Search This Blog

Showing posts with label pendidikan karakter. Show all posts
Showing posts with label pendidikan karakter. Show all posts

TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMA

(KODE : PASCSARJ-0532) : TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)

contoh tesis manajemen pendidikan

BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

A. Manajemen Pendidikan 
1. Pengertian Manajemen Pendidikan
Menurut Usman (2013), manajemen berasal dari bahasa latin, yaitu dari asal kata manus yang berarti tangan dan agere (melakukan). Kata-kata itu digabung menjadi managere yang artinya menangani. Managere diterjemahkan ke Bahasa Inggris to manage (kata kerja), management (kata benda) dan manager untuk orang yang melakukannya. Management diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi manajemen (pengelolaan).
Manajemen dalam arti luas adalah perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Manajemen dalam arti khusus adalah manajemen sekolah yang meliputi : perencanaan program sekolah, pelaksanaan program sekolah, dan pengawasan program sekolah (Wiyani, 2012 : 37)
Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan proses dan hasil peserta didik secara aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan dalam mengembangkan potensi dirinya.
Manajemen pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian pengarahan dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif, efisien, mandiri dan akuntabel.
Menurut Aqib (2011 : 208), menyatakan bahwa menciptakan sekolah yang aman, nyaman dan disiplin dalam kaitannya dengan manajemen pendidikan sangatlah penting agar siswa dapat mencapai prestasi yang terbaik dan guru dapat menampilkan kinerja yang terbaik. Karena manajemen pendidikan harus terpusat pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini memberikan arti penting terhadap arah manajemen dalam waktu tertentu, karena hubungan antara tujuan pendidikan dan manajemen sangat dekat, sehingga pencapaian tujuan pendidikan melalui manajemen pendidikan ini harus disetujui oleh sekolah.
Menurut Sharma dalam Usman (2013 : 14), memberikan arti dari manajemen pendidikan adalah : “Educational management is a field of study and practice concern with the operational of educational organization”. Manajemen pendidikan adalah suatu bidang studi dan praktik yang menaruh perhatian pada pelaksanaan organisasi pendidikan.
Meski ditemukan pengertian manajemen yang beragam, baik yang bersifat umum maupun khusus tentang kependidikan, namun secara esensial dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen pendidikan, bahwa : (1) manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan; (2) manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya; dan (3) manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Tujuan Manajemen Pendidikan
Menurut Nawawi (2008) tujuan manajemen pendidikan, adalah : 
a. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang baik
b. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.
c. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
d. Tercapainya perencanaan pendidikan secara merata, bermutu, relevan, dan akuntabel
e. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses pendidikan
f. Teratasinya masalah mutu pendidikan yang muncul karena proses pendidikan.
g. Terciptanya citra positif pendidikan.
Menurut Salam (2007 : 12) tujuan manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan organisasi, sebagai suatu usaha dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu yang mereka taati sedemikian rupa sehingga diharapkan hasil yang akan dicapai sempurna, yaitu efektif dan efisien.
Dengan demikian manajemen melibatkan berbagai elemen organisasi baik internal, eksternal, sarana, prasarana, alat, barang, maupun fungsi dan kedudukan (jabatan) dalam organisasi yang diatur sedemikian rupa dalam mencapai tujuan organisasi.

3. Fungsi Manajemen Pendidikan
Dikemukakan di atas bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan. Kegiatan dimaksud tak lain adalah tindakan-tindakan yang mengacu kepada fungsi-fungsi manajemen. Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen, menurut Siagian (2010), terdapat empat fungsi manajemen, yaitu : 
a. Perencanaan {planning);
b. Pengorganisasian (organizing);
c. Pelaksanaan (actuating); dan
d. Pengawasan (controlling).
TESIS ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS IV SD

TESIS ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS IV SD

(KODE : PASCSARJ-0300) : TESIS ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA KELAS IV SD (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN IPA)



BAB II 
LANDASAN TEORITIS

A. Karakter

Perlunya pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 33 dinyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan adalah pengembangan karakter siswa.
Beberapa orang mempunyai definisi yang sarna tentang pengertian karakter. Menurut Megawangi, Aziz, Musfiroh, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kamus Poerwadarminta, Pusat Bahasa Depdiknas, dan Fattah karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Menurut mereka karakter seseorang akan terbentuk bila dilakukan suatu pembiasaan yang terus menerus sehingga menjadi ciri khas atau kepribadian seseorang. Thomas Lickona (1991) juga mendukung pengertian di atas yaitu bahwa "karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya". Sedangkan menurut Aristoteles karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Karakter merupakan kekuatan untuk bertahan di masa sulit. Karakter yang baik diketahui melalui respon yang benar ketika mengalami tekanan, tantangan, dan kesulitan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa karakter adalah tabiat atau kebiasaan seseorang yang melekat sangat kuat dan sulit untuk dihilangkan dan akan tercermin dalam sikap hidupnya ketika menghadapi permasalahan kehidupan. 
Tetapi walaupun karakter ini melekat sangat kuat pada diri seseorang, karakter tetap dapat berubah jika diberikan suatu kebiasaan yang baru dalam lingkungan yang baru pula. Kebiasaan yang dilakukan secara berulang dan didahului oleh kesadaran dan pemahaman maka akan menjadi karakter seseorang. Karakter seseorang dapat dibangun dan dibentuk. Pembangunan dan pembentukan karakter seseorang tidak dapat disamakan antara satu individu dengan individu yang lain, ada yang membutuhkan waktu yang cepat, tapi ada juga yang membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan kesadaran bahwa karakter itu adalah sesuatu yang sulit diubah, maka sebaiknya karakter seseorang itu dibangun dan dibentuk dari usia dini.
Dari semua pengertian yang sudah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku seseorang sehingga menjadi ciri khas individu tersebut untuk hidup dan bersosialisasi, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya.

B. Pendidikan Karakter

Terdapat beberapa pengertian tentang pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, tanggung jawab, kecerdasan, kepedulian, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperoleh dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya. Menurut Thomas Lickona (1991) pendidikan karakter adalah "pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan". Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dasar pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak, karena usia ini akan menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya di masa yang akan datang. 
Maka pendidikan karakter sebaiknya dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak dalam menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Daniel Coleman, 1999). Dalam pendidikan karakter terdapat 3 komponen karakter yang baik yaitu (1) moral knowing (pengetahuan tentang moral) yang terdiri dari moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking (perspektif), moral reasoning (penalaran moral), decision making (pengambilan keputusan), self-knowledge (pengetahuan diri); (2) Moral feeling (perasaan tentang moral), yang terdiri dari conscience (hati nurani), self-esteem (penghargaan diri), empathy (empati), loving the good (menyukai kebaikan), self-control (penguasaan diri), humility (kerendahan hati); dan (3) Moral action (tindakan moral), yang terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan (Lickona, 1991). Di sini terlihat bahwa makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh. 
Keterkaitan antara nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter di atas terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kebangsaan akan membentuk suatu karakter manusia yang baik. Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Megawangi (2004) menyampaikan sembilan perilaku pembentukan karakter dalam pendidikan yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu : 
"... pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan".
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode pengetahuan yang baik, perasaan sayang, dan perbuatan baik. Pengetahuan yang baik bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah memperoleh pengetahuan yang baik maka harus ditumbuhkan perasaan sayang, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi suatu kebutuhan yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. 
Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka perbuatan baik itu akan berubah menjadi kebiasaan. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. 
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER SISWA MELALUI KEGIATAN KEAGAMAAN DI MI

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER SISWA MELALUI KEGIATAN KEAGAMAAN DI MI

(KODE : PENDPGSD-0004) : SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER SISWA MELALUI KEGIATAN KEAGAMAAN DI MI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perbincangan mengenai pendidikan karakter di Indonesia belakangan ini semakin menguat. Nampaknya, gerakan pendidikan karakter yang marak sekarang ini tidak lepas dari keprihatinan semua komponen bangsa ini yang menilai bahwa karakter bangsa ini semakin memudar. Sistem pendidikan dilihat seakan-akan tak mampu menjadi alat untuk menciptakan manusia Indonesia yang cerdas baik secara spiritual, sosial, maupun intelektual. Pendidikan kita, menurut sejumlah pemerhati pendidikan, belum mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul, yang jujur, bertanggung jawab, berakhlak mulia serta humanis.
Dalam upaya pengembangan nilai-nilai keagamaan di lembaga pendidikan, seorang guru tidak hanya terfokus pada kegiatan proses belajar mengajar di kelas, tetapi juga harus mengarahkan kepada siswanya dalam bentuk implementasi keagamaan. Misalnya, para peserta didik diajak untuk mau memperingati hari-hari besar keagamaan dan kegiatan-kegiatan keagamaan dalam sekolah tersebut yang kemungkinan besar juga memberikan sumbangan informasi kepada siswa tentang materi-materi yang telah dipelajari di dalam kelas.
Seorang guru yang kreatif, selalu berupaya untuk mencari cara agar agenda kegiatan yang direncanakan dapat berhasil sesuai yang diharapkan. Guru harus mampu mengatasi masalah atau kendala yang dihadapi dan dapat menciptakan suasana sekolah sesuai yang diharapkan. Seperti dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, perlu adanya solusi dan penanaman pendidikan karakter dalam pembinaan kegiatan keagamaan dan mengefektifkan semua siswa yang selalu tidak mau mengikuti kegiatan tersebut.
Dalam kegiatan keagamaan di Madrasah Ibtidaiah harus ditunjang dengan keteladanan atau pembiasaan tentang sikap yang baik dalam menanamkan pendidikan karakter terhadap siswa. Tanpa adanya pembiasaan dan pemberian teladan yang baik, pembinaan tersebut akan sulit mencapai tujuan yang diharapkan, dan sudah menjadi tugas guru terutama guru agama untuk memberikan keteladanan atau contoh yang baik dan membiasakannya bersikap baik pula.
Pendidikan karakter harus dilaksanakan secara integral dan holistik. Pendidikan karakter harus didukung oleh semua komponen masyarakat dan dilakukan di semua level dan ruang kehidupan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak".
Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan komponen penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembinaan kegiatan keagamaan. Karena dengan adanya pendidikan karakter dalam pembinaan kegiatan keagamaan siswa selain untuk memaksimalkan dan memudahkan proses pembinaan kegiatan keagamaan siswa, juga bertujuan untuk meningkatkan mutu guru agama Islam khususnya peningkatan cara mengajar pendidikan Islam. Untuk itulah, pendidikan karakter dalam Islam harus dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang nantinya dapat mewujudkan peserta didik yang berakhlakul karimah.
Dalam pembinaan kegiatan keagamaan di Madrasah Ibtidaiah, tentu masih membutuhkan bimbingan guru, dimana guru agama membimbing, menuntun, memberikan contoh, bahkan mengantarkan anak didiknya ke arah pada kedewasaan yang muslim.
Di MI X, sejalan dengan adanya program kegiatan keagamaan, para siswa ikut berperan aktif dalam kegiatan keagamaan. Akan tetapi, pendidikan karakter melalui kegiatan keagamaan terhadap siswa belum tertanam atau tumbuh dalam diri siswa. Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan yang lebih intensif dari guru tentang pendidikan karakter siswa melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada.
Kegiatan keagamaan yang ada di MI X, antara lain : 
1) Membaca surat-surat pendek sebelum belajar
2) Sholat duha pada jam istirahat
3) Sholat dhuhur berjamaah
4) Melaksanakan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI)
5) Melaksanakan kegiatan manasik haji
6) Pesantren kilat
Berdasarkan Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama, pembentukan karakter adalah bagian integral dari orientasi pendidikan Islam. Tujuannya adalah membentuk kepribadian seseorang agar : 
1) Memiliki karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (karakter religius)
2) Memiliki karakter kemandirian dan tanggungjawab
3) Memiliki karakter kejujuran
4) Memiliki karakter hormat dan santun
5) Memiliki karakter dermawan, suka tolong-menolong dan kerjasama
6) Memiliki karakter percaya diri dan pekerja keras
7) Memiliki karakter kepemimpinan dan keadilan
8) Memiliki karakter baik dan rendah hati
9) Memiliki karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan
Pada saat pelaksanaan kegiatan keagamaan di MI X, para siswa sangat antusias mengikutinya. Semua kegiatan dilaksanakan oleh seluruh siswa MI X dari kelas I-VI. Membaca surat-surat pendek sebelum belajar dilaksanakan setiap hari pada hari efektif yang diharapkan agar siswa memilki karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya serta karakter kemandirian dan tanggungjawab. Sholat duha pada jam istirahat diharapkan siswa memiliki karakter kemandirian dan tanggungjawab. Sholat dhuhur berjamaah diharapkan siswa memiliki karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya serta karakter dermawan, suka tolong-menolong dan kerjasama. Melaksanakan PHBI diharapkan memiliki karakter kepemimpinan dan keadilan serta karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan. Melaksanakan manasik haji diharapkan memiliki karakter percaya diri dan pekerja keras, karakter baik dan rendah hati serta karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan. Pesantren kilat diharapkan memiliki karakter kejujuran serta kemandirian dan tanggungjawab.
Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di MI X tersebut di atas, menjadi sebuah pertanyaan "Apakah kegiatan tersebut dapat membentuk karakter siswa seperti yang tertuang dalam tujuan pembentukan karakter di atas ?"
Paparan di atas, menjadikan penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi untuk diangkat menjadi karya tulis skripsi dengan judul : "PENDIDIKAN KARAKTER SISWA MELALUI KEGIATAN KEAGAMAAN DI MI X" dengan tujuan memberi pemahaman kepada peserta didik dan lingkungan sekolah bahkan masyarakat setempat dan dari hasil penelitian tersebut diharapkan mampu menjadi tolak ukur serta tambahan wawasan bagi pengembangan pendidikan Islam ke depan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimana implementasi pendidikan karakter siswa melalui kegiatan keagamaan di MI X ?
2. Kendala apa yang dihadapi dan solusinya dalam menanamkan pendidikan karakter siswa melalui kegiatan keagamaan di MI X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan : 
1. Untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan karakter siswa melalui kegiatan keagamaan di MI X. 
2. Untuk mendeskripsikan kendala dan solusinya dalam menanamkan pendidikan karakter siswa melalui kegiatan keagamaan di MI X.

D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian tersebut di atas, diharapkan penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah sebagai berikut : 
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk menanamkan pendidikan karakter siswa melalui kegiatan keagamaan. Sehingga pada pelaksanaannya tidak bersifat teoritis saja melainkan bagaimana penerapannya di lapangan dan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Lembaga
Sebagai barometer tingkat keberhasilan seorang guru, menjadi petunjuk dan pedoman bagi sekolah yang bersangkutan dalam pendidikan karakter melalui kegiatan keagamaan di MI X. Sekaligus dapat digunakan sebagai referensi untuk mengevaluasi pembinaan yang selanjutnya dapat digunakan untuk membangun dan meningkatkan pendidikan karakter melalui kegiatan keagamaan yang lebih efektif. 
3. Bagi Peneliti
Untuk memperkaya khasanah pemikiran dan memperluas wawasan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam Pendidikan Karakter Siswa Melalui Kegiatan Keagamaan dan sekaligus sebagai langkah untuk meraih gelar S1.

TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR ISLAM

TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0205) : TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR ISLAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Konteks Penelitian
Dalam beberapa tahun terakhir, ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi afektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Sejak akhir dasawarsa 1970-an, para ahli pendidikan mulai secara sungguh-sungguh mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian pada aspek nilai dan sikap. Dalam referensi Barat, kita menemukan munculnya teori yang dikenal dengan confluence education, affective education, atau values education yang menjadi gerakan sebagai wujud kepedulian pendidikan terhadap pengembangan afektif peserta didik.
Di Indonesia, kecenderungan ke arah tersebut mulai populer di tahun 1970-an dengan dikembangkannya pendidikan humaniora, yang kemudian disusul dengan populernya pendidikan nilai (value education). Dimana tujuan yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional adalah mengembangkan nilai dan sikap serta membentuk kepribadian peserta didik (character building).
Jika kita menoleh sekilas pada sejarah, gagasan pembangunan bangsa unggul melalui perbaikan pendidikan sebenarnya telah ada sejak kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Presiden pertama kita, Soekarno, telah menyatakan perlunya nation and character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Soekarno menyadari bahwa karakter suatu bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi bangsa.
Selain pernyataan yang diungkapkan oleh Soekarno, kita mendapati baik dalam ketetapan MPR, Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan lain, tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan manusia Indonesia yang berjiwa Pancasilais dan pembentukan karakter kebangsaan (nation dan character building) selalu menjadi titik fokus.
Dalam ketetapan MPRS tahun 1960 disebutkan : "Politik dan sistem pendidikan nasional, baik yang diselenggarakan pihak pemerintah maupun swasta dari pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan warga Negara Indonesia yang berjiwa Pancasilais yang berjiwa patriot komplit, dan tenaga-tenaga kejuruan yang ahli dan berjiwa revolusi Agustus 1945."
Ketetapan MPRS di atas, terulang kembali namun dengan sedikit perubahan redaksi dalam Penetapan Presiden No. 19 tahun 1965 yang berbunyi : "Tujuan Pendidikan Nasional kita, baik yang diselenggarakan pihak pemerintah maupun swasta dari pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan warga sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila."
Selanjutnya dalam ketetapan MPRS tahun 1966 disebutkan : "Tujuan pendidikan nasional adalah : Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan isi daripada UUD tersebut, dimana isi pendidikan nasional tersebut meliputi : 1) Mempertinggi mental moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan-keyakinan beragama, 2) Membina atau mengembangkan fisik yang kuat dan sehat."
Format manusia terdidik dalam perspektif UUSPN No. 20/2003 menyatakan : Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fondasi yang kuat ini kemudian menjadikan bangsa Indonesia terus berbenah untuk mencapai tujuan dan keinginan yang telah diimpikan sejak nenek moyang Indonesia hingga kini. Salah satunya pada paruh terakhir tahun 2010, pihak Kementerian Pendidikan Nasional, mencetuskan gagasan untuk mereaktualisasikan penyelenggaraan pendidikan karakter bangsa.
Hal ini dilakukan, karena Kementerian Pendidikan Nasional menyadari bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang sudah dimulai, dan era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian yang cukup berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada tersedianya kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berkarakter. Oleh karenanya, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal signifikan yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh. Salah satu cara, adalah melalui dunia pendidikan yang menjadi tempat untuk membentuk generasi yang memiliki nation and character building yang kuat.
Paradigma "Build Nation Build School” telah menjadi pegangan para pemimpin Negara-negara maju, seperti Thomas Jefferson, Abraham Lincoln (Amerika Serikat), Kaisar Meize (Jepang), dan Ottofon Bismack (Jerman). Menurut Soedijarto dalam Saridjo menyatakan bahwa paradigma ini juga dianut oleh Soekarno-Hatta, tetapi sangat disayangkan tidak diikuti oleh para penerusnya. Paradigma "Build Nation Build School" ini hilang ketika masa pemerintahan orde baru.
Seiring dengan berjalannya waktu, paradigma yang sempat tidak di indahkan ini kembali terangkat ke permukaan. Muhammad Nuh beserta seluruh staf Kementerian Pendidikan Nasional bersama-sama menata pendidikan Indonesia untuk menciptakan dan menyiapkan generasi yang handal, salah satunya dengan program pendidikan karakter dari jenjang pra sekolah hingga jenjang perguruan tinggi, atau bahkan pada titik yang tak terbatas (never ending process).
Kepala bagian Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional Mansyur Ramli menyatakan, pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, karena selama ini telah ada pada kurikulum beberapa mata pelajaran. Namun melihat pada evaluasi yang telah dilaksanakan, ditemukan bahwa pendidikan karakter yang ada lebih menekankan pada domain kognitif saja. Oleh karenanya, ke depannya akan lebih menekankan pada domain afektif dan psikomotor.
Fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat mendesak untuk adanya aktualisasi program pendidikan karakter. Degradasi moral melanda para generasi muda Indonesia, bahkan sebagian pakar menyebutkan bahwa Indonesia sedang pada posisi krisis multidimensional. Sebagaimana pendapat Thomas Lickona, yang dikutip oleh Ratna Megawangi, mengungkapkan bahwa ada sembilan tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, itu berarti bahwa sebuah Bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud antara lain : 
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, seperti tawuran.
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, seperti mengolok-olok teman sebayanya, atau berkata tidak sopan pada pendidik/guru.
3. Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan.
4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.
5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk.
6. Menurunnya etos kerja.
7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan 
9. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Fenomena-fenomena tersebut menciptakan suasana yang semakin tidak sehat di Indonesia. Belum lagi beberapa hal yang berkaitan dengan rendahnya mutu pendidikan, dilihat dari daya saing SDM Indonesia saat ini dibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Hasil survey yang dilakukan oleh "Trend in Internasional Mathematic and Sciences Study" (TIMSS) yang dimuat pada harian kompas tanggal 22 Desember 2004 dan kompas 10 Januari 2005 mengemukakan bahwa berbagai hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga internasional mendapati prestasi peserta didik Indonesia pada posisi bawah. 
Garin Nugroho dalam Masnur menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia kini sudah kehilangan ruh-ruh yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pendidikan kita saat ini lebih mengedepankan pada pemuasan pasar, atau dapat dibahasakan dengan berburu peminat yang banyak, bukan pada kualitas lulusan yang berkarakter.
Lebih lanjut Garin menegaskan sebagian besar lembaga pendidikan di Indonesia tidak mengarah pada pembentukan karakter sebagaimana yang pernah dilakukan oleh nenek moyang. Lembaga pendidikan kita lebih memilih meluluskan seluruh siswanya meskipun tidak memenuhi syarat hanya untuk mencari pasaran saja, namun tidak memikirkan pada pencitraan dan pertumbuhan karakter yang tidak baik pada lulusan.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketidak jujuran yang sering terjadi di UN (Ujian Nasional) beberapa tahun terakhir ini. Satu fenomena ini mencerminkan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan kita masih beranggapan bahwa dengan meluluskan seluruh siswanya, akan berakibat pada banyaknya peminat yang akan masuk dalam lembaga tersebut. Namun, melupakan karakter buruk yang timbul pada lulusan yang dipaksakan lulus tersebut. Fenomena ini sudah merebak dan lambat laun merusak karakter peserta didik yang merupakan "agent of change" dan sekaligus sebagai penerus kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Beberapa kasus di atas semakin memperkuat alasan Kementerian Pendidikan Nasional untuk mengaktualisasikan program pendidikan karakter secara serentak diseluruh jenjang pendidikan. Hal ini dapat dimulai dengan mendisiplinkan mereka dalam beribadah, menghargai waktu dengan datang tepat waktu di sekolah, mentaati dan patuh terhadap orang tua dan guru, menghargai dan mengasihi teman, serta mengerti dan mencintai alam sekitarnya, memiliki rasa tanggungjawab terhadap segala perbuatan yang dilakukannya, dan mencintai bahasa dan kebudayaan Indonesia (nation).
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Ratna Megawangi, menyebutkan sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah, yaitu : 
1. Karakter cinta Tuhan Allah dengan segala ciptaan-Nya (Love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3. Kejujuran/amanah, diplomatis (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience)
5. Dermawan, suka menolong, gotong royong, kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generosity, moderation, cooperation)
6. Percaya diri dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, and enthusiasm)
7. Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).
Dengan demikian, maka keterpurukan Indonesia yang disebabkan degradasi moral yang dapat merusak karakter bangsa akan dapat ditanggulangi dengan mempersiapkan generasi muda yang benar-benar berkarakter, serta dilaksanakan secara tersistem di lembaga pendidikan sejak dini.
Pada permasalahan yang berkaitan dengan karakter ini, upaya perbaikan pendidikan tidak hanya membutuhkan perbaikan pada sisi manajerial, dibutuhkan juga usaha perbaikan pendidikan yang bersifat pemberian keterampilan peserta didik atau biasa disebut dengan soft skill, pengembangan diri dan pembinaan karakter melalui pemberian kegiatan-kegiatan yang akan membentuk karakter dalam ekstra kurikuler.
Pernyataan di atas semakin dikuatkan dengan adanya sebuah penelitian di Harvard University Amerika Serikat, yang membuktikan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Dalam penelitian ini diungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa penerapan pendidikan karakter pada peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karenanya, Kemendiknas Pendidikan Nasional menegaskan dengan setegas-tegasnya tentang kewajiban penerapan program pendidikan karakter diseluruh jenjang pendidikan, terlebih pada sekolah yang secara kemampuan manajerialnya sudah mapan. Dengan tujuan output dari pendidikan tersebut memiliki kecerdasan yang kaffah.
Melihat dari beberapa fenomena yang telah diungkapkan pada jabaran sebelumnya, dan juga memperhatikan tentang core pendidikan Indonesia saat ini, yaitu penanaman karakter dan perilaku yang baik terhadap peserta didik. Sesuai dengan UUSPN no 20/2003 yang menyatakan bahwa manusia terdidik adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Guna merespon serta mendukung program pendidikan karakter sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya, maka peneliti tergugah untuk melaksanakan penelitian yang akan dilaksanakan di tingkat Sekolah Dasar. Argumen dan alasan mengapa memilih Sekolah Dasar sebagai tempat penelitian yakni berangkat dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Otago, di Dunedin New Zealand, pada 1000 anak yang diteliti selama 23 tahun dimulai pada 1972. Penelitian ini dilakukan sebanyak tiga kali, yakni pengamatan pada waktu anak berusia 3 tahun, 21 tahun dan terakhir pada waktu berumur 26 tahun. Hasil penelitian tersebut menyatakan : 
Anak-anak yang ketika berusia 3 tahun telah didiagnosa sebagai "uncontrollable toddlers" (anak yang sulit diatur, pemarah, dan pembangkang), ternyata ketika umur 18 tahun mereka menjadi remaja yang bermasalah, agresif, dan memiliki masalah dalam pergaulan. Ketika pada usia 21 tahun mereka sulit membina hubungan sosial dengan orang lain, bahkan ada yang terlibat dalam tindak kriminal. Begitu juga sebaliknya, anak-anak usia 3 tahun yang sehat jiwanya "well-adjusted toddlers" ternyata setelah dewasa menjadi orang-orang yang berhasil dan sehat jiwanya.
Selain penelitian di atas, seorang pakar ahli dalam pendidikan karakter Thomas Lickona dalam Megawangi menyebutkan : a child is only known substance from which a responsible adult can be made. (seorang anak adalah satu-satunya "bahan bangunan" yang diketahui dapat membentuk seorang dewasa yang bertanggung jawab).
Hasil penelitian inilah yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang pelaksanaan program pendidikan karakter di tingkatan Sekolah Dasar.
Oleh karena itu, berangkat dari latar belakang dan fenomena yang telah digambarkan di atas, maka menarik untuk dikaji dan diadakan penelitian (research), dengan ini peneliti mengambil judul penelitian "Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Islam".

B. Fokus Penelitian
Dari konteks penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan "Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar ", fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah perencanaan pendidikan karakter di Sekolah Dasar X ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan karakter di Sekolah Dasar X ?
3. Bagaimanakah evaluasi pendidikan karakter di Sekolah Dasar X ?

C. Tujuan Penelitian
Dari beberapa sub fokus yang telah dijabarkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini antara lain : 
1. Mendeskripsikan dan mengetahui secara mendalam proses perencanaan pendidikan karakter di Sekolah Dasar X.
2. Mendeskripsikan dan mengetahui secara mendalam proses pelaksanaan pendidikan karakter di Sekolah Dasar X.
3. Mendeskripsikan dan mengetahui secara mendalam proses evaluasi pendidikan karakter di Sekolah Dasar X.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang mendalam dan komprehensif terhadap peneliti khususnya dan instansi-instansi pendidikan yang sedang dan akan mengembangkan pendidikan karakter di sekolah. Dan secara ideal, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa aspek, diantaranya : 
a. Secara Teoritis
1) Memberikan sumbangan keilmuan terhadap perkembangan ilmu manajemen pendidikan terutama berkenaan dengan manajemen sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah.
2) Sebagai bahan referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang serupa pada masa yang akan datang.
b. Secara Praktis
1) Bagi institusi yang diteliti, sebagai masukan yang konstruktif dalam mengelola program pendidikan karakter di sekolah.
2) Menjadi bahan masukan dan sekaligus referensi bagi kepala sekolah, beserta wakil kepala sekolah, guru, komite sekolah dan seluruh warga sekolah dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah.
3) Bagi para pengambil kebijakan, sebagai salah satu acuan dalam mengambil keputusan dan kebijakan tentang pengembangan pendidikan karakter di sekolah. 

TESIS POLA INTEGRASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HABITUASI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA

TESIS POLA INTEGRASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HABITUASI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA


(KODE : PASCSARJ-0171) : TESIS POLA INTEGRASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HABITUASI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya menitik beratkan pada pembentukan karakter siswa terutama dalam civic knowledge, civic skill, dan civic disposition, agar siswa mampu berpartisipasi dengan masyarakat sekitar, namun pada kenyataannya di lapangan, model pembelajaran yang diterapkan di sekolah lebih memfokuskan pada civic knowledge saja, sehingga menyebabkan siswa kurang berpartisipasi dengan yang lainnya {bersifat individualistis). Dengan demikian perlu kiranya ada sebuah solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu pendidikan yang paling sesuai dengan pelaksanaan pendidikan keluarga, yang ada kaitannya dengan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu dengan pengintegrasian nilai-nilai Pendidikan keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hartinah (2008 : 164), bahwa keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak-anak dan remaja. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian. Maka dari itu, yang menjadi dasar dan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan keluarga lebih bersifat individual, sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing. Pendapat di atas, erat hubungannya dengan UU/20/2003 pasal 1 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : 
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara."
Dengan demikian, hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hartinah (2008 : 164), bahwa pendidikan keluarga menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian, sekalipun secara rasional bagi keluarga Bangsa Indonesia memiliki dasar yang nyata, yaitu Pancasila.
Kalau melihat nilai-nilai yang diterapkan di rumah, yang akan dikembangkan di sekolah, semua itu tergantung kepada kebiasaan si anak (habituasi) yang dilakukan di rumahnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Salamor, (2010 : 189), bahwa keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio dari berbagai unsur sosial manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang baik. Oleh karena itu, pembinaan terhadap anak secara dini dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat mendasar. 
Pendidikan agama, budi pekerti, tata krama, dan baca tulis hitung yang diberikan secara dini di rumah, serta teladan dari kedua orangtuanya, akan membentuk kepribadian dasar dan kepercayaan diri anak yang akan mewarnai perjalanan hidup selanjutnya. Dalam hal ini, seorang ibu memegang peranan yang sangat penting dan utama dalam memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara fisik maupun psikologis) kepada putra putrinya, dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas selaku warga negara (WNI) yang baik dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab sosial. Pendapat di atas, sesuai dengan pendapatnya Schikendanz, (1995) dalam Megawangi (2004 : 64), mengatakan bahwa, segala perilaku orangtua dan pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian/karakter seorang anak. 
Dengan demikian, untuk membentuk karakter siswa di sekolah, perlu adanya sebuah wadah untuk mengembangkannya, yaitu nilai-nilai karakter yang ditanamkan dalam diri anak, seperti yang diungkapkan oleh Megawangi (2004 : 95), yang termasuk kepada nilai-nilai universal, yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya menjunjung nilai-nilai tersebut, yang dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang, budaya, suku, dan agama. Salah satu yang termasuk dalam nilai-nilai universal tersebut diantaranya, : 
1. Cinta Tuhan dan segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty).
2. Kemandirian dan tanggungjawab (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness).
3. Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty).
4. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience.)
5. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm).
6. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty).
Peran keluarga sangat berperan dalam membentuk karakter anak, yang sangat diharapkan dan juga dalam kematangan emosi-sosial ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, dari usia pra sekolah sampai usia remaja. Dengan demikian, pendidikan keluarga berdampak positif dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam hal ini, peneliti menyitir pendapatnya Winarno (2010 : 83), bahwa pendidikan nilai memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidikan akhlak, dan pendidikan budi pekerti. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik, bagi suatu masyarakat atau bangsa. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, setiap permasalahan yang ada, dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut : "Bagaimana menerapkan pola integrasi nilai-nilai Pendidikan keluarga di dalam pembelajaran PKn dan habituasi di sekolah untuk membangun karakter siswa ?" (Studi kasus di MTs X). 
Kemudian masalah tersebut diidentifikasi sebagai berikut, dengan tujuan lebih spesifik dalam penelitiannya, diantaranya : 
1. Nilai-nilai apa saja yang sudah diterapkan di rumah untuk dikembangkan di sekolah melalui habituasi (pembiasaan) dalam membangun karakter siswa ?
2. Bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai yang ada di rumah atau keluarga, ke dalam pembelajaran PKn di sekolah dilihat dari materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan evaluasi ?
3. Bagaimana persepsi siswa tentang pengintegrasian nilai-nilai pendidikan keluarga ke dalam pembelajaran PKn dan habituasi dalam membangun karakter siswa ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai, diantaranya untuk mengetahui : 
1. Nilai-nilai apa saja yang sudah diterapkan di rumah untuk dikembangkan di sekolah melalui habituasi (pembiasaan) untuk membangun karakter siswa.
2. Bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai yang ada di rumah atau keluarga, ke dalam pembelajaran PKn di sekolah dilihat dari materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan evaluasi.
3. Bagaimana persepsi siswa tentang pengintegrasian nilai-nilai pendidikan keluarga ke dalam pembelajaran PKn dan habituasi dalam membangun karakter siswa. 

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis : 
a. Diharapkan dengan menerapkan pendidikan keluarga di sekolah mampu membangun karakter siswa dalam mengembangkan dan merevitalisasikan pembelajaran PKn.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan perubahan pola pikir siswa di sekolah dalam mengembangkan karakter, setelah pendidikan keluarga diterapkan.
2. Praktis : 
a. Bagi penulis sebagai peneliti : dapat mengimplementasikan pendidikan keluarga di sekolah dalam kaitannya dengan pembangunan karakter siswa, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, sehingga dapat menunjang materi lain selain Pendidikan Kewarganegaraan.
b. Bagi Guru dan Siswa : bersama-sama akan tumbuh kesadaran, bahwa dengan mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan melalui penerapan pendidikan keluarga di sekolah, dapat menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagai instrumen untuk membentuk pribadi yang positif. 
c. Disamping itu dengan menerapkan pendidikan keluarga di sekolah dapat menumbuhkan karakter siswa, baik secara informal, formal, maupun non formal.
d. Bagi dunia Pendidikan : bahwa paradigma sekarang sudah berubah, dari pengajaran menjadi pembelajaran, yang berarti bahwa siswa tidak cukup dengan memperhatikan, menulis, membaca, dan berlatih, tetapi dengan melalui pembelajaran, yang berarti membelajarkan siswa (sebagai subjek), dengan cara melakukan-mengalami-mengkomunikasikan, mulai dari kehidupan nyata siswa diangkat menjadi konsep. 

TESIS PERANAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI

TESIS PERANAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI


(KODE : PASCSARJ-0170) : TESIS PERANAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan rumusan kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pembinaan manusia Indonesia seutuhnya (Balitbang, 2010 : 2). Salah satu pembinaan manusia Indonesia seutuhnya dilaksanakan melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga.
Antara pendidikan dengan keluarga adalah suatu istilah yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada keluarga disana ada pendidikan. Dimana ada orang tua disana terdapat anak yang merupakan suatu kemestian dalam keluarga. Ketika ada orang tua yang ingin mendidik anaknya pada waktu yang sama ada anak yang menghajatkan pendidikan dari orang tua. Disinilah muncul istilah "pendidikan keluarga" yakni pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama karena tugasnya meletakkan dasar-dasar pertama bagi perkembangan anak. Di dalam keluarga, anak lahir, tumbuh dan berkembang dan pertama kali mengenal orang lain melalui hubungan dengan orang tuanya. Pengaruh insentif dari orang tua merupakan pendidikan mendasar bagi perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Pentingnya pendidikan anak dalam keluarga dipandang oleh Kadarusmadi (1996 : 39) sebagai berikut : 
Pendidikan yang diperoleh anak di dalam keluarga bermakna sebagai upaya yang membantu anak untuk dapat hidup dan berkehidupan sebagai manusia. Tanpa bantuan itu baik dari orang tuanya maupun dari orang dewasa lainnya seperti kakak, paman, bibi, kakek atau nenek dan bahkan pembantu atau perawat bayi). Kemungkinan tidak akan dapat melangsungkan hidupnya. Bantuan itu sangat diperlukan oleh anak, karena pada saat dilahirkan ia belum bisa menolong dirinya. Ia lahir belum memiliki kekhususan atau spesialisasi tertentu.
Ketidakmampuannya untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya yang akan diemban kelak ketika dewasa maka anak perlu mendapatkan pendidikan dan dapat dididik. Pendidikan bukan hanya sekadar kemungkinan (dapat dididik) melainkan merupakan suatu keharusan (perlu dididik) agar ia dapat hidup sebagaimana layaknya manusia. Anak dapat mengendalikan instingnya, mengembangkan modal untuk mengetahui, memahami dan memikirkan sesuatu maka pertama kali hal tersebut harus diajarkan dalam lingkungan keluarga. Seperti yang diungkap oleh Benyamin S. Bloom (1976) bahwa : 
Lingkungan keluarga dan faktor-faktor luar sekolah yang telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa-siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah. Kecakapan-kecakapan dan kebiasaan di rumah merupakan dasar bagi studi anak di sekolah.
Dalam rangka mewujudkan keberhasilan keluarga dalam pendidikan anak maka kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun atas dasar sistem interaksi yang kondusif dicirikan dengan keterlibatan orang tua yang hangat dalam mengasuh dan mendidik anak sehingga anak-anak akan memiliki figur orang tua yang seimbang serta memiliki hubungan emosional yang lebih kuat dengan orang tuanya. Jika orang tua sering bertemu dan berdialog dengan anak, anak akan menghormati orang tuanya. Semakin besar dukungan orang tua terhadap anaknya, semakin tinggi perilaku positif anak (BKKBN, 1992). Dalam konteks yang lebih global, suasana keluarga yang kondusif tersebut akan mampu menghasilkan warga negara yang baik pula (Salamor, 2010 : 189).
Warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki kepedulian terhadap keadaan yang lain, memegang teguh prinsip etika dalam berhubungan dengan sesama, berkemampuan untuk mengajukan gagasan atau ide-ide kritis dan berkemampuan membuat pilihan atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang baik (Dynnesson, Gross & Nickel dalam Nurmalina dan Syaifullah, 2007 : 19). Warga negara yang baik memiliki tampilan sebagai "Informed and Reasoned Decision Maker" atau pengambil keputusan yang cerdas dan bernalar yang memiliki ciri berpengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills) dan watak kewarganegaraan (civic disposition). Warga negara yang ideal demokratis merujuk pendapat CCE (1999) menurut Budimansyah & Winataputra (2007 : 31-32) memiliki kemampuan sebagai berikut : 
1. Knowledge : the content of civic education
2. Skills : what a citizen needs to be able to do to participate effectively
3. Attitudes/Belief : character or dispositions of citizen
4. Civic Dispositions : Civility, Respect for right of the other individuals, Respect for law, Honesty, Open mindedness, Critical Mindedness, Negotiation and Compromise, Persistence, Compassion, Patriotism, Courage, Tolerance of ambiguity.
Perpaduan kesemuanya diyakini akan membentuk the ideal democratic citizen yakni konsep warga negara yang berkarakter yang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang dipelajari dan dialami seseorang baik di rumah, sekolah, komunitas dan organisasi-organisasi civil society (Budimansyah dan Suryadi, 2008 : 61).
Pembentukan karakter warga negara yang baik pada anak usia dini sangat mendasar. Usia dini merupakan masa emas perkembangan yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas di masa dewasanya (Soedarsono, 2010 : 1). Pembentukan karakter anak pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Kegagalan penanaman karakter pada usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak (Megawangi, 2004 : 23). Pendidikan karakter pada anak usia dini adalah strategi investasi manusia yang tepat dimana efek kelanjutan dari langkah tersebut terlihat bahwa "kemampuan sosial dan emosi pada masa anak-anak akan mengurangi perilaku yang beresiko, seperti konsumsi alkohol yang merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan sepanjang masa; perkembangan emosi dan sosial pada anak-anak juga dapat meningkatkan kesehatan manusia selama hidupnya, misalnya reaksi terhadap tekanan (stress), yang akan berdampak langsung pada proses penyakit; kemampuan emosi dan sosial yang tinggi pada orang dewasa yang memiliki penyakit dapat membantu meningkatkan perkembangan fisiknya." (Jan Wallander dalam Nurhafidzhah, 2010 : 288).
Dalam upaya membentuk warga negara yang baik maka setiap keluarga harus menyadari bahwa awal masa depan anak tercipta dalam keluarga melalui pendidikan karakter yang konsisten dan berkesinambungan. Keluarga yang mengabaikan fungsi ini dapat mengakibatkan dampak yang sangat besar pada masa depan anak maka perlu sekiranya direvitalisasi kesadaran orang tua dalam memainkan peranan mendidik anak dalam keluarga, oleh karena dengan kebersamaan dan keterlibatannya dengan mereka, anak-anak senantiasa bertemu dan berinteraksi dan ditentukan pula kehidupannya. Dari paparan diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil tesis dengan judul Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Studi Deskriptif pada Keluarga di Perumahan X)

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah diatas, peneliti dapat merumuskan fokus penelitian yakni "Bagaimanakah pelaksanaan peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak usia dini di Perumahan X ?"
Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam penganalisaan terhadap hasil penelitian, masalah pokok tersebut diuraikan dalam sub-sub masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
2. Karakter apa yang dikembangkan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
3. Bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
4. Faktor-faktor apa yang berperan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
5. Hambatan-hambatan apa yang ada dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
6. Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak usia dini. Secara lebih terperinci tujuan penelitian dapat dijabarkan untuk mengidentifikasi sebagai berikut : 
1. Peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak di lingkungan keluarga.
2. Karakter yang dikembangkan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
3. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
4. Faktor-faktor yang berperan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
5. Hambatan-hambatan yang ada dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
6. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan pendidikan karakter anak usia dini di dalam keluarga.

D. Manfaat Penelitian
Temuan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 
1. Para orang tua memberikan pemahaman pentingnya peranan dalam pendidikan karakter anak usia dini.
2. Anak mendapatkan pemahaman tentang karakter yang seharusnya ada dalam kehidupannya dan menjadi bagian dalam kepribadiannya.
3. Pihak pengambil kebijakan pendidikan untuk mewujudkan program pelaksanaan pendidikan karakter anak.
4. Para akademisi untuk memperkaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan di pendidikan kewarganegaraan.