidupan masyarakat kita, sebenarnya merupakan tradisi yang sudah dikenal sejak lama. Melalui sentuhan pemijatan terhadap jaringan otot, peredaran darah dapat meningkat makin lancar, ataupun posisi otot dapat dipulihkan dan diperbaiki sehingga dapat meningkatkan fungsi-fungsi organ tubuh dengan sebaik-baiknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hasri Ainun dan Utami Roesli (2008 : 3). Dengan demikian pijat bayi dapat membantu proses tumbuh kembang anak.
Sampai sekarang peneliti melihat masyarakat X yang masih meneruskan budaya dari orang tua terdahulu, yaitu menggunakan pijat bayi dan memijatkan bayinya. Pijat bayi dapat membantu menjaga kesehatan anak dan sebagai alternatif pengobatan dan penyembuhan apabila terjadi sakit ataupun ketidaknyamanan dalam tidur. Pada anak awalnya saat anak tampak gelisah, dan sering menangis, panas pada bagian tangan, kaki dan tengkuk bayi atau balita mereka.
Kota X sebagai kota besar tidak dapat lepas dari budaya atau tradisi "ndadahke" ini. Walaupun Kota X untuk bidang kesehatan sudah menjadi salah satu prioritas penanganan di Kota X yaitu penanganan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Secara umum kebijakan Pemerintah kota X di bidang kesehatan bertujuan untuk membangun, meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat serta untuk meningkatkan harapan hidup dan kualitas sumber daya manusia.
Fenomena di atas tidak berarti bahwa semua orang tua yang mempunyai balita selalu menggunakan jasa pijat bayi atau "ndadahke". Disebabkan karena beberapa alasan yang menurut mereka para orang tua logis dan masuk akal. Diantaranya adalah : 1) Tulang bayi masih lemah dan lunak, belum waktunya untuk dipijat, kasihan anaknya, 2) Ada pengalaman buruk yang terjadi pada anak yang sakit panas dipijat bisa menjadi lumpuh, 3) Biarkan saja tulang bayi tumbuh dan berkembang secara alami.
Namun kasus ini jarang terjadi dan kalaupun terjadi mungkin ada penyebab lain yang belum diketahui. Hal ini tidak menjadi prioritas peneliti karena alasan dan kasus yang muncul dari jasa pijat bayi ini relatif kecil dan tidak menyurutkan kebanyakan orang tua yang masih membutuhkan jasa pijat bayi.
Adapun konteks yang melatari penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut : a. Konteks budaya; b. Konteks layanan kesehatan; c. Konteks kesehatan yang koneksi atau kaitannya dengan tumbuh kembang anak.
Dengan demikian peneliti dapat menggambarkan dan menuliskan apa adanya lebih jauh tentang apa yang menjadi motivasi orang tua menggunakan pijat bayi atau jasa pijat bayi "ndadahke" dan mengapa pijat bayi masih diperlukan dan dibutuhkan serta bagaimana hubungan antara pijat bayi dengan tumbuh kembang anak.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas tentang menggunakan pijat bayi maka peneliti mengangkat judul penelitian : STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANG TUA DALAM MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK.

B. Rumusan Masalah
Fenomena orang tua yang melakukan pijat bayi "dadah" dan menggunakan jasa pijat bayi "ndadahke" adalah bukan hal yang baru. Sampai sekarang masih banyak orang tua yang melakukan serta membutuhkan pijat bayi dan menggunakan jasa pijat bayi pada orang yang disebut "dukun bayi". Karena dukun bayi tersebut dianggap mumpuni dan bisa memberikan pertolongan serta perlindungan baik secara fisik maupun psikis pada Balita.
Masalahnya apa yang menjadi motivasi orang tua menggunakan pijat bayi atau jasa pijat bayi "ndadahke" dan, mengapa pijat bayi masih diperlukan dan dibutuhkan serta bagaimana hubungan antara pijat bayi dengan tumbuh kembang anak. Berdasarkan dari uraian di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 
1. Motivasi apakah yang mendorong orang tua menggunakan jasa pijat bayi, untuk tumbuh kembang anak ?
2. Apa manfaat pijat bayi menurut orang tua yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk : 
1. Mengetahui motivasi yang mendorong orang tua menggunakan jasa pijat bayi.
2. Mengetahui manfaat pijat bayi menurut orang tua, yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak.

D.. Manfaat Penelitian
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi pada orang tua dan praktisi pendidik anak usia dini serta para pemerhati anak, untuk membuktikan kebenaran teori tentang motivasi orang tua menggunakan pijat bayi dan hubungan pijat bayi dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, melalui teori dan pendapat para pakar yang terkait dengan temuan dari penelitian ini.
b. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca maupun peneliti mengenai motivasi orang tua menggunakan jasa pijat bayi dan hubungan pijat bayi dengan perkembangan anak, yang dikaji dari sudut pandang praktisi pendidik anak usia dini sekaligus sebagai praktisi pijat bayi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengetahuan bagi para orang tua. Praktisi pendidik anak usia dini dan para pemerhati yang peduli dengan kesehatan balita. Penelitian ini dapat bermanfaat langsung bagi balita yang sangat membutuhkan perhatian terutama di bidang kesehatan, karena dengan membentuk balita yang sehat maka akan terbentuk pula generasi muda yang sehat pula.

SKRIPSI MODEL PENGASUHAN ANAK DI KEPALA KELUARGA WANITA PADA POSYANDU X

SKRIPSI MODEL PENGASUHAN ANAK DI KEPALA KELUARGA WANITA PADA POSYANDU X

(KODE : PG-PAUD-0069) : SKRIPSI MODEL PENGASUHAN ANAK DI KEPALA KELUARGA WANITA PADA POSYANDU X



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak Usia Dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan dalam usia itu dikatakan sebagai "golden age" (usia emas) yaitu usia yang berharga dibanding usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dengan karakteristik yang khas, baik secara psikis, sosial dan moral. Maka orang tua harus benar-benar memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya, karena orang tua merupakan figure bagi anak dalam keluarga. Teori sistem keluarga lebih menekankan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem yang utuh, di dalamnya terdiri bagian-bagian struktur. Pola organisasi tiap anggota keluarga memainkan peran tertentu. Dalam keluarga, juga terjadi pola interaksi antara anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap pola interaksi sosial anak. (Hurlock, 1978 : 38-39).
Keluarga merupakan agen utama sosialisasi, sekaligus sebagai microsystem yang membangun relasi anak dengan lingkungannya. Keluarga sebagai tempat sosialisasi dapat didefinisikan menurut term klasik. Definisi klasik (struktural-fungsional) tentang keluarga menurut sosiolog George Murdock adalah kelompok sosial yang bercirikan dengan adanya kediaman, kerjasama ekonomi dan reproduksi. Keluarga terdiri dari dua orang dewasa dari jenis kelamin berbeda, setidaknya keduanya memelihara hubungan seksual yang disepakati secara sosial, dan ada satu atau lebih anak-anak yaitu anak kandung atau anak adopsi, dari hasil hubungan seksual secara dewasa.
Pada usia dini stimulasi yang diberikan kepada anak harus optimal karena berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak tersebut. Anak akan merasa bahagia bila didukung oleh kedua orang tua yang utuh dan tinggal dalam satu rumah menjadi keluarga yang bahagia. Ternyata banyak juga orang tua yang tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Pola asuh keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan sosial dan perilaku anak. Jika dalam keluarga orang tua tidak bisa memperhatikan anak kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi yang kurang baik. Sebaliknya jika orang tua memperhatikan perkembangan anak pasti anak akan berkembang sesuai dengan usianya.
Harapan orang tua single parent belum sepenuhnya sesuai dengan kenyataan yang dihadapi meski mereka mengaku sangat menyayangi anaknya karena mereka sendirilah yang mendidik dan mengasuh anak-anak tersebut tanpa bantuan orang lain. Kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh orang tua single parent sangat banyak sehingga belum maksimal dalam mendidik anaknya. Ikatan batin orangtua single parent sangat kuat dengan anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua pada umumnya dengan anak-anak mereka. Para orangtua single parent mendidik dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang lebih daripada orangtua pada umumnya. Sebagai orang tua yang hanya seorang diri mengasuh anaknya, kedekatan psikologis dengan anaknya sangat mempengaruhi pola hubungan mereka. Hal inilah yang biasanya kurang diperhatikan oleh orangtua karir yang mempekerjakan seseorang untuk menjadi pengasuh anak-anaknya ketika mereka sedang pergi bekerja. Pola pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga single parent adalah pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting). Hal-hal yang diajarkan orangtua single parent kepada anak menyangkut kehidupan sehari-hari, antara lain masalah (1) sopan santun, (2) kedisiplinan, (3) pekerjaan sehari-hari, (4) penanaman nilai-nilai keagamaan. (http://henywulandari.blogspot.com/urgensi-penddikan-anak-usia-dini).
Perbedaan pola pengasuhan antara ayah single parent dengan ibu single parent adalah dalam hal pengajaran, ayah single parent kurang sabar dan kurang telaten, sedangkan ibu single parent lebih sabar dan lebih telaten dalam hal pengajaran. Mengenai hukuman dan penghargaan juga berbeda, ayah single parent memberikan hukuman berat, tetapi ibu single parent lebih ringan hukumannya meskipun tujuannya sama yaitu agar anak menjadi disiplin dan bertanggung jawab. Penghargaan yang diberikan pun juga berbeda pula. Bagi ayah single parent, penghargaan yang diberikan sering berupa barang, sedangkan pujian jarang sekali. Berbeda dengan ibu single parent, mereka lebih sering memberikan penghargaan berupa pujian meskipun kadang juga berupa barang. Disamping itu, dalam melakukan pembujukan pun juga berbeda, ayah single parent kurang sabar dalam melakukan pembujukan, sedangkan ibu single parent lebih sabar dan telaten dalam melakukan pembujukan.
Pola pengasuhan anak memiliki varian yang sangat beragam. Berbagai alternatif pola pengasuhan anak dalam implementasinya semestinya disesuaikan dengan kultur keluarga. Dengan demikian, pilihan atas model pengasuhan menjadi bergantung pada setting keluarga. Pola pengasuhan anak pada keluarga dengan kedua orangtua bekerja akan berbeda pada keluarga dengan istri hanya bertindak sebagai ibu rumah tangga. Pola pengasuhan anak harus diambil dengan pola positive parenting. (http://karambiabusuak.blogspot.com).
Keutuhan keluarga sangatlah penting bagi anak-anak yang dibesarkan dari keluarga tersebut. Berbeda halnya dengan anak-anak yang tinggal hanya dengan salah satu orang tuanya saja dan disebut dengan orang tua tunggal (single parent). Anak yang tinggal dengan orang tua tunggal akan berdampak pada perkembangan anak tersebut. Biasanya orang tua tunggal terjadi jika orang tua mengalami perceraian atau salah satu orang tua (ayah atau ibu) meninggal dunia. Sekarang banyak juga orang tua tunggal akibat dari pergaulan bebas dan hamil kemudian tidak ada suaminya itu juga bisa menjadi sebab terjadinya orang tua tunggal. Dengan kejadian itulah anak tinggal dan dibesarkan dengan salah satu orang tua.
Tidak mudah menjadi orang tua tunggal, selain harus membesarkan anaknya sendirian orang tua harus siap menerima resiko dari orang tua, keluarga dengan resiko dikucilkan untuk sementara bahkan selamanya. Belum lagi mejadi bahan pembicaraan oleh teman maupun tetangga. Untuk menjalani ini semua mereka harus memiliki kekuatan hati dan day a juang yang tinggi. Mereka harus berperan ganda selain mencari nafkah mereka juga harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya seorang diri, dan bagaimana harus bisa mengatur waktu buat dirinya sendiri.
Di samping itu selain mendidik dan membesarkan anaknya seorang diri, mereka juga harus kehilangan masa mudanya seperti teman seumuran mereka yang belum mempunyai anak. Waktu mereka hanya dihabiskan untuk bekerja dan mengasuh anaknya. Kebanyakan dari mereka menjadi orang tua tunggal karena bercerai dengan suaminya dan mereka harus membesarkan anak seorang diri. Berpisah pun sang ayah tidak memberikan nafkah. Tidak mudah menjadi orang tua tunggal, mereka harus berjuang keras untuk mendidik dan membesarkan anaknya agar menjadi anak yang bisa dibanggakan orang tua.
Pengaruh orang tua tunggal pada anak yakni anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang optimal dari orang tuanya. Pengasuhan orang tua pun tidak maksimal pada anak, padahal anak usia dini perlu perhatian yang lebih dari orang tuanya. Pengasuhan yang kurang tepat akan berdampak pada perkembangannya pula, sebaiknya orang tua memberikan pengasuhan yang benar-benar dibutuhkan seorang anak untuk kebahagiaan di masa depannya.
Orang tua tunggal biasanya hidupnya masih bergantung pada orang tuanya. Terkadang untuk mengasuhnya diberikan kepada orang tuanya. Mereka biasanya hanya memikirkan bagaimana cara agar bisa mendapatkan nafkah untuk menghidupi anaknya. Terkadang anak lebih patuh sama nenek atau kakeknya daripada sama orang tuanya. Mereka mengasuh anaknya kalau sore hari atau sesudah pulang bekerja.
Dalam pengasuhan orang tua juga harus mengetahui kesehatan dan gizi anaknya. Untuk mengetahui kesehatan dan gizinya orang tua biasanya membawa anaknya ke Posyandu terdekat di desanya khususnya Desa X. Desa X yang terdiri dari 2 Dusun mempunyai tekad yang kuat untuk memajukan masyarakat dengan cara pembangunan fisik dan nonfisik secara swadaya. Demikian juga dengan pembangunan di bidang kesehatan, untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang baik serta masyarakat yang peduli dan tanggap terhadap kesehatan maka telah dikembangkan program Desa Sehat Mandiri (DSM). Dengan pengembangan DSM di Desa X telah terbentuk organisasi kesehatan desa yaitu Forum Kesehatan Desa (FKD).
Posyandu Desa X bukan hanya untuk balita saja tetapi juga untuk kesehatan lansia (lanjut usia). Posyandu di X terbentuk pada tahun 1987 dengan bimbingan dan arahan dari Dinas/Instansi terkait yang tergabung dalam Pokjanal Posyandu baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten. Desa X mempunyai 5 posko posyandu yang masing-masing di setiap RT ada posyandu. Masing-masing pos ada pengurusnya yang mengurusi semua masalah posyandu. Posyandu dilaksanakan setiap satu bulan sekali. Selain itu ada penyuluhan kesehatan dari Dinas Kesehatan (Puskesmas) Desa X.
Harapan orangtua single parent terhadap anaknya sangat besar, sehingga tujuan dari apa yang dilakukan oleh orangtua single parent hanya untuk kesehatan, gizi, dan kebahagiaan anak-anaknya.
Pada kenyataan yang ada masyarakat pedesaan khususnya pada masyarakat petani padi yang hanya memiliki pendapatan tidak lebih dari untuk kebutuhan pokoknya saja, sehingga untuk biaya pendidikan anaknya perlu pertimbangan yang matang. Mungkin bagi petani yang hanya memiliki areal tanah kecil atau sebagai buruh tani, hanya mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah yang relatif murah atau bahkan petani tersebut tidak sanggup untuk menyekolahkan anaknya. Sementara bagi petani padi yang memiliki areal tanah luas, lebih mudah untuk menyekolahkan anaknya dimanapun sang anak memintanya. Bahkan petani tersebut mampu untuk melanjutkan sekolah anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Lain hal pula dengan orang tua yang bekerja sebagai buruh. Mereka mengandalkan penghasilan setiap satu bulan sekali atau satu minggu sekali. Sebagian besar yang orang tuanya bekerja sebagai buruh anaknya mereka titipkan pada kakek atau neneknya. Meski hanya sebagai buruh orang tua menginginkan anaknya mendapat pendidikan yang layak. Biasanya anaknya disekolahkan di sekolah yang dekat dengan rumahnya supaya bisa mengontrol. Dan orang tua harus bisa membagi penghasilannya untuk kebutuhan dan untuk pendidikan anaknya. Orang tua hanya bisa berharap agar bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui "Model Pengasuhan Anak Di Kepala Keluarga Wanita Pada Posyandu Desa X".

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana model-model pengasuhan anak bagi kepala keluarga wanita di Desa X ?
2. Bagaimana perbedaan model pengasuhan antara kepala keluarga sebagai buruh pabrik dan buruh tani ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan model pengasuhan anak bagi keluarga wanita di Desa X
2. Membedakan model pengasuhan antara kepala keluarga sebagai buruh pabrik dan sebagai petani

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dengan tulisan ini diharapkan dapat menambah ilmu dan pengetahuan tentang model-model pengasuhan anak bagi kepala keluarga wanita yang tanpa suami dan dapat mengetahui perbedaan model pengasuhan antara kepala keluarga sebagai buruh pabrik dan sebagai petani.
2. Manfaat Praktis
a. Orang tua, lebih memperhatikan perkembangan anaknya dan dapat memilih pola pengasuhan yang tepat buat anaknya.
b. Pengajar, dapat lebih memahami sikap dan perilaku yang timbul pada anak didiknya akibat pengasuhan orang tua tunggal, sehingga perkembangan anak didik dapat optimal tanpa gangguan.