Search This Blog

Showing posts with label skripsi keperawatan. Show all posts
Showing posts with label skripsi keperawatan. Show all posts
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

(KODE : KEPRAWTN-0080) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesantren atau Pondok Pesantren adalah sekolah Islam berasrama {Islamic boarding school) dan pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Para pelajar pesantren disebut sebagai santri belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok (Ponpes, 2008).
Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan (Ponpes, 2008).
Selama tinggal berpisah dengan orang tua maka santri akan tinggal bersama-sama dengan teman-teman dalam satu asrama, kehidupan berkelompok yang akan dijalani dengan berbagai macam karakteristik para santri dan dalam kehidupan berkelompok masalah yang dihadapi adalah pemeliharaan kebersihan, yaitu kebersihan kulit, kebersihan tangan dan kuku, kebersihan genitalia, kebersihan kaki, kebersihan lingkungan dan kebersihan pakaian (Badri, 2008).
Perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan di pondok pesantren pada umumnya kurang mendapatkan perhatian dari santri (Depkes, 2007). Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren memang berisiko mudah tertular berbagai penyakit kulit, khususnya penyakit skabies. Penularan terjadi bila kebersihan pribadi dan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Faktanya, sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2008). Ditambah lagi dengan perilaku tidak sehat, seperti menggantung pakaian di kamar, tidak membolehkan pakaian santri wanita dijemur di bawah terik matahari, dan saling bertukar pakai benda pribadi, seperti sisir dan handuk (Depkes, 2007)
Hal inilah umumnya menjadi penyebab timbulnya penyakit skabies. Faktor yang mempengaruhi penularan penyakit skabies adalah sosial ekonomi yang rendah, kebersihan perseorangan yang buruk, , perilaku yang tidak mendukung kesehatan, hunian yang padat, tinggal satu kamar, ditambah kebiasaan saling bertukar pakaian, handuk, dan perlengkapan pribadi meningkatkan risiko penularan (Badri, 2008).
Survey yang diperoleh dari pesantren Poliklinik X tiap tahunnya angka kejadian penyakit scabies pada santri tetap terjadi dari tahun ke tahun (Ponpes, 2008). Terdapat kejadian penyakit scabies 85 kasus pada tahun 2006, dan 92 kasus pada tahun 2007, serta 78 kasus pada tahun 2008.
Kejadian penyakit skabies di sebuah pondok pesantren di Jakarta mencapai 78,70%, di kabupaten Pasuruan kejadian penyakit skabies sebesar 66,70% (Depkes, 2000). Kejadian penyakit skabies tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian penyakit skabies di negara berkembang yang hanya 6-27% atau prevalensi penyakit skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% saja (Kuspriyanto, 2002).
Kebanyakan santri yang terkena penyakit skabies adalah santri baru yang belum dapat beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum tahu kehidupan di pesantren membuat mereka luput dari kesehatan, mandi secara bersama-sama, saling tukar pakaian, handuk, dan sebagainya yang dapat menyebabkan tertularnya penyakit skabies (Ponpes, 2008). Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN X".

B. Pertanyaan Penelitian

Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren X.

C. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di pesantren.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Praktisi Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan fakta yang dapat digunakan sebagai informasi tambahan tentang perawatan diri dan dapat mendeteksi lebih dini faktor-faktor terjadinya skabies.
2. Bagi Santri
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para santri dan pengelola pesantren X tentang adanya resiko kejadian skabies dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

(KODE : KEPRAWTN-0079) : SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Yosep, 2007). Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita. Keadaan ini perlu kita sadari sepenuhnya bahwa setiap individu merupakan bagiannya dan keluarga juga semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang berarti (Suprajitno, 2004).
Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami oleh pasien yang dirawat di rumah sakit, kecemasan yang sering terjadi adalah apabila pasien yang dirawat di rumah sakit harus mengalami proses pembedahan. Pembahasan tentang reaksi-reaksi pasien terhadap pembedahan sebagian besar berfokus pada persiapan pembedahan dan proses penyembuhan. Pembedahan adalah tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan, sampai saat ini sebagian besar orang menganggap bahwa semua pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial aktual terhadap integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Long 1990).
Pandangan setiap orang dalam menghadapi pre operasi berbeda, sehingga respon pun berbeda. Setiap menghadapi pre operasi selalu menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada pasien. (Stuart dan Sundeen, 1998). Seseorang yang sangat cemas sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri dengan kecemasan sebelum operasi, seringkali menjadi hambatan pada pasca operasi, pasien menjadi cepat marah, bingung, lebih mudah tersinggung akibat reaksi psikis, dibandingkan dengan orang yang cemas ringan (Long, 1996).
Menurut Brunner & Suddarth (1996) ansietas pre operasi merupakan suatu respons antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya itu sendiri. Pasien yang menghadapi pembedahan dilingkupi oleh ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, tentang anestesia, kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga.
Menurut Friedman (1998), dukungan yang diberikan keluarga untuk mengurangi kecemasan pasien itu sendiri adalah dukungan informasional, dimana keluarga memberikan nasehat, saran, dukungan jasmani maupun rohani. Dukungan emosional juga diberikan keluarga, yang meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Dukungan lainnya adalah dukungan penilaian dan dukungan instrumental.
Pasien dapat mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya pada keluarga dengan mengurangi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dan tidak beralasan, akan mempersiapkan pasien secara emosional. Selain itu, mempersiapkan keluarga terhadap kejadian yang akan dialami pasien dan diharapkan keluarga banyak memberi dukungan pada pasien dalam menghadapi operasi (Anderson dan Masur, 1990).
Dari survey awal yang dilakukan oleh peneliti di ruangan RB2 RS X, peneliti merasa hal ini penting untuk di teliti karena dari data yang diperoleh oleh peneliti di lapangan, masih banyak pasien pre operasi yang merasa cemas saat akan menghadapi operasi karena tidak mendapat dukungan dari keluarga. Untuk itu, dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien yang akan menghadapi operasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka perhatian terhadap hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi perlu ditingkatkan. Apabila dukungan keluarga tidak ada maka akan menyebabkan dampak psikologis terhadap pasien tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk melihat adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai uraian latar belakang tersebut diatas maka akan timbul masalah sebagai berikut : "Adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di ruangan RB 2 rumah sakit X ?"

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden.
b. Mengidentifikasi dukungan keluarga.
c. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi.
d. Mengkaji hubungan dukungan keluarga dan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Pendidikan
Mengoptimalkan fungsi perawat dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami kecemasan, tanpa mengabaikan aspek-aspek psikologis, sehingga profesionalisme perawat dalam bekerja dapat ditingkatkan lagi dan operasi berjalan dengan lancar.
2. Bagi Rumah sakit
Dapat dipakai sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di rumah sakit khususnya pada pasien yang mengalami kecemasan pre operasi.
3. Penelitian Berikutnya
Sebagai sumber data dan informasi bagi pengembangan penelitian berikutnya dalam ruang lingkup yang sama.
SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

(KODE : KEPRAWTN-0078) : SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Soegondo, 2008).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 177 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah India, China dan Amerika Serikat (AS).
Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis (Suyono, 2007).
Hal ini harus mendapat perhatian dari berbagai pihak baik dokter, ahli gizi, perawat, pasien itu sendiri dan keluarga karena diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia dan komplikasi kronik seperti penyakit jantung koroner, retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati (Suyono, 2006).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah yaitu melalui pengaturan menu makanan yang diiringi dengan pengobatan secara medik, olahraga, dan pola hidup sehat (Krisnatuti, 2008). Ditemukan adanya hubungan antara faktor diet dan pola hidup dengan pengendalian diabetes. Gizi khususnya diet (perencanaan makan) diabetes melitus merupakan salah satu pilar utama pengelolaan diabetes melitus (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007). Dengan mempertimbangkan jumlah kebutuhan kalori dan keteraturan makan yang dibutuhkan, tujuan pengaturan menu akan tercapai.
Pengelolaan diet diabetes secara holistik dan mandiri selama hidup melalui edukasi berupa penyuluhan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi akut dan komplikasi kronik yang sering menyebabkan cacat bahkan kematian (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007).
Setelah penderita diberikan penyuluhan diharapkan pengetahuan penderita terhadap penyakitnya dan pengelolaannya meningkat, sehingga diasumsikan penderita memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.
Berdasarkan hasil uraian diatas mendorong peneliti untuk mengetahui. "HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA".

B. Perumusan Masalah

Angka kekerapan diabetes melitus semakin meningkat secara global dari tahun ke tahun, 90% merupakan diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut maupun kronik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah, salah satu pilar penatalaksanaan DM yang utama yaitu melalui terapi diet (perencanaan makan). Pengetahuan yang baik terhadap perencanaan makan sangat diperlukan sehingga diharapkan penderita DM memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini, adalah "Adakah Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Tentang Terapi Diet Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Keterkendalian Kadar Glukosa Darah Puasa".

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan tentang terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) pasien diabetes melitus tipe 2.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tipe 2 tentang terapi diet diabetes.
c. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar glukosa darah puasa.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan kebutuhan kalori terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan keteraturan makan terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai berikut:
1. Bagi penderita, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penderita diabetes melitus tipe 2 mengenai penyakit dan cara pengelolaan terapi diet, sehingga timbul dorongan dari penderita untuk melaksanakan terapi diet.
2. Bagi Institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut khususnya mengenai penyakit diabetes melitus.
3. Bagi puskesmas untuk memberikan masukan perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan pada penderita diabetes melitus tipe 2 dalam peningkatan kualitas pelayanan khususnya edukasi mengenai pengelolaan terapi diet di Puskesmas Kecamatan X.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk belajar melakukan penelitian dan mengaplikasikan ilmu yang sudah di dapat khususnya dalam bidang CRP (Communication Research Program).
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

(KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 1998)
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi penyakit ini.
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) (Srisasi Gandahusada, 2006).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei Cacingan di Sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi cacing ini. Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur 6-10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan sampai sedang.
Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat tumbuh dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap dan tindakan terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Selain itu bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Adakah hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
2. Adakah hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
3. Adakah hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap penyakit kecacingan pada siswa kelas V di SD X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan
b. Mengetahui hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
2. Bagi Institusi Sekolah
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah maupun staf pengajar di SD dalam pelaksanaan UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk terpapar faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

(KODE : KEPRAWTN-0076) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar di negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil, bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan ditingkat masyarakat diantaranya ketidaktahuan, kemiskinan, rendahnya status sosial ekonomi perempuan, terbatasnya kesempatan memperoleh informasi dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga berperan terhadap situasi ini, sedangkan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan yang tidak memadai.
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Dimana peranan ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peranan keluarga adalah memberikan bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi proses persalinan. Dalam hal ini peranan petugas kesehatan tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu agar seluruh rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan (Sumarah, dkk, 2009).
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan untuk mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup (KH) pada 2015. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan diseluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau persalinan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil SDKI Tahun 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) (KH) dan Tahun 2008, 4.692 jiwa ibu melayang di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Kementerian kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) antara lain mulai Tahun 2010 meluncurkan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten Kota yang di fokuskan pada kegiatan preventif dan promotif dalam program kesehatan ibu dan anak. Kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (Eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan Oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. (Depkes RI, 2010).
Menteri kesehatan menambahkan salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Sedangkan data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2% (Depkes RI, 2010).
Beberapa hal tersebut mengakibatkan 3 kondisi terlambat yaitu (terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat sampai ditempat pelayanan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 kondisi terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun), terlalu banyak (lebih dari 4 kali). Keterlambatan pengambilan keputusan ditingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasinya ditingkat keluarga (Menkes RI, 2011).

Foster dan Anderson (1986) melukiskan tentang masalah klasik yang masih selalu ditemukan dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat, betapa sosial sering mengalahkan pemanfaatan optimal dari sarana kesehatan yang tersedia. Pasangan suami-istri lebih rela untuk memutuskan tidak menggunakan sarana pertolongan persalinan dari puskesmas atau rumah bersalin, atas pertimbangan bahwa konflik dengan kerabat tidak menggunakan jasanya dari pada biaya bersalin di rumah sakit atau puskesmas (Meutia, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui dan meneliti tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN DI DUSUN X".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tersebut yaitu apakah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan di Dusun x.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan Di Dusun X".
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi ibu tentang memilih penolong persalinan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial budaya ibu tentang memilih penolong persalinan.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan suami dan keluarga ibu tentang memilih penolong persalinan.
d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pelayanan kesehatan ibu tentang memilih penolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian di harapkan dapat menjadi masukan untuk peningkatan asuhan keperawatan maternitas, dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini di harapkan pada masyarakat khususnya pada seorang ibu, dapat digunakan sebagai tambahan informasi, tentang apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan.