Search This Blog

Showing posts with label kinerja mengajar guru. Show all posts
Showing posts with label kinerja mengajar guru. Show all posts

TESIS KONTRIBUSI MANAJEMEN BOS DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

(KODE : PASCSARJ-0315) : TESIS KONTRIBUSI MANAJEMEN BOS DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran dalam Konteks Administrasi Pendidikan
Administrasi pendidikan menduduki peranan sentral dalam kegiatan pembinaan dan pengembangan kegiatan dari sekelompok orang dalam usaha untuk mencapai tujuan. Pengelompokan yang dilakukan secara sadar memerlukan usaha-usaha pembinaan dan pengendalian secara sistematis.
Secara umum administrasi pendidikan berfungsi untuk menjalankan roda sesuai usaha atau kegiatan agar usaha atau kegiatan yang dirumuskan sebelumnya dapat berjalan secara efektif, efisien, produktif dan rasional. Secara luas administrasi dapat diartikan sebagai " keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasional tertentu untuk mencapai tujuan yang direncanakan sebelumnya." (Siagian, 1998 : 13).
TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN
Sedangkan menurut Rifa'i (1982 : 57) dijelaskan bahwa administrasi merupakan : "keseluruhan proses yang mempergunakan dan mengikutsertakan semua sumber potensi yang tersedia dan yang sesuai, baik potensi personal maupun material, dalam usaha untuk mencapai bersama suatu tujuan seefektif dan seefisien mungkin.
Fungsi administrasi sebagai suatu karakteristik dari pendidikan muncul dari kebutuhan untuk memberikan arah kepada perkembangan dan operasi sekolah. Sejauhmana peranan sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh pengadministrasian dan penataan pendidikan di sekolah itu sendiri.
Pengelolaan administrasi dilaksanakan pada setiap kelompok atau sejumlah orang dalam berbagai bidang kehidupan termasuk di dalam ruang pendidikan, sehingga dapat diartikan bahwa administrasi pendidikan pada dasarnya adalah penerapan kegiatan-kegiatan administrasi dalam berbagai usaha pengendalian dalam rangkaian kegiatan kependidikan yang terarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
Dengan demikian administrasi pendidikan adalah 1) suatu peristiwa mengkoordinasikan kegiatan yang saling ketergantungan dari orang-orang serta kelompok-kelompok dalam mencapai tujuan bersama pendidikan anak; 2) administrasi pendidikan adalah suatu peristiwa yang membuat kegiatan-kegiatan terselenggara dengan efisien bersama dengan dan melalui orang atau oran lain."

Dalam ilmu administrasi pendidikan terdapat delapan dimensi administrasi yaitu :
1. konteks sosiologis dan budaya dalam manajemen pendidikan,
2. proses belajar mengajar,
3. ekonomi dan pembiayaan pendidikan,
4. studi dan teori organisasi
5. kepemimpinan dan manajemen
6. pengembangan SDM pendidikan
7. kebijakan dan politik dalam manajemen pendidikan
8. legal dan etik dalam manajemen pendidikan
Efektivitas pembelajaran merupakan bagian yang sangat penting dalam administrasi pendidikan. Efektivitas pembelajaran berarti tingkat keberhasilan. Menurut Popham (2003 : 7) menjelaskan "Efektivitas pengajaran seharusnya ditinjau dari hubungan guru tertentu yang mengajar kelompok siswa tertentu, di dalam situasi tertentu dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan instruksional tertentu."
Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan sejauh mana apa yang telah direncanakan dapat tercapai. Semakin banyak rencana yang dapat dicapai, semakin efektif pula kegiatan tersebut, sehingga kata efektivitas dapat pula diartikan sebagai tingkat keberhasilan.
Pembelajaran (instruction) merupakan upaya/kegiatan terencana untuk mengkondisikan seseorang atau sekelompok orang terangsang untuk belajar atau membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui berbagai upaya dan strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang direncanakan.
Dunne (1996 : 12) berpendapat bahwa Efektivitas pembelajaran memiliki dua karakteristik. karakteristik pertama ialah "memudahkan murid belajar" sesuatu yang "bermanfaat", seperti fakta keterampilan, nilai, konsep dan bagaimana hidup serasi dengan sama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. Karakteristik kedua, bahwa keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai, seperti guru-guru, pelatih guru-guru, pengawas, tutor dan pemandu mata pelajaran atau murid-murid sendiri.
Lebih jauh, Efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusaha melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Sedangkan menurut Purwadarminta (1982 : 32) "di dalam pengajaran efektivitas berkenaan dengan pencapaian tujuan, dengan demikian analisis tujuan merupakan kegiatan pertama dalam perencanaan pengajaran".

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah dicanangkan. Metode pembelajaran dikatakan efektif jika tujuan instruksional khusus yang dicanangkan lebih banyak tercapai.
Selanjutnya konsep keefektifan pengajaran dikaitkan dengan peranan guru sebagai pengelola proses belajar-mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar-mengajar yang efektif sehingga memungkinkan proses belajar-mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai (Usman, 2000 : 21).
Proses pembelajaran dapat dikatakan efektif menurut Wotruba dan Wright dapat menggunakan 7 indikator berikut :
1. Pengorganisasian materi yang baik
2. Komunikasi yang efektif
3. Penguasaan dan antusiasme terhadap materi pelajaran
4. Sikap positif terhadap siswa
5. Pemberian nilai yang adil
6. Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran

Efektivitas pembelajaran menurut (Baumert, Artelt, Klieme, Neubrand, Prenzel, Schiefele, Schneider, Tillmann, & Weiss, 2003) dalam Hermann Astleitner terdiri dari 13 indikator. Indikator-indikator itu adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran didesain untuk menciptakan pelajaran yang refleksif.
2. Memberikan dukungan, motivasi karakteristik-karakteristik secara emosional.
3. Mempertimbangkan kekuatan/kemampuan para siswa.
4. Pengetahuan yang memperoleh dapat diterapkan di dalam bermacam-macam konteks-konteks.
5. Mendukung dan mengevaluasi langkah-langkah keterampilan-keterampilan secara berurutan.
6. Merangsang menampilkan ketrampilan-ketrampilan berargumentasi.
7. Mengatur dan memandu siswa belajar mandiri.
8. Meningkatkan efisiensi dalam belajar.
9. Membangkitkan dan mendukung perkembangan minat.
10. Meningkatkan perasaan positif.
11. Menghindari perasaan negatif.
12. Menerapkan rasa hormat dan tanggung jawab.
13. Menggunakan bahan-bahan pelajaran pembelajaran di lingkungan diri sendiri.
Dengan demikian maka keefektifan program pembelajaran ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Berhasil menghantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
b. Memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa secara aktif sehingga menunjang pencapaian tujuan instruksional.
c. Memiliki sarana-sarana yang menunjang proses belajar mengajar.

Berdasarkan ciri program pembelajaran efektif seperti yang digambarkan diatas, keefektifan program pembelajaran tidak hanya ditinjau dari segi tingkat prestasi belajar saja, melainkan harus pula ditinjau dari segi proses dan sarana penunjang. Aspek hasil meliputi tinjauan terhadap hasil belajar siswa setelah mengikuti program pembelajaran yang mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek proses meliputi pengamatan terhadap keterampilan siswa, motivasi, respon, kerjasama, partisipasi aktif, tingkat kesulitan pada penggunaan media, waktu serta teknik pemecahan masalah yang ditempuh siswa dalam menghadapi kesulitan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Aspek sarana penunjang meliputi tinjauan-tinjauan terhadap fasilitas fisik dan bahan serta sumber yang diperlukan siswa dalam proses belajar mengajar seperti ruang kelas, laboratorium, media pembelajaran dan buku-buku teks.
Kriteria efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Kriteria keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut :
a. Ketuntasan belajar, pembelajaran dapat dikatakan tuntas apabila sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 60 dalam peningkatan hasil belajar.
b. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran.
c. Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Serta siswa belajar dalam keadaan yang menyenangkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Efektivitas Belajar Siswa antara lain :
1. Efektivitas pembelajaran ditinjau dari faktor siswa terdiri atas 2 bagian yaitu :
a. Faktor internal siswa
b. Faktor pendekatan belajar
2. Selain faktor internal yang mempengaruhi belajar efektif adalah keadaan fisik, tingkat kecerdasan, sikap, dan bakat.
3. Faktor pendekatan belajar merupakan kemampuan siswa dalam menerima dan mengelola belajarnya dan meminimalkan munculnya hambatan belajar seperti lupa dan kejenuhan.
4. Siswa perlu didorong untuk mampu mengorganisasikan belajarnya, karena pada dasarnya siswa :
a. memperbaiki kemampuan belajarnya sendiri melalui refleksi dan monitoring belajarnya
b. siswa mampu untuk dapat memilih, menyusun dan bahkan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan
c. mampu secara aktif memilih bentuk dan materi pembelajaran yang sesuai.
5. Pengorganisasian belajar yang salah merupakan penyebab munculnya hambatan dalam belajar seperti lupa dan kejenuhan.
6. Usaha menciptakan pembelajaran yang efektif memerlukan kondisi yang mengedepankan keterlibatan dan keaktifan siswa dalam pembelajaran.
Guru yang profesional perlu melakukan pembelajaran secara efektif. Efektivitas seorang guru dapat diamati dari bagaimana cara ia membelajarkan siswanya melalui kemampuan dalam
1. menciptakan iklim belajar di kelas;
2. strategi pengelolaan pembelajaran;
3. memberikan umpan balik dan penguatan;
4. meningkatkan kemampuan dirinya.
Guru dapat dikatakan mengajar efektif jika ia tidak hanya menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi juga dapat menjalankan perannya sebagai pengolah pesan, organisator, motivator, mediator, moderator, fasilitator, administrator dan evaluator.
TESIS PENGARUH KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP KEEFEKTIFAN SEKOLAH

TESIS PENGARUH KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP KEEFEKTIFAN SEKOLAH

(KODE : PASCSARJ-0307) : TESIS PENGARUH KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP KEEFEKTIFAN SEKOLAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB II 
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Keefektifan Sekolah

Hingga saat ini belum ditemukan rumusan pasti tentang istilah efektivitas, penyebabnya adalah setiap orang memberi arti yang berbeda-beda, karena mereka memandang dari sudut yang berlainan tergantung dari sudut mana efektivitas tersebut dilihat.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990 : 219) efektif berarti adanya efek, dampak, dapat dan membawa hasil. Dengan demikian efektivitas dapat diartikan efektivitas atau daya guna atau adanya kesesuaian dalam suatu aktivitas antara apa-apa yang telah dilakukan dengan tujuan yang diinginkan.
Efektif adalah keseimbangan memanfaatkan berbagai peranan dengan yang dihasilkan oleh peranan-peranan. Agar peranan yang mereka mainkan efektif, maka tenaga kependidikan antara lain dapat membiasakan tujuh kebiasaan yang dikembangkan oleh Covey. Cara memulai kebiasaan itu adalah mulai dari diri sendiri, dari yang mudah, dari yang kecil dan dari yang murah.
Sementara Gibson (1987 : 25) membagi efektivitas dalam tiga perspektif yaitu (1) efektivitas dari perspektif individu, (2) efektivitas dari perspektif kelompok dan (3) efektivitas dari perspektif organisasi. Efektivitas individu menempati posisi dasar dalam konteks efektivitas organisasi. Perspektif organisasi menekankan pada penampilan tugas setiap individu dalam melaksanakan tugasnya secara efektif sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya keterampilan, pengetahuan, kecakapan, sikap, motivasi dan stres.
Masalah keefektifan dan efisiensi merupakan hal yang pokok dalam kehidupan sistem organisasi. Organisasi mempunyai kehidupan seperti organisme. Ia lahir, tumbuh dan berkembang, menua dan mati. Ia berkembang karena ia mampu mempertahankan efektifitas dan efisiensinya yang tinggi dan ia mundur karena terjadi penurunan antara lain penurunan kualitas efektifitas dan efisiensi itu sendiri. Alasan penurunan itu antara lain karena terjadi proses kelelahan (fatigue), kerusakan dan kekeroposan dari dalam (decay) yang menjadi tertutup sehingga mengalami kemunduran genetic (inbreeding), kehilangan sensitivitas terhadap masukan (feedback) serta tidak berlangsungnya proses belajar dalam organisasi sehingga organisasi tersebut menjadi statis (stuck). Sebagai akibatnya, organisasi tersebut tidak lagi responsive terhadap tantangan dari luar, sebagaimana halnya proses penuaan yang terjadi dalam organisme atau mengalami entropy. Lingkungan yang terus menerus berubah yang tidak direspon dengan proses peningkatan efisiensi menjadikan beban organisasi bertambah berat. Dalam hubungan tersebut, dapat dilihat kelambanan organisasi pendidikan, termasuk sekolah dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi di luar sistem. Organisasi yang berat secara birokratis dapat menyebabkan kelambanan proses peningkatan efisiensi tersebut.
Dalam kesehariannya, setiap individu tidak bekerja sendirian akan tetapi berada ditengah-tengah kelompok. Karenanya selain efektivitas individu terdapat pula efektivitas kelompok, tetapi harus diingat pula bahwa efektivitas kelompok tidak secara otomatis terwujud dari kumpulan efektivitas individu, demikian halnya gabungan individu-individu yang efektif tidak secara otomatis akan menghasilkan kelompok yang efektif. Secara umum efektivitas kelompok sangat ditentukan oleh tingkat kekompakan kelompok, kepemimpinan, struktur kelompok, status, peran masing-masing, serta norma yang berlaku dalam kelompok (Mulyadi, 1988 : 278).
Suatu organisasi ada karena adanya individu-individu dan kelompok-kelompok. Efektivitas organisasi tidak hanya sekedar efektivitas individu dan kelompok akan tetapi karena organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang kompleks, maka efektivitas ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, teknologi, strategi, struktur, proses dan iklim kerjasama.
Lipham dan Hoeh (1974 : 62) meninjau efektivitas dari segi pencapaian tujuan seperti dikemukakan : effectiveness related to the accomplishment of the cooperative purpose, which is social and non personal ini character. Selanjutnya dikatakan bahwa efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan bersama buka pencapaian tujuan pribadi. Artinya suatu organisasi dikatakan efektif bila tujuan bersama dalam organisasi dapat dicapai. Suatu organisasi belum dikatakan efektif meskipun tujuan individu yang ada didalamnya dapat terpenuhi.
Etzioni (Komariah, et al, 2008 : 7) berpendapat bahwa : efektivitas organisasi diukur dari tingkat sejauhmana ia berhasil tujuannya sedangkan efisiensi suatu organisasi bisa dikaji dari sudut jumlah sumber daya yang dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu unit masukan (input). Sedangkan menurut Engkoswara (Komariah, et al, 2008 : 8) dalam dunia pendidikan, efektivitas dapat dilihat dari : (1) masukan yang merata (2) keluaran yang banyak dan bermutu tinggi (3) ilmu dan keluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun (4) pendapatan tamatan atau lulusan yang memadai.
Sementara keefektifan berasal dari kata efektif yang berarti tepat guna atau tepat sasaran. Efektif mengarah pada pengertian ketepatan atau kesesuaian antara usaha yang dilakukan dengan tujuan yang telah ditentukan. Pengertian ini searah dengan pengertian yang dikemukakan oleh Hugo F. Reading yang mengatakan bahwa efektif mempunyai arti derajat dimana kelompok mencapai tujuannya atau mempunyai arti pencapaian nilai-nilai maksimum dengan alat yang terbatas. Jadi keefektifan proses pembelajaran berarti setelah mengalami proses belajar siswa dapat mencapai tujuan instruksional dan usaha atau aktifitas yang dilakukan siswa tersebut mempunyai ketepatan atau kesesuaian dengan tujuan yang telah ditentukan. Pencapaian tujuan tersebut ditandai dengan adanya penilaian terhadap hasil belajar siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Semakin baik hasil yang dicapai siswa maka dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran tersebut semakin efektif.
Keefektifan proses pembelajaran dapat diketahui dan tercapai tidaknya tujuan instruksional yang telah dirumuskan. Hal ini dipertegas Kemp yang menjelaskan bahwa untuk mengukur keefektifan hasil belajar sebagai akibat kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan dapat dilihat dan berapa jumlah siswa yang berhasil mencapai seluruh tujuan belajar dalam waktu yang telah ditentukan. Keefektifan proses pembelajaran dapat juga ditinjau dan beberapa teori belajar yaitu teori Humanis, teori kognitif dan teori behaviorisme. Adapun tinjauan teori belajar tersebut terhadap keefektifan proses pembelajaran adalah sebagai berikut : 
1. Teori Humanis
Proses pembelajaran dapat efektif jika tenaga pendidik mampu mendemonstrasikan bahwa siswa telah memperoleh isi pelajaran yang relevan dengan tujuan dan kebutuhannya dan juga telah mampu mengapresiasikan dan memahami pikiran dan perasaan orang lain serta mampu mengenal perasaannya tentang isi bahan pelajaran.
2. Teori Kognitif
Proses pembelajaran dapat efektif jika tenaga pendidik mampu menggunakan prosedur kelas yang cocok sesuai dengan ciri-ciri kognitif siswa, dapat mengorganisasikan informasi dan menyajikannya untuk memajukan kemampuan pemecahan masalah dan berfikir orisinal pada siswa mengenai masalah-masalah, serta dapat meningkatkan kemampuan siswa berfikir produktif dan memecahkan masalah.
3. Teori Behaviorisme
Proses pembelajaran yang efektif dapat ditunjukkan jika tenaga pendidik mampu menuliskan tujuan instruksional yang relevan dengan isi pelajaran, merinci prosedur pengajaran termasuk penguatan dan pengaturan kecepatan penyampaian, memerinci perilaku siswa yang diperlukan untuk mempelajari tujuan instruksional, serta dapat menunjukkan bahwa siswa telah mencapai tujuan instruksional tersebut setelah pelajaran selesai.
Selanjutnya dari ketiga teori belajar tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa keberhasilan pencapaian tujuan instruksional yang telah dirumuskan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tenaga pendidik mengajar dan siswa di dalam melaksanakan proses belajar.
Keefektifan siswa dalam belajar selain dipengaruhi oleh faktor internal dalam diri siswa itu sendiri juga dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar diri siswa tersebut. Untuk faktor-faktor dari dalam diri siswa, sangat dipengaruhi oleh karakteristik siswa, bakat, minat dan motivasi siswa itu sendiri. Sedangkan untuk faktor-faktor dari luar yang berpengaruh terhadap keefektifan belajar siswa adalah sangat tergantung pada bagaimana tenaga pendidik mengelola proses pembelajaran di kelas dan bagaimana sekolah menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang dapat memungkinkan siswa untuk aktif dan kreatif. Pengelolaan kelas yang efektif dapat diciptakan tenaga pendidik melalui komunikasi yang efektif, model dan cara mengajar yang tepat dan bervariasi, sikap yang menghargai siswa sebagai subyek didik, dll. Kondisi lingkungan sekolah yang efektif dapat ditempuh melalui pemenuhan fasilitas yang memadai, penyiapan lingkungan, lembaga pendidikan yang menyenangkan dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas tidak semata-mata berorientasi kepada sesuatu yang sudah dihasilkan tetapi lebih dari itu bagaimana prosesnya sehingga sesuatu tersebut bisa dihasilkan. Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran bahwa untuk mengukur efektivitas terhadap suatu usaha yang panjang dan bertahap-tahap seperti pendidikan membawa kita kepada suatu pertanyaan apa yang menjadi indikator efektivitas pada setiap tahapannya. Indikator tersebut tidak saja hanya mengacu kepada apa yang ada (input, output serta outcome) tetapi juga kepada apa yang terjadi (proses). Beberapa indikator tersebut menurut Anisah (1955 : 33) meliputi : 
1. Indikator input, meliputi karakteristik guru, karakteristik fasilitas, karakteristik perlengkapan, materi pendidikan dan kapasitas administrasi.
2. Indikator proses meliputi perilaku administrasi, alokasi waktu guru serta alokasi waktu siswa
3. Karakteristik output, meliputi hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik dan dinamikanya, sistem sekolah (attainment effect), hasil-hasil yang berhubungan dengan prestasi belajar (achievement effect) dan hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap (attitude behavioral effect) serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan dan kesamaan (equality dan equity effect)
4. Indikator outcome, meliputi jumlah lulusan ke tingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan.
Dari uraian diatas membuka kita kepada suatu pemikiran bahwa kajian terhadap efektivitas pendidikan hendaknya dilihat secara sistematik, mulai dari input, proses, output dan outcome. Sedangkan indikator efektivitas tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga bersifat kualitatif. 

TESIS PENGARUH KINERJA MANAJEMEN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA SD

TESIS PENGARUH KINERJA MANAJEMEN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA SD

(KODE : PASCSARJ-0226) : TESIS PENGARUH KINERJA MANAJEMEN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan mutu sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan mutu sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan system evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pemberian pendidikan dan pelatihan bagi guru. Tetapi upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu indikator kekurangberhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM (UAN) siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Rendahnya mutu pendidikan selama bertahun-tahun beberapa pendapat menyatakan kurikulum sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. kemudian diganti kurikulum 1999, timbul lagi kurikulum 1999 edisi 2004. Bahkan pembaharuan kurikulum menjadi kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum) merupakan suatu terobosan terhadap kurikulum konvensional, hingga saat ini kurikulum 2004 di revisi kembali menjadi kurikulum model KTSP (Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan). Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Nasanius (1988 : 1-2) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam Melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru. Sedang menurut Sumargi (1996 : 9-11), profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak bermutu dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar bermutu.
Berhubungan dengan profesionalisme guru terdapat permasalahan yang merupakan masalah yang usang dan terus terjadi dalam proses pembelajaran selama ini, permasalahan kinerja mengajar guru tersebut diantaranya adalah : 
1. Guru mengajar cenderung monoton dengan menggunakan metode yang kurang inovatif.
2. Keengganan guru untuk memperbaiki proses pembelajaran melalui banyak membaca dan melakukan penelitian tindakan kelas.
3. Guru hanya menggunakan satu sumber belajar, dan pengetahuan yang diberikan hanya dari satu buku sumber.
Fakta tersebut mengungkapkan betapa guru punya peranan terhadap keberhasilan pendidikan. Guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai peran sebagai faktor penentu keberhasilan mutu pendidikan di samping tenaga kependidikan lainnya, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan yang muaranya akan menghasilkan tamatan yang diharapkan. Untuk itu kinerja guru harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja itu biasanya dilakukan dengan cara memberikan motivasi, mengadakan supervisi, memberikan insentif, memberikan kesempatan yang baik untuk berkembang dalam karir, meningkatkan kemampuan, gaya kepemimpinan yang baik dan upaya-upaya lainnya yang relevan. Sementara kinerja guru dapat ditingkatkan apabila yang bersangkutan mengetahui apa yang diharapkan dan kapan bisa menetapkan harapan-harapan yang diakui hasil kerjanya.
Kinerja guru atau prestasi kerja (performance) merupakan hasil yang dicapai oleh guru dalam Melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta penggunaan waktu. Kinerja guru akan baik jika guru telah Melaksanakan unsur-unsur yang terdiri kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran, kedisiplinan dalam mengajar dan tugas lainnya, kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran, kerjasama dengan semua warga sekolah, kepemimpinan yang menjadi panutan siswa, kepribadian yang baik, jujur dan obyektif dalam membimbing siswa, serta tanggungjawab terhadap tugasnya.
Mutu pendidikan dan lulusan seringkali dipandang tergantung kepada peran guru dalam pengelolaan komponen-komponen pengajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar, yang menjadi tanggung jawab sekolah. Namun demikian konsep manajemen mutu pendidikan sering diabaikan dalam dunia pendidikan, padahal konsep ini dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Adanya output sekolah yang tidak bermutu menunjukkan adanya kinerja guru dan tidak jelasnya sikap terhadap manajemen peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Konsep manajemen mutu pendidikan yang sudah dilaksanakan oleh sekolah belum sepenuhnya disikapi oleh guru dengan baik, ini dapat mempengaruhi kinerja guru tentunya.
Keberadaan guru sebagai unsur utama tenaga kependidikan merupakan faktor yang sangat strategis dan keseluruhan penggerak pendidikan, dimana sumber daya pendidikan meliputi : sarana, anggaran, sumber daya manusia, organisasi dan lingkungan (Nanang Fattah, 1988), kinerja guru sebagai komponen pendidikan terhadap peningkatan mutu pendidikan sangat berpengaruh pada kecakapan tamatan (competence), tanggungjawab sosial (compassion) dan berakhlak mulia (conscience).
Kepala Sekolah sebagai pemegang komando di lembaga sekolah. Kepala sekolah harus menguasai dan mampu mengambil kebijaksanaan serta keputusan yang bersifat memperlancar dan meningkatkan kualitas pendidikan. Secara langsung kepala sekolah berhubungan erat terhadap kelangsungan belajar mengajar. Dalam prosesnya kepala sekolah harus dekat dengan guru-gum dan kepada siswa.
Penguasaan bidang manajemen adalah salah satu kunci sukses dalam mengemban suatu jabatan pemimpin. Manajemen tidak hanya dijumpai di perusahaan, atau instansi tertentu, melainkan di lembaga sekolah, manajemen juga sangat besar peranannya, terutama untuk menyusun program atau mengambil keputusan yang harus diterapkan dalam kelangsungan proses belajar mengajar. Salah satu peranan manajemen yang sangat penting adalah untuk menyusun program belajar mengajar dan menempatkan tugas masing-masing guru. Guru sebagai pelaksana pendidik, untuk itu kepala sekolah harus benar-benar menjalin komunikasi aktif dan setiap saat mengadakan evaluasi terhadap tugas pengajaran yang sudah dilaksanakan guru. Agar guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka sedikit banyaknya kepala sekolah harus mengetahui dan memberikan motivasi.
Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, baik negeri maupun swasta, masih banyak kepala sekolah yang belum dapat melaksanakan manajemen dengan baik dan optimal. Kehadiran mereka di sekolah tidak jauh berbeda dengan kehadiran guru-guru lainnya, yaitu untuk mengajar dan mengisi daftar hadir. Padahal selain kepala sekolah masih banyak tugas lain, seperti menata program pendidikan, baik yang menyangkut dengan administrasi, supervise maupun keperluan yang lainnya. Hubungan kepala sekolah dengan guru-guru harus baik, tanggung jawab, didasari dengan kejujuran, kesetiaan, keikhlasan dan kerjasama. Apabila diibaratkan dalam satu keluarga, maka hubungan kepala sekolah dengan guru-guru lainnya harus berlangsung bagaikan hubungan satu saudara dengan saudara lainnya, dan hubungan kepala sekolah dengan siswa harus seperti hubungan ayah dengan anak.
Rendahnya kinerja manajemen kepala sekolah dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : 
1. Proses rekrutmen kepala sekolah yang belum mengikuti aturan yang seharusnya.
2. Minimnya pengetahuan tentang manajemen sehingga kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya hanya menggunakan kebiasaan dan alamiah belaka.
Kemampuan seorang pemimpin akan memberikan dampak yang nyata terhadap mutu produk yang dihasilkan. Dalam hal ini mutu kepala sekolah sebagai pemimpin suatu lembaga pendidikan akan berdampak terhadap mutu produk pendidikan di sekolah tersebut. Mortimer J. Adler dalam Dadi Permadi (1998 : 24) menegaskan bahwa "The quality of teaching and learning that goes in a school is largely determined by the quality of principals leadership" (mutu belajar mengajar yang terjadi di sekolah adalah ditentukan oleh sebagian besar mutu kepemimpinan kepala sekolah) dengan demikian seorang pemimpin bisa dikatakan ruh sebuah lembaga atau institusi.
Kenyataan di lapangan khususnya di Kecamatan X kinerja manajemen kepala sekolah dan kinerja mengajar guru dapat dikatakan masih rendah sehingga mengakibatkan rendahnya motivasi siswa untuk belajar. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata nilai ujian sekolah selama 5 (lima) tahun terakhir yang terus menurun. Nilai rata-rata ujian sekolah terus menurun selama lima tahun terakhir. Ujian sekolah merupakan salah satu tujuan akhir dari sebuah lembaga maupun tujuan (goal) siswa belajar, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rendahnya rata-rata nilai ujian itu adalah kurangnya motivasi siswa untuk belajar. Karena menurut Barlia (2004 : 6) mengatakan bahwa "motivasi didefinisikan sebagai aktifitas siswa (proses) dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan atas dorongan perlunya pencapaian tujuan (goal) dari pengerjaan tugas tersebut."
Selain masalah menurunnya nilai rata-rata ujian sekolah terdapat juga permasalahan lain yang merupakan dampak dari kurangnya motivasi siswa untuk belajar, salah satu indikator kurangnya motivasi belajar siswa diantaranya adalah apabila siswa tidak naik kelas lebih memilih drop out (DO) dari pada mengulang belajar di kelas tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang : "PENGARUH KINERJA MANAJEMEN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR" (PENELITIAN DESKRIPTIF KEPADA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN X).

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan motivasi belajar siswa diperlukan figur kepala sekolah yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan kredibilitas serta daya juang yang tinggi untuk dapat memberdayakan semua komponen sekolah dalam upaya meningkatkan kinerjanya dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu diperlukan kesamaan persepsi untuk secara bersama-sama selalu meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan dalam meningkatkan motivasi belajar siswa adalah analisis terhadap proses kinerja manajemen kepala sekolah dan kinerja mengajar guru sekolah dasar di Kecamatan X.
Peningkatan motivasi belajar siswa memberikan harapan baru terhadap peningkatan mutu pendidikan yang saat ini sedang terpuruk, sehingga dalam implementasinya kepala sekolah sebagai manajer sekolah dan guru sebagai kunci utama dalam pembelajaran di kelas agar selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya. Atas dasar kenyataan tersebut maka masalah-masalah yang hendak diteliti adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) kegiatan pendidikan di Sekolah Dasar X.
2. Bagaimana persepsi kepala sekolah dan guru terhadap motivasi belajar siswa ?
3. Bagaimana kinerja manajemen kepala sekolah dan kinerja mengajar guru dalam meningkatkan motivasi belajar siswa sekolah dasar di Kecamatan X ?
4. Bagaimana persepsi guru terhadap kesiapan kinerja manajemen kepala sekolah dan kinerja mengajar guru itu sendiri terhadap peningkatan motivasi belajar siswa ?
5. Bagaimana pengaruh kinerja manajemen kepala sekolah terhadap motivasi belajar siswa sekolah dasar di Kecamatan X ?
6. Bagaimana pengaruh kinerja mengajar guru terhadap motivasi belajar siswa sekolah dasar di Kecamatan X ?
7. Bagaimana pengaruh kinerja manajemen kepala sekolah dan kinerja mengajar guru terhadap motivasi belajar siswa sekolah dasar di Kecamatan X ?

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka masalah dapat dijabarkan ke dalam rumusan-rumusan masalah, yaitu : 
1. Seberapa besar pengaruh Kinerja Manajemen Kepala Sekolah terhadap Kinerja Mengajar Guru ?
2. Seberapa besar pengaruh Kinerja Manajemen Kepala Sekolah terhadap Motivasi Belajar Siswa ?
3. Seberapa besar pengaruh Kinerja Mengajar Guru terhadap Motivasi Belajar Siswa ?
4. Seberapa besar pengaruh Kinerja Manajemen Kepala Sekolah dan Kinerja Mengajar Guru secara bersama-sama terhadap Motivasi Belajar Siswa ?

D. Maksud dan Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin diperoleh adalah untuk mendapatkan gambaran tentang : 
1. Besar pengaruh Kinerja Manajemen Kepala Sekolah terhadap Kinerja Mengajar Guru.
2. Besar pengaruh Kinerja Manajemen Kepala Sekolah terhadap Motivasi Belajar Siswa
3. Besar pengaruh Kinerja Mengajar Guru terhadap Motivasi Belajar Siswa.
4. Besar pengaruh Kinerja Mengajar Guru dan Kinerja Manajemen Kepala Sekolah secara bersama-sama terhadap Motivasi Belajar Siswa.

E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat berguna untuk : 
1. Kegunaan Teoritis
Yaitu sebagai bahan masukan dan informasi yang berguna untuk memverifikasi dan pengembangan konsep-konsep Kinerja Manajemen Kepala Sekolah dan Kinerja Mengajar guru serta Motivasi Belajar Siswa dalam kerangka pengembangan Ilmu Administrasi Pendidikan.
2. Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat memberikan masukan serta kontribusi terhadap pihak kepala sekolah dan guru dalam kerangka pengembangan Ilmu Administrasi Pendidikan.
3. Kegunaan Bagi Penelitian Selanjutnya
Sebagai bahan dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut dalam konteks pengembangan dan proses generalisasi.

TESIS KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU

TESIS KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU

(KODE : PASCSARJ-0215) : TESIS KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan manusia dalam organisasi, termasuk sekolah memiliki posisi yang sangat vital. Keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Orang-orang yang bekerja di sekolah adalah kepala sekolah, guru dan staf tatalaksana. Dalam kegiatan pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru merupakan orang yang paling penting karena gurulah yang melaksanakan pendidikan langsung menuju tujuannya. Gurulah yang secara operasional melaksanakan segala bentuk, pola, gerak dan geliat berbagai pembahan di lini paling depan dalam pendidikan, karena memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik (UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1). Pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya terungkap dari bagaimana ia bekerja, atau dengan kata lain dari kinerjanya.
Kinerja personal sekolah terkait dengan produktivitas sekolah, yang merupakan tujuan akhir dari administrasi atau penyelenggaraan pendidikan (Komariah dan Triatna, 2005 : 30). Kinerja adalah proses yang menentukan produktivitas organisasi. Jika produktivitas sekolah diukur dari prestasi belajar siswa, maka hal tersebut sangat tergantung prosesnya, yaitu kinerja mengajar gurunya. Dengan kata lain, secara terbalik, tak akan ada produktivitas berupa prestasi belajar siswa yang berarti tanpa kinerja mengajar guru yang baik.
Tanpa memperbaiki kinerja guru, semua upaya untuk membenahi pendidikan akan kandas. Kurikulum yang baik, perpustakaan yang lengkap, laboratorium canggih, ketersediaan komputer dan internet nyaris tidak ada artinya untuk memperbaiki mutu pendidikan bila guru-gurunya tidak bermutu dan tidak mencintai profesinya. guru bermutu adalah guru yang menguasai ilmu yang diajarkan sekaligus menguasai keterampilan mengajar. Guru berkualitas hampir tidak mungkin dilahirkan apabila lembaga pendidikan gurunya tidak berkualitas dan mahasiswanya kelas dua. Masalah itu kait-mengait, dan pada akhirnya bermuara pada sejauh mana bangsa ini menghargai profesi guru (Susahnya Benahi Profesi Guru, http://kompas-cetak/0602/21/humaniora/2455732.htm).
Kustono, melalui makalah seminar nasional yang berjudul Urgensi Sertifikasi guru dalam rangka Dies Natalis UNY yang ke-43 tanggal 5 Mei 2007 di Yogyakarta, mengaitkan kinerja guru yang rendah dengan kualitas guru yang rendah pula. Ia mengemukakan bahwa : 
Kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal terutama bila mengacu pada amanat UU RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Kualifikasi guru dimaksud masing-masing sebagai berikut : guru TK terdapat 91,54%, SD terdapat 90,98%, SMP terdapat 48,05%, dan SMA terdapat 28,84% yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4 (Kustono, 2007).
Khusus untuk guru SMP-yang menjadi responden dalam penelitian ini, menurut data tahun 2005 tersebut, guru SMP yang layak mengajar adalah 51,95%. Pada tahun pelajaran 2006/2007 ada peningkatan, dari 624.726 guru SMP negeri dan swasta, yang layak mengajar adalah 487.512 guru atau 78,04% (Statistik SMP-Depdiknas, http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607/smp0607/tbl14i.pdf). Meningkatnya jumlah guru SMP yang layak mengajar tersebut.
sebagai akibat dari tuntutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pasal 4-5 yang mensyaratkan sertifikasi dengan kualifikasi akademik minimal S1/D4. Persyaratan tersebut selain menjadikan perekrutan guru baru dari lulusan jenjang pendidikan tersebut, juga mendorong guru yang semula belum berijazah S1/D4 melanjutkan pendidikannya ke jenjang tersebut. Peningkatan kualifikasi akademik yang ditempuh melalui proses pendidikan tersebut sudah seharusnya meningkatkan kemampuan guru. Namun demikian, tidak serta-merta meningkatkan kinerjanya.
Permadi dan Dadi menemukan guru dalam menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), setelah diberlakukan sejak tahun 2006 : 
Pelaksanaan proses belajar mengajar dengan model kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sekarang disempurnakan menjadi model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang juga menekankan perlunya ada berbagai upaya untuk secara mandiri dari guru untuk berkreasi agar pengajaran di kelas menjadi lebih menarik dan menyenangkan, masih jauh dari harapan. guru masih terlalu kaku dan takut untuk mengambil inisiatif karena pada zaman orde baru selalu kamus "mohon petunjuk" dari yang lebih atas (kepala sekolah, pengawas, dan birokrat pemerintah) serta takut disalahkan jika memiliki suatu ide dalam inovasi pembelajaran (Permadi dan Arifin, 2007 : 63).
Sulistyo-Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan guru Republik Indonesia (PGRI), dalam rangka peringatan Hari guru Internasional, Minggu, 5 Oktober 2008, mengatakan bahwa kemampuan guru mempersiapkan pembelajaran di kelas masih lemah, guru kurang memiliki gambaran apa yang hams dilakukannya di kelas. Menurutnya, penting untuk menumbuhkan kesadaran internal guru sendiri tentang perbaikan dan perubahan kinerja, guru perlu mengetahui persis kewajiban dan penguasaan kompetensi secara maksimal. Oleh karena itu menurutnya, persoalan peningkatan mutu guru tidak dapat ditawar-tawar lagi, sudah mutlak hams dilakukan, tanpa peningkatan mutu guru, upaya peningkatan kualitas pendidikan dan kucuran anggaran besar-besaran sia-sia belaka. Sulistiyo mengemukakan semua ini didasarkan pada disertasi hasil penelitiannya dengan menyebar kuesioner, observasi dalam kelas, wawancara mendalam, serta tes psikologi mengenai kemampuan metakognisi guru dalam mempersiapkan pembelajaran, yakni bagaimana guru merancang, memikirkan, dan mengelola bahan ajar. (Mutu Guru Sudah Mutlak Pemerintah Harus Bantu Memperluas Wawasan Guru, http://cetak.kompas.eom/read/xml/2008/l 0/06/01035533/mutu.guru.sudah.mutlak).
Secara umum, A. Dale Timple mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Mangkunegara, 2007 : 15). Beberapa peneliti telah memilih faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja guru sesuai dengan interest masing-masing. Hasil penelitian mereka penulis pelajari sebagai bagian dari studi awal sebelum melakukan penelitian yang sebenarnya.
Yang pertama adalah hasil penelitian Wuviani (2005) yang meneliti kinerja guru dengan judul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru". Ia membatasi faktor-faktor tersebut pada tiga variabel, yaitu (1) kualifikasi pendidikan, (2) motivasi kerja guru, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah. Dengan populasi guru SMAN di kota Bandung, Wuviani menemukan, bahwa ketiganya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru, dengan rincian : (1) kualifikasi pendidikan sebesar 37,40%, (2) motivasi kerja guru sebesar 45,20%, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah sebesar 51,80%. Secara bersama-sama ketiganya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru sebesar 67,00%. Sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain.
Kemudian, Riduwan (2006) meneliti kinerja dosen dengan judul "Kontribusi Kompetensi Profesional dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Dosen (Studi pada Universitas Jendral Achmad Yani Kota Cimahi)". Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi profesional secara signifikan memberikan kontribusi sebesar 30,46%, dan motivasi kerja sebesar 61,94% terhadap kinerja dosen. Secara simultan keduanya memberikan kontribusi terhadap kinerja dosen secara signifikan sebesar 90,00%, dan sisanya sebesar 10,00% merupakan pengaruh faktor lain.
Terakhir, Husdarta (2007 : 12-25) melakukan penelitian dengan judul "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Pendidikan Jasmani". Berdasarkan teori yang dipelajarinya, ia menemukan bahwa untuk meningkatkan kinerja guru harus mempertimbangkan faktor internal dan eksternal guru. Ia mengidentifikasi lima variabel yang mempengaruhi kinerja guru, yaitu (1) layanan supervisi, (2) kepemimpinan kepala sekolah, (3) fasilitas pembelajaran, (4) kompetensi, dan (5) motivasi berprestasi. Dengan metode penelitian deskriptif, teknik pengumpulan data kuesioner, sampel sebanyak 150 guru olah raga SD yang ditarik melalui random sampling technique. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempengaruhi kinerja guru pendidikan jasmani dengan besaran : (1) layanan supervisi 5,70%, (2) kepemimpinan kepala sekolah 17,20%, (3) fasilitas pembelajaran 6,10%, (4) kompetensi 13,90%, dan (5) motivasi berprestasi 12,60%. Pengaruh kelima variabel secara bersama-sama adalah 55,40%, sisanya 44,60% pengaruh dari variabel lain.
Terdapatnya hubungan yang signifikan antara berbagai variabel dengan kinerja guru yang tercermin dalam judul-judul tesis dan disertasi para peneliti tersebut, menunjukkan betapa banyaknya faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru.
Dua faktor atau variabel lain yang penulis duga memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja mengajar guru adalah motivasi berprestasi guru dan supervisi akademik kepala sekolah terhadap guru.
Motivasi berprestasi merupakan bagian dari motivasi kerja yang lebih spesifik dengan karakteristik berorientasi pada keberhasilan, kesempurnaan, kesungguhan dan keunggulan dalam melaksanakan pekerjaan. Penulis memandang faktor tersebut sangat mengagumkan jika dimiliki oleh pegawai, khususnya guru, dan penting dalam mendukung kinerja mereka.
Supervisi merupakan upaya pembinaan agar semua faktor yang mempengaruhi pegawai tidak mengganggu kinerja mereka, melainkan sebaliknya, menggiringnya menjadi potensi untuk bekerja secara profesional. Upaya ini menjaga pegawai sehingga mereka tetap on the track. W. Edwards Deming, ahli kualitas, menggarisbawahi pentingnya supervisi atau pengawasan sebagai bagian dari manajemen mutu keseluruhan (total). Ia mengemukakan bahwa "pada dasarnya, kinerja karyawan lebih merupakan fungsi dari pelatihan, komunikasi, alat, dan pengawasan ...." (Dessler, 2006 : 322). Aktivitas supervisi berupaya untuk melakukan perbaikan yang terus menerus (continuous improvement), pencapaian kualitas dan ketercapaian tujuan yang lebih baik (Dessler, 2006 : 323). Jenis supervisi dalam dunia pendidikan disesuaikan dengan tujuan dan sasarannya. Salah satunya adalah supervisi akademik yaitu supervisi pendidikan yang berupaya untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran melalui peningkatan kemampuan profesional guru (Satori, 2004 : 3). Supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah penulis pandang penting karena merupakan rangkaian dari aktivitas quality assurance dalam pendidikan. Penilaian terhadap aktivitas supervisi akademik kepala sekolah secara kedinasan dilakukan oleh pengawas sekolah, namun dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah ini berdasarkan persepsi guru yang disupervisinya.
Dengan latar belakang masalah seperti yang dipaparkan di atas, penulis melakukan penelitian yang berfokus pada kinerja guru dengan judul "Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten X".

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah
Jika dirinci, banyak faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru. Faktor-faktor tersebut bisa bersumber dari diri guru itu sendiri (internal), dan bersumber dari luar guru (eksternal).
Yang tergolong faktor internal guru antara lain : 
1. Kesehatan 
2. Kecacatan 
3. Gender berprestasi 
4. Minat 
5. Sikap 
6. Kemampuan 
7. Motivasi 
8. Persepsi dan lain-lain.
9. Kepercayaan
10. Komitmen
11. Tingkat pendidikan
12. Pengalaman kerja,
Yang tergolong faktor eksternal guru antara lain : 
1. Kebijakan 
2. Manajemen sekolah 
3. Supervisi akademik dihadapi
4. Iklim sekolah 
5. Sarana prasarana 
6. Siswa yang dan lain-lain
7. Pendapatan pemerintah 
8. Kehidupan sosial
Karena terbatasnya waktu dan dana, dalam penelitian ini penulis membatasi masalahnya pada dua faktor internal guru yang mempengaruhi kinerja mengajarnya, yaitu variabel motivasi berprestasi guru dan variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah. Adapun guru dan kepala sekolah yang dimaksudkan dalam kedua variabel tersebut adalah guru dan kepala SMP negeri di kabupaten X.
Alasan untuk memilih variabel motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten X adalah : 
1. Belum terukurnya motivasi berprestasi guru SMP negeri dalam wilayah kabupaten X.
2. Motivasi berprestasi guru merupakan kunci keunggulan guru, yang akan berimbas pada keunggulan siswa, keunggulan sekolah dan keunggulan proses dan produk pendidikan nasional.
Sedangkan alasan memilih variabel persepsi guru tentang supervisi
akademik kepala SMP negeri di kabupaten X adalah : 
1. Kegiatan supervisi akademik merupakan rangkaian dalam penjaminan mutu pendidikan, tapi sering terabaikan oleh kepala sekolah. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Willis (Satori, 1989 : 100), yang menemukan bahwa kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan pekerjaan kantor dan menghadiri rapat-rapat yang sifatnya berisi masalah-masalah administratif. Di negeri kita sendiri disinyalir bahwa pengawasan internal kurang berjalan dengan baik, termasuk supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah kepada guru. Hal ini dimuat dalam harian Radar Semarang : 
"Secara teoritis kepala sekolah telah banyak menyusun perencanaan supervisi guru di kelas, namun dengan dalih kesibukan tugas pokok lainnya pelaksanaan supervisi belum banyak dilakukan" (Eriyadi, 2008).
2. Supervisi akademik merupakan salah satu dimensi standar kompetensi kepala sekolah (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, BSNP, 2007 b : 10, 18, 26) yang perlu diketahui implementasinya.
3. Gurulah yang paling menyaksikan (melihat), mendengar, dan merasakan sendiri bagaimana kepala sekolah melakukan supervisi akademik kepada mereka secara aktual (empiris) di sekolah tempat mereka bekerja.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah deskripsi empiris persepsi guru tentang perilaku supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten X ?
2. Bagaimanakah deskripsi empiris motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten X ?
3. Bagaimanakah deskripsi empiris kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ?
4. Berapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ?
5. Berapa besar kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ?
6. Berapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis deskripsi persepsi guru tentang perilaku supervisi akademik kepala sekolah SMP negeri di kabupaten X.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis deskripsi motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis deskripsi kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kontribusi motivasi berprestasi gum terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X.
6. Untuk mengetahui dan menganalisis besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara bersama-sama terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini, setidak-tidaknya ada dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis menekankan manfaat penelitian ini dari segi ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu dapat memberikan sumbangan terhadap khazanah pengembangan ilmu administrasi pendidikan khususnya fungsi supervisi, dan perilaku organisasional pendidikan menyangkut motivasi berprestasi dan kinerja mengajar guru.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : 
a. Dengan mengetahui deskripsi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, motivasi berprestasi guru dan kinerja mengajar guru, maka gambaran ketiga variabel tersebut bisa menjadi bahan masukan bagi dinas pendidikan dalam menentukan kebijakan dan pembinaan pegawai, khususnya guru dan kepala sekolah.
b. Dengan mengetahui besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, khususnya kepala sekolah dan pengawas sekolah mendapat masukan untuk mengarahkan dan membina guru dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah yang dipimpin dan dibinanya.
c. Dengan mengetahui besarnya kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, khususnya kepala sekolah dan pengawas sekolah bisa mengkondisikan terciptanya kinerja mengajar guru yang prima.
d. Dengan mengetahui besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, terutama departemen (pemerintah pusat) dan dinas pendidikan (pemerintah daerah) bisa menentukan kebijakan yang kondusif dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

TESIS PENGARUH MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP) TERHADAP PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN KINERJA MENGAJAR GURU SMA

TESIS PENGARUH MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP) TERHADAP PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN KINERJA MENGAJAR GURU SMA

(KODE : PASCSARJ-0176) : TESIS PENGARUH MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP) TERHADAP PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN KINERJA MENGAJAR GURU SMA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa, dengan demikian sistem pendidikan nasional menjadi parameter yang sangat penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan diharapkan bangsa Indonesia mampu menjadi negara yang lebih maju, khususnya melalui pengelolaan pendidikan yang tepat guna.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan dan ditangani secara serius, salah satunya dengan cara mengupayakan pendidikan yang bermutu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga diharapkan peserta didik sudah siap untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi maupun sebagai calon tenaga terampil dan ahli dalam bidangnya.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlah maupun mutunya. Pengembangan profesional guru harus diakui sebagai suatu hal yang sangat fundamental dan penting guna meningkatkan mutu pendidikan. Perkembangan profesional adalah proses dimana guru dan kepala sekolah belajar meningkatkan dan menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan nilai secara tepat.
Guru adalah pendidik profesional, mendidik adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik yang profesional. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh guru adalah kemampuan mengelola proses belajar mengajar yang meliputi kemampuan mempersiapkan pembelajaran, kemampuan melaksanakan pembelajaran dan kemampuan mengevaluasi.
Untuk dapat memiliki kemampuan mengelola proses belajar mengajar tersebut, guru harus selalu mengembangkan kemampuannya agar dalam menyampaikan materi kepada para siswanya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi saat kini.
Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi siswa. Guru yang profesional diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai ujung tombak di dalam implementasi kurikulum di kelas yang perlu mendapat perhatian.
Dengan adanya otonomi daerah pola pengelolaan pendidikan mengalami perubahan dari semula yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi, menurut Nana Syaodih (2002 : 198) kurikulum yang bersifat sentralisasi, adalah kurikulum yang disusun oleh suatu tim khusus di tingkat pusat. Sedangkan kurikulum yang bersifat desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, mengamanatkan tersusunnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu kepada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Semua itu, dilakukan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Nana Syaodih (2002 : 151) mengungkapkan bahwa pendidikan sesuai dengan peran dan fungsinya dituntut untuk mampu menyiapkan manusia yang berkualitas untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang timbul pada masa sekarang dan yang akan datang. Bersamaan dengan berbagai upaya dan kebijakan untuk meningkatkan mutu pengelolaan pendidikan, ditemukan fenomena yang menggambarkan telah terjadinya penurunan kualitas moral pada peserta didik.
Kasus tawuran, penodongan di angkutan umum yang dilakukan oleh sebagian pelajar, penyimpangan prilaku seksual pada sebagian pelajar, dan pemasaran narkotika yang telah memasuki segmen pelanggan pelajar merupakan fenomena yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut di atas, mengindikasikan bahwa pendidikan dewasa ini dihadapkan pada satu ancaman yang sangat berbahaya, yakni adanya krisis nilai.
Azra (2002 : 2-4) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya krisis nilai dan moral pada peserta didik dewasa ini, yakni sebagai berikut : 
1. Sekolah sebagai Sistem Sosial tidak berfungsi dengan baik dalam pembinaan nilai dan moral peserta didik. Sekolah dan lingkungan tidak lagi mendidik peserta didik memahami diri untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak di mana mereka mendapatkan koreksi tentang tindakannya, salah atau benar.
2. Proses pendewasaan diri peserta didik tidak berlangsung dengan baik di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan guru kurang paham dalam menjabarkan tugas-tugas profesionalnya.
3. Proses pembelajaran di sekolah sangat membelenggu perkembangan peserta didik. Hal ini disebabkan karena formalitas dan uniformitas sekolah, di mana sekolah berorientasi mengejar target agar siswanya lulus seratus persen.
4. Dalam proses pembelajaran di sekolah, peserta didik dihadapkan nilai-nilai yang bertentangan dimana sekolah menginformasikan nilai-nilai normatif sementara di lingkungan sekitar mereka dihadapkan pada nilai pragmatis amoral.
Ron Brant (Supriadi, 1998 : 75) menjelaskan pentingnya peranan guru dalam pendewasaan peserta didik, sebagai berikut : 
Hampir semua usaha reformasi di bidang pendidikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode mengajar baru pada akhirnya bergantung pada guru. Tanpa guru menguasai bahan pelajaran dan strategi belajar mengajar, tanpa mereka mendorong siswa untuk mencapai prestasi yang tinggi, maka segala upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Dedi Supriadi (1998 : 97) lebih lanjut mengungkapkan bahwa mutu pendidikan bukan hanya dipengaruhi oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, faktor instrumen lainnya. Tapi semua itu pada akhirnya tergantung kepada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran tergantung pada mutu guru.
Kalau melihat uraian tersebut diatas, guru khususnya mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjadikan anak didik memiliki akhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan. Pada kenyataan di lapangan ternyata sebagian anak didik tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu guru yang disediakan oleh pemerintah untuk mengajar pada sekolah umum, khususnya di SMA Kota Y perlu memiliki profesionalisme dan kinerja mengajar yang baik dalam pengabdiannya untuk mengarahkan anak didik kepada yang lebih baik. Salah satu yang diharapkan agar profesionalisme dan kinerja mengajar dimiliki oleh guru yang mengajar pada sekolah umum, terdapatnya tempat musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) termasuk di dalamnya musyawarah guru per mata pelajaran yang mempunyai tujuan seperti yang dikemukakan oleh Mulyasa (2006 : 236) bahwa MGMP merupakan organisasi atau wadah yang dapat meningkatkan profesionalisme dan kinerja guru.
Musyawarah guru Mata Pelajaran (MGMP) adalah wadah untuk pertemuan para guru mata pelajaran sekolah. Lembaga ini dibentuk tidak hanya sebagai forum silaturahmi, tetapi juga sebagai forum untuk menampung berbagai permasalahan yang dihadapi guru di sekolah masing-masing sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Musyawarah guru Mata Pelajaran (MGMP) sangat diharapkan keberadaannya, dengan jalan dapat meningkat kemampuan kompetensi guru. Kemampuan kompetensi guru merupakan salah satu program MGMP yang dapat meningkatkan profesionalisme guru. Danim (2002 : 23) mengungkapkan bahwa profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Profesionalisme merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu.
MGMP merupakan suatu wadah bermusyawarahnya para guru mata pelajaran sejenis dalam suatu jenjang baik SMP atau SMA. Musyawarah guru Mata Pelajaran (MGMP) ini juga merupakan suatu forum atau wadah kegiatan profesionalisme guru yang kegiatan di dalamnya dari oleh dan untuk guru. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Satori (1998 : 28) bahwa : "Jalur lain yang sifatnya non struktural adalah pemanfaatan secara berhasil guna forum gugus mata pelajaran sejenis di sekolah yaitu MGMP. Wadah dari-oleh-untuk guru tersebut sangat strategis dimanfaatkan sebagai mekanisme andal dalam supervisi akademik".
Musyawarah guru Mata Pelajaran (MGMP) tingkat SMA merupakan wadah kegiatan guru pada jenjang SMA untuk memecahkan segala permasalahan dan hambatan yang terjadi di lapangan serta menyempurnakan proses pembelajaran diantaranya adalah : a) Perbedaan penguasaan materi pelajaran dan b) Hal-hal yang menunjang dan berhubungan dengan proses belajar mengajar. Kegiatan MGMP ini merupakan sarana peningkatan mutu pendidikan, melalui wadah MGMP para guru bermusyawarah untuk melakukan perbaikan dalam menyempurnakan proses pembelajaran, sehingga hal ini akan mencapai mutu pendidikan.
Kepala sekolah dan pengawas seharusnya berkewajiban membantu guru untuk meningkatkan kompetensinya, akan tetapi hal tersebut tidak bisa secara penuh dilakukan. Oleh karena itu, maka dibentuklah suatu wadah yaitu MGMP. Di dalam penyelenggaraan kegiatan MGMP adanya saling meningkatkan kompetensi antar guru peserta MGMP seperti yang dikemukakan oleh Surya (2000 : 5) bahwa : 
Kadang-kadang terutama di tingkat sekolah menengah, supervisor eksternal tidak mampu memberikan bantuan terhadap guru dalam bidang yang diajarkannya. Guru sejawat akan lebih mungkin memberikan dukungan ketimbang supervisor eksternal. Program peningkatan keterampilan dengan cara menggalakkan guru untuk menyediakan dukungan dan bimbingan kepada rekan-rekannya sambil memperbaiki pelaksanaan pengajaran mereka sendiri di kelas.
Melalui kegiatan MGMP ini, maka para guru akan mampu meningkatkan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Segala bentuk kesulitan yang dihadapi di lapangan akan mudah mencari solusinya dari guru peserta MGMP dan para pengawas. Seperti yang dikemukakan oleh Surya (2000 : 4) bahwa : Dalam melaksanakan fungsinya, guru tidak berbuat sendirian akan tetapi harus berinteraksi dengan guru lain yang terkait melalui suasana kemitraan yang bersifat sistematik, sinergik dan simbiotik. Demikian pula antar disiplin ilmu seharusnya saling berinteraksi dan bekerjasama dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul. Pendekatan interdisipliner dalam bentuk tim kerja merupakan suatu yang mutlak dan harus dijadikan landasan dalam kinerja guru.
Pengawas dan kepala sekolah sebagai pembina seharusnya memfungsikan MGMP secara terarah dan berkesinambungan, sehingga MGMP ini menjadi wadah yang dapat meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai kualitas pendidikan. Lebih lanjut mengenai MGMP di tingkat SMA untuk meningkatkan profesionalisme guru diungkapkan oleh Administrator bahwa peranan MGMP tingkat SMA dalam pengembangan program di sekolah sangatlah penting karena lembaga ini merupakan wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Selain itu melalui MGMP tingkat SMA dapat dilakukan diskusi, tukar pikiran dan pengalaman antar pengurus MGMP tingkat SMA untuk mengatasi permasalahan yang ada dan berkembang di sekolah.
Kenyataan yang ditemui di lapangan, saat ini kiprah MGMP khususnya MGMP tingkat SMA secara umum belum berjalan secara optimal sebagaimana yang diharapkan. Bahkan di beberapa tempat khususnya pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi hal ini tidak berjalan sama sekali.
Kenyataan ini dimungkinkan diakibatkan oleh adanya hambatan koordinasi antara pengurus MGMP tingkat SMA atau guru mata pelajaran itu sendiri dan kurang dukungan dari penentu kebijakan baik pada tingkat sekolah (Kepala Sekolah), Kabupaten/Kota (Dinas), Propinsi bahkan sampai tingkat pusat. Oleh karena itu dalam rangka mengoptimalkan kembali peranan MGMP tingkat SMA sebagai wadah koordinasi antara guru mata pelajaran di sekolah, program yang menunjang pengurus MGMP tingkat SMA menjadi sangat penting. Diketahui bahwa kecakapan guru sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan perkembangan dan pembaharuan pendidikan, seperti yang di kemukakan oleh Supriadi (2003 : 567) yaitu : 
Pengembangan MGMP dilatarbelakangi oleh pertama; kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa unjuk kerja guru dalam melaksanakan KBM sangat bervariasi dan kualifikasi pendidikannya pun beraneka ragam, untuk mengatasi keadaan ini wadah-wadah kelompok kerja guru seperti MGMP/PKG yang telah dirintis sejak tahun 1979/1980, perlu diberdayakan kembali untuk merespon perkembangan IPTEK yang senantiasa menuntut penyesuaian dan pengembangan profesional guru. Kedua; Kepmenpan No. 26/1989 mengenai Kenaikan Pangkat dan angka kredit bagi jabatan fungsional guru menuntut guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan mencapai prestasi yang setinggi-tingginya dalam melaksanakan tugas sehari-hari di sekolah serta ikut mengabdikan dirinya dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, melalui wadah MGMP ini para guru dapat berkonsultasi, berkomunikasi, saling berbagi informasi dan pengalaman, serta dapat menemukan solusi dari permasalahan yang ditemukan di lapangan.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul "PENGARUH MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP) TERHADAP PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN KINERJA MENGAJAR GURU SMA NEGERI KOTA Y"

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang harus diperoleh jawabannya, maka agar penelitian ini dapat mengungkapkan fakta secara mendalam perlu adanya pembatasan masalah, hal-hal yang diungkapkan dalam penelitian ini terfokus pada : 
1. Musyawarah guru Mata Pelajaran (MGMP), merupakan suatu wadah asosiasi atau perkumpulan bagi para guru mata pelajaran yang berada di suatu sanggar, sekolah kabupaten/kota yang berfungsi sebagai sarana untuk saling berkomunikasi, belajar, dan bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kinerja guru sebagai praktisi/pelaku pembahan reorientasi pembelajaran di kelas. 
2. Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan ketrampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Webster, 1989). Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). 
3. Kinerja, Seperti yang dikutip oleh Yulian (2009 : 2439) dapat didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau the degree Of accomplisment atau tingkat pencapaian tujuan organisasi (Rue dan Byars, 1981 : 375). Sedangkan menurut Prawirosentono (1992 : 2), kinerja didefinisikan sebagai : "Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika." Program MGMP tingkat SMA di Kota Y, sama halnya dengan program-program yang lain, mempunyai rencana yang hendak dicapai. Salah satu rencana tersebut harus sesuai dengan kebutuhan. Dari kebutuhan yang sudah diidentifikasi akan dibuat program yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja mengajar guru. Akan tetapi dalam program ini hanya sebatas program MGMP Tingkat SMA yang ada di Kota Y saja.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, akan dikemukakan susunan rumusan masalah penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh musyawarah guru mata pelajaran/MGMP terhadap peningkatan profesionalisme guru pada tingkat SMA di Kota Y ?
2. Bagaimana pengaruh musyawarah guru mata pelajaran/MGMP terhadap peningkatan kinerja mengajar guru mata pelajaran pada tingkat SMA di Kota Y ?
3. Bagaimana pengaruh dari pelaksanaan musyawarah guru mata pelajaran/MGMP yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan profesionalisme guru terhadap kinerja mengajar guru mata pelajaran tingkat SMA di Kota Y ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh pelaksanaan musyawarah guru mata pelajaran/MGMP terhadap peningkatan profesionalisme dan kinerja mengajar guru pada tingkat SMA.
Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang : 
1. Bagaimana pengaruh musyawarah guru mata pelajaran/MGMP terhadap peningkatan profesionalisme guru pada tingkat SMA Negeri di Kota Y.
2. Bagaimana pengaruh musyawarah guru mata pelajaran/MGMP terhadap peningkatan kinerja mengajar guru pada tingkat SMA Negeri di Kota Y.
3. Bagaimana pengaruh dari pelaksanaan musyawarah guru mata pelajaran/ MGMP yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan profesionalisme guru terhadap kinerja mengajar guru mata pelajaran pada tingkat SMA Negeri di Kota Y.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan mempunyai harapan besar untuk dapat dijadikan bahan masukan pembinaan dalam meningkatkan profesionalisme dan kinerja mengajar guru dalam menambah wawasan bagi pihak yang terkait. Begitu juga penelitian ini dapat langsung dirasakan hasilnya baik bagi pengurus MGMP pada tingkat SMA, guru mata pelajaran pada tingkat SMA, peneliti sendiri, maupun bagi penelitian lebih lanjut.
1. Bagi Pengurus MGMP pada tingkat SMA di Kota Y.
Kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada program MGMP pada tingkat SMA di Kota Y, diungkapkan melalui penelitian merupakan bahan instrospeksi untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja mengajar guru selanjutnya. Pada akhirnya diharapkan mampu membenahi program dan pelaksanaan pembinaan selanjutnya untuk memperbaiki/meningkatkan kualitas guru terutama dalam kegiatan belajar mengajar sesuai dengan tuntutan dan perkembangan pendidikan.
2. Guru
Bagi guru, penelitian ini merupakan sarana untuk mendapatkan Informasi yang baik sebagai masukan yang dapat dijadikan perbaikan ke depan sebagai tenaga profesional, guru akan menyadari dan mengetahui posisi masing-masing sebagai orang-orang terpenting dan berada dalam posisi terdepan dalam proses belajar mengajar.
3. Peneliti Sendiri
Bagi peneliti, kesempatan penelitian yang dilakukan ini merupakan upaya menambah wawasan berfikir ilmiah, terutama dalam rangka pembinaan profesionalisme dan kinerja mengajar guru secara teoritis dan kaitannya dengan pelaksanaan di lapangan. Dengan ditemukannya keunggulan dan kelemahan program pembinaan profesional dan kinerja mengajar guru melalui kegiatan MGMP akan mudah mengetahui akar permasalahan dari dimensi itu dan memberikan solusi bila permasalahan serupa terulang kembali.
4. Bagi penelitian lebih lanjut.
Untuk peneliti yang akan melanjutkan penelitian yang berkaitan dengan pembinaan profesionalisme dan kinerja mengajar guru melalui kegiatan MGMP dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai bahan kajian yang relevan.

TESIS KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN PENGAWAS SEKOLAH DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMK

TESIS KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN PENGAWAS SEKOLAH DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMK

(KODE : PASCSARJ-0174) : TESIS KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN PENGAWAS SEKOLAH DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kualitas proses pembelajaran sangat ditentukan oleh faktor kinerja guru dalam memberikan pelayanan pembelajaran atau dengan kata lain, Kinerja Mengajar Guru. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan Zamroni (2007 : 113), bahwa "kualitas proses belajar mengajar terutama ditentukan oleh kualitas guru, yakni kemampuan dan kemauan guru." Istilah kemampuan dan kemauan yang dikemukakan Zamroni tersebut dapat diartikan sebagai kinerja bila merujuk pada pendapat Keith Davis (1964 : 484) : "Human performance consists of ability and motivation." Artinya, kinerja seseorang meliputi kemampuan dan motivasi (kemauan). Jadi kinerja mengajar guru merupakan hasil persilangan antara kemampuan dan motivasi yang dimiliki guru dalam melaksanakan tugas pengajarannya di sekolah.
Menurut Zamroni kemampuan atau kompetensi guru merupakan penguasaan materi yang akan diajarkan dan penguasaan metodologi pembelajaran, sedangkan kemauan guru merupakan sifat positif guru terhadap tugas-tugas profesional mengajar yang tercermin pada dedikasi pada tugas-tugas tersebut.
Sejalan dengan pendapat Zamroni, Stephen P. Robbins (2006 : 52) mendefinisikan kemampuan sebagai kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu, sebagaimana dikemukakannya : "Ability is an individual capacity to do tasks in a certain job." Sedangkan Razik dan Swanson (1995 : 275), mendefinisikan kemauan atau motivasi sebagai upaya mewujudkan kemampuan menjadi tindakan atau tugas sebagaimana disampaikan mereka : "Motivation is the effort with which ability is applied to a task." Pendapat kedua pakar tersebut memperkuat pengertian kinerja sebagaimana juga dikemukakan oleh Zamroni di atas.
Dari pemaparan tentang kinerja tersebut dapatlah disimpulkan bahwa kinerja mengajar guru sangatlah penting karena menentukan kualitas pembelajaran di sekolah. Kinerja mengajar guru merupakan faktor yang bisa mencerminkan sikap dan karakter seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah. Kinerja mengajar guru merupakan nilai-nilai luhur yang perlu diinternalisasikan ke dalam diri setiap guru agar ia bekerja dengan penuh gairah dalam memberikan pelayanan pembelajaran dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah, sedang, dan akan dilakukannya kepada seluruh peserta didiknya.
Kinerja mengajar guru dalam perkembangannya telah menjadi sosok penting dan menjadi objek pembahasan yang menarik. Para pakar pendidikan maupun pakar manajemen dan administrasi pendidikan tidak henti-hentinya membicarakannya dan melakukan penelitian-penelitian yang berguna yang berhubungan dengan objek tersebut, begitu pula pihak pemerintah selalu menyinggungnya untuk menentukan kebijaksanaan yang tepat yang berhubungan dengan hal itu.
Pakar manajemen atau administrasi pendidikan, Sedarmayanti (2001 : 50) menyukai pendapat August W. Smith tentang definisi kinerja, bahwa kinerja didefinisikan sebagai hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia sebagaimana disampaikan melalui kutipannya : "performance is output derives from processes, human otherwise."
Pakar manajemen lainnya, Wibowo (2007) dalam buku "Manajemen Kinerja" mengemukakan pendapatnya, bahwa : 
"Kinerja mempunyai makna lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya" (Wibowo, 2007 : 2).
Dari pihak pemerintah, sebuah lembaga pemerintah, LAN (Lembaga Administrasi Negara, 1992) menjelaskan bahwa "kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja." Dengan kata lain kinerja adalah wujud perilaku seseorang atau organisasi dengan orientasi prestasi.
Kemudian untuk mengetahui tingkat kinerja seseorang, T.R. Mitchell (1989 : 327) menentukan ukurannya. Menurutnya kinerja seseorang bisa diukur berdasarkan kriteria atau standar berikut : (1) Kualitas hasil kerja (Quality of work); (2) Prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan (Promptness-Initiative); (3) Kemampuan menyelesaikan pekerjaan (Capability); dan (4) Kemampuan membina kerjasama dengan pihak lain (Comunication).
Sedangkan standar kinerja mengajar guru pengukurannya menurut Piet A. Sahertian dalam Kusmianto (1997 : 49) harus mencakup : (1) Kualitas guru dalam melaksanakan tugasnya; (2) Bekerja dengan siswa secara individual; (3) Persiapan dan perencanaan pembelajaran; (4) Pendayagunaan media pembelajaran; (5) Melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman belajar; dan (6) Kepemimpinan yang aktif dari guru.
Selanjutnya Menteri Pendidikan Nasional membuat kebijaksanaan untuk mengukur kinerja guru dengan istilah standar kompetensi guru sebagaimana disampaikannya dalam Permendiknas RI (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, bahwa Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu : (1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.
Kinerja guru yang sebenarnya diwujudkan dalam bentuk perilaku guru dalam memberikan pelayanan pembelajaran kepada peserta didiknya, atau dengan kata lain kinerja mengajar guru meliputi : (1) Merencanakan pembelajaran; (2) Melaksanakan kegiatan/proses pembelajaran; dan (3) Menilai hasil belajar.
Pengukuran atau standarisasi terhadap kinerja mengajar guru tersebut diperlukan guna memberi kesempatan bagi para guru untuk mengetahui tingkat kinerja mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Sedarmayanti (2001 : 54), bahwa "untuk dapat mengevaluasi kinerja pegawai secara obyektif dan akurat, maka perlu ada tolok ukur tingkat kinerja. Pengukuran tersebut berarti memberi kesempatan bagi para pegawai untuk mengetahui tingkat kinerja mereka."
Disamping itu hasil pengukuran terhadap kinerja guru dapat memberikan masukan kepada sekolah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi para pegawainya (guru-gurunya) terhadap keberhasilan pendidikan dan pembelajaran yang dicapai sekolah tersebut. Kemudian informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut oleh sekolah dapat dipergunakan untuk memperhitungkan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru-gurunya sesuai dengan tingkat kesulitan mereka agar gairah kerja mereka di sekolahnya tetap meningkat.
Namun fenomena yang terjadi di lapangan sungguh berbeda, karena kinerja mengajar guru di beberapa sekolah di daerah tertentu masih belum menunjukkan kenaikan yang berarti dalam memberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran, meskipun ada diantara mereka telah berulang kali mendapat pendidikan dan pelatihan dari lembaga-lembaga, pusat-pusat pelatihan atau asosiasi-asosiasi profesi tersebut. Pendidikan dan pelatihan yang telah diprogramkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi pelatihan yang dimaksud diperkirakan belum dapat mengusik hati nurani dan perilaku sebagian guru untuk berubah agar meningkatkan kinerjanya lebih tinggi dari kebiasaannya semula.
Rendahnya kinerja guru SMK dalam memberikan pelayanan pengajaran dapat berdampak pada rendahnya kualitas proses/hasil pembelajaran dan juga mutu lulusan yang dihasilkan sekolah tersebut, sehingga hal ini menimbulkan banyak masalah, seperti peserta didik yang hasil belajarnya tidak mencapai SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal) atau peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan di bawah standar tersebut, juga lulusan sekolah yang tidak cakap, tidak terampil, dan tidak memiliki keahlian yang cukup untuk bekal hidupnya sehingga tidak siap pakai di dunia kerja, karena lulusan tersebut tidak mencapai standar kompetensi yang memadai sesuai SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Inilah hal-hal yang telah mengganjal dan menjadi keprihatinan dari para orang tua pemakai jasa pendidikan tersebut.
Rendahnya hasil UN/UAS di Kabupaten Z tidak berarti tidak ada upaya untuk meningkatkannya. Dinas Pendidikan Kabupaten Z telah berupaya untuk meningkatkan hasil ujian tersebut. Beberapa cara telah ditempuh oleh Dinas ini, diantaranya dengan cara memerintahkan para kepala SMK untuk mengawasi dan membina para guru dengan serius, namun hasilnya belum menggembirakan. Upaya lainnya dilakukan dengan pemberlakuan tindakan Sidak (sistem tindakan di tempat atau inspection) dengan tujuan membuat jera para pelanggar disiplin dan memberikan sanksi administratif kepada mereka. Contoh : guru atau pegawai selain guru yang melanggar disiplin pegawai seperti datang terlambat atau meninggalkan tugas pada jam-jam kerja, terkena sanksi administrasi. 
Namun cara ini tetap kurang efektif, karena pelaksanaannya tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan pelaksanaannya sering kali mengalami kegagalan atau kebocoran karena ada sebagian pejabat dan masyarakat yang berkepentingan dengan kebijaksanaan pendidikan di daerah ini tidak mendukung tindakan sidak karena mereka menganggap tindakan ini tidak manusiawi dan tidak realistis. Surat-surat perintah atau penugasan yang berhubungan dengan kegiatan pembinaan dan tindakan sidak ini telah diarsipkan dalam dokumen Dinas Pendidikan tersebut (Disdikab Z, 2006-2008).
Menyadari akan pengalaman kegagalan tersebut, maka diperlukan upaya lain yang lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu menurut perkiraan penulis saat ini ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu yang pertama adalah melalui pendekatan perilaku kepemimpinan yang tepat dan efektif, yang dapat dilakukan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan dalam membina guru di sekolah binaan dan yang kedua adalah dengan penciptaan iklim kerja di sekolah yang baik, sehat dan kondusif atau iklim sekolah yang terbuka bagi kepentingan semua warga sekolah dan jalinan hubungan yang terbaik diantara mereka.
Sejalan dengan hal itu Sagala (2006 : 242) mengemukakan bahwa kegiatan pengawas ini dituntut untuk dapat memberikan perhatian khusus terhadap profesionalisme guru guna memperbaiki pengajaran sehingga tercipta kualitas yang baik.
Hal itu dapat terjadi bila kegiatan pengawasan berjalan dengan efektif. Neagley dan Evans (1980 : 1) mengatakan : "Effective supervision of instruction can improve the quality of teaching and learning in the classroom." Artinya pengawasan pembelajaran yang efektif dapat memperbaiki kualitas belajar mengajar di kelas.
Pendapat dan hasil-hasil penemuan penelitian yang dikemukakan di atas, semuanya memberikan dukungan yang kuat bahwa untuk meningkatkan kinerja mengajar guru SMK diperlukan perilaku kepemimpinan yang baik dan tepat (efektif) dari seorang pemimpin pengajaran yang dapat memahami perilaku dan kebutuhan dasar guru SMK dan mampu membimbing dan mengarahkan mereka ke arah peningkatan kemampuan profesional dan motivasi berprestasi mereka, yaitu pengawas sekolah dengan perilaku kepemimpinannya yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya melakukan pembinaan dan perbaikan pengajaran di sekolah binaan. Juga diperlukan adanya iklim kerja yang terbuka yang dapat menjaga perasaan dan hubungan satu sama lain serta saling menghargai pekerjaan masing-masing dari seluruh warga sekolah. Dengan demikian cara-cara yang telah diuraikan tersebut dapat meningkatkan kualitas kinerja mengajar guru di SMK sesuai dengan harapan.
Melihat kenyataan ini penulis tergugah untuk mengangkat masalah kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru di SMK dalam suatu penelitian, maka penulis ingin meneliti dengan judul "Kontribusi Perilaku Kepemimpinan Pengawas Sekolah dan Iklim Kerja terhadap Kinerja Mengajar Guru SMK di Kabupaten Z".

B. Identifikasi dan Batasan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian dapat diidentifikasikan dan dibatasi sebagai berikut : 
1. Identifikasi masalah
Masalah utama dalam penelitian ini adalah : "Kinerja Mengajar Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Z masih rendah atau belum optimal dilaksanakan sehingga kualitas proses pembelajaran di sekolah-sekolah tersebut kurang bermutu."
2. Batasan masalah
Dari hasil analisis teridentifikasi 8 (delapan) faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z, yaitu : pelatihan dan pengembangan, kesejahteraan/insentif, fasilitas pembelajaran atau alat bantu mengajar, perilaku kepemimpinan pengawas sekolah, iklim kerja di sekolah, latar belakang pendidikan, kepuasan kerja, dan keuangan sekolah.
Hasil tersebut dikonfirmasikan dengan pengamatan langsung di lapangan. Ternyata dari sekian banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja mengajar guru sekolah tersebut yang paling utama terlihat dengan kasat mata penulis adalah perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja di sekolah.
Berdasarkan pernyataan masalah tersebut, maka masalah tersebut perlu dibatasi yaitu seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran empiris tentang perilaku kepemimpinan pengawas sekolah, iklim kerja, dan kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ?
2. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ?
3. Seberapa besar kontribusi iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ? 
4. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis : 
1. Gambaran empiris tentang perilaku kepemimpinan pengawas sekolah, iklim kerja dan kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.
2. Kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.
3. Kontribusi iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.
4. Kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tentang kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z, yaitu : 
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah perkembangan keilmuan di bidang administrasi pendidikan, khususnya pemahaman terhadap pengembangan aspek sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yaitu perilaku kepemimpinan pengawas sekolah yang tepat dan efektif, iklim kerja di sekolah yang terbuka, dan kinerja mengajar guru SMK yang optimal dan profesional dalam bekerja sebagai komponen input/proses dan prestasi peserta didik/siswa yang memuaskan dan kualitas lulusan/tamatan yang bermutu sebagai komponen output serta permintaan masyarakat pemakai jasa pendidikan dan tenaga kerja oleh dunia usaha (DU) dan dunia industri (DI) sebagai komponen outcome.
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan dan pemikiran bagi guru dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan hasil belajar peserta didiknya dengan cara merefleksi diri atas perilaku kerjanya selama ini dan berupaya memperbaiki kemampuan profesionalnya dan motivasi kerjanya di tempat manapun ia bertugas.