Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis pendidikan dasar. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis pendidikan dasar. Show all posts
TESIS KEEFEKTIFAN STRATEGI ANOTASI MELALUI MEDIA HIPERTEKS UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS WACANA

TESIS KEEFEKTIFAN STRATEGI ANOTASI MELALUI MEDIA HIPERTEKS UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS WACANA

(KODE : PASCSARJ-0304) : TESIS KEEFEKTIFAN STRATEGI ANOTASI MELALUI MEDIA HIPERTEKS UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS WACANA (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II 
KAJIAN TEORI

A. Kajian Anotasi
1. Definisi Anotasi
Secara etimologi kata anotasi adalah bermakna catatan atau keterangan (Echols & Shadily, 1996 : 29) sedangkan proses menganotasi (annotate) bermakna membubuhi keterangan. Ariew & Ercetin (2000) menggunakan kosakata lain untuk menggambarkan kondisi sama dalam penelitiannya yang berjudul "Exploring the Potential of Hypermedia Annotations for Second Language Reading" dengan menyebutkan proses menganotasi dengan menggunakan kosakata gloss. Terkait dengan kosakata gloss yang digunakan oleh Ariew & Ercetin maknanya bertambah jelas dengan tambahan kata "catatan" sehingga arti lengkap dari gloss itu sendiri adalah membubuhi catatan atau keterangan (Powell, 1997).
Proses membubuhi catatan atau keterangan dalam kajian anotasi berkaitan erat dengan proses membaca kritis yang dilakukan oleh pembaca yang berpikir kritis pula sehingga peneliti merasa cocok menyebutkan orang yang membaca dan melakukan proses mengkritisi bacaan dengan sebutan annotator. Adapun langkah-langkah yang dikerjakan dalam proses menganotasi wacana dijelaskan oleh Axelrod & Cooper (1988 : 381) dalam bukunya "The St. Martin's Guide to Writing" adalah sebagai berikut : 
Annotations are the notes we make in margins of books we own. Annotation can be explanations of outrage or of insight, questions, brief summaries, sequential labeling of arguments or main points, even doodles — anything at all that records succinctly what the reader is learning and feeling.
Pernyataan ini bermakna bahwa anotasi adalah catatan yang kita buat pada margin buku dimana anotasi dapat berupa ungkapan kasar, atau pandangan, pertanyaan, ringkasan singkat, mengurutkan kronologi dari argumen atau poin utama, bahkan sampai pada gambar tak bermakna.
Menuangkan catatan atau keterangan sangat penting dalam proses membaca seksama dan membaca kritis karena banyak tujuan pasca membaca. Gunar (2000) menyatakan "annotating is essential for close and critical reading of texts in preparation for writing assignments, analyses, research and test or exam responses". Adapun nilai tambah dari proses membaca seksama dan membaca kritis menurut Gunar adalah siswa ataupun individu dapat mendapatkan bahan untuk tujuan tahap dua setelah membaca yakni untuk persiapan menulis tugas, analisis, penelitian dan tes atau menjawab ujian.
Menulis setelah membaca adalah merupakan aspek yang begitu mendasar dan bermakna, proses mengkritisi bacaan dan isinya dianggap sebagai kemampuan pembaca dalam berinteraksi dengan penulis wacana. Bahkan Marshall (1998) menyatakan bahwa : 
Annotation is fundamental aspect of hypertext. In theory, hypertexts grow and change by way of addition — readers respond to hypertext with commentary, make new connections and create new pathways, gather and interpret materials, and otherwise promote an accretion of both structure and content.
Anotasi merupakan aspek fundamental dari hiperteks. Secara teoritis, hiperteks tumbuh dan berubah dengan cara menambahkan yaitu pembaca merespon hiperteks dengan membubuhkan komentar, membuat hubungan-hubungan dan menciptakan jalan, mengumpulkan dan memaknai materi serta mempromosikan sebuah penambahan tatabahasa maupun isinya.
Dengan demikian maka peneliti beranggapan bahwa anotasi merupakan sebuah strategi yang dapat memperkaya wacana dengan tambahan catatan atau keterangan yang bersumber dari tingkat pengetahuan dan pengalaman individu sehingga menghasilkan wacana yang bervariasi dari segi isinya. 2. Dimensi Anotasi
Pada implementasinya strategi anotasi mengandung cakupan yang begitu luas. Anotasi dapat ditafsirkan sebagai suatu strategi yang dapat menghubungkan kata, frasa, kalimat, atau bahkan keseluruhan wacana. Anotasi yang lebih dikenal oleh Ariew & Ercetin (2000) dengan sebutan gloss mengandung pengertian bahwa bagian wacana yang dianotasi dapat mengandung isi yang begitu beragam dan tidak dapat disamaratakan antara satu anotasi dengan anotasi yang lainnya. Ini beralasan karena tiap pembaca dari sebuah wacana mempunyai latar belakang kehidupan, pengalaman, latar belakang pendidikan yang begitu heterogen sehingga pengaruhnya dapat dilihat dari keragaman hasil anotasi yang dilakukannya.
Marshall (1998) mengemukakan bahwa banyak dimensi yang dapat dijadikan ukuran atas penilaian terhadap proses anotasi dan hasil proses aktivitas tersebut. Beliau mengemukakan ada beberapa dimensi anotasi yang dapat di kenali diantaranya : 
1) Formal versus informal annotations; 2) Explicit versus tacit annotations; 3) Annotation as writing versus annotation as reading; 4) Hyper extensive versus extensive versus intensive annotation; 5) Permanent versus transient annotations; 6) Published versus private annotations; 7) Global versus institutional versus workgroup versus personal annotations
Agar dapat memahami dimensi anotasi secara jelas, berikut ini adalah penjelasan mengenai batasan atau mang lingkup strategi anotasi ditinjau dari siswa batasan penerapannya. 
1) Anotasi Formal dan Informal
Secara sederhana anotasi formal atau anotasi resmi dapat tertuang dalam contoh penulisan catatan atau keterangan seperti pada mekanisme pertanyaan. Marshall (1998) menyatakan "...these annotations are, theoretically, more apt to be interpreted in the same way by different query mechanism." Hasil penganotasian memungkinkan pembaca dapat menemukan informasi yang akurat dan linear dengan rujukan maksud kata yang di anotasi. 
Pembaca cenderung diarahkan untuk memberikan keterangan yang bukan merupakan perluasan kata "nama" tetapi cenderung bermakna "siapakah namamu?". Begitu pula dengan contoh anotasi lainnya pada contoh biodata siswa di atas. Semua kata anotasi pada gambar 1 cenderung mengharapkan jawaban yang akurat dari pembaca atau penulis biodata tersebut.
Lain halnya dengan anotasi informal, Marshall (1998) menyatakan "toward the informal end of the spectrum we find marginalia of the sort that we write to ourselves as we read a journal article. " Dengan kata lain beliau menyatakan bahwa kita menuangkan pandangan atau pendapat menurut pandangan atau pendapat kita pada margin ketika kita membaca seperti halnya sebuah artikel jurnal.
Dari dua penjabaran di atas kita dapat memaknai bahwa anotasi formal merupakan anotasi yang mengarahkan pembaca untuk menuangkan ide dan gagasannya sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh individu yang menganotasi kata-kata yang telah ditentukan sedangkan anotasi informal adalah segala bentuk ide atau gagasan yang berupa catatan atau keterangan (glosses) yang dituangkan pada margin bacaan yang isinya cenderung berdasarkan atas pemahaman orang yang menganotasi. Dan kata yang dianotasi dibuat oleh pembaca.
2) Anotasi Eksplisit dan Tacit
Secara alamiah, kebanyakan anotasi yang dihasilkan oleh individu adalah telegraphic, incomplete dan tacit (Marshall, 1998). Telegraphic dalam konteks ujaran atau berbicara menurut Peterson (1996 : 192) adalah : 
Once they overcome the two-world limit, children move on to a style of speech which resembles adult telegrams and newspaper headlines. Despite no fixed limit on length, their sentences contain only the main content world. Grammatical "extras" like articles, preposition, inflections and auxiliary verbs, are usually left out.
Pernyataan di atas bermakna bahwa setelah anak-anak menguasai dan mengucapkan ujaran dua kata (bubbling), maka kemampuan berbicaranya berkembang dengan meniru gaya orang dewasa seperti telegram dan tajuk pokok surat kabar. Meskipun tidak ada batasan panjang yang tepat, namun kalimat-kalimat mereka telah berisi kata-kata yang mengandung topik utama. Tambahan tatabahasa seperti kata sandang, kata depan, infleksi dan kata kerja bantu biasanya diabaikan.
Penyampaian gagasan yang bercirikan telegraphic adalah mengutamakan maksud dengan melakukan pengabaian atas pembuatan kalimat sempurna. Sehingga pada kajian tertentu dapat mengarahkan pada penilaian penulisan kalimat yang tidak lengkap (incomplete).
Menganalisa isi tulisan anotasi adalah satu hal lagi yang perlu dicermati karena terkadang isi tulisan yang dihasilkan merupakan unsur yang tidak mudah dipahami karena pembaca tidak mengetahui latar belakang kenapa gloss yang dibubuhkan seperti demikian. Menurut Marshall (1998) "sebuah link yang tidak dapat dijabarkan, asal-usul bacaan, atau penunjuk halaman buku semua hal tersebut dihadapkan pada kesulitan dalam menginterpretasi makna bagai siapapun daripada orang yang membubuhkan anotasinya itu sendiri" hal tersebut disebut tacit dan penjelasan yang paling tepat berada pada orang yang melakukan anotasi. 
3) Anotasi sebagai tulisan dan Anotasi sebagai bacaan
Proses penerapan strategi anotasi terhadap sebuah wacana yang dipelajari dapat menghasilkan berbagai hasil anotasi. Menurut Ariew & Ercetin (2000) proses menganotasi dapat berupa teks, grafik, audio dan video. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada proses anotasi dengan menggunakan tulisan sebagai hasil proses anotasi.
Tulisan adalah gambaran pendapat seseorang dalam mengkritisi wacana yang sedang dipelajari. Jenis tulisan yang dihasilkan dapat berupa teks biasa yang dituangkan dalam satu lembaran yang linier dengan teks tersebut, tetapi bisa juga hasilnya berupa teks yang tidak linier dengan teks tersebut dan cenderung tidak mengganggu komposisi wacana (Davis, 1989) yang telah ditulis oleh penulisnya sendiri dan teks ini pada umumnya berbentuk teks elektronik dan disebut dengan apa yang kita kenal dengan sebutan hiperteks (hypertext).
Dampak yang dihasilkan dari proses penganotasian yang dilakukan oleh pembaca dapat memberikan keuntungan dimana hasilnya dapat menjadi anotasi sebagai bahan bacaan bagi pembaca selanjutnya. Kronologisnya bila pembaca pertama mendapatkan informasi yang dianggap perlu ditambahkan atau perlu dikritisi maka bagi pembaca yang kedua akan mendapatkan tulisan yang telah diperkaya oleh pendapat pembaca yang pertama. Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti setuju dengan pernyataan Moultrop (1993) bahwa membaca dan menulis merupakan dimensi yang sungguh merupakan satu kesatuan (continuum) dan bukanlah dimensi yang terpisah-pisah (dichotomy). 

TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0303) : TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II 
KAJIAN TEORETIS

A. Perilaku Kemandirian Anak Usia Dini 

1. Pengertian Kemandirian Anak

Kemandirian harus mulai dikenalkan kepada anak sedini mungkin. Dengan kemandirian akan menghindarkan anak dari sifat ketergantungan pada orang lain, dan yang terpenting adalah menumbuhkan keberanian dan motivasi pada anak untuk terus mengeksploitasi pengetahuan-pengetahuan baru.
Menurut Bachrudin Musthafa (2008 : 75) kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil pilihan dan menerima konsekuensi yang menyertainya. Kemandirian pada anak-anak mewujud ketika mereka menggunakan pikirannya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan : dari memilih perlengkapan belajar yang ingin digunakannya, memilih teman bermain, sampai hal-hal yang relatif lebih rumit dan menyertakan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang lebih serius.
Selanjutnya Musthafa menjelaskan bahwa tumbuhnya kemandirian pada anak-anak, bersamaan dengan munculnya rasa takut (kekuatiran) dalam berbagai bentuk dan intensitasnya yang berbeda-beda. Rasa takut (kekuatiran) dalam takarannya yang wajar dapat berfungsi sebagai "emosi perlindungan" (protective emotion) bagi anak-anak, yang memungkinkannya mengetahui kapan waktunya meminta perlindungan kepada orang dewasa atau orangtuanya.
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf (2008 : 130) bahwa kemandirian (otonomi) merupakan karakteristik dari kepribadian yang sehat (healthy personality). Kemandirian individu tercermin dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri, serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Megan Northrop, dalam Research Assistant, dan disunting oleh Stephen F. Duncan, Profesor, School of Family Life, Brigham Young University, menjelaskan : 
As children grow, they should be given more and more independence. At a young age children can select the clothes they wear, food they eat, places to sit, and other small decisions. Older children can have more of a say in choosing appropriate times to be at home, when and where to study, and which friends to associate with. The goal is to prepare children for the day they will leave their family and live without parental control. (www.foreverfamilies.net/xml/articles/teaching_children_self_regulation)
Berdasarkan pengertian di atas bahwa kemandirian adalah (a) kemampuan untuk menentukan pilihan, (b) berani memutuskan atas pilihannya sendiri, (c) bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya, (d) percaya diri, (e) mengarahkan diri, (f) mengembangkan diri (g) menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan (h) berani mengambil resiko atas pilihannya. Hal ini pada anak usia dini masih dalam tarap yang sangat sederhana tentunya, sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Dalam mendorong tumbuhnya kemandirian anak usia dini, orangtua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila memungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks persekolahan atau Taman Kanak-kanak, ini aspirasi dan kemauan anak-anak pembelajar perlu didengar dan diakomodasi. Dalam konteks lingkungan keluarga di rumah, ini menuntut orangtua untuk lebih telaten dan sabar dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan penting. Semua ini diharapkan agar anak dapat membuat keputusan secara mandiri dan belajar dari konsekuensi yang ditimbulkan keputusan yang diambilnya (Bachrudin Musthafa, 2008 : 75).

2. Ciri-ciri Kemandirian Anak

Anak yang mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan dan motivasi yang tinggi. Zimmerman (Tillman dan Weiss, 2000) mengatakan bahwa anak yang mandiri yaitu anak yang mempunyai kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi. Selain itu, Pintrich (1999) menekankan pentingnya integrasi komponen motivasi dan kognitif dalam kemandirian anak, sehingga dapat dikatakan bahwa menjadi anak yang mandiri tergantung pada kepercayaan terhadap diri sendiri dan motivasinya.
Ada beberapa ciri khas anak mandiri antara lain (1) mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah, (2) tidak takut mengambil risiko karena sudah mempertimbangkan baik buruknya, (3) percaya terhadap penilaian sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau minta bantuan, dan (4) mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap hidupnya (Tim Pustaka Familia, 2006 : 45).
Kasiram (1994) mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Sylvia Rimm (2003 : 47) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan percaya diri adalah "rasa senang melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk mereka merupakan alat paling efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orangtua yang realistis menyadari, ada kalanya mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak".
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa ciri-ciri kemandirian adalah sebagai berikut : 
a. Kepercayaan pada diri sendiri
Anak yang memiliki kepercayaan diri lebih berani untuk melakukan sesuatu, menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang ditimbulkan karena pilihannya. Kepercayaan diri sangat terkait dengan kemandirian anak.
b. Motivasi intrinsik yang tinggi
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tumbuh dalam diri untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik biasanya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua motivasi itu kadang berkurang kadang bertambah. Kekuatan yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
c. Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri
Anak mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihan sendiri. Misalnya dalam memilih alat bermain atau alat belajar yang akan digunakannya.
d. Kreatif dan Inovatif
Kreatif dan inovatif pada anak Taman Kanak-kanak merupakan ciri anak yang memiliki kemandirian, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak ketergantungan kepada orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai pada hal-hal yang baru yang semula dia belum tahu, dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.
e. Bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya
Di dalam mengambil keputusan atau pilihan tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri dia bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi tentu saja bagi anak TK tanggungjawab pada tarap yang wajar. Misalnya tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan yang lain yang diinginkannya.
f. Menyesuaikan diri dengan lingkungan
Lingkungan sekolah (TK) merupakan lingkungan baru bagi anak-anak. Sering kita menemukan anak menangis ketika pertama masuk sekolah karena mereka merasa asing dengan lingkungan di TK bahkan tidak sedikit anak yang ingin ditunggu oleh orangtuanya ketika sedang belajar. Anak yang memiliki kemandirian, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
g. Tidak ketergantungan kepada orang lain
Anak mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan sesuatu tidak bergantung pada orang lain dan anak tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain, setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, baru anak meminta bantuan orang lain. Seperti mengambil alat mainan yang berada di tempat yang tidak terjangkau oleh anak.
3. Kiat Mengembangkan Kemandirian Anak
Mengembangkan kemandirian pada anak pada prinsipnya adalah dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin terampil mengembangkan skillnya sehingga lebih percaya diri. Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 49) terdapat beberapa hal yang seharusnya dilakukan, yaitu : 
a. Anak-anak didorong agar mau melakukan sendiri kegiatan sehari-hari yang ia jalani seperti gosok gigi, makan sendiri, bersisir, berpakaian, dan lain sebagainya segera setelah mereka mampu melakukannya sendiri.
b. Anak diberi kesempatan sesekali mengambil keputusan sendiri, misalnya memilih baju yang akan dipakai.
c. Anak diberi kesempatan untuk bermain sendiri tanpa ditemani sehingga terlatih untuk mengembangkan ide dan berpikir untuk dirinya. Agar tidak terjadi kecelakaan maka atur ruangan tempat bermain anak sehingga tidak ada barang yang berbahaya.
d. Biarkan anak mengerjakan segala sesuatu sendiri walaupun sering membuat kesalahan 
e. Ketika bermain bersama bermainlah sesuai keinginan anak, jika anak tergantung pada kita maka beri dorongan untuk berinisiatif dan dukung keputusannya.
f. Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan idenya 
g. Latihlah anak untuk mensosialisasi, sehingga anak belajar menghadapi problem sosial yang lebih kompleks. Jika anak ragu-ragu atau takut cobalah menemaninya terlebih dahulu, sehingga anak tidak terpaksa.
h. Untuk anak yang lebih besar, mulai ajak anak untuk mengurus rumah misalnya menyiram tanaman, membersihkan meja, menyapu dan lain-lain.
i. Ketika anak mulai memahami konsep waktu dorong mereka untuk mengatur jadwal pribadinya, misalnya kapan akan belajar, bermain dan sebagainya. Orangtua bisa mendampingi dengan menanyakan alasan-alasan pengaturan waktunya.

TESIS STRATEGI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BAHASA TERPADU DENGAN TEKNIK PARAFRASE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI DAN MENULIS PUISI

TESIS STRATEGI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BAHASA TERPADU DENGAN TEKNIK PARAFRASE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI DAN MENULIS PUISI

(KODE : PASCSARJ-0302) : TESIS STRATEGI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BAHASA TERPADU DENGAN TEKNIK PARAFRASE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI DAN MENULIS PUISI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pembelajaran Keterampilan Bahasa Terpadu 

1. Pembelajaran Terpadu

a. Pengertian Pembelajaran Terpadu

Pembelajaran terpadu (integrated learning), sebenarnya disebut juga pembelajaran tematik yang biasanya diterapkan pada kelas rendah di sekolah dasar. Dengan demikian batasan pembelajaran terpadu sama dengan batasan pembelajaran tematik.
Strategi pembelajaran terpadu adalah kegiatan belajar mengajar dengan memadukan materi beberapa mata pelajaran dalam satu topik (Ali, 2007 : 153). Jadi strategi pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang memadukan materi beberapa mata pelajaran dalam satu topik. Pendekatan terpadu atau integrated adalah rancangan kebijaksanaan pengajaran bahasa dengan menyajikan bahan-bahan pelajaran secara terpadu, yaitu dengan menyatukan, menghubungkan, atau mengaitkan bahan pelajaran sehingga tidak ada yang berdiri sendiri atau terpisah-pisah.
Beberapa pengertian dari pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh beberapa orang pakar pembelajaran terpadu di antaranya : 
1) Menurut Cohen dan Manion dan Brand (Fogarti 1991 : 16), terdapat beberapa kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu topik lintas bidang studi membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. sedangkan pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasi secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interest);
2) Menurut Prabowo (2000 : 2), pembelajaran terpadu adalah suatu proses pembelajaran dengan melibatkan/mengkaitkan berbagai bidang studi. Dan ada dua pengertian yang perlu dikemukakan untuk menghilangkan kerancuan dari pengertian pembelajaran terpadu di atas, yaitu konsep pembelajaran terpadu dan Bahasa Indonesia terpadu. Menurut Prabowo (2000 : 2), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik kita. Arti bermakna di sini dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.
Dengan demikian, pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally Appropriate Practical). Pendekatan yang berangkat dari teori pembelajaran sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak.
Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu adalah pemilihan/pengembangan topik atau tema. Dalam langkah awal ini guru mengajak anak didiknya untuk bersama-sama memilih dan mengembangkan topik tersebut. Dengan demikian anak didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan.
Pembelajaran dengan menggunakan strategi terpadu ini diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas pendidikan dasar, terutama untuk mencegah gejala penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran di sekolah. Dampak negatif dari penjejalan kurikulum akan berakibat buruk terhadap perkembangan anak. Hal tersebut terlihat dengan dituntutnya anak untuk mengerjakan berbagai tugas yang melebihi kapasitas dan kebutuhan mereka. Mereka kurang mendapat kesempatan untuk belajar, untuk membaca dan sebagainya. Di samping itu mereka akan kehilangan pengalaman pembelajaran alamiah langsung, pengalaman sensorik dari dunia mereka yang akan membentuk dasar kemampuan pembelajaran abstrak (Prabowo, 2000 : 3). Pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu : berpusat pada anak (student centered), proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas. Di samping itu pembelajaran terpadu menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam satu proses pembelajaran. Kecuali mempunyai sifat luwes, pembelajaran terpadu juga memberikan hasil yang dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
Pembelajaran terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut :
1) Pengalaman dan kegiatan belajar anak relevan dengan tingkat perkembangannya.
2) Kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
3) Kegiatan belajar bermakna bagi anak, sehingga hasilnya dapat bertahan lama.
4) Keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
5) Kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai dengan lingkungan anak.
6) Keterampilan sosial anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
Keterampilan sosial ini antara lain adalah : kerja sama, komunikasi, dan mau mendengarkan pendapat orang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pembelajaran terpadu mempunyai kelebihan yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam membantu anak didiknya berkembang sesuai dengan taraf perkembangan intelektualnya. Meskipun demikian strategi pembelajaran terpadu ini masih mengandung keterbatasan-keterbatasan. Salah satu keterbatasan yang menonjol dari pembelajaran terpadu adalah pada faktor evaluasi. Pembelajaran terpadu menuntut diadakannya evaluasi tidak hanya pada produk, tetapi juga pada proses. Evaluasi pembelajaran terpadu tidak hanya berorientasi pada dampak instruksional dari proses pembelajaran, tetapi juga pada proses dampak pengiring dari proses pembelajaran tersebut. Dengan demikian pembelajaran terpadu menuntut adanya teknik evaluasi yang banyak ragamnya.
Oleh karenanya tugas guru menjadi lebih banyak (Prabowo, 2000 : 4). Dalam Prabowo juga dikatakan bahwa dari kalangan pendidik terdapat berbagai pendapat yang intinya menyatakan bahwa penerapan pendekatan pembelajaran terpadu akan banyak menimbulkan masalah dan tugas guru menjadi semakin membengkak. Masalah yang menonjol adalah tentang penyesuaian pola penerapan dan hasil pembelajaran terpadu dikaitkan dengan kurikulum yang sedang berlaku. Dalam mengatasi masalah ini, pada tahap awal dapat dilakukan dengan memeriksa isi kurikulum dalam satu semester secara fleksibel. Artinya materi dalam satu semester tersebut dapat diatur urutan pembelajarannya, asal cakupannya tetap tercapai. Berangkat dari pokok pemikiran tersebut di atas, maka sebelum merancang pembelajaran terpadu, hendaknya guru mengumpulkan dan menyusun seluruh standar kompetensi dan kompetensi dasar dari semua bidang studi dalam satu semester, kemudian dilanjutkan dengan proses perancangan pembelajaran terpadu.
Prabowo juga mengatakan bahwa pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu : (1) berpusat pada siswa (student centered), (2) proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta (3) pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas. Dari beberapa ciri pembelajaran terpadu di atas, menunjukkan bahwa model pembelajaran terpadu adalah sejalan dengan beberapa aliran pendidikan modern yaitu termasuk dalam aliran pendidikan progresivisme. Aliran pendidikan progresivisme memandang pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru dan pada bahan ajar. Tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, serta untuk membuat anak lebih efektif dalam memecahkan berbagai problem yang disajikan dalam konteks pengalaman (experience) pada umumnya.
Tujuan pendidikan aliran progresivisme adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan seharusnya dapat mengembangkan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. Kurikulum pendidikan progresif adalah kurikulum yang mengakomodasi pengalaman-pengalaman (atau kegiatan) belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Sedangkan metode pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

b. Model pembelajaran terpadu

Adapun model-model pembelajaran terpadu sebagaimana yang dikemukakan oleh Fogarty (1991) yaitu sebanyak sepuluh model pembelajaran terpadu.
Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut adalah : 
1) The Fragmented Model (Model Fragmen)
Yaitu model pembelajaran konvensional yang terpisah secara mata pelajaran atau model tradisional yang memisahkan secara diskrit masing-masing mata pelajaran. Keterpaduan model ini harus tercapai ketika satu satuan waktu telah ditempuh, misalnya pada satu semester. Keuntungan pembelajaran model ini adalah siswa menguasai secara penuh satu kemampuan tertentu untuk tiap mata pelajaran, ia ahli dan terampil dalam bidang tertentu. Sedangkan kekurangannya adalah ia belajar hanya pada tempat dan sumber belajar dan kurang mampu membuat hubungan atau integrasi dengan konsep sejenis.
2) The Connected Model (Model Terhubung)
Yaitu dalam setiap mata pelajaran berisi konten yang berkaitan antara topik dengan topik dan konsep dengan konsep dalam satu mata pelajaran. Model ini penekanannya terletak pada perlu adanya integrasi inter bidang studi itu sendiri. Keuntungan yang diperoleh dalam model connected ini adalah adanya hubungan antar ide-ide dalam satu mata pelajaran, anak akan memperoleh gambaran yang lebih jelas dan luas dari konsep yang dijelaskan dan siswa diberi kesempatan untuk melakukan pendalaman, tinjauan, memperbaiki dan mengasimilasi gagasan secara bertahap. Kekurangan dalam model ini, model ini belum memberikan gambaran yang menyeluruh karena belum menggabungkan bidang-bidang pengembangan/mata pelajaran lain.
3) The Nested Model (Model Tersarang)
Yaitu model pembelajaran terpadu yang merupakan pengintegrasian kurikulum dalam satu disiplin ilmu dengan memfokuskan pada sejumlah keterampilan belajar yang ingin dilatihkan oleh guru kepada siswa dalam satu unit pembelajaran untuk ketercapaian materi pelajaran (content) yang meliputi keterampilan berfikir (thinking skill), keterampilan sosial (social skill), dan keterampilan mengorganisir (organizing skill), (Fogarty, 1991). Kelebihan model ini yaitu guru dapat memadukan beberapa keterampilan sekaligus dalam pembelajaran satu mata pelajaran, memberikan perhatian pada berbagai bidang penting dalam satu saat sehingga tidak memerlukan penambahan waktu dan guru dapat memadukan kurikulum secara luas. Kekurangannya adalah apabila tanpa perencanaan yang matang memadukan beberapa keterampilan yang menjadi target dalam suatu pembelajaran akan berdampak pada siswa dimana prioritas pelajaran menjadi kabur.