Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis manajemen. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis manajemen. Show all posts

TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA

(KODE : PASCSARJ-0550) : TESIS PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan berlakunya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 merupakan landasan perubahan sistem pemerintahan daerah termasuk perimbangan Keuangan Negara. Perubahan itu mengarah pada pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Arifin et al. 2003). Diberlakukannya kedua undang-undang di atas, untuk menghilangkan ketimpangan, ketidakharmonisan, dan kurang kreatifnya daerah akibat diberlakukannya UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah dan telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pembentukan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perimbangan keuangan mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan UU Nomor 32 dan 33 tahun 2004 adalah daerah telah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur sumber dayanya termasuk bagaimana mengoptimalkan dan memanfaatkan aset daerah yang dimilikinya dengan jalan menerapkan sistem manajemen aset sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian pemerintah daerah dituntut memiliki suatu kemandirian dalam membiayai sebagian besar anggaran pembangunannya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus dapat mengarahkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berdayaguna dan berhasil guna serta mampu melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah termasuk optimalisasi dan pemanfaatan dari aset-aset yang ada.
Aset daerah adalah semua harta kekayaan milik daerah baik barang berwujud maupun barang tak berwujud (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Bab I pasal 1). Barang Daerah adalah semua barang berwujud milik daerah yang berasal dari pembelian dengan dana yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBD dan atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Bab I pasal 1). Barang berwujud atau disebut dengan aktiva tetap adalah barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pelayanan publik. Aktiva tetap antara lain terdiri dari tanah, jalan dan jembatan, bangunan air, instalasi dan jaringan, gedung, mesin dan peralatan, kendaraan, mebel dan perlengkapan serta buku-buku perpustakaan. Salah satu diantaranya adalah Rumah Sakit Jiwa.
Rumah sakit jiwa adalah suatu institusi pelayanan kesehatan jiwa yang kompleks, padat profesi dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan rumah sakit jiwa menyangkut berbagai fungsi pelayanan, pendidikan dan penelitian serta mencakup berbagai tindakan maupun disiplin medis. Agar rumah sakit jiwa mampu melaksanakan fungsi yang demikian kompleks, rumah sakit jiwa harus memiliki sumber daya manusia yang profesional baik di bidang teknis medis maupun administrasi kesehatan serta sarana dan prasarana yang memadai.
Rumah Sakit Jiwa Daerah merupakan rumah sakit jiwa terbesar di propinsi ini yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas medis dan fasilitas penunjang. Pelayanan kesehatan yang berkesinambungan perlu didukung dengan peralatan yang selalu dalam kondisi siap pakai serta dapat difungsikan dengan baik.
Rumah sakit jiwa sebagai penyedia pelayanan kesehatan sangat perlu melakukan inovasi-inovasi bam guna meningkatkan pelayanannya, bukan hanya pelayanan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan pegawai yang harus maksimal, namun ketersediaan alat-alat medis maupun non medis sangat mempengaruhi kemajuan rumah sakit, dimana dalam memberikan pelayanannya harus bisa mengikuti perkembangan teknologi agar bias bersaing dengan rumah sakit lain sebagai kompetitornya. Rumah sakit jiwa yang memiliki SDM dan fasilitas yang memadai akan semakin banyak dipilih oleh masyarakat.
Kemajuan rumah sakit tidak terlepas dari arti penting aset yang dimiliki dan pengelolaannya, yang juga turut mempengaruhi perkembangan rumah sakit tersebut. Aset ini menjadi penting karena nilainya yang material, sehingga mekanisme yang baik dalam manajemen sangat diperlukan. Oleh karena itulah aset sangat penting bagi rumah sakit karena dalam operasionalnya tidak terlepas dari alat-alat medis tersebut.
Ketersediaan aset tersebut, diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomis di masa depan untuk rumah sakit sebagai sebuah entitas. Adanya peralatan sebagai aset tetap mempengaruhi performa rumah sakit dalam menjalankan kegiatannya untuk melayani setiap pasien. Sebagai sumber daya utama rumah sakit untuk melakukan aktivitasnya, maka pengelolaan dan sistem yang berlaku terhadap aset yang ada, harus diperhatikan.
Pengelolaan (manajemen) aset Rumah Sakit merupakan salah satu faktor penentu kinerja usaha yang sehat, sehingga dibutuhkan adanya analisis optimalisasi dalam penilaian aset Rumah Sakit, yaitu: inventarisasi, identifikasi, legal audit, dan penilaian yang dilaksanakan dengan baik dan akurat. Sekarang ini, Sistem Informasi Manajemen Aset (SIMA) merupakan suatu sarana yang efektif untuk meningkatkan kinerja sehingga transparansi kerja dalam pengelolaan aset sangat terjamin tanpa perlu adanya kekhawatiran akan pengawasan dan pengendalian yang lemah (Siregar, 2004).
Fenomena yang ada di Rumah Sakit Jiwa daerah adalah belum berjalannya sistem manajemen aset sesuai dengan standar. Beberapa alat tidak berfungsi maksimal karena kurangnya pemeliharaan dan biaya operasional untuk pemeliharaan tidak diprioritaskan, jajaran management Rumah Sakit Jiwa Daerah seharusnya melakukan kerjasama dengan pihak luar, untuk melaksanakan pelatihan-pelatihan baik untuk peralatan maupun peningkatan SDM.
Aset-aset yang dimiliki pada kenyataannya membuat biaya operasional dan pemeliharaan yang cukup besar, sementara kondisinya yang “idle” (tidak digunakan) menyebabkan inefisiensi bagi pengelola. Program pengelolaan aset terpadu, meliputi restrukturisasi aset dan implementasi teknologi (sistem) informasi manajemen aset merupakan langkah strategis untuk ikut mendorong peningkatan pemanfaatannya (Siregar, 2002).
Manajemen aset merupakan proses pengelolaan aset (kekayaan) baik berwujud dan tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis, nilai komersial, dan nilai tukar, mampu mendorong tercapainya tujuan dari individu dan organisasi. Melalui proses manajemen planning, organizing, leading dan controlling. bertujuan mendapat keuntungan dan mengurangi biaya (cost) secara efisien dan efektif (Hariyono, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, belum maksimalnya manajemen aset yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan memilih judul: “Pengaruh Manajemen Aset terhadap Optimalisasi Aset Rumah Sakit Jiwa Daerah”.

TESIS HUBUNGAN KEPRIBADIAN TIPE A, KEPRIBADIAN TIPE B, DAN ETOS KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA GURU-GURU SD

(KODE : PASCSARJ-0549) : TESIS HUBUNGAN KEPRIBADIAN TIPE A, KEPRIBADIAN TIPE B, DAN ETOS KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA GURU-GURU SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Guru merupakan salah satu sumber daya manusia yang mempunyai peranan penting dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Tinggi rendahnya kualitas pendidikan ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas guru. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2010 yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), menyebutkan bahwa Education Development Index (EDI) Indonesia tahun 2007 adalah 0,947. Angka ini menempatkan Indonesia berada di urutan ke-65 dari 128 negara (Kompas, 22 Januari 2010).
Tahun 2011 mengalami penurunan Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia (Kompas, 2 Maret 2011). Menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan cerminan dari kinerja pendidikan termasuk di dalamnya adalah kualitas guru. Melihat pentingnya kedudukan, fungsi dan peranan guru dalam menentukan keberhasilan lembaga kependidikan, maka perhatian terhadap guru tidak boleh diabaikan termasuk salah satunya adalah masalah kepuasan kerja guru.
Garrett (dalam Ouyang dan Paprock, 2009) menyatakan bahwa kepuasan kerja guru jarang dikaji, padahal kepuasan kerja guru merupakan salah satu faktor penentu dalam kualitas guru. Kepuasan kerja guru tidak hanya memberikan kontribusi dalam motivasi dan perbaikan guru, dan pengembangan peserta didik. Gejala yang dapat membuat rusaknya kondisi organisasi sekolah adalah rendahnya kepuasan kerja guru dengan gejala seperti malas bekerja, banyaknya keluhan guru, rendahnya prestasi kerja, rendahnya kualitas pengajaran dan indisipliner guru (Yunus, 2004).
Dalam dunia pendidikan, kepuasan kerja guru dapat memberikan implikasi yang kuat terhadap pembelajaran siswa. Secara khusus dapat mempengaruhi kualitas pelajaran yang diberikan kepada siswa. Guru yang merasa tidak puas dalam pekerjaannya merasa kurang termotivasi untuk memberikan yang terbaik kepada siswanya. Hal ini tentunya akan mengganggu suasana lingkungan sekolah, dan menyebabkan turunnya kualitas pendidikan (Baker, 1997).
Faktor pendorong timbulnya kepuasan kerja seseorang adalah kepribadian yang ditampilkan atau tampak melalui tipe perilaku yang ditampilkan pada saat melakukan pekerjaannya. Kepuasan kerja berkaitan dengan dapat tidaknya seseorang menunjukkan aktualisasi diri pada saat melakukan pekerjaan dan kemampuannya dalam menghadapi tekanan dan tantangan dalam pekerjaan yang dilakukannya (Rita, 2002).
Etos kerja penting dimiliki seorang guru, karena dengan etos kerja yang tinggi seorang guru akan memberikan sikap dan penilaian yang positif pada profesinya. Wardiman (dalam Republika, 7 Juli 1997) mengemukakan bahwa guru mempunyai arti yang sangat penting dalam menciptakan pendidikan yang baik. Karena itu jangan sampai guru meninggalkan tugasnya untuk mencari penghasilan tambahan di tempat lain atau guru lebih suka pekerjaan sambilannya daripada pekerjaan pokoknya.
Scott (1990) menyatakan bahwa jika "etos", hubungannya dengan kepuasan kerja dapat diidentifikasi, maka para manajer dapat mampu menemukan cara-cara terbaik untuk mempengaruhi iklim organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja sambil tetap mempertahankan etos kerja.
Pada bulan Juli, penulis melakukan wawancara dengan beberapa kepala sekolah dan guru-guru yang berada di UPTD. Kepala sekolah menyatakan kadang mereka merasa kecewa dengan perilaku teman-teman guru yang sering terlambat bahkan tidak hadir melaksanakan tugasnya. Ada guru yang tidak betah berada di sekolah, dengan berbagai alasan meninggalkan sekolah sebelum waktunya. Tugas-tugas administrasi kelas tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Di lain pihak, ada guru yang mengeluh merasa tertekan karena tuntutan kepala sekolah yang terlalu banyak. Ada guru yang tidak puas dengan kepala sekolah yang memberlakukan aturan secara sepihak. Ada pula guru yang kecewa karena kepala sekolah tidak berada di sekolah dengan alasan urusan ke kantor UPTD. Antar sesama guru terjadi kecemburuan karena adanya perbedaan perlakuan kepala sekolah terhadap masing-masing guru.
Berbagai persoalan yang dikemukakan berdasarkan hasil wawancara tersebut menjadi alasan bagi penulis memilih UPTD X sebagai lokus penelitian. Penulis melihat bahwa timbulnya ketidakpuasan kerja di kalangan kepala sekolah dan guru, ada kaitannya dengan perbedaan tipe kepribadian masing-masing guru, serta etos kerja guru yang masih rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil pra-penelitian yang dilakukan terhadap 30 guru sekolah dasar UPTD X.
Dari 30 orang guru sekolah dasar UPTD X yang menjadi responden, 19 orang guru (63,33%) memiliki kepribadian tipe A, sebanyak 16 orang guru (53,3%) memiliki etos kerja rendah, dan sebanyak 15 orang guru (50%) merasa kurang puas dengan pekerjaannya.
Menarik untuk disimak bahwa berdasarkan hasil pra-penelitian yang dilakukan, ternyata kepribadian tipe A, kepribadian tipe B tidak mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja guru. Padahal menurut Rita (2002), salah satu faktor yang mendorong timbulnya kepuasan kerja seorang adalah kepribadian yang ditampilkan atau tampak melalui tipe perilaku yang ditampilkan oleh orang tersebut pada saat melakukan pekerjaannya. Jika penelitian ini diterapkan pada sampel yang lebih besar yaitu keseluruhan jumlah guru sekolah dasar UPTD X maka muncul pertanyaan adakah hubungan yang signifikan antara kepribadian tipe A, kepribadian tipe B dengan kepuasan kerja?
Berdasarkan hasil pra-penelitian di atas, penulis hendak melanjutkan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar yaitu terhadap seluruh guru sekolah dasar UPTD X, untuk mengetahui adakah hubungan yang signifikan antara kepribadian tipe A, kepribadian tipe B dan etos kerja dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD X.

TESIS ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN KERJA, DISIPLIN DAN TUNJANGAN PROFESI GURU TERHADAP KINERJA GURU DI DINAS PENDIDIKAN

(KODE : PASCSARJ-0548) : TESIS ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN KERJA, DISIPLIN DAN TUNJANGAN PROFESI GURU TERHADAP KINERJA GURU DI DINAS PENDIDIKAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

tesis manajemen

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber daya manusia mempunyai peranan penting bagi sekolah karena dengan memiliki bakat, tenaga dan kreativitas yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan sekolah dalam upaya mencapai tujuan. Sumber daya yang ada tidak akan berarti apabila tidak dikelola dengan baik, untuk mengelolanya dibutuhkan sumber daya manusia. Adanya sumber daya manusia yang kreatif menyebabkan sekolah dinamis. Dalam kegiatannya sekolah seharusnya mempunyai sistem penilaian kinerja yang efektif.
Dalam kultur masyarakat Indonesia sampai saat ini pekerjaan guru masih cukup tertutup. Bahkan atasan guru seperti kepala sekolah dan pengawas sekali pun tidak mudah untuk mendapatkan data dan mengamati realitas keseharian performance guru di hadapan siswa. Program kunjungan kelas oleh kepala sekolah atau pengawas, tidak mungkin ditolak oleh guru. Akan tetapi tidak jarang terjadi guru berusaha menampakkan kinerja terbaiknya baik pada aspek perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran hanya pada saat dikunjungi. Selanjutnya ia akan kembali bekerja seperti sedia kala, kadang tanpa persiapan yang matang serta tanpa semangat dan antusiasme yang tinggi.
Seiring perkembangan zaman, profesi guru yang dulunya dihormati dan menempati posisi yang terpandang di masyarakat lambat laun mengalami pergeseran. Adapun faktor yang menyebabkannya adalah moralitas guru yang tidak terjaga, kurangnya kemampuan profesi guru, dan tingkat ekonomi yang tergolong masih rendah. Tingkat kesejahteraan guru yang masih kurang terjamin memaksa guru untuk mencari kerja sambilan, sehingga melemahkan konsentrasinya pada peningkatan kualitas dan kapasitas dirinya. Tanpa disadari profesi guru masih menjadi sesuatu yang dimarjinalisasi kan. Pada satu sisi masyarakat menganggap guru seperti malaikat yang siap menolong untuk merubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang buta huruf hingga dapat membaca. Masalah guru dan dunia pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah habis-habisnya menjadi wacana terutama menyangkut keprofesian nya itu.
Masalah yang ditemukan dalam pemberian imbalan terhadap guru berupa tunjangan profesi guru yang membuat guru lebih materialistis seperti: ingin mendapatkan tunjangan profesi guru tanpa melihat prestasi yang diperoleh, mementingkan pribadi sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga mengakibatkan tidak fokus atau memperhatikan masalah yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Guru merasa masih kurangnya imbalan berupa tunjangan baik tunjangan fungsional guru maupun dalam bentuk pemberian tunjangan profesi dan masih kurangnya pemerataan dalam upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru. 
Salah satu fenomena yang terjadi masih ada guru berkisar 58% yang mengurus berkas pengusulan penerima tunjangan profesi guru ke Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten X jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan guru yang sudah menerima tunjangan profesi guru berkisar 42%, sehingga mengakibatkan proses belajar mengajar terganggu diakibatkan guru yang selalu izin dalam mengurus hal-hal dimaksud. Hal ini juga menjadi hambatan bagi sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan, yang menghambat murid untuk mendapatkan ilmu yang diperoleh dari sekolah, kendala inilah yang menyebabkan terjadinya masalah dalam lingkungan sekolah.
Menurut Mahsun, (2006) "Kinerja guru merupakan suatu hasil yang dicapai oleh guru tersebut dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu serta gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program, kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi sekolah yang tertuang dalam strategic planning suatu sekolah".
Guru sebagai unsur utama dalam mencapai tujuan sekolah serta mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kinerja yang maksimal dari guru dapat diperoleh jika sekolah mampu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Guru yang dapat bekerja secara optimal akan dapat dalam melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dan juga menyamakan persepsi terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan beban tugas masing-masing dan diharapkan tidak lagi menemui permasalahan.
Kinerja guru di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten X belum seperti yang diharapkan. Masih terkendala dalam melaksanakan tugas, dan guru belum bekerja secara optimal. Ada banyak contoh perilaku guru yang mempunyai kinerja yang baik tetapi berdasarkan sumber data yang ada, di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten X ada beberapa perilaku guru yang harus mendapatkan perhatian lebih. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal misalnya : dari segi kemampuan guru dalam melakukan perencanaan program pembelajaran yang belum optimal. 
Banyaknya guru yang tidak menjalankan kewajibannya berupa tidak menyiapkan pembelajaran dengan baik, tidak kreatif dalam membuat rencana pembelajaran yang baru, melakukan pelanggaran terhadap waktu mengajar membuktikan kinerja guru belum optimal. Padahal dengan persiapan pembelajaran guru yang baik maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pengaruh lingkungan kerja yang buruk tidak bisa dihilangkan dengan pemberian imbalan (Gie, 2009). Tetapi apabila kondisi fisik demikian buruknya sehingga mustahil menyelenggarakan pekerjaan yang berdaya guna, para guru hanya akan menanggapi bonus atau perangsang yang lain apabila mereka diyakinkan bahwa manajemen akan segera mengambil tindakan guna memperbaiki kondisi kerja. Dan apabila janji akan perbaikan tersebut ternyata tidak jadi dilaksanakan setiap akan kehilangan daya efektifnya.
Lingkungan kerja sebagai kondisi, situasi dan keadaan kerja yang menimbulkan tenaga kerja memiliki semangat dan moral/kegairahan kerja yang tinggi, dalam rangka meningkatkan kinerja guru sesuai dengan yang diharapkan". Simamora (2006) mengemukakan bahwa lingkungan kerja merupakan tempat dimana pekerja melakukan kegiatannya dan segala sesuatu yang membantunya di dalam pekerjaan. Menurut Gie, (2009) ada beberapa prasyarat yang harus diperhatikan dalam lingkungan kerja. 
Flippo (2005) menjelaskan tentang masalah-masalah tingginya tingkat absensi dan tingginya tingkat keterlambatan jam kerja. Jika tingkat absensinya tinggi kemungkinan kinerja guru juga rendah dan target yang diharapkan sulit tercapai, tingginya tingkat ketidakhadiran mencapai diatas 10% dari total jumlah guru, mengakibatkan banyak kegiatan menjadi terhambat dan berpengaruh terhadap kinerja guru secara keseluruhan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dalam penerapan disiplin, masih ditemukannya guru yang kurang menggunakan waktu secara baik. Hal ini dilihat dari masih adanya guru hadir lewat dari waktu yang ditentukan misalnya seharusnya jam masuk mengajar adalah pukul 08.00 WIB pagi tetapi hadir pukul 09.00 WIB pagi. Apel pagi yang tidak diikuti dan sebagian guru tidak melapor apabila tidak masuk kerja.
Tunjangan profesi yang diberikan kepada guru adalah penghargaan atas kinerja dan produktifitas yang menguntungkan. Pemerintah yang telah memberikan tunjangan profesi kepada guru harus memperhatikan lebih lanjut dampaknya terhadap para guru. Pemerintah atau aparat terkait harus memperhatikan gurunya secara utuh, loyalitas guru sampai sejauh mana prestasi kerja yang dicapai. Dengan demikian pemberian tunjangan profesi guru adalah sistem yang paling efektif sebagai pendorong semangat kerja. Mulyasa (2008) menyatakan pemberian tunjangan profesi kepada guru akan memberikan motivasi bagi para guru untuk melaksanakan tugasnya dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di dalam kelas. Guru akan selalu berusaha untuk menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Faktor yang menjadi penentu utama bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan suatu negara, tidak lain adalah faktor alokasi anggaran di bidang pendidikan, Faiz (2008). Ketentuan mengenai anggaran pendidikan telah diamanatkan secara langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pasal 31 ayat (4) yang berbunyi Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah ditegaskan kembali pada pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD" Dalam hal ini ketentuan tersebut berarti lebih menggariskan bahwa anggaran 20% harus benar-benar murni di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan lainnya.
Sehubungan dengan penghasilan guru, pasal 13 ayat 1 butir a menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas profesionalnya guru berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Lebih lanjut di jelaskan pada pasal 14 ayat 2 bahwa gaji pokok sebagaimana dimaksud pada ayat 1 guru yang di angkat pemerintah paling sedikit dua kali gaji pokok.
Pengamatan pada aspek sikap terhadap pekerjaan misalnya masih ditemukannya pemikiran dalam diri guru bahwa pekerjaan itu bukanlah yang harus dikerjakan, kurangnya kerjasama tim dalam pekerjaan, ditemukannya egoisme guru dalam mengerjakan pekerjaan, kurangnya penghargaan terhadap guru yang bekerja dengan baik, rendahnya pemahaman guru terhadap tugas-tugas yang diemban (pengetahuan tentang peraturan, sistem kerja dan prosedur kerja) dan masih rendahnya inisiatif guru dalam bekerja yang terkesan selalu menunggu petunjuk dari atasan. Di Dinas Pendidikan Kabupaten X. Pelaksanaan administrasi masih banyak terkendala. Jadi untuk mengatasi masalah yang terjadi guru harus berupaya bekerja secara maksimal.
Guru dituntut mempunyai kinerja yang lebih baik lagi dalam mengembangkan target dalam pencapaian bagi sekolah. Guru harus dituntut untuk lebih bekerja secara efektif dan efisien agar tercapai tujuan sekolah. Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN KERJA, DISIPLIN DAN TUNJANGAN PROFESI GURU TERHADAP KINERJA GURU DI DINAS PENDIDIKAN".

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PDAM

(KODE : PASCSARJ-0535) : TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PDAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen

BAB II 
URAIAN TEORITIS


A. Teori Tentang Motivasi
1. Pengertian dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Maslow (1994) menyatakan motivasi berhubungan dengan lima macam kebutuhan penting yang secara bersama-sama membentuk sebuah hierarki. Hierarki tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan.
Flippo (1992), menyatakan bahwa “pada dasarnya motivasi adalah suatu ketrampilan dalam memadukan kepentingan karyawan dan kepentingan organisasi sehingga keinginan karyawan dipuaskan bersamaan dengan tercapainya sasaran organisasi”.
Sedangkan Robbins (2001), menyatakan bahwa “Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. Kebutuhan adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil tertentu tampak menarik, seperti kebutuhan aktualisasi diri : menggunakan kemampuan, skill, dan potensi dan kebutuhan penghargaan : status, titel.
Pemberian rangsangan motivasi kepada bawahan dapat dikelompokkan sebagai berikut (Heidjrahman, 1990) : 
a. Motivasi tidak langsung
Motivasi tidak langsung merupakan kegiatan manajemen yang secara implisit mengarahkan kepada upaya memenuhi motivasi internal serta kepuasan kebutuhan individu dalam organisasi.
b. Motivasi langsung
Motivasi langsung merupakan pengaruh kemauan karyawan yang secara langsung atau sengaja diarahkan kepada internal motif pegawai dengan jelas memberikan rangsangan yang lebih terarah.
c. Motivasi negatif
Motivasi negatif merupakan macam kegiatan yang disertai ancaman dan hukuman terhadap pegawai yang tidak mau atau tidak mampu melaksanakan perintah yang diberikan.
d. Motivasi positif
Motivasi positif merupakan kegiatan dalam mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan penambahan kepuasan tertentu misalnya memberikan promosi, memberikan insentif dan kondisi kerja yang lebih baik dan sebagainya.
Sedangkan beberapa alternatif metode guna memotivasi seseorang adalah sebagai berikut : 
a. Ancaman
Ancaman bersikap baik merupakan metode pemberian motivasi sebagai usaha untuk meningkatkan semangat para pegawai dengan memberikan kondisi kerja yang baik, berbagai tunjangan, upah yang tinggi, dan pengawasan yang baik.
b. Tawar menawar
Tawar menawar secara impulsif dalam manajemen mendorong para pegawai menghasilkan sejumlah keluaran yang pantas, dengan membuat suatu persetujuan untuk memberikan sebagai imbalannya dan pengawasan yang pantas.
c. Persaingan
Persaingan untuk mendapatkan kenaikan upah, promosi yang diberikan kepada orang yang bekerja sangat baik, persaingan untuk memenuhi kepuasan beberapa bentuk kebutuhan.
d. Internalisasi motivasi
Internalisasi motivasi adalah pemberian rangsangan motivasi dengan cara memberikan peluang pemuasan kebutuhan melalui pekerjaan itu sendiri, sehingga pegawai akan senang melakukan pekerjaan dengan baik.
Setiap orang memerlukan 5 (lima) kebutuhan yang telah dikemukakan oleh Maslow sebagaimana diuraikan di atas sebagai sumber motivasi dalam rangka meningkatkan semangat kerja. Namun yang paling penting bagi seseorang adalah motivasi yang dimulai dari dalam dirinya sendiri (motivasi intrinsik), sesuai dengan pendapat Terry dalam Hasibuan (2003) bahwa “Motivasi yang paling berhasil adalah pengarahan diri sendiri oleh pekerja yang bersangkutan”. Keinginan atau dorongan tersebut harus datang dari individu itu sendiri dan bukanlah dari orang lain dalam bentuk kekuatan dari luar”.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu perangsang keinginan dan daya gerak yang menyebabkan seseorang bersemangat dalam bekerja karena terpenuhi kebutuhannya. Pegawai yang bersemangat dalam bekerja disebabkan telah terpenuhinya kebutuhannya seperti gaji yang cukup, keamanan dalam bekerja, bebas dari tekanan dari pimpinan maupun rekan sekerja, dan kebutuhan lainnya, hal ini akan berdampak pada kepuasan kerja yang akhirnya mampu menciptakan kinerja yang baik.
Motivasi kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam maupun di luar dirinya baik itu yang berupa reward maupun punishment, sehingga Herzberg dalam Luthans (2003) menyatakan bahwa pada manusia terdapat sepuluh faktor pemuas {motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation, yang meliputi : 1) Prestasi yang diraih (achievement), 2) Pengakuan orang lain (recognition), 3) Tanggung jawab (responsibility), 4) Peluang untuk maju (advancement), 5) Kepuasan kerja itu sendiri (the work itself), dan 6) Pengembangan karir (the possibility of growth). Sedangkan faktor pemeliharaan (maintenance factor) yang disebut dengan dissatisfies atau extrinsic motivation meliputi : 1) Kompensasi, 2) Keamanan dan keselamatan kerja, 3) Kondisi kerja, 4) Status, 5) Prosedur perusahaan, 6) Mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, atasan, dan bawahan.

TESIS ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PEMASARAN OBJEK WISATA DALAM MENARIK KUNJUNGAN WISATAWAN

(KODE : PASCSARJ-0534) : TESIS ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PEMASARAN OBJEK WISATA DALAM MENARIK KUNJUNGAN WISATAWAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen

BAB II 
TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Tentang Pariwisata 
1. Pengertian Pariwisata
Margenroth dalam Yoeti (1996) menyatakan bahwa pariwisata adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk sementara waktu, untuk berpesiar ke tempat lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaan guna memenuhi kebutuhan hidup dan kebudayaan atau keinginan yang beranekaragam dari pribadinya.
McIntosh dan Gupta dalam Pendit (2002) menyatakan bahwa pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses penarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya.
Hunzieker dan Krapt dalam Yoeti (1996) menyatakan kepariwisataan adalah keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu.
Berdasarkan defmisi pariwisata yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari satu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata hanya untuk menikmati perjalanan tersebut, bertamasya atau berekreasi atau memenuhi keinginan yang beraneka ragam. 

2. Bentuk-Bentuk Pariwisata
Menurut Pendit (2002)bentuk-bentuk pariwisata dapat dibagi menurut : 
a. Asal wisatawan
Perlu diketahui apakah wisatawan itu berasal dari dalam atau luar negeri. Kalau asalnya dari dalam negeri berarti wisatawan hanya pindah tempat sementara di dalam lingkungan wilayah negerinya sendiri dan selama ia mengadakan perjalanan, maka disebut pariwisata domestik, sedangkan ia datang dari luar negeri disebut pariwisata internasional.
b. Akibatnya terhadap neraca pembayaran
Kedatangan wisatawan luar dari luar negeri adalah membawa mata uang asing. Pemasukan valuta asing ini berarti memberi dampak positif terhadap neraca pembayaran luar negeri suatu negara yang dikunjunginya, yang ini disebut pariwisata aktif. Sedangkan kepergian seorang warga negara keluar negeri memberikan dampak negatif terhadap neraca pembayaran luar negeri nya, disebut pariwisata pasif.
c. Jangka waktu
Kedatangan seorang wisatawan di suatu tempat atau negara diperhitungkan pula menurut waktu lamanya ia tinggal di tempat atau negara yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka pendek dan pariwisata jangka panjang, yang mana tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara untuk mengukur pendek atau panjangnya waktu yang dimaksudkan.
d. Jumlah wisatawan
Perbedaan ini diperhitungkan atas jumlah wisatawan yang datang, apakah sang wisatawan datang sendiri atau rombongan. Maka timbullah istilah-istilah pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan.
e. Alat angkut yang digunakan
Dilihat dari segi penggunaan alat angkutan oleh wisatawan, maka kategori ini dapat dibagi menjadi pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata kereta api, pariwisata mobil, tergantung apakah sang wisatawan tiba dengan pesawat udara, kapal laut, kereta api atau mobil. 

3. Objek Wisata dan Daya Tarik Wisata
Objek dan daya tarik wisata merupakan salah satu unsur penting dalam dunia kepariwisataan. Dimana objek dan daya tarik wisata dapat menyukseskan program pemerintah dalam melestarikan adat dan budaya bangsa sebagai asset yang dapat dijual kepada wisatawan. Objek dan daya tarik wisata dapat berupa alam, budaya, tata hidup, dan sebagainya yang memiliki daya tarik dan nilai jual untuk dikunjungi ataupun dinikmati oleh wisatawan. Dalam arti luas, apa saja yang mempunyai daya tarik wisata atau menarik wisatawan dapat disebut sebagai objek dan daya tarik wisata. Dalam kepariwisataan faktor manfaat dan kepuasan wisatawan berkaitan dengan “tourism resourch dan tourist service”. Objek dan atraksi wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang mempunyai daya tarik tersendiri yang mampu mengajak wisatawan berkunjung. Hal-hal yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata, antara lain : 
a. Natural Amenities, adalah benda-benda yang sudah tersedia dan sudah ada di alam. Contoh : iklim, bentuk tanah, pemandangan alam, flora dan fauna.
b. Man Made Supply, adalah hasil karya manusia seperti benda-benda bersejarah, kebudayaan, dan religi.
c. Way of Life, adalah tata cara hidup tradisional, kebiasaan hidup, adat-istiadat.
d. Culture, adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di daerah objek wisata.
Untuk dapat menjadi suatu daerah tujuan wisata yang baik, maka kita harus mengembangkan tiga hal yaitu : 
a. Something to see, adalah segala sesuatu yang menarik untuk dilihat
b. Something to buy, adalah segala sesuatu yang menarik atau mempunyai ciri khas tersendiri untuk dibeli
c. Something to do, yaitu suatu aktifitas yang dapat dilakukan di tempat tersebut.
Ketiga hal tersebut merupakan unsur-unsur yang kuat untuk suatu daerah tujuan wisata sedangkan untuk pengembangan suatu daerah tujuan wisata ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain : 
a. Harus mampu bersaing dengan objek wisata yang ada di daerah lain
b. Memiliki sarana pendukung yang memiliki ciri khas tersendiri
c. Harus tetap tidak berubah dan tidak berpindah-pindah kecuali di bidang pembangunan dan pengembangan
d. Harus menarik