Search This Blog

Showing posts with label kemampuan membaca anak usia dini. Show all posts
Showing posts with label kemampuan membaca anak usia dini. Show all posts
SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

(KODE : PTK-0128) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan seorang pembelajar aktif. Anak aktif membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan dan bermain. Dunia bermain merupakan dunia yang penuh spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan.
Bermain merupakan hal yang sangat penting bagi anak, karena bermain merupakan suasana belajar anak yang bermakna. Dijelaskan oleh Greenberg (dalam Solehuddin, 2002 : 7) yaitu : "Children learn as they live, work, play, and converse with peers. As they exchange ideas, they challenge each other every bit as much as many adults challenge them-to think, to reconstruct their ideas because they have new information and view points".
Sesuai dengan pendapat Greenberg tersebut, maka bermain merupakan saat belajar bagi anak. Pada saat bermain anak mengkreasikan ide bersama teman sebaya dan anak lainnya, sama halnya seperti orang dewasa yang menantang mereka untuk berpikir, untuk membangun gagasan atau ide mereka, karena mereka memiliki informasi dan pandangan baru.
Cara anak belajar haruslah menyenangkan. Salah satu pembelajaran di Taman Kanak-kanak yang menyenangkan adalah melalui pendekatan bermain sambil belajar. Bermain merupakan sarana yang efektif dalam upaya mengembangkan seluruh potensi anak. Melalui bermain seluruh aspek perkembangan anak baik fisik, motorik, sosial emosional, kognitif dan bahasa dapat berkembang. Bermain membuat anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan ide dan pikirannya. Melalui kegiatan bermain ini dapat memberikan peluang belajar kepada anak untuk mengembangkan keterampilan-keterampilannya. Salah satu keterampilan yang dikembangkan di Taman Kanak-kanak adalah keterampilan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa dapat diajarkan sejak dini, dimana kemampuan berbahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman anak berinteraksi dengan lingkungan baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa lainnya membuat perbendaharaan kata anak bertambah, disamping akan memperlancar kemampuan berkomunikasi juga dapat menyampaikan maksud atau keinginan tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah anak peroleh ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk memperkaya kemampuan membaca dini.
Pada Hakekatnya membaca dini merupakan suatu proses yang melibatkan aktivitas-aktivitas fisik. Sejalan dengan pendapat Mediani (2006 : 1) bahwa membaca dini merupakan proses yang melibatkan aktivitas auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan) untuk memperoleh makna dari simbol berupa huruf atau kata. Didukung pula oleh pendapat Tampubolon (1993 : 62) bahwa membaca dini merupakan kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan. Lebih lanjut Pflaum (Tampubolon, 1993 : 43) menyatakan bahwa anak dapat diajarkan membaca apabila anak sudah mempunyai minat, dapat menyebutkan bunyi huruf, dapat mengingat kata-kata, memiliki kemampuan membedakan dengan baik, dan memiliki perkembangan bahasa lisan serta kosa kata yang memadai. Ditambahkan lagi oleh Hainstock (2008 : 87) bahwa anak-anak prasekolah tidak hanya dapat diajarkan membaca, tetapi masa prasekolah adalah masa puncak anak secara alamiah dan antusias menyerap kecakapan-kecakapan membaca. Kemampuan membaca ini merupakan tingkat keterampilan membaca dasar yang diupayakan sedemikian rupa, dimana anak memiliki kecakapan untuk memahami lambang-lambang bunyi dan kata sehingga anak dapat mengenal dan melafalkannya. Hal ini merupakan awal keterampilan membaca yang dipakai untuk melangkah ke tingkat membaca berikutnya.
Kemampuan membaca akan berhasil apabila dalam pembelajaran membaca dirancang dan dilaksanakan secara menyenangkan (joyful learning) dan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Freud (Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman emosional anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak, oleh karena itu pembelajaran yang menyenangkan akan memberikan pengalaman yang positif bagi anak. Sedangkan menurut Rose dan Nicholl (dalam Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman belajar yang menyenangkan adalah : "... use games and activities emotional and music, relaxation, play, color and learning map, learning become joyful, stress-free event. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Teale dan Sulzby (dalam Irawati, 2007 : 2) merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di rumah maupun di sekolah untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis : (1) mendengarkan cerita, (2) menulis pesan-pesan, (3) menceritakan kembali suatu cerita, (4) melibatkan diri dalam permainan drama yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis otentik, (5) belajar mengeja nama-nama orang, dan (6) mengenal tulisan yang ada di sekelilingnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar membaca menjadi menyenangkan apabila dilakukan dengan suasana yang santai, memperhatikan pengalaman emosi anak, serta penggunaan media akan mempermudah anak menangkap apa yang diajarkan.
Cara lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kemampuan membaca dini adalah melalui kegiatan bercerita. Sesuai dengan pendapat Goodman (Irawati, 2007 : 3) bahwa di negara maju dalam kelas-kelas rendah dan pendidikan prasekolah seperti di Eropa, Amerika dan Australia, kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan anak. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan. Mendukung pendapat Goodman, Purbo (2003 : 4) mengemukakan Bahwa : 
Selain bercerita pembelajaran membaca dapat dilakukan melalui kegiatan menempelkan gambar-gambar yang berhubungan dengan huruf atau tulisan pada ruang bermain, mencoba meniru bentuk lingkaran/garis atau huruf tertentu, mengajak anak menonton film yang bersifat mendidik sekaligus menghibur sehubungan dengan pelajaran baca tulis, bermain tebak-tebakan huruf, dan menelusuri bentuk huruf dengan jari.
Pendapat Goodman dan Purbo mengindikasikan bahwa media belajar dalam bentuk konkret dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan membaca. Pembelajarannya pun tak luput dari unsur kesenangan dan bermain sehingga pada akhirnya belajar membaca bukanlah hal yang menakutkan dan menyeramkan, tetapi merupakan hal yang menyenangkan bagi anak.
Riset lebih lanjut dari Nicole Niamic (Irawati, 2007 : 3) menyatakan bahwa anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK atau SD, memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dibandingkan dengan anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu, serta memiliki kemampuan matematika lebih baik. Berdasarkan sumber dari www.balipost.co.id menunjukkan bahwa hasil tes awal kemampuan membaca anak SD/MI kelas I pada umumnya anak yang pernah masuk TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak dari TK. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu dari Tatat Hartati dan Oho Garda (Masitoh, 2002 : 7). Hasil penelitian Tatat Hartati (1998) menyimpulkan bahwa program membaca dini Steinberg efektif dan dapat digunakan untuk mengajar dan meningkatkan keterampilan membaca untuk anak usia prasekolah. Sedangkan hasil penelitian Oho Garda (1996) menyimpulkan bahwa menggambar dan bermain huruf dikatakan oleh penciptaan lingkungan yang kondusif, kegemaran baca tulis pada anak dapat dipupuk.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang diajari keterampilan membaca sejak usia dini menjadi individu yang dapat meraih banyak kesempatan berwawasan luas ketika masuk sekolah, dengan catatan pendekatan yang digunakan hendaknya sesuai dengan karakteristik perkembangan anak dan bahasa sebagai alat komunikasi.
Selain kegiatan-kegiatan membaca yang dirancang secara menyenangkan, kemampuan membaca dini juga di dukung oleh lingkungan yang kaya akan bahan bacaan. Solehuddin (2000 : 72) mengungkapkan bahwa : 
Untuk mengembangkan aspek keterampilan baca-tulis awal, para guru dan orang tua dapat melakukannya dengan menyediakan lingkungan kelas dan rumah yang kaya dengan bahan-bahan tulisan dan bacaan yang menstimulasi perkembangan bahasa dan keterampilan baca tulis anak dalam suatu konteks yang bermakna. Jadi, bila pengembangan membacanya dilakukan hanya dengan mengajarkan abjad, membunyikan huruf, suasana yang memaksa dan kurang menyenangkan, maka dinilai kurang tepat.
Lingkungan kelas yang kaya akan bahan bacaan dan tulisan di peroleh dari materi yang beragam untuk tujuan menulis, label dan kata-kata kunci di sekitar ruangan yang sejajar dengan mata anak-anak, memajang hasil karya anak di papan buletin sehingga anak dapat melihatnya, serta buku-buku bacaan di perpustakaan, Asosiasi Membaca Internasional (1999) menyarankan jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah anak. Adapun untuk perpustakaan kelas idealnya ada tujuh buku untuk satu anak (Witdarmono, 2008 : 4). Sedangkan bahan bacaan di lingkungan rumah tidak berbeda jauh dengan bahan bacaan di sekolah. Lingkungan rumah dapat menyediakan kartu-kartu permainan huruf, buku-buku bergambar yang di dalamnya ada tulisan-tulisan pendek tentang gambar-gambar tersebut, buku cerita dan sebagainya.
Berdasarkan sudut pandang di atas pembelajaran membaca seyogyanya memperhatikan perkembangan anak, dirancang secara menyenangkan dan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar anak. Melalui bermain sambil belajar merupakan cara terbaik menuju kemampuan membaca dan menulis pada anak TK. Guru dan orang tua hendaknya saling bekerjasama untuk dapat memberikan cara belajar dan mengajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
Pada kenyataannya di lapangan, sebagian Taman Kanak-kanak menerapkan pembelajaran membaca yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Guru menerapkan pembelajaran yang konvensional, dimana pembelajaran didominasi oleh guru {teacher centered), kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk berekspresi, berkreasi dan bereksplorasi sehingga kurang merangsang anak dalam mengembangkan minat dan gairah untuk belajar, terpaku pada buku teks, mengerjakan soal (drilling) atau privat cepat membaca dan lingkungan belajar yang kurang sesuai, dimana anak merasa tidak nyaman dalam belajar, tidak akrab, membuat anak tertekan dan jenuh. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan Solehuddin (2002 : 1) bahwa : 
Pembelajaran sering dipahami secara sempit dan terbatas pada kegiatan akademik membaca, menulis dan berhitung. Banyak diantara pendidik berlomba untuk cepat mencapai hasil belajar dalam arti sempit. Anak dipacu untuk cepat bisa membaca, menulis dan berhitung yang hasilnya direfleksikan dengan angka di rapor. Tingginya angka-angka rapor itulah yang pada akhirnya di anggap sebagai supremasi dari keberhasilan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan prasekolah. Tidak cukup di sekolah, di luar sekolah pun berjamur pula kegiatan-kegiatan kursus dan bimbingan tes.
Memperkuat pernyataan Solehuddin, Supriadi (2004 : 46) mengungkapkan bahwa : Kecenderungan salah kaprah dalam pendidikan prasekolah di Indonesia karena kuatnya tekanan dari lingkungan (tuntutan orang tua dan masyarakat) dan pandangan pendidik sendiri bahwa TK merupakan pendidikan prasekolah, maka fungsi TK pun lebih mengutamakan penyiapan anak untuk masuk SD daripada pengembangan kepribadian secara utuh. Karena di SD anak akan diajari materi akademis, maka kegiatan pembelajaran di TK pun sarat dengan muatan akademis.
Akibatnya misi utama TK sebagai wahana pengembangan seluruh aspek kepribadian anak menjadi terkalahkan oleh kepentingan yang pragmatis.
Sutomo (2004 : 5) menyatakan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia tidak banyak membaca dan belajar, sehingga sulit untuk mengerti, menguasai, mentransfer serta menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai sumber data yang ditemukan cukup memberikan gambaran bahwa sumber daya manusia Indonesia memiliki mutu yang rendah. Hal ini diindikasikan dengan angka partisipasi buta huruf mencapai 9, 8% dan kemampuan baca tulis di Indonesia berada di urutan ke dua terendah (36%) setelah negara Venezuela (33, 9%). Ironisnya, Joni (Irawati, 2007 : 1) International Education Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang diteliti. Di dukung pula oleh responden hasil polling milis Nakita (Maulani, 2007) 61, 5% orang tua merasa gelisah kalau anaknya belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena tuntutan dari sebagian orang tua yang menginginkan anaknya untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Hal lain yang tampak dengan sistem pendidikan di sebagian lembaga sekolah salah satunya taman kanak-kanak yang lebih mengutamakan kemampuan anak dalam membaca menulis dan berhitung, dimana anak dibawa ke dalam suasana formal yang menitikberatkan pada orientasi persiapan masuk sekolah. Kadang-kadang sistem pendidikan seperti ini ditemukan pola-pola pembelajaran yang memasung kebebasan anak untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dengan berbagai aturan-aturan yang kaku sehingga anak sulit untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dengan sistem pendidikan seperti ini, maka potensi-potensi anak kurang berkembang dan sering kali kurang diperhatikan. Ironisnya lagi sebagian orang tua menuntut lembaga pendidikan tempat anak belajar tersebut memberikan les calistung sebagai persiapan masuk SD. Padahal tidak seharusnya anak TK bisa membaca menulis, dan berhitung dengan memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini membuat aktivitas bermain anak yang seyogyanya dominan untuk usia mereka, menjadi berkurang atau bahkan terabaikan. Kondisi seperti ini dirasakan kurang sesuai dengan prinsip pembelajaran di TK yaitu bermain sambil belajar. Padahal masa TK adalah masa ketika anak-anak ingin bermain, bereksplorasi, berimajinasi, serta bereksperimen dengan melakukan banyak kesalahan dan belajar dari kesalahannya.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di TK X dari hasil diskusi dengan guru kelas bahwa kemampuan membaca dini masih rendah dan belum optimal. Hal ini terlihat dalam anak-anak masih sedikit yang mampu mengenal simbol-simbol huruf untuk persiapan membaca, pembelajaran masih menggunakan metode yang konvensional. Metode yang digunakan sebatas ceramah, bercakap-cakap dan pemberian tugas. Materi disampaikan dengan bantuan buku-buku latihan membaca, sehingga pembelajaran membaca kurang menyenangkan. Adanya permasalahan ini, sudah selayaknya para pendidik diantaranya guru memikirkan metode yang tepat dalam pembelajaran membaca, karena metode pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan suatu program pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djunaidi, (1987 : 27) bahwa " Berhasil tidaknya suatu program pembelajaran bahasa seringkali di nilai dari segi metode yang digunakan, karena metodelah yang menentukan isi dan cara mengajar bahasa".
Metode yang baik adalah metode yang dapat membuat anak aktif untuk terus mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. Tentunya metode pembelajaran membaca pada anak TK memiliki karakteristik tersendiri. Metode membaca dini seyogyanya disesuaikan dengan gaya dan kebutuhan anak. Hal ini mengingat bahwa setiap anak mempunyai kepekaan cara membaca yang berbeda satu sama lain. Aktivitas membaca dilakukan dalam suasana bermain sambil belajar, dimana anak tidak dibebani dengan aktivitas pembelajaran formal yang menegangkan karena mengingat kemampuan anak untuk berkonsentrasi pada satu topik bahasan biasanya masih sangat terbatas.
Salah satu metode pembelajaran membaca dini adalah metode Montessori. Hainstock (2008 : 32) menyatakan bahwa metode Montessori adalah suatu bentuk pembelajaran yang menggunakan pendekatan individual, dimana anak memimpin atau mengatur belajarnya sendiri, memanfaatkan media pembelajaran yang dapat diawasi dan diperbaiki bila salah oleh mereka sendiri, guru cukup memantau kapasitas dan gaya anak. Metode ini di desain untuk merangsang minat anak dalam belajar, menggali segala potensi dan kemampuan anak baik fisik maupun psikisnya. Metode Montessori khususnya pembelajaran membaca, membiarkan anak belajar membaca sesuai dengan cara dan kesempatan yang ada. Inisiatif belajar anak didukung oleh bimbingan guru yang menjadikan anak bisa membaca (melek huruf) secara bertahap. Alat peraga atau alat permainan yang dirancang menunjang belajar abstrak melalui pengalaman sensorik. Interaksi dengan alat peraga dapat memperkenalkan, memperkuat ingatan anak terhadap huruf dan kata serta memberikan fondasi kongkret untuk membangun pengetahuan abstrak. Anak terus di tantang dengan materi dan latihan yang menarik dan semakin kompleks, memperhatikan keunikan setiap anak dan menghindari sekolah yang formal sampai fondasi belajar anak benar-benar kokoh.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pembelajaran berbahasa salah satunya kemampuan membaca dini di pandang perlu untuk diperbaiki proses dan hasilnya. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya melalui metode Montessori sebagai metode alternatif untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang ada. Melalui metode ini pembelajaran membaca dini di TK X diharapkan mengalami peningkatan dan perubahan yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai "PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, batasan masalah dalam penelitian ini adalah "apakah penggunaan metode Montessori dapat meningkatkan kemampuan membaca dini di TK ?". Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X ?
2. Bagaimana implementasi penggunaan metode Montessori di TK X ?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori ?

C. Tujuan Penelitian
1. Secara umum penelitian ini bertujuan : untuk mengetahui penggunaan metode Montessori dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dini.
2. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 
a. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X
b. Untuk mengetahui implementasi penggunaan metode Montessori di TK X
c. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 
1. Bagi peneliti.
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang metode pembelajaran pada umumnya, dan penggunaan metode Montessori dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK pada khususnya.
2. Bagi Guru.
Menjadi bahan masukan dalam menggunakan metode alternatif pembelajaran bahasa untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK.
3. Bagi Lembaga Pendidikan.
Menjadi bahan rujukan untuk menggunakan metode alternatif sebagai metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PRA MEMBACA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA CD INTERAKTIF

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PRA MEMBACA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA CD INTERAKTIF

(KODE : PTK-0121) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PRA MEMBACA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA CD INTERAKTIF (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam rentang kehidupan manusia, memiliki peran yang strategis. Manusia melalui usaha sadarnya berupaya untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki guna terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai bagian dari pendidikan, berupaya melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu mewujudkan hal tersebut. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 14 mendefiniskan pendidikan anak usia dini sebagai
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
Pembinaan yang dimaksud yakni pemberian stimulasi berbagai informasi baik dari segi afeksi, psikomotor maupun kognitif. Ketiga aspek perkembangan tersebut tidak boleh terpisah karena ketiganya saling berkaitan. Aspek kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir logis dan pemecahan masalah, sementara aspek afeksi berkaitan dengan sikap dan moral, dan aspek psikomotor berkaitan dengan koordinasi fisik anak. Kemampuan anak untuk berpikir logis dan memecahkan masalah di kehidupan sehari-harinya dapat berjalan sesuai dengan norma dan sikap yang berlaku di dalam masyarakat. Cara anak untuk menyelesaikan masalah tersebut merupakan kemampuan kognitifnya yang juga dikaitkan dengan afeksinya. Keduanya akan berjalan baik jika ditunjang dengan fisik yang optimal. Kemampuan fisik yang kurang optimal tidak dapat memungkinkan penyelesaian masalah dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan peraturan tersebut, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berperan sebagai peletak dasar stimulus bagi pengembangan potensi seorang manusia.
Lebih lanjut undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 28 mengatur mengenai bentuk layanan PAUD. Pendidikan Anak Usia Dini terbagi menjadi 3 layanan yakni PAUD formal seperti TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat; kemudian PAUD Nonformal seperti kelompok bermain, tempat penitipan anak, atau bentuk lain yang sederajat; serta PAUD Informal seperti pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan tempat tinggal. Bentuk PAUD formal seperti TK dan RA adalah bentuk layanan yang ditujukan bagi anak usia 4-6 tahun. PAUD formal tersebut memiliki kurikulum yang mengacu pada standar pemerintah pusat dan juga dapat dikolaborasikan dengan kurikulum khas lembaga tersebut. PAUD Informal juga memiliki kurikulum yang disusun oleh standar pemerintah pusat namun juga dapat dikolaborasikan dengan kurikulum khas lembaga. Penggabungan kurikulum pusat dan kurikulum khas merupakan salah satu bentuk pengembangan wawasan sekolah terhadap perkembangan pembelajaran yang terjadi saat itu. Pada tahun 2009 Pemerintah melalui Peraturan Menteri Nomor 58 mengeluarkan Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Standar tersebut berisi pedoman penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini.
Peraturan tersebut berisi standar tingkat pencapaian perkembangan; standar isi, proses dan penilaian; standar pendidik dan tenaga kependidikan; serta standar sarana dan prasarana. Keempat standar tersebut, telah memiliki aturan baku yang seyogyanya diimplementasikan dalam pendidikan anak usia dini.
Standar isi, proses, dan penilaian memaparkan hal-hal terkait perencanaan pembelajaran, muatan pembelajaran, proses pelaksanaan, hingga penilaian pembelajaran yang diimplementasikan dalam sebuah kurikulum. Standar pendidik dan tenaga kependidikan mengatur hal-hal terkait sumber daya manusia yang terlibat di lembaga PAUD, seperti guru, kepala sekolah, petugas administrasi, serta pihak-pihak yang terlibat di dalam sebuah kepengurusan lembaga PAUD. Standar sarana dan prasarana mengatur mengenai standar fasilitas yang dimiliki oleh lembaga PAUD. Sementara standar tingkat pencapaian perkembangan mengatur mengenai tahapan-tahapan perkembangan yang diharapkan mampu dicapai oleh anak usia dini dalam rentang usia tertentu. Keempat standar tersebut saling berintegrasi satu sama lain membentuk sistem lembaga PAUD yang diharapkan mampu melayani anak usia dini dalam mencapai perkembangan optimalnya.
Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah mengenai salah satu bentuk layanan PAUD Formal, yakni taman kanak-kanak. Seperti yang dikutip dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 Pasal 1 Ayat 4 :
“Taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun”.
Taman kanak-kanak merupakan jenjang pendidikan dasar yang mampu diharapkan menjadi peletak dasar bagi jenjang pendidikan selanjutnya. Froebel (Sujiono, 2009) merupakan pencetus istilah Kindergarten atau Taman Kanak-kanak. Menurutnya sistem Kindergarten diperuntukkan bagi anak usia 3 sampai 7 tahun. Froebel menggunakan istilah taman sebagai simbol dari pendidikan anak. Hal ini dilatarbelakangi karena perluasan pandangannya terhadap dunia dan pemahamannya tentang hubungan individu, sang pencipta dan alam semesta.
Mengacu kepada standar tingkat pencapaian perkembangan pada peraturan menteri nomor 58 tahun 2009, perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi semua potensi yang dimiliki oleh anak yang diharapkan mampu dicapai oleh anak. Terdapat 5 aspek perkembangan yang diharapkan mampu dicapai oleh anak usia 4-6 tahun (usia taman kanak-kanak) , diantaranya : 
(1) nilai-nilai agama dan moral membahas mengenai kemampuan anak dalam hal pemahaman agama serta nilai-nilai sikap di dalam kehidupan bermasyarakat; (2) Sosial-emosional berkaitan dengan kemampuan rasa peka terhadap teman-teman dan keluarga serta masyarakat sekitar; (3) Bahasa berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi, bercerita serta mengenal simbol-simbol huruf; (4) Kognitif berkaitan dengan kemampuan mengenal konsep sains, kemampuan berhitung serta konsep-konsep logika sederhana; (5) fisik berkaitan dengan kemampuan menggunakan otot halus dan kasar untuk melakukan sejumlah aktivitas pembelajaran.
Bidang pengembangan kemampuan bahasa memiliki peranan yang penting dalam hal penunjang aktivitas pembelajaran. Anak usia TK membutuhkan bahasa untuk menerima dan mengungkapkan setiap informasi yang diterimanya. Seperti yang kita ketahui bahwa usia 4-6 tahun merupakan masa yang sangat aktif yang dikenal dengan istilah The Golden Age, yakni suatu masa dimana perkembangan otak dalam mengolah informasi berkembang dengan sangat pesat. Anak-anak usia 4-6 tahun, memperoleh pembelajaran melalui aktivitas bermain. Sehingga sangat disayangkan jika mereka tidak berpikir aktif, karena kemampuan berbahasanya yang terganggu. Jean Piaget (Crain, 2007) memaparkan bahwa kemampuan berbahasa sangat berkembang cepat selama tahun-tahun pra operasional awal, sekitar 2-4 tahun. hal inilah yang salah satunya melatarbelakangi peneliti menggunakan subjek penelitian kelompok TK A yang berusia antara 4-5 tahun. peraturan menteri nomor 58 tahun 2009 mendeskripsikan bahwa kemampuan pra membaca merupakan salah satu perkembangan bahasa bidang keaksaraan. Anak-anak diharapkan mampu mengenal huruf abjad secara berurutan, merangkai huruf menjadi suku kata, menghubungkan benda dengan kata, menghubungkan kata dengan simbol yang melambangkannya, serta menceritakan gambar sederhana.
Kemampuan membaca merupakan salah satu tingkat pencapaian perkembangan yang harus dimiliki oleh anak pada aspek perkembangan bahasa. Membaca merupakan hal yang penting untuk dikuasai anak, agar informasi pembelajaran dapat terserap dengan optimal. Departemen Pendidikan Nasional (2007) mendefinisikan membaca sebagai kegiatan yang melibatkan unsur auditif (pendengaran) dan visual (pengamatan). Kemampuan Pra Membaca merupakan kemampuan yang dimiliki anak usia TK sebelum mereka mampu membaca. TK sebagai lembaga PAUD yang satu tingkat berada pada jenjang sebelum pendidikan dasar, diharapkan memberikan stimulasi kemampuan pra membaca pada anak. Pra membaca merupakan kemampuan awal membaca. Anak-anak diminta untuk mengenal huruf, kata dan merangkai kata menjadi kalimat yang sangat sederhana.
Anak TK berada dalam rentang usia 4-6 tahun. Jean Piaget menyebutkan istilah tahapan kognitif pra operasional dalam rentang usia ini (Crain, 2007). Yakni suatu tahapan dimana pikiran anak berkembang cepat ke sebuah tatanan baru, yaitu simbol-simbol (termasuk citraan dan kata-kata) , dengan bentuk pikiran yang tidak sistematis dan tidak logis. Anak-anak dalam tahap ini membutuhkan stimulasi yang sangat kongkrit bagi informasi-informasi yang abstrak, seperti konsep bilangan dan konsep huruf. Teori Jean Piaget mengenai tahapan Pra Operasional mengindikasikan bahwa perubahan cara berpikir anak-anak dari tahap abstrak ke kongkrit membutuhkan stimulasi yang baik agar tidak terjadi kesalahan persepsi antara konsep abstrak dan konsep nyatanya. Piaget lebih lanjut menyarankan bahwa stimulasi informasi tersebut dikemas dalam bentuk yang menyenangkan melalui bentuk permainan. Montessori sependapat dengan pernyataan Piaget tersebut, bahwa anak-anak pada usia 4 tahun telah memasuki periode kepekaan berbahasa (Crain, 2007, p. 113) seperti yang dikutip berikut ini
Ketika memasuki usia empat tahun, anak-anak akan belajar membaca dan menulis dengan antusias. Ini karena mereka masih berada di dalam periode kepekaan umum terhadap bahasa. mereka baru saja menguasai bahasa secara tidak sadar, dan sekarang ingin belajar semua hal tentangnya pada tingkatan yang lebih sadar, dan aktivitas membaca dan menulis mengizinkan mereka melakukan hal ini. Jika sebaliknya, anak harus menunggu sampai umur enam atau tujuh tahun untuk belajar bahasa tertulis seperti biasa dilakukan di sekolah-sekolah, tugas ini akan jadi lebih sulit karena periode kepekaan terhadap bahasa sudah berlalu.
Montessori lebih lanjut juga menyarankan bahwa periode kepekaan berbahasa tersebut perlu distimulasi sejak empat tahun. Bahkan jika anak harus menunggu kematangannya sampai usia enam tahun, akan lebih sulit untuk membaca. Montessori juga sependapat dengan Jean Piaget bahwa implementasinya dalam pembelajaran adalah tidak terlepas dari perkembangan dan pertumbuhan anak usia tersebut, yakni dunia bermain. Cass (1973) dalam Essa (2003) memaparkan pengertian bermain bahwa "It is an activity which is concerned with the whole of his being, not with just one small part of him, and to deny him the right to play is to deny him the right to live and grow". 
Bermain merupakan aktivitas yang menyerupai seluruh hal-hal yang nyata, tidak hanya bagian kecil darinya tapi juga untuk belajar seolah-olah seperti nyata. Melalui bermain, anak-anak diajak seolah-olah sedang mempelajari sesuatu yang nyata untuk mengkonsernkan pemikiran abstraknya. Anak-anak diajak untuk berimajinasi, membayangkan bahkan berperan seperti keadaan nyatanya. Misalnya anak-anak diajak untuk mengimajinasikan simbol huruf I sebagai cacing yang panjang. Atau angka 1 sebagai ular yang sedang berdiri. Konsep huruf I merupakan konsep huruf yang abstrak, sementara cacing sebagai perumpamaannya merupakan bentuk bermainnya. Metode pembelajaran seperti ini membuat anak mengeksplorasi pengetahuannya secara luas agar mendapatkan pengetahuan yang baru. Melalui bermain, anak-anak dapat mengembangkan kesempatannya untuk melatih keterampilan, kemampuan berpikir, kemampuan emosinya, sosialnya dan tentu saja kreativitasnya.
Pada kenyataannya, fungsi Sekolah Dasar (SD) telah beralih fungsi ke TK. Saat ini TK mewajibkan anaknya untuk mampu membaca dengan berbagai cara. Pada dasarnya hal ini tidaklah salah, jika stimulasi membaca dapat diimbangi dengan prinsip-prinsip pembelajaran di TK. Salah satu prinsip pembelajaran di TK yang tertuang dalam Kurikulum TK tahun 2010 adalah berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kemampuan pra membaca merupakan kebutuhan bagi setiap anak. Namun setiap anak tidak dapat diperlakukan sama untuk belajar kemampuan pra membaca. Karena setiap anak berbeda dan unik. Pada kenyataannya yang terjadi di lapangan adalah anak-anak diberikan stimulasi yang sama menggunakan buku, tanpa adanya aspek menyenangkan melalui bentuk permainan. Pada akhirnya masyarakat berpikir bahwa TK adalah lembaga kursus membaca. Padahal esensi TK yakni suatu lembaga yang menstimulasi kemampuan pra membaca. Artinya anak-anak diajak untuk belajar membaca melalui permainan-permainan yang diciptakan untuk menstimulasi kemampuan pra membaca.
Perkembangan teknologi yang semakin berkembang pesat, memiliki relevansi dengan bidang pendidikan. Lembaga setingkat TK juga terkena dampak dari perkembangan teknologi tersebut. Salah satunya adalah prinsip pembelajaran di TK yang mensyaratkan bahwa tanggap terhadap perkembangan teknologi. Berkaitan dengan permasalahan stimulasi perkembangan kemampuan pra membaca, penggunaan CD Interaktif menjadi salah satu media pembelajaran yang efektif untuk digunakan. Melalui kegiatan penggunaan mouse dan tombol-tombol keyboard, anak-anak diajak untuk mengaktifkan koordinasi mata dan tangannya, serta tanggap terhadap simbol-simbol huruf. Media dan materi tidak dapat terlepas satu sama lain, karena keduanya berada dalam sistem pembelajaran. Untuk menyampaikan materi pembelajaran, guru membutuhkan media yang relevan dengan materi yang disampaikan. Di TK X, peneliti menemukan permasalahan tersebut. Tingginya permintaan orangtua anak agar anaknya mampu membaca, membuat guru berpikir untuk menemukan media yang relevan. Peneliti dan guru berkoordinasi untuk menciptakan media yang tidak menghilangkan unsur permainan, namun juga sarat akan informasi pembelajaran pra membaca. Melalui penggunaan CD Interaktif ini, materi pra membaca pada anak usia TK diharapkan mampu tersampaikan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip pembelajaran di TK.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan di sekitar TK X, penggunaan produk Teknologi Informasi dan Komunikasi khususnya Komputer, masih jarang digunakan. Padahal dalam Kurikulum TK tahun 2010 salah satu prinsip pembelajaran di TK adalah tanggap terhadap perkembangan teknologi. Seringkali guru hanya menggunakan media yang bukan berbasis teknologi. Hal ini justru tidak mendidik anak untuk tanggap terhadap perkembangan teknologi. Oleh karena itu, melalui penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Pra Membaca Anak Taman Kanak-kanak Melalui Media CD Interaktif, diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah
Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "bagaimana peningkatan kemampuan pra membaca anak taman kanak-kanak melalui media CD interaktif”, secara khusus rumusan masalah tersebut adalah : 
1. Bagaimanakah kondisi kemampuan pra membaca anak TK X saat ini ?
2. Bagaimanakah perencanaan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pra membaca anak TK X ?
3. Bagaimanakah proses pembelajaran pra membaca anak TK X setelah menggunakan CD Interaktif ?
4. Bagaimanakah tingkat pencapaian kemampuan pra membaca anak TK X melalui media CD Interaktif ?

C. Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan penulisan tersebut adalah : 
1. Mengetahui kondisi kemampuan pra membaca anak TK X saat ini
2. Mengetahui perencanaan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pra membaca anak TK X
3. Mengetahui proses pembelajaran pra membaca anak TK X setelah menggunakan CD Interaktif
4. Mengetahui tingkat pencapaian kemampuan pra membaca anak TK X melalui media CD Interaktif

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai produk nyata gagasan berupa penelitian dalam keilmuan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan tentang penggunaan CD interaktif dalam meningkatkan mutu pembelajaran khususnya di Taman Kanak-kanak.
b. Memberikan kontribusi berupa produk CD interaktif, sebagai produk nyata penerapan teknologi komputer di Taman Kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi tentang penggunaan CD interaktif sebagai media dalam meningkatkan kemampuan pra membaca di Taman Kanak-kanak
b. Menambah wawasan peneliti dan guru dalam menerapkan teknologi komputer di Taman Kanak-kanak
c. Memberikan alternatif pemecahan masalah berkaitan dengan stimulus kemampuan pra membaca pada anak usia Taman Kanak-kanak

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI DUKUNGAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR (PGTK)

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI DUKUNGAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR (PGTK)

(KODE : PTK-0106) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI DUKUNGAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu bangsa bukan hanya dilihat dari semakin canggihnya teknologi yang digunakan tetapi ilmu pengetahuan juga sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut setiap orang untuk terus menerus melakukan peningkatan diri dalam mengimbangi hal tersebut. Penguasaan berbahasa merupakan salah satu hal yang penting sebagai modal untuk sumber daya manusia yang berkualitas. Bahasa adalah suatu sistem simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem dimana kita menambah pengetahuan yang kita akumulasikan melalui pengalaman dan belajar. Dengan kata lain, bahasa seseorang mencerminkan pikirannya, semakin trampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pikirannya.
Berbahasa bagi anak juga sangat penting, kemampuan bahasa dipelajari dan diperoleh anak usia dini secara alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai alat sosialisasi, bahasa merupakan suatu cara untuk merespon orang. Menurut Jamaris (2005 : 30) aspek-aspek yang berkaitan dengan perkembangan bahasa anak diantaranya : 1. Kosakata; 2. Sintaksis (tata bahasa); 3. Semantik (penggunaan kata sesuai dengan tujuannya); 4. Fonem (satuan bunyi terkecil yang membedakan kata).
Masih menurut Jamaris (2005 : 32) karakteristik kemampuan bahasa anak usia lima sampai enam tahun diantaranya : 
Anak sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosakata, lingkup kosakata yang dapat diucapkan anak menyangkut : warna, ukuran, bentuk, rasa, bau, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan, jarak permukaan (kasar- halus), anak usia lima sampai enam tahun sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik, dapat berpartisipasi (anak sudah dapat mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapi pembicaraan) dalam suatu percakapan, selain itu percakapan yang dilakukan oleh anak usia lima sampai enam tahun telah menjangkau berbagai komentarnya terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain, serta apa yang dilihatnya, anak sudah dapat melakukan ekspresi diri, menulis, membaca dan berpuisi.
Di dalam perkembangan bahasa anak, keterampilan berbahasa mencakup empat macam bentuk, yaitu : diawali dengan keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan diakhiri dengan keterampilan menulis. Keempat keterampilan itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena memiliki hubungan yang erat antara satu dengan lainnya.
Keterampilan membaca menduduki urutan yang ketiga dalam perkembangan bahasa anak, namun tidak menutup kemungkinan perkembangan bahasa anak itu dapat berbeda-beda. Membaca dini merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbahasa, adapun pendapat dari Plaum dan Steinberg (Tampubolon, 1993 : 64) yang dapat dilihat dari tanda-tanda kesiapan membaca dini, dikemukakan dalam bentuk pertanyaan : 
1. Apakah anak sudah dapat memahami bahasa lisan ?
2. Apakah anak sudah dapat mengujarkan kata-kata dengan jelas ?
3. Apakah anak sudah dapat mengingat kata-kata ?
4. Apakah anak sudah dapat mengujarkan bunyi huruf ?
5. Apakah anak sudah menunjukkan minat membaca ?
6. Apakah anak sudah dapat membedakan dengan baik ?
Membaca adalah sebuah jendela yang membuat seseorang bisa menelaah dan mengetahui segala sesuatu yang dimiliki orang lain dengan cara yang sangat mudah dan sederhana, membaca merupakan kebutuhan yang sangat pokok dan prinsip dalam kehidupan kita pada zaman modern ini. Bagi manusia, membaca menempati posisi dan kedudukan yang sangat penting dalam hidupnya. Membaca merupakan sarana manusia untuk belajar dan mengajar, dengan membaca seseorang dapat memperoleh banyak pengetahuan. Membaca harus dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari dan sedini mungkin, karena apabila tidak dibiasakan untuk membacakan buku sejak dini atau tidak dibiasakan membaca buku sejak dini dapat berpengaruh pada masa depannya.
Keterampilan berbahasa anak, khususnya membaca dini dapat berkembang secara optimal apabila lingkungan dimana anak tersebut berada dapat ikut serta menstimulasinya. Menurut Dhieni (2005 : 5.14) faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca diantaranya : 
1. Motivasi
Faktor motivasi akan menjadi pendorong semangat anak untuk membaca. Dalam hal ini ada motivasi intrinsik, yaitu yang bersumber pada anak itu sendiri dan motivasi ekstrinsik, yang sumbernya terletak di luar anak itu.
2. Lingkungan keluarga
a. Interaksi interpersonal, yang terdiri atas pengalaman-pengalaman baca tulis bersama orang tua, saudara, dan anggota keluarga lain di rumah
b. Lingkungan fisik, mencakup bahan-bahan bacaan di rumah.
c. Suasana yang penuh perasaan (emosional) dan memberikan dorongan (motivasional) yang cukup hubungan antar individu di rumah, terutama yang tercermin pada sikap membaca.
3. Bahan bacaan
Minat baca serta kemampuan membaca seseorang juga dipengaruhi oleh bahan bacaan. Bahan bacaan yang terlalu sulit untuk seseorang dapat mematikan selera untuk membaca. Bagi anak, penyajian bahan bacaan disertai dengan gambar-gambar yang menarik. Gambar lebih dominan daripada tulisan.
Pengembangan berbahasa, khususnya membaca pada anak dapat dilakukan secara konseptual, perlu diperhatikan beberapa butir teori yang berkaitan dengan perolehan kemampuan membaca.
Menurut Morrow (Dhieni, 2005 : 5.15) teori-teori tersebut diantaranya : membaca dipelajari melalui interaksi dan kolaborasi sosial artinya dalam proses pembelajaran membaca dan menulis situasi kelompok kecil memegang peranan penting, anak belajar membaca sebagai hasil pengalaman kehidupan, anak mempelajari keterampilan membaca bila mereka melihat tujuan dan kebutuhan proses membaca, membaca dipelajari melalui pembelajaran keterampilan langsung, kemampuan membaca melalui beberapa tahap.
Menurut Holdoway (Dhieni, 2005 : 5.16) menyatakan ada empat proses yang memungkinkan anak mempelajari kemampuan membaca. Pertama, pengamatan terhadap perilaku membaca, yaitu dengan dibacakan atau melihat orang dewasa membaca. Kedua, kolaborasi yaitu menjalin kerjasama dengan individu yang memberikan dorongan motivasi dan bantuan bila diperlukan. Ketiga, proses yaitu anak mencobakan sendiri apa yang sudah dipelajarinya. Keempat, unjuk kerja, yaitu dengan berbagi apa yang sudah dipelajari dan mencari pengakuan dari orang dewasa.
Pengembangan bahasa anak pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti : faktor internal (diri anak itu sendiri) serta faktor eksternal, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, maupun lingkungan kelas yang baru tempat anak bermain di Taman Kanak-kanak. Taman Kanak-kanak sebagai salah satu lembaga pendidikan untuk anak usia empat sampai enam tahun wajib memberikan fasilitas dalam mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak secara optimal, salah satunya adalah membaca dini. Taman Kanak-kanak merupakan taman bermain bagi anak, dimana dalam bermainnya itu anak mendapatkan pembelajaran dan pengalaman yang bermakna. Strategi yang digunakan dalam mengembangkan kemampuan membaca dini adalah dengan pendekatan pengalaman berbahasa yang menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practice). Pendekatan ini disesuaikan dengan karakteristik anak di Taman Kanak-kanak, yakni melalui bermain dengan menggunakan metode mengajar yang tepat untuk mengembangkan kemampuan membaca dini serta melibatkan anak dalam kegiatan yang dapat memberikan berbagai pengalaman bagi anak.
Selain metode yang digunakan, perlu diperhatikan pula motivasi dan minat anak dalam kemampuan membaca dini, karena faktor tersebut mempengaruhi perkembangan membaca anak. Metode memang sangat penting dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak tetapi media juga sangat diperlukan kegunaannya, karena dengan menggunakan media dapat membantu pendidik dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran adalah sebagai alat pembelajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima sehingga apa yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Secara sederhana, media pembelajaran dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu : media visual, media audio dan media audiovisual.
Media visual adalah media yang hanya dapat dilihat, media visual terdiri atas media yang diproyeksikan (projected visual), seperti media proyeksi diam misalnya gambar diam (still pictures) dan proyeksi gerak misalnya gambar bergerak (motion pictures). Selain itu media yang tidak dapat diproyeksikan (non-projected visual), contohnya : media gambar diam/mati, media grafis, media model, dan media realita.
Media audio adalah media yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan anak untuk mempelajari isi tema. Contohnya yaitu : program kaset suara dan program radio. Media audiovisual merupakan kombinasi dari media audio dan media visual atau biasa disebut media pandang-dengar. Contoh dari media audio visual ini di antaranya program televisi/video pendidikan/instruksional, program slide suara.
Media gambar merupakan salah satu jenis media grafis yang termasuk pada media visual. Media gambar sebagai media pembelajaran yang terhitung lebih murah apabila dibandingkan dengan slide, film, ataupun VCD pembelajaran. Media gambar sebagai media yang mengkombinasikan fakta dan gagasan secara jelas dan kuat melalui suatu kombinasi pengungkapan kata-kata dan gambar-gambar.
Menurut Sadiman (1996 : 29) media gambar memiliki beberapa kelebihan daripada yang lain, diantaranya : 
"Sifatnya konkrit, (gambar lebih realistis menunjukkan pokok masalah dibandingkan dengan media verbal semata), gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita, dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk tingkat usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman, selain itu murah harganya dan gampang didapat serta digunakan, tanpa memerlukan peralatan khusus."
Pada dasarnya media gambar dapat mewakili berbagai aneka ragam bentuk yang ada dalam kehidupan sehari-hari, baik itu tentang binatang, tumbuhan, ataupun benda lainnya yang disertai dengan sedikit tulisan, tujuannya untuk menunjukkan makna dari gambar tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan di TK X kelompok B kondisi objektif kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B masih belum optimal, hal ini terlihat dari hasil pengamatan terhadap anak dan hasil wawancara dengan guru kelas. Anak ragu-ragu dalam menyebutkan huruf antara huruf vokal dan huruf konsonan yang ditunjuk oleh guru, anak belum bisa membedakan huruf yang ditunjuk dan diperintahkan guru dalam mengucapkannya, seperti 'd' atau 'b' dan 'p' atau 'q', anak tidak dapat menyebutkan simbol-simbol huruf awal yang dikenal pada kata 'Apel', 'Ikan', 'Unta', 'Ember', 'Obor', 'Domba', 'Flamingo', 'Gitar', 'Harimau', 'Jerapah', 'Pisang', 'Nanas'. Bahkan masih ada anak yang belum bisa membaca dan menuliskan namanya sendiri.
Metode pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak yang digunakan guru kurang bervariasi, yang digunakan hanya ceramah dan tanya jawab. Anak kurang aktif dalam proses pembelajaran, terlihat pasif dan hanya menjawab apabila guru bertanya.
Di sisi lain orangtua anak TK X mengharapkan bahwa anak-anaknya harus bisa membaca dan menulis ketika akan memasuki Sekolah Dasar, hal ini membuat guru kelas berusaha mencari jalan keluar yang tepat agar stimulasi yang diberikan benar-benar sesuai dengan usia perkembangan anak. Hal ini harus disadari dan dipahami betul bagaimana caranya supaya kemampuan membaca dini pada anak dapat meningkat. Namun harus diperhatikan pula metode yang tepat dalam penyampaiannya sesuai dengan karakteristik usia perkembangan anak. Serta hams diperhatikan pula faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi kemampuan membaca dini anak Taman Kanak-kanak.
Durkin (Tampubolon, 1991 : 63) telah mengadakan penelitian tentang pengaruh membaca dini pada anak-anak. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Hasil diskusi dengan guru kelas, alternatif yang diambil adalah salah satunya dengan menggunakan media gambar dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TKA Al-Hi day ah.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas lebih jauh melalui skripsi ini dengan judul "MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR".

B. Rumusan Masalah
Atas dasar permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B melalui penggunaan media gambar ?". Secara lebih rinci rumusan masalah dalam penelitian ini dituangkan ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B sebelum menggunakan media gambar ?
2. Bagaimana langkah-langkah penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B ?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B setelah menggunakan media gambar ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B melalui penggunaan Media gambar.
Adapun tujuan khususnya adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui kondisi objektif kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B sebelum menggunakan media gambar
2. Mengetahui langkah-langkah penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B
3. Mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B setelah menggunakan media gambar

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah keilmuan tentang penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak usia Taman Kanak-kanak.
Selain itu manfaat penelitian secara praktis adalah sebagai berikut : 
1. Bagi Kepala Sekolah
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu dan perbaikan kemampuan membaca dini pada anak di Taman Kanak-kanak.
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kepala sekolah dalam mengembangkan pengajaran kemampuan membaca dini pada anak.
2. Guru
a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pengetahuan dalam mengembangkan program pembelajaran kemampuan membaca dini pada anak Taman Kanak-kanak.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi guru atau pendidik dalam memilih metode pembelajaran kemampuan membaca dini yang menyenangkan pada anak.
3. Bagi Anak
a. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca dini pada anak di TK X dengan menggunakan media gambar. 
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suasana yang baru dalam kegiatan pembelajaran meningkatkan kemampuan membaca dini anak.

TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0185) : TESIS PENERAPAN MIND MAPPING DALAM MENSTIMULASI KREATIVITAS DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat membutuhkan adanya manusia-manusia yang unggul dan siap berkompetisi. Untuk menjadi manusia yang unggul, salah satu syaratnya adalah memiliki kecerdasan. Dengan kecerdasan ini, manusia dapat menggali ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Bila hal ini tidak dimiliki, maka dengan sendirinya manusia itu akan tersingkir dan terbawa oleh arus globalisasi itu sendiri.
Untuk menjadi cerdas, seseorang harus meningkatkan ilmu pengetahuannya. Membaca merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan itu. Membaca tidak bisa dilepaskan dari proses memiliki pengetahuan. Dengan banyak membaca, maka wawasan dan pengetahuan seseorang akan semakin bertambah. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa membaca itu adalah jembatan ilmu. Makin banyak seseorang membaca, maka akan semakin bertambah ilmunya. Dengan demikian, kecerdasan seseorang menjadi semakin bertambah pula.
Membaca menjadi demikian penting mengingat berbagai informasi dan pengetahuan tidak hanya tersaji melalui media elektronik, tetapi juga banyak terdapat pada media cetak seperti buku, koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Penguasaan ilmu pengetahuan melalui media elektronik mungkin bisa dilakukan.
Akan tetapi, cara seperti ini memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya ialah tidak semua orang bisa menyerap dengan cepat informasi yang disajikan itu. Bagi beberapa orang, mungkin informasi tersebut bisa langsung ditangkap. Namun, bagi sebagian orang lagi, butuh waktu untuk mengendapkan informasi tersebut sebelum kemudian memahaminya. Lain halnya dengan membaca, seseorang dapat menyerap informasi dari apa yang dibacanya sesuai dengan kecepatan pemahamannya masing-masing.
Kelemahan selanjutnya dari informasi yang tersedia pada media elektronik ialah ketersediaan media itu sendiri. Beberapa daerah yang mungkin masih terisolir masih sulit memperoleh informasi melalui media tersebut. Lagi pula, informasi atau pun ilmu pengetahuan itu lebih banyak dan lebih mudah diperoleh melalui media cetak. Dengan demikian, membaca merupakan kunci utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, membaca hendaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Jika sudah terbiasa membaca, maka kegiatan ini akan menjadi kebutuhan bagi setiap individu. Kebiasaan membaca ini harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang mengembangkan kebiasaan membaca yang baik, akan menjadi pembaca yang baik pula di kemudian hari. Kebiasaan membaca akan lebih mudah dilakukan ketika anak sudah memiliki kemampuan membaca.
Namun, kemampuan membaca pada anak-anak saat ini menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak Indonesia memiliki kemampuan membaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan anak-anak di negara lain. Penelitian lembaga internasional tentang kemampuan membaca pada murid sekolah dasar menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya menduduki peringkat kedua dari bawah dari 30 negara yang diteliti (Prasetyono, 2008 : 27). Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar anak senang membaca dan mengembangkan minat bacanya.
Mengingat demikian pentingnya membaca bagi kehidupan seseorang, maka lebih cepat seseorang memiliki kemampuan membaca akan semakin baik. Untuk itu, banyak di antara orang tua dan guru yang mulai mengajarkan anaknya agar mampu membaca di usia dini. Namun, keterbatasan pengetahuan dari orang tua mau pun guru serta warisan dari cara-cara lama (sewaktu belajar membaca mereka diajari seperti itu), menyebabkan mereka mengajarkan membaca dengan cara-cara yang kurang menyenangkan bagi anak. Misalnya dengan cara menghafal huruf-huruf alfabet, mengeja, dan sebagainya. Cara-cara seperti itu kini dipandang sudah tidak sesuai lagi, karena cara seperti itu dinilai membebani anak dan kurang mengembangkan proses berpikir anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, kini bermunculan berbagai macam metode yang ditujukan bagi penguasaan kemampuan membaca bagi anak usia dini khususnya. Ada yang mengajarkan membaca dengan memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian membaca dengan suku kata-suku kata yang membentuk suatu pola, misalnya ba, bi bu, be, bo atau ma, mi, mu, me, mo, dan sebagainya. Lalu, ada pula yang mengajarkan membaca lewat pengenalan kata secara utuh. Salah satu dari ketiga metode itu tidak lebih baik daripada metode yang lainnya. Metode-metode mengajarkan membaca tersebut memiliki kelebihan atau pun kelemahannya masing-masing. Namun, yang paling penting pada saat mengajarkan anak membaca, apa pun metodenya, pastikan anak senang dan menyukai kegiatan membaca tersebut. Sehingga anak secara alami akan mampu membaca dan menyukai membaca sepanjang hidupnya.
Dewasa ini, mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) bagi anak usia dini menjadi sebuah polemik. Sebagian pihak menuding bahwa hal itu dapat merampas kebebasan anak. Anak dipandang belum memiliki kesiapan untuk mempelajari calistung, oleh sebab itu calistung belum boleh diperkenalkan. Pendapat ini dilandasi oleh adanya sejumlah ahli yang mengatakan bahwa anak usia prasekolah tidak boleh belajar dan diajari membaca. Hal ini disebabkan usia anak adalah usia bermain dan anak secara mental belum siap membaca hingga usia enam tahun. Orang tua diingatkan untuk tidak mengajari anak membaca sebelum anak mencapai usia tersebut. Para ahli berpendapat, ketika anak diajari membaca mereka akan cenderung tertekan karena belum siap menerima pengajaran yang diberikan.
Di lain pihak, ada pula pendapat para ahli yang mengatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak usia prasekolah bisa saja dilakukan. Calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak agar dapat memperoleh berbagai keterampilan selanjutnya. Semakin awal seorang anak menguasainya akan semakin baik. Kemampuan membaca khususnya, dapat memperkaya dan memperluas kemampuan berpikir anak. Pendapat ini diperkuat dengan berbagai penelitian oleh para ahli. Team Dafa Publishing (2010 : 12-13) merinci beberapa hasil penelitian tersebut seperti yang dipaparkan sebagai berikut.
1. Penelitian mengenai otak oleh Diamond menyimpulkan bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati adalah mungkin untuk meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan. Ungkapan use it or lose it menunjukkan bahwa semakin banyak otak terangsang oleh aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, maka akan semakin banyak sambungan yang dibuat oleh sel-sel otak. Dalam hal ini, potensi otak dianggap tidak terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa jika otak semakin jarang digunakan, maka otak tidak akan berkembang.
2. Dilihat dari sisi perkembangan anak, perkembangan pada aspek bahasa terjadi dengan pesat pada usia prasekolah. Terdapat hubungan antara bahasa dan membaca. Sebenarnya, kesiapan anak untuk membaca sudah dimulai sejak lahir. Sejak bayi ia sudah dimulai diajak berbicara. Anak belajar mengenal bahasa dari lingkungannya. Artinya, belajar membaca merupakan kelanjutan dari bahasa berbicara atau mengenal bahasa yang sudah dikenal anak.
3. Anak usia prasekolah mulai mengenal hubungan tulisan, bunyi, dan maknanya, sehingga ia memahami fungsi tulisan dan bacaan. Ia mungkin senang membolak-balik buku, berpura-pura membacanya, serta mulai bertanya mengenai kata-kata tertentu yang tidak diketahuinya.
4. Menurut Hainstock, anak-anak usia prasekolah boleh diajari membaca, apalagi usia mereka adalah masa puncak alamiah menyerap berbagai kemampuan dan keterampilan. Termasuk menyerap kecakapan-kecakapan membaca.
Terlepas dari kontroversi di atas, mengajarkan calistung pada anak usia dini, khususnya membaca dapat dilakukan asalkan dengan cara yang menyenangkan. Cara tersebut sesuai dengan bakat dan minat anak, serta tidak menuntut hasil yang instan pada anak. Sehingga diharapkan anak akan menyukai membaca dan memiliki minat baca sejak dini.
Menumbuhkan minat baca pada anak tidaklah mudah. Namun, aktivitas ini harus ditumbuhkan sejak lahir hingga dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari University of Leicester, bahwa pengalaman membaca anak sejak dini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan membaca di kemudian hari. Lebih lanjut menurut hasil penelitian ini menegaskan bahwa : 'Usia saat seseorang belajar kata-kata adalah kunci untuk memahami bagaimana seseorang mampu membaca di kemudian hari' (Olivia, 2009 : 3).
Menurut Prasetyono (2008 : 12), "Masa awal kehidupan anak hingga usia prasekolah, merupakan masa dimana anak memiliki rasa keingintahuan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa". Masa ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, tidak terkecuali kemampuan membaca. Oleh sebab itu, orang tua maupun guru hendaknya dapat memanfaatkan masa emas ini dengan sebaik mungkin.
Berbagai upaya mungkin telah dicoba oleh orang tua maupun guru agar anak bisa membaca. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak dapat mengikuti metode standar yang bagi anak lain bukan masalah. Beberapa di antara mereka masih saja mengalami kesulitan dalam membaca. Menurut Olivia (2009 : 13), "Kesulitan membaca pada anak secara umum bersumber pada beberapa hal antara lain kejenuhan, keterbatasan daya ingat (memori), serta lemahnya konsentrasi anak".
Membaca merupakan kegiatan yang menuntut adanya ketekunan, sehingga hal ini terkesan membosankan bagi anak. Anak akan lebih tertarik pada aktivitas lain yang lebih menyenangkan, misalnya menggambar atau bermain. Ini sangat mungkin terjadi karena pada saat belajar membaca, yang dihadapi anak adalah huruf, huruf, dan huruf. Kejenuhan yang dialami anak ini sangatlah mungkin terjadi karena otak mereka mengalami kelelahan dalam menerima materi dalam suasana yang monoton.
Selain itu, tidak semua anak memiliki memori (daya ingat) yang baik. Sehingga mereka merasa bahwa belajar membaca merupakan suatu beban yang berat. Anak-anak juga terkenal dengan konsentrasinya yang pendek. Oleh sebab itu, tidak sedikit anak yang mengalami masalah kurangnya konsentrasi, begitu pula dalam belajar membaca. Untuk itulah guru maupun orang tua hendaknya memiliki strategi yang tepat ketika mengajarkan anak, tidak hanya membaca tetapi juga kemampuan lain.
Selain kecerdasan yang salah satu cara memperolehnya melalui kegiatan membaca, arus globalisasi juga membutuhkan adanya manusia-manusia yang kreatif. Kehidupan yang kita nikmati saat ini, yang penuh dengan hasil-hasil kemajuan teknologi merupakan buah dari pemikiran kreatif sebelum kita. Mereka berhasil mewujudkan mimpi yang oleh sebagian besar orang merupakan sesuatu yang mustahil.
Arus transportasi dan komunikasi berkembang demikian pesatnya, sehingga jarak yang dulu hanya bisa ditempuh dalam jangka berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan kini hanya ditempuh dalam jangka waktu beberapa menit saja. Demikian pula dalam komunikasi, jarak yang jauh bukan lagi menjadi masalah. Kemajuan-kemajuan itu tidak lain adalah hasil dari kreativitas manusia yang didahului dengan adanya mimpi atau khayalan. Namun, adanya kecenderungan dalam masyarakat yang menilai bahwa bermimpi dan berkhayal merupakan sesuatu yang negatif, menyebabkan kreativitas menjadi tidak berkembang.
Kecenderungan yang ada saat ini di kalangan pelajar maupun mahasiswa ialah sulitnya membuat atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat melalui ide-ide kreatif. Hal ini merupakan manifestasi dari pendidikan yang telah kita diterima sebelumnya. Sistem pendidikan kita kurang memperhatikan pengembangan kreativitas dari siswa itu sendiri. Di sekolah, siswa mempelajari sesuatu sebatas yang diajarkan gurunya. Sementara itu, kecenderungan yang terjadi di lapangan, para guru hanya mengajar apa yang diharapkan dan digariskan oleh kurikulum. Mereka kurang memiliki keberanian dalam mengambil keputusan untuk membuat insiatif-inisiatif yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitasnya. Yang menjadi tujuan bagi sebagian besar guru adalah ketercapaian target kurikulum.
Sistem pendidikan seperti ini telah menghambat proses kreativitas anak, sehingga yang muncul hari ini adalah anak-anak yang miskin dengan ide-ide kreatif, anak yang takut tampil beda dengan ide kreatif tersebut. Padahal, seharusnya pendidikan itu hendaknya dapat mengembangkan segala potensi yang dibawa manusia sejak lahir. Potensi-potensi tersebut merupakan bekal bagi setiap individu untuk menjalani rentang kehidupannya. Terutama potensi kreativitas yang memungkinkan kita menemukan berbagai alternatif solusi ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peran pendidikan sebagai salah satu elemen yang turut serta dalam mengembangkan potensi anak perlu terus ditingkatkan.
Belum lagi di rumah, orang tua sering tanpa disadari telah mematikan daya kreativitas anak. Persepsi orang tua tentang bermain, ketidaktahuan tentang makna bermain bagi anak seringkali membuat orang tua melarang anaknya bermain. Hal ini justru dapat mematikan daya kreativitas anak, karena salah satu sarana mengembangkan kreativitas adalah melalui bermain.
Dari beberapa definisi kreativitas dari para ahli dapat diketahui bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gordon & Brown. Menurut Gordon & Browne (Moeslichatoen, 2004 : 19), 'Kreativitas merupakan kemampuan anak mencipta gagasan baru yang asli dan imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi gagasan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki'. Bila guru ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu mereka mengembangkan kelenturan, dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil resiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 11), "Anak TK cenderung mengekspresikan diri bila harus menanggapi sesuatu situasi". Misalnya bila ditanyakan kepada anak TK apakah mereka menyukai adik kecilnya ? Ia tidak menjawab ya atau tidak, melainkan : "Saya suka bila adik nyanyi bintang kecil dan tidak rewel". Hal ini mengindikasikan jawaban yang benar-benar terjadi dalam diri anak. Jadi, ia menambahkan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya dengan perkataan lain. Oleh sebab itu, ia dikatakan telah menciptakan sesuatu. Bila anak mengemukakan sesuatu yang diwarnai oleh kepribadiannya dan diperkaya dengan gagasan-gagasan sendiri inilah suatu kreativitas.
Pada dasarnya setiap manusia telah dikaruniai potensi kreatif sejak ia dilahirkan. Potensi kreatif ini dapat kita amati melalui keajaiban alamiah seorang bayi yang mampu mengeksplorasi sesuatu yang ada di sekitarnya. Jika bayi saja bisa memanfaatkan potensi kreatif dengan segala keterbatasannya, apalagi anak-anak maupun orang dewasa yang sudah memiliki fasilitas yang lengkap untuk mengembangkan potensi kreatif tersebut. Oleh sebab itu, kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.
Namun, pada kenyataannya perlakuan yang diterima anak usia dini baik di rumah maupun di lembaga prasekolah pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat mengembangkan kreativitas pada anak usia dini. Kebanyakan di antara mereka dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi anak yang manis dan penurut, duduk manis dan tidak banyak bicara. Belum lagi di rumah, kesibukan orang tua telah menyita waktu mereka dalam menjawab keingintahuan anak. Hal-hal inilah yang disinyalir dapat menghambat berkembangnya kreativitas pada diri anak.
Supriadi (Rahmawati dan Kurniati, 2003 : 8-9) memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jellen dan Urban pada tahun 1987 berkenaan dengan tingkat kreativitas anak usia 10 tahun di berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang mengejutkan. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari sembilan negara yang diteliti. Tingkat kreativitas anak Indonesia ternyata berada jauh di bawah Filipina, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Bahkan di bawah negara India, RRC, Kamerun dan Zulu. Berbagai faktor diperkirakan menjadi penyebab rendahnya kreativitas anak Indonesia.
Beberapa faktor tersebut diantaranya ialah pola asuh orang tua yang otoriter dan sistem pendidikan yang kurang mendukung.
Dewasa ini, di Indonesia berkembang suatu bentuk pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini. Lahirnya bentuk pendidikan ini dilandasi oleh semangat pendidikan untuk semua {education for all) sebagai hasil dari konferensi Dakkar. Hasil konferensi ini memberikan kesadaran bagi semua pihak dalam dunia pendidikan, khususnya orang tua, guru, dan pemerintah. Bahwa pendidikan itu sebaiknya dimulai sejak usia dini. Kesadaran ini juga ditunjang oleh adanya penemuan para ahli neurolagi yang menyatakan bahwa kemampuan otak anak berkembang pesat justru pada saat mereka berusia 0-8 tahun, dan mencapai titik kulminasi pada usia 18 tahun. Oleh karena itu, masa yang sering disebut sebagai masa emas ini {golden age) merupakan masa yang paling tepat untuk menstimulasi perkembangan anak dalam berbagai aspek.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sistem Pendidikan Nasional, 2003 : Pasal 1 ayat 14).
Oleh sebab itu, pendidikan untuk usia dini perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik. Untuk itu, perlu diupayakan suatu proses pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini untuk memfasilitasi pengembangan berbagai aspek tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Pada hakekatnya, semua anak senang bermain. Mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk bermain, baik sendiri, dengan teman sebayanya, maupun dengan orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan bermain merupakan faktor penting dalam kegiatan pembelajaran dan esensi bermain harus menjadi jiwa dari setiap kegiatan pembelajaran anak usia dini.
Bermain merupakan bagian dari perkembangan kognitif anak. Piaget (Suyanto, 2005 : 116) menyatakan 'Bermain dengan objek yang ada di lingkungannya merupakan cara anak belajar'. Berinteraksi dengan objek dan orang, serta menggunakan objek itu sendiri untuk berbagai keperluan membantu anak memahami tentang objek, orang, dan situasi tersebut. Sementara itu, Erikson (Suyanto, 2005 : 116) seorang penganut teori psikoanalis berpendapat 'Bermain juga mengembangkan rasa percaya diri'. Bermain juga merupakan tuntutan dan kebutuhan yang esensial bagi anak. "Melalui bermain, anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup" (Moeslichatoen, 2004 : 32). Melalui kegiatan bermain pula, anak dapat melatih kemampuan bahasanya dengan berbagai cara, seperti : mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Saat ini berbagai bentuk lembaga pendidikan anak usia dini mulai bermunculan di tengah masyarakat. Apalagi setelah perhatian pemerintah terhadap pendidikan ini mulai dirasakan cukup baik. Lembaga-lembaga tersebut tergolong menjadi tiga bagian, PAUD formal, nonformal dan informal. Yang tercakup dalam PAUD formal antara lain Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA), sedangkan PAUD nonformal ialah Kelompok Bermain (KB) dan Busthanul Athfal (BA). Sementara itu, PAUD informal meliputi pendidikan keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini, TK mengemban sejumlah tugas mulia untuk membantu mengembangkan segenap aspek perkembangan anak. Tugas-tugas tersebut tercantum dalam tujuan pendidikan TK. Salah satu dari tujuan pembelajaran di TK adalah meningkatkan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan sebagai sarana untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman berbahasa anak yang diperoleh melalui proses interaksi baik dengan teman sebaya, orang tua, maupun dengan orang dewasa lainnya dapat menambah perbendaharaan kata anak. Dengan banyaknya perbendaharaan kata tersebut, anak akan menjadi mudah dan lancar dalam berkomunikasi. Sehingga ia dapat menyampaikan maksud, tujuan atau pun keinginannya tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah diperoleh anak ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.
Berbagai macam metode dan teknik dapat diterapkan untuk membantu anak agar bisa membaca dan sekaligus mengembangkan kreativitasnya. Belakangan ini ditemukan suatu teknik untuk belajar membaca, yakni pemetaan pikiran atau lebih dikenal dengan mind mapping. Mind mapping sendiri adalah suatu metode visualisasi pengetahuan secara grafis untuk mengoptimalkan eksplorasi seluruh area kemampuan otak. Mind mapping diperkenalkan oleh Buzan dan telah digunakan oleh jutaan orang pintar di dunia. Pada dasarnya mind mapping dihasilkan dari perpaduan antara pola berpikir lurus dan pola berpikir memencar.
Pola berpikir lurus dilakukan dengan menentukan kata atau objek, dilanjutkan dengan mencari kata yang berkaitan dengan objek sebelumnya. Setiap kata akan dihubungkan dengan tanda panah yang berarti kata tersebut akan mengarah pada persepsi kata berikutnya. Sedangkan pola berpikir memencar adalah mencari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tema yang diberikan, yang dalam pemetaan akan muncul sebagai cabang-cabang. Pola berpikir memencar akan membantu anak untuk belajar menghubungkan serta melihat gambaran secara menyeluruh tentang sebuah objek.
Pada peta pikiran terdapat unsur kata-kata, gambar serta warna. Huruf dan kata-kata melibatkan kerja otak kiri dapat digunakan untuk memperkenalkan sebanyak mungkin kata kepada anak usia dini. Sedangkan gambar dan warna melibatkan otak kanan, yang lebih cenderung mengasah kreativitas pada diri anak. Dengan demikian, terjadilah sinergi antara kedua belahan otak. Sehingga kerja otak menjadi lebih rileks dan tidak mudah mengalami kejenuhan. Makin banyak sambungan antara kedua belahan otak, akan semakin terasah kecerdasan anak. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Semiawan (Olivia, 2009 : 1) bahwa 'Otak anak yang berbakat juga mampu menghasilkan sinyal-sinyal dalam jumlah besar serta lebih tinggi lalu lintas antara belahan otak kiri dan kanannya'. Pada akhirnya akan dirasakan manfaat dari belajar dengan mind mapping, yakni mengoptimalkan pengembangan ide dan kreativitas serta meningkatkan daya nalar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca dan kreativitas adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Mengingat demikian pentingnya kedua hal tersebut, maka semakin dini seseorang memiliki kemampuan tersebut tentu akan semakin baik. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh guru maupun orang tua agar anak memiliki kedua keterampilan tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk dapat mengetahui sejauh mana penerapan mind mapping ini dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak. Maka penulis memfokuskan judul tesis ini, yaitu : "Penerapan Mind mapping dalam Rangka Menstimulasi Kreativitas dan Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Usia Dini". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimanakah guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X ?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?
3. Apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol) ?

C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya, yang merupakan tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah penerapan mind mapping itu dapat menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca pada anak usia dini. Oleh sebab itu, maka berbagai kegiatan dalam penelitian ini diarahkan untuk menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan tadi. Adapun tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui bagaimana guru menerapkan prinsip-prinsip mind mapping dalam rangka menstimulasi kreativitas dan meningkatkan kemampuan membaca anak usia dini di TK X. 
2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan membaca antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).
3. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kreativitas antara anak yang mendapat perlakuan mind mapping (kelompok eksperimen) dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan mind mapping (kelompok kontrol).

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait di dalamnya, seperti : guru, siswa, dan peneliti sendiri. Khususnya bagi para praktisi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam praktik pendidikan sehari-hari. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.
1. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai teknik yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan kreativitas dan kemampuan membaca dini pada anak TK. Guru-guru mungkin telah memiliki banyak pengetahuan, khususnya berkenaan dengan peningkatan kemampuan membaca dini dan pengembangan kreativitas pada anak. Namun, melalui penelitian ini guru dapat memperkaya wawasannya tentang mengajarkan membaca dini melalui cara-cara yang lebih menyenangkan dan disukai oleh anak, serta dapat menstimulasi perkembangan otak kiri dan otak kanan anak secara seimbang.
2. Bagi Siswa
Anak-anak yang pada umumnya (sering ditemukan di lapangan) belajar membaca dengan cara-cara yang konvensional dimana guru memperkenalkan huruf satu persatu, kemudian mereka diminta menghafalkannya. Kegiatan ini sama sekali tidak bermakna bagi siswa, sehingga mereka akan merasa terbebani.
Melalui penelitian ini, siswa akan mendapat manfaat terutama dalam pengembangan kemampuan membaca yang diperoleh melalui kegiatan yang menyenangkan. Dengan demikian, anak akan cenderung mampu membaca dan akan menyukai kegiatan ini seumur hidupnya. Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan kreativitasnya, terutama dalam kegiatan membaca. Perkembangan otak kiri dan otak kanan anak juga akan menjadi seimbang dengan penerapan mind mapping ini, karena dalam mengajarkan membaca, kedua wilayah otak ini akan dirangsang atau distimulasi secara seimbang. 
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti sendiri ialah memperoleh pengetahuan lebih dalam, khususnya mengenai pembelajaran membaca dini bagi anak, sehingga penulis juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti khususnya mengenai pengembangan kreativitas anak usia dini.