Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis hukum. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis hukum. Show all posts

TESIS ANALISIS YURIDIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU BERBASIS PORTOFOLIO

(KODE : PASCSARJ-0530) : TESIS ANALISIS YURIDIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU BERBASIS PORTOFOLIO (PROGRAM STUDI : HUKUM)

contoh tesis hukum

BAB II
PENGATURAN SERTIFIKASI GURU BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL


A. Pengaturan Tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan
1. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hampir setiap orang pernah memperoleh pendidikan, tetapi tidak semua orang mengerti makna kata pendidikan, pendidik, dan mendidik. Memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat pendidikan, yakni kata paedagogie dan paedagogik. Paedagogie bermakna pendidikan sedangkan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan atau ilmu mendidik. Tidaklah mengherankan apabila paedagogik (pedagogic) atau ilmu mendidik adalah ilmu menggunakan teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagai anak sampai pada anak mencapai kedewasaannya.
Secara estimologik, perkataan paedogogie berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedogogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paedogogos adalah hamba atau orang yang pekerjaannya menghantar dan mengambil budak-budak pulang pergi atau antar jemput sekolah. Perkataan “paid” merujuk kepada kanak-kanak, yang menjadikan sebab mengapa sebahagian orang cenderung membedakan antara pedagogi (mengajar kanak-kanak) dan androgogi (mengajar orang dewasa). Padegogi yang juga berasal dari bahasa Yunani Kuno dapat dipahami dari kata yang bermakna “anak”, dan “egogos” yang berarti membina atau membimbing. Apa yang dipraktikkan dalam pendidikan selama ini adalah konsep dari padegogi yang secara harfiah adalah seni mengajar atau seni mendidik anak-anak.
Realitasnya, pendidikan pedogogi dalam dunia modern Menurut Taksonomi Bloom membagi fungsi pembelajaran menjadi tiga area, yakni : Pertama, bidang kognitif, yakni yang berkenaan dengan aktifitas mental seperti ingatan pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan mencipta; Kedua, bidang efektif, yakni berkenaan dengan sikap dan rahasia diri; dan Ketiga, bidang psikomotor, yakni berkenaan dengan aktivitas fisik seperti keterampilan hidup.
Ketiga wilayah tersebut memiliki sifat yang berbeda, tetapi dalam situasi pembelajaran semua menjadi satu. Contohnya apabila seorang Guru ingin mengajar seorang pelajar untuk menulis, Guru tersebut harus mengajar pelajar itu cara memegang pensil (bidang psikomotor); bentuk huruf dan maknanya (bidang kognitif); dan juga harus memupuk minat untuk belajar menulis (bidang efektif). Dengan demikian hakikat pendidikan adalah “handayani” seperti yang dikemukakan oleh Ki Mohammad Said R yang memiliki arti “memberi pengaruh”. Pendidikan merupakan kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang mampu mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimilikinya, sikap-sikap dan bentuk perilaku yang bernilai positif di masyarakat tempat yang bersangkutan berada.
Efek dari pendidikan adalah gejala perilaku dan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar-dasar primer bertahan hidup, agar lebih bermakna atau bernilai. Gejala pendidikan timbul seketika ketika sekumpulan individu ingin memenuhi kebutuhan makna yang lebih tinggi atau abstrak seperti pengetahuan, nilai keadilan, kemakmuran, dan keterampilan agar terbebas dari kondisi kekurangan seperti kemiskinan, penyakit, atau kurangnya kemampuan berinteraksi dengan alam sekitarnya. Hal demikian lah yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang ditentukan sebagai berikut : 
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Tanggung jawab pemerintah dalam hal ini dimaksud untuk menjamin kualitas pendidikan nasional bagi warga negara Indonesia melalui peran Guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Mendidik adalah kata kunci dari pendidikan. Mengingat hal tersebut, bermakna luhur dalam proses pendidikan. Mendidik menurut Langevald adalah mempengaruhi dan membimbing anak dalam usahanya mencapai kedewasaan. Mendidik dapat membantu anak supaya cakap dalam menyelenggarakan hidupnya.
Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar tumbuh sebagai anggota manusia dan anggota masyarakat dan mencapai keselamatan serat kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Mendidik memerlukan tanggung jawab yang lebih besar dari pada mengajar. Mendidik adalah membimbing pertumbuhan anak, jasmani maupun rohani dengan sengaja bukan saja untuk kepentingan pengajaran sekarang melainkan utamanya untuk kehidupan seterusnya di masa depan. Oleh sebab itu, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (UU Sisdiknas) disebutkan dengan istilah “pendidikan” bukan “pengajaran”. Dasar pendidikan nasional termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 yang kemudian di atur dalam Pasal 2 UU Sisdiknas, yaitu “pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Plato berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah memberikan penyadaran terhadap apa yang seharusnya diketahuinya yang kemudian pengetahuan tersebut harus dapat direalisasikan sendiri sehingga dapat penelitian serta mengetahui hubungan kausal yaitu alasan dan alur pikirannya. Pembahasan tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang penting mengingat perjalanan suatu institusi penyelenggara memiliki visi yang jelas selalu dimulai dari tujuan.
TESIS KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH

TESIS KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH

(KODE : PASCSARJ-0259) : TESIS KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan GBHN adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan diprioritaskan berdasarkan sistem pembangunan di bidang ekonomi. Hal tersebut selaras dengan arah, kebijakan pembangunan di bidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
Upaya pembangunan ekonomi tersebut bukanlah semata-mata menjadi tugas pemerintah, tetapi sektor swasta juga memegang peranan yang sangat besar. Sektor swasta, baik perorangan maupun badan hukum dapat ikut melaksanakan pembangunan selain dari modal sendiri juga yang sangat diperlukan adalah pembiayaan yang diperoleh dari pengucuran kredit oleh bank. Dalam hal ini perbankan berfungsi sebagai pranata yang strategis dalam kegiatan perekonomian, karena kegiatan usahanya terutama menghimpun dana dan menyalurkan kredit. Secara etimologi kredit dapat diartikan pada dua kegiatan, yaitu menjual dengan kredit atau membeli dengan kredit. Kesamaan dari pengertian di atas terletak pada kegiatan pembayarannya, yaitu pembayaran yang dilakukan dengan angsuran. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya. Jadi seseorang yang telah mendapatkan kredit dari bank berarti ia telah mendapatkan kepercayaan dari bank tersebut.
Bank sebagai badan usaha dalam memberikan kredit kepada nasabahnya berusaha mendapatkan keuntungan. Dalam menjalankan usahanya, risiko yang mungkin timbul akibat pemberian kredit yaitu tidak kembalinya pinjaman yang telah diberikan. Risiko kredit merupakan risiko yang paling berpotensi dari seluruh potensi kerugian bank. Menurut Bank Indonesia dalam pedoman penerapan perkreditan, bank dalam melakukan pengelolaan kredit dengan cara mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan tersedianya modal yang cukup dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul. untuk melindungi bank dari kerugian, maka dalam Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Hal tersebut lebih dikenal dengan jaminan.
Mengingat pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut, lembaga jaminan ini memerlukan perhatian khusus dalam pembinaan hukumnya. Pembinaan hukum terhadap bidang hukum jaminan adalah konsekuensi logis yang merupakan perwujudan tanggung jawab dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan. Oleh karena lembaga jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik adalah : 
1. Jaminan yang secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya
2. Jaminan yang tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan/meneruskan usahanya
3. Jaminan yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk menerima utang si pemohon kredit.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian kredit untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit harus memperhatikan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut : 
"Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan".
Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan yang sehat sebaiknya dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. Asas yang digunakan dalam melakukan pertimbangan tersebut dikenal dengan sebutan the Five C 's of Credit Analysis atau prinsip 5 C, yang meliputi : 
1. Watak (Character)
2. Kemampuan (Capacity)
3. Modal (Capital)
4. Jaminan (Collateral), dan
5. Kondisi ekonomi (Condition of Economy).
Konsep 5 C ini pada prinsipnya akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar debitor untuk melunasi kembali pinjaman berikut bunga dan beban lainnya. 
Apabila bank telah memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor untuk mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang lazim disebut dengan agunan pokok. Namun untuk mengamankan kepentingan bank selaku kreditor dalam hal debitor wanprestasi, bank tidak dilarang untuk meminta agunan tambahan di luar agunan pokok. Dalam prakteknya setiap memberikan fasilitas kredit, bank selalu meminta debitor menyerahkan jaminan untuk menjamin pelunasan utang debitor.
Benda yang dapat dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tersebut juga harus memiliki nilai ekonomis sehingga mudah diuangkan sewaktu-waktu oleh kreditor jika debitor melakukan wanprestasi. Pada umumnya benda yang diserahkan antara lain hak atas tanah, rumah/bangunan, emas, deposito, mesin-mesin, bahan baku, stok barang dagangan dan sebagainya. Jaminan berupa hak atas tanah adalah jaminan yang lebih diminati oleh bank karena memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditor karena adanya ketentuan hukum yang lebih jelas dan nilai ekonomis yang pada umumnya terus meningkat.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), objek hak tanggungan harus telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan pada saat hak tanggungan dibebankan. Hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan hak tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Hal ini dikarenakan lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarnya hak tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya hak tanggungan yang bersangkutan.
Meskipun hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang hak tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan hak tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah dimaksudkan oleh UUHT sebagai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah".
Pemberian kredit oleh bank memerlukan persyaratan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kredit. Perjanjian yang merupakan hubungan hukum ini pada prinsipnya harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian kredit bank hingga saat ini belum terdapat pengaturannya secara khusus sehingga dalam pelaksanaannya diserahkan kepada kehendak para pihak yang mengikatkan diri. Dalam mengikatkan diri, debitor lebih diarahkan oleh bank untuk menyesuaikan dengan fasilitas-fasilitas kredit yang dapat diberikan oleh bank. Dalam berbagai fasilitas kredit dirumuskan klausula-klausula sebagai bentuk prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Klausula yang disusun memiliki urgensi yang sangat besar bagi bank untuk menjamin pengembalian kredit tepat pada waktunya.
Kredit bermasalah bagi perbankan merupakan persoalan yang hingga saat ini belum ada suatu formulasi yang mumpuni. Penanganan kredit bermasalah oleh kreditor dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui proses litigasi maupun pendekatan non litigasi, hasilnya masih jauh dari harapan. Sementara itu dengan semakin meningkatnya jumlah kredit bermasalah hingga menekankan perbankan pada kondisi sulit sebagai konsekuensinya banyak diketengahkan berbagai kiat baru yang dilakukan bank untuk menagih kredit bermasalah.
Melalui praktek penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan, bank sering mengalami kendala untuk menegakkan haknya terhadap penerapan hukum yang masih diatur oleh aturan-aturan zaman Belanda, seperti KUHD dan KUH Perdata ataupun aturan-aturan lain yang dianggap semakin usang. Di samping itu terdapat sesuatu yang keliru dalam proses pembentukan undang-undang yang terkesan bertele-tele, lamban dan kurang memenuhi opini publik, dan gambaran bahwa wakil rakyat yang berperan besar dalam pembentukan undang-undang yang menguasai persoalan secara baik, sehingga semakin menambah kurang kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Sistem hukum semakin rumit sehingga yurisprudensi banyak dijadikan sebagai alternatif untuk memproduksi hukum. Yurisprudensi yang digunakan oleh para hakim sering ditafsirkan secara sempit.
Undang-undang yang dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA adalah UUHT yang diundangkan dan diberlakukan pada 9 April 1996. UUHT telah mengatur cara yang dapat dilakukan apabila kreditor/bank menghadapi kredit yang bermasalah, antara lain dengan memberikan hak kepada kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan dengan cara menjual benda objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum seperti ditegaskan di dalam Pasal 6 UUHT yang menyebutkan bahwa : 
"Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut"
Menurut ketentuan KUH Perdata, kekuasaan menjual sendiri objek jaminan harus diperjanjikan terlebih dahulu, berbeda dengan pengaturan dalam UUHT yang memberikan secara langsung kekuasaan untuk menjual sendiri objek hak tanggungan, seperti yang diatur dalam Pasal 6 UUHT. Dengan adanya ketentuan Pasal 6 UUHT, diharapkan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara eksekusi objek jaminan dapat lebih optimal, sesuai dengan salah satu ciri dari hak tanggungan, yaitu mudah dan pasti dalam eksekusinya.
Mengenai kuat tidaknya pengikatan jaminan berupa hak tanggungan dimulai dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah dan Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan, tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan. Di samping membatasi mengenai substansinya, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan tercapainya kepastian hukum, SKMHT itu juga dibatasi jangka waktu berlakunya sesuai dengan ketentuan dari Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996. Apabila persyaratan tentang jangka waktu itu tidak dipenuhi, maka SKMHT itu batal demi hukum. SKMHT diperlukan jika pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT. Pemberi hak tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasa dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik. Apabila pemberi hak tanggungan langsung memberikan hak tanggungan dengan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) maka SKMHT tidak diperlukan, kemudian dilakukan pembebanan hak tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT.
APHT adalah akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT yang ditandatangani kreditor sebagai penerima hak tanggungan dan pemilik hak atas tanah yang dijaminkan. APHT merupakan bentuk standar yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT. APHT ditandatangani oleh pemilik jaminan di hadapan PPAT kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan oleh PPAT. Kantor Pertanahan kemudian menerbitkan sertipikat hak tanggungan untuk diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan.
Pembuatan APHT ini menandai bahwa berdasarkan kesepakatan antara kreditor dan debitor, debitor telah menyerahkan jaminan hak tanggungan kepada kreditor untuk menjamin pelunasan hutang debitor apabila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan isi perjanjian kredit, yakni salah satunya berupa terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Melalui penyerahan ini tentunya hak-hak kreditor untuk menerima pelunasan dari debitor dapat terlindungi, sehingga risiko kerugian kreditor akibat kredit bermasalah debitor dapat dihindari.
Apabila kredit yang disalurkan oleh bank macet, hal inilah yang menjadi permasalahan bagi bank. Dengan demikian, berarti debitor sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian kredit yang dilakukan antara debitor dengan bank (kreditor), sehingga salah satu upaya yang dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan dana yang telah digunakan oleh debitor adalah melalui eksekusi atas jaminan debitor yang diikat melalui pengikatan jaminan, seperti hak tanggungan, namun dalam prakteknya tidaklah semudah dan setegas apa yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang terkait lainnya.
Salah satu bentuk penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh bank adalah melalui penyerahan jaminan debitor kepada bank atau pengambilalihan asset debitor oleh bank. Praktek pelaksanaan penyerahan jaminan ini dilakukan karena terdapatnya berbagai hambatan atau kendala dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang merugikan pihak bank sebagai kreditor serta salah satu upaya jangka pendek bank untuk mengatasi tingginya jumlah kredit macet yang berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha bank itu sendiri.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa "Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah/debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah :
1. Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan
2. Dilakukan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
3. Berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan
4. Berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
5. Debitor tidak memenuhi kewajiban kepada bank
6. Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
Dengan demikian, dalam rangka penyelesaian kredit macet, bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan melalui : 
1. Pelelangan
2. Di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan, atau kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
Dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Ketentuan bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan di luar pelelangan merupakan ketentuan yang penyempurnaan dari ketentuan yang mengatur hal yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Melalui penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk membantu bank agar mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah/debitornya.
Dalam prakteknya, penyelesaian kredit melalui penyerahan jaminan ini cukup menyulitkan bank, khususnya bank swasta. Hal ini disebabkan karena berbagai ketentuan umum dalam Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh kreditor apabila debitor cidera janji. Selain itu, ketentuan tentang status hak milik atas tanah dan bangunan menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang tidak dapat dimiliki oleh badan hukum swasta nasional juga cukup menyulitkan bank. Oleh karena itu penyerahan jaminan secara sukarela dari debitor/pemilik jaminan kepada pihak bank dilakukan dengan cara memakai nama karyawan yang ditunjuk oleh bank.
Penyelesaian kredit macet melalui penyerahan jaminan telah lama digunakan oleh bank-bank di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Badan Penyehatan dan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengatasi bank-bank bermasalah di Indonesia pada akhir tahun 1990-an. Umumnya penyerahan jaminan dilakukan terhadap jaminan-jaminan berupa tanah dan bangunan serta benda-benda bergerak lainnya yang digunakan oleh debitor dalam kegiatan usahanya, seperti mesin pabrik, kendaraan dan Iain-lain. Namun tidak semua jaminan tersebut serta merta dapat diambil alih oleh bank apabila debitor wanprestasi. Akan tetapi melalui berbagai proses hukum dan pertimbangan bank apakah jaminan/agunan yang diambil alih bermanfaat bagi bank atau tidak.
Dalam prakteknya sendiri pelaksanaan penyerahan jaminan ini juga tidak terlepas dari berbagai masalah, terutama menyangkut kepentingan pihak ketiga yang secara tidak langsung berkaitan dengan jaminan atas tanah yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Selain itu, pelaksanaan penyerahan jaminan itu sendiri hanya bersifat sementara sebelum dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli.
Setelah melihat berbagai hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi timbulnya praktek pelaksanaan eksekusi hak tanggungan melalui penyerahan jaminan/pengambilalihan jaminan oleh pihak kreditor (bank) dan berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan penyerahan jaminan tersebut, di dalam penelitian ini akan diuraikan praktek pelaksanaan penyerahan jaminan oleh debitor kepada pihak bank sebagai salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada bank, khususnya di PT. Bank X 

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun latar permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah : 
1. Bagaimanakah proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank X ?
2. Apakah pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X telah sesuai dengan ketentuan yang ada ?
3. Permasalahan apa sajakah yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X dan bagaimana upaya penyelesaiannya ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank X.
2. Untuk mengetahui pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X telah sesuai dengan ketentuan yang ada.
3. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X dan upaya penyelesaiannya.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum jaminan kredit perbankan. 
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pelaksanaan lembaga jaminan kredit perbankan di dalam masyarakat.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum jaminan kredit perbankan.

TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET

TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET

(KODE : PASCSARJ-0258) : TESIS ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang berorientasi pada bisnis yang mempunyai kegiatan pokok untuk membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menjualnya kembali kepada masyarakat melalui pemberian kredit atau pinjaman. Dari kegiatan jual beli inilah bank dapat memperoleh keuntungan yaitu selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman).
Kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi ke bank, senantiasa terkait dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, dengan semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan itu pun semakin dirasakan penting.
Keperluan akan dana dalam kehidupan sehari-hari untuk menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat, maka untuk itu diperlukan suatu lembaga perantara sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pihak baik yang kelebihan dan pihak yang kekurangan dana, disinilah bank berperan sebagai financial intermediary, yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi masyarakat yang kekurangan dana, sehingga dapat terbentuk suatu perjanjian kredit.
Kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan kredit berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit yang biasanya disebut dengan istilah fee base income. Adapun karakteristik yang paling mendasar dalam operasional perbankan adalah, kepercayaan (trust), tanpa adanya kepercayaan kegiatan ekonomi di sektor keuangan terutama di perbankan tidak akan berjalan normal, tenang dan nyaman.
Dengan kata lain masyarakat tidak akan menyimpan uangnya di bank jika tidak ada kepercayaan dan bank juga tidak akan menyalurkan kredit atau pinjaman kepada masyarakat jika tidak ada kepercayaan, namun bank dalam prakteknya juga memiliki risiko yang harus dihindari, ada beberapa jenis risiko yang sering dijumpai : 
a. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar, yang antara lain adalah suku bunga atau nilai tukar mata uang asing.
b. Risiko Likuiditas
Risiko yang disebabkan ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
c. Risiko Hukum
Risiko ini adalah risiko akibat kelemahan aspek hukum.
d. Risiko Kepatuhan
Risiko akibat bank tidak mematuhi atau melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
e. Risiko Kredit
Risiko yang timbul akibat debitur gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok ataupun bunga sebagaimana disepakati dalam perjanjian kredit sebelumnya.
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu credere yang berarti kepercayaan, misalnya seorang nasabah atau debitur memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang telah mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit adalah kepercayaan. Pengertian kredit dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu : 
"Kredit adalah penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari dengan perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dimana bank atas jasanya itu akan mendapatkan bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan".
Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang piutang pada umumnya, utang piutang pada umumnya disebut dengan pinjaman habis pakai atau disebut juga dengan istilah Verbuikleen dalam bahasa Belanda yang diartikan lebih lanjut dengan pinjaman mengganti.
Pinjaman mengganti menurut KUHPerdata yaitu salah satu pihak melepaskan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain yang menghabiskannya apabila dipakai dengan janji bahwa kemudian hari uang atau barang tersebut akan dikembalikan dalam jumlah yang sama, dengan keadaan sejenis dan dalam keadaan yang sama.
Ada beberapa tujuan untuk pemberian kredit pada bank, yang umumnya tujuan itu adalah untuk mencari keuntungan, hasil ini dapat diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh pihak bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi pemberian kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank, disamping itu keuntungan juga dapat membesarkan usaha bank.
Kredit juga dapat berfungsi untuk meningkatkan peredaraan lalu lintas uang dan untuk meningkatkan daya guna barang, artinya dalam hal ini uang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sehingga, suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
Bagi si penerima kredit ini tentu saja dapat meningkatkan semangat untuk berusaha karena dengan pengambilan kredit dapat menambah modal untuk usaha, memperbesar dan memperluas usahanya, namun dalam hal ini bank juga memiliki beberapa risiko dalam pemberian kredit, faktor risiko kerugian dapat diakibatkan dua hal yaitu risiko kerugian yang diakibatkan nasabah dengan sengaja tidak mau membayar kreditnya padahal mampu membayar, dan risiko kerugian yang diakibatkan karena terjadinya musibah atau bencana alam. Penyebab tidak tertagihnya kredit sebenarnya dikarenakan adanya tenggang waktu pengembalian atau jangka waktu, semakin panjang jangka waktu suatu kredit semakin besar risiko kredit tersebut tidak tertagih, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip 5C, yaitu : 
a. Character
Bahwa calon nasabah atau debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh dari bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi-informasi dari usaha.
Character ini juga dapat dilihat dalam bentuk SID atau Sistem Informasi Debitur yaitu informasi mengenai calon debitur yang akan memohon kredit, sistem ini terhubung secara langsung kepada Bank Indonesia, dimana setiap bank yang telah memberikan kredit kepada nasabahnya wajib melaporkan data-data atau informasi mengenai nasabah atau istilah DIN (Data Informasi Nasabah) yang telah diberikan kredit.
b. Capacity
Capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah atau debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memberikan keuntungan, yang akan menjamin bahwa jangka ia mampu melunasi hutang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan laba rugi, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir, dalam capacity ini bank dapat melihat layak atau tidaknya calon debitur tersebut akan diberikan pinjaman dalam jumlah yang sesuai.
c. Capital
Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ini ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. Modal atau capital ini dapat dilihat dari neraca keuangan calon debitur atau ratio modal debitur. Penilaian keadaan keuangan arus dana, realisasi produksi, serta pembelian dan penjualan. Laporan sumber dana dan penggunaan dana sangat membantu melakukan penilaian aspek pembiayaan. Atas dasar ini dapat dipahami kelayakan kredit yang dibutuhkan sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan keputusan penyaluran kredit.
d. Collateral
Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa hutang kredit baik hutang pokok maupun bunganya. Dalam setiap perjanjian kredit harus ada agunan yang menjadi jaminan apabila debitur wanprestasi (cidera janji).
e. Condition of Economy
Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dan bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. Condition of economy ini juga mempengaruhi untuk keputusan pemberian kredit, misalnya di saat hari-hari besar seperti Hari Raya, Natal atau Tahun Baru kebutuhan masyarakat meningkat maka kemungkinan untuk membayar kredit sangat kecil, atau nilai tukar rupiah turun, suku bunga naik maka tidak mungkin pada kondisi keadaan lebih berhati-hati dalam merealisasi kredit.
Kredit yang diberikan oleh bank kepada calon peminjam didasarkan atas kepercayaan, karena itu untuk menjaga keamanannya dalam menyalurkan dana tersebut pihak bank seharusnya benar-benar yakin bahwa peminjam akan mampu mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya, sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Sehingga harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles) agar terjaga keamanannya dan mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan oleh bank itu. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam akad kredit dan ditandatangani kedua pihak sebelum pencairan kredit, setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian suatu kredit.
Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, dan demikian pula sebaliknya. Risiko ini dapat menjadi tanggungan bank baik risiko yang disengaja nasabah maupun yang tidak disengaja. Kondisi yang tidak disengaja misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur yang kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit yang diperolehnya. Berarti kredit yang diberikan berjalan lancar tanpa mengalami hambatan dalam pengembaliannya. Dampak negatif dapat timbul apabila dari pemberian kredit oleh bank mengandung risiko berupa kegagalan dalam pengembalian atau pelunasan kredit (kredit macet) sehingga berakibat timbulnya kerugian di pihak bank juga berpengaruh pada masyarakat karena kredit yang diberikan itu bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank tersebut.
Bank perlu mengamankan kredit yang disalurkannya pada nasabah untuk mengetahui risiko yang akan timbul di kemudian hari sebagai akibat wanprestasinya nasabah, sebab ada larangan bagi bank untuk turut serta menanggung risiko dari nasabah (prinsip comanditering verbod). Apabila debitur sengaja untuk tidak melunasi hutangnya maupun tidak menepati batas waktu pengembalian hutang maka jaminan dapat digunakan untuk mengganti atau membayar hutang, oleh karena itu jaminan sangat penting dalam perjanjian kredit.
Sebagaimana yang diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam, kondisi dimana debitur yang tidak dapat membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis adalah wanprestasi. Kondisi wanprestasi seorang debitur perlu secara dini diketahui penyebabnya untuk dapat dilakukan pencegahan ataupun dengan kondisi wanprestasi bank sudah dapat memperkirakan faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang debitur wanprestasi. 
Dalam penelitian ini akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan kredit macet baik yang disebabkan internal perbankan maupun secara eksternal dari nasabah itu sendiri. Juga akan diteliti aturan-aturan hukum baik undang-undang maupun peraturan Bank Indonesia yang berkenaan dengan pemberian kredit termasuk dalam hal ini aturan-aturan PT Bank X mengenai pelaksanaan teknis pemberian kredit.
PT Bank X menjadi objek dari penelitian ini disebabkan PT Bank X termasuk Bank Daerah yang cukup maju. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penghargaan dan profile perusahaan termasuk laba perusahaan yang cukup baik pada tahun 2008 s/d 2009. Tahun buku 2009 PT. Bank X mampu meningkatkan pendapatan bunga bersihnya sebesar 16% menjadi Rp. 1.063,8 Miliar dibandingkan Tahun 2008 sebesar Rp. 916,2 Miliar. Laba Bersih Tahun Buku 2009 menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu 77,63% menjadi Rp. 420,8 Miliar dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 236,9 Miliar. Aset tahun 2009 juga mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu Rp. 10,7 Triliun atau tumbuh sebesar 21,59% dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp. 8.8 Triliun.
Kesuksesan dalam pertumbuhan aset dan laba tersebut karena dukungan dan kerja yang baik oleh manajemen PT. Bank X. Namun pada tahun 2009 Rasio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 12,24% mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 sebesar 16.48%, angka 12,24% tersebut masih diatas angka minimal CAR sebesar 8%. Penurunan rasio CAR tersebut akibat kesuksesan dalam pertumbuhan kredit yang tinggi tidak diimbangi dengan pertumbuhan modal perusahaan. Rasio Kredit Bermasalah terhadap Total Kredit (NPL) pada tahun 2009 sebesar 2,47% atau mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 sebesar 0.99%, angka 2,47% tersebut masih dibawah batas maksimal 5%.
Dalam perjanjian kredit banyak masalah-masalah yang akan timbul dan juga berbagai cara menyelesaikan masalah tersebut baik dari pihak bank maupun dari pihak pemohon atau kreditur, dan masalah kredit macet ini juga berkaitan erat dengan penegakan hukum, hukum disini berfungsi dengan baik terutama dalam penyelesaian kredit macet, oleh karena itu berdasarkan uraian di atas penulis akan mencoba mengetengahkan judul "ANALISIS HUKUM UPAYA BANK DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN KREDIT MACET (STUDI PADA PT BANK X)”.

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut selanjutnya dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit macet ?
2. Bagaimana pengaturan hukum dibidang perbankan terkait upaya bank dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet ?
3. Bagaimana pencegahan dan penyelesaian kredit macet pada PT. Bank X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah : 
1. Untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya kredit macet.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan perbankan yang mengatur mengenai upaya pencegahan dan penyelesaian kredit macet.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya PT. Bank X dalam mencegah dan menyelesaikan kredit macet.

D. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum guna mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan sebagai bahan masukan atau informasi pada penelitian lebih lanjut.
b. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam upaya pencegahan dan penyelesaian jika terjadi kredit macet yang dapat bermanfaat bagi pihak bank dan nasabah. Bagi pihak Bank dapat meningkatkan kolektabilitas sehingga terjadinya kredit macet dapat di kurangi. 
Bagi nasabah dapat menentukan langkah-langkah yang terbaik dalam menyelesaikan kreditnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Pada akhirnya berjalannya fungsi Bank sebagai intermediary institution dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan pemberian kredit yang lancar dan berguna.

TESIS SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

TESIS SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

(KODE : PASCSARJ-0201) : TESIS SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.
Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal pun dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam konvensi-konvensi internasional khusus. Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak : 
"...the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth... " Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip "First Call for Children", yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak anak atas "survival protection, development and participation." 
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia.
Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya.
Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Delinquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak.
Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. 
Ketentuan kejahatan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan. 
Pengadilan anak dibentuk karena dilatarbelakangi sikap keprihatinan yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak. Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
Di Indonesia sendiri dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 3 Januari Tahun 1997. Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan yang ada dalam UU No. 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan anak telah sebagian mengacu pada rambu-rambu semacam ini. Perampasan kemerdekaan misalnya, haruslah dilakukan hanya sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya.
Anak sebagai individu yang belum dewasa perlu mendapatkan perlindungan hukum/yuridis (legal protection) agar terjamin kepentingannya sebagai anggota masyarakat. Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, masalah pengimplementasian hukum anak dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor : 
1. Peraturan hukumnya, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum tertentu. Dalam hal ini, masalah peraturan hukum tentang hak-hak anak berkenaan dengan : 
a. Cara pembentukan dan persyaratan yuridis pembentukannya.
b. Materi hukum tersebut apakah telah sesuai dengan semangat, nilai, asas, atau kaidah hukumnya maupun sanksi hukumnya.
c. Peraturan pelaksanaan yang dikehendaki perlu dipersiapkan untuk mencegah kekosongan hukum.
Aparat penegak hukum, yakni para petugas hukum atau lembaga yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dalam masyarakat. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia, aparat yang bertugas menegakkan hukum dikenal dengan
2. catur wangsa yang meliputi kepolisian (lembaga penyidik), kejaksaan (penuntut), hakim (peradilan), dan pengacara atau advokat. Untuk menegakkan hak-hak anak dan menegakkan hukum anak, menghadapi permasalahan umum yang melanda Indonesia yakni keterbatasan kemampuan para penegak hukum yang memahami hukum anak dan hak-hak anak, kualitas, pendidikan dan keahlian masing-masing aparat penegak hukum, dan kemampuan organisasi dalam menegakkan hukum anak dan hak-hak anak.
3. Budaya hukum masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum di Indonesia yang menyangkut keyakinan masyarakat pada hukum dan para penegak hukum.
4. Masyarakat hukum, yakni tempat bergeraknya hukum dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup dengan sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, kepedulian masyarakat untuk menegakkan hukum untuk menuju ketertiban dan kedamaian. Dalam hal penegakan hak-hak anak dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hukum anak hanya pedoman yang bisa dijadikan acuan untuk mengarahkan bagaimana masyarakat bertindak jika masih anak ditemukan.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 22, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
(1) Pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan 
(3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidananya ditentukan paling lama dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.
Untuk terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat diadakan sanksi. Sanksi tersebut dibentuk dari suatu sistem atau lembaga yang berwenang untuk menanganinya.
Semua masyarakat mempunyai sistem kelembagaan dalam menangani kejahatan dan kenakalan, yang merupakan reaksi terhadap terjadinya kejahatan dan kenakalan Sistem kelembagaan yang dimaksud adalah Kepolisian, Pengadilan, Custodial Institutions, dan berbagai metode supervise dan pembinaan petindak pidana dalam masyarakat (misalnya, probation dan parole). Tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah untuk pencegahan terhadap kejahatan dan kenakalan, serta resosialisasi petindak pidana.
Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia hanya bertumpu pada sifat pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. Diberikannya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif, yaitu suatu sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara.
Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 17 ay at (1), yaitu setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : 
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, misalnya bimbingan sosial dari pekerjaan sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater atau bantuan dari ahli bahasa.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam bidang tertutup untuk umum.
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak akan lebih mudah pengendaliannya dan perbaikannya daripada seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sistem pemidanaan dengan pemberian sanksi pidana yang bersifat edukatif/mendidik selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua/wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya.
Sistem pemidanaan individual (individual responsibility) yang digunakan selama ini adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat fragmentair yaitu hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik. Dengan dimasukkannya si anak sebagai pelaku kejahatan ke Lembaga Pemasyarakatan bukannya tidak menjamin bahwa si anak tersebut dapat berubah, namun di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak ada masukan yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat yang disebabkan lingkungan dari dalam LP itu sendiri yang kurang kondusif.
Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak pidana, namun lebih memperlakukan si anak sebagai seorang manusia yang belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan bimbingan, pengarahan serta pengajaran mana yang disebut dengan tindakan baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses hukum dan pemidanaannya menempatkan mereka sebagai pelaku tindak kriminal muda yang mempunyai perbedaan karakteristik dengan pelaku tindak kriminal dewasa.
Sebenarnya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif seperti ini bukan sesuatu yang baru. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sistem pemidanaan yang bersifat mendidik telah jelas tersirat, namun pada pengaplikasiannya hal ini jarang sekali dilakukan, bahkan tidak jarang anak-anak tersebut ditangani oleh penegak hukum yang belum begitu professional untuk menangani kasus-kasus di bidang anak dan terkadang juga penempatan anak-anak terpidana dicampur dengan orang dewasa.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ada dua alternatif tindakan yang dapat diambil apabila anak yang berumur dibawah 8 tahun melakukan tindak pidana tertentu, yaitu pertama diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua, diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Namun dalam hal memperhatikan kepentingan anak, hakim dapat menghendaki diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama si anak yang bersangkutan (Pasal 24 UU No. 3 Th. 1997).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap anak-anak sangatlah luas, maka disini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang digunakan. Sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini ?
2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, agar diperoleh data-data yang benar-benar diperlukan dan diharapkan, sehingga penelitian dapat dilakukan secara terarah. Penulis sebelumnya telah menentukan tujuan-tujuan dalam melaksanakan penelitian, yaitu : 
1. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia pada saat ini.
2. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya pada Hukum Pidana.
2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi secara ilmiah bagi masyarakat umum sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui dan mengerti tentang sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan dengan adanya informasi tersebut diharapkan juga dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat.

TESIS SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

TESIS SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0200) : TESIS SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak reformasi menggelinding 1998, kemauan politik (political will) pemerintah untuk melakukan pemberantasan terhadap kejahatan korupsi telah menjadi program prioritas nyata. Wujud kemauan politik tersebut dibuktikan dengan disahkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU No. 31 Tahun 1999 (diubah dengan UU No. 20 Tah un 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki peran sangat strategis. Akan tetapi dalam implementasinya, sebagai masyarakat masih belum memuaskan. Kesenjangan kewenangan antara KPK dengan penegak hukum, lemahnya dukungan politis pemerintah, terbatasnya fasilitas dan KPK masih relatif muda merupakan faktor-faktor penyebab keterbatasan tersebut. Sehingga dapat dimaklumi sekiranya peran KPK sampai saat ini belum optimal sebagaimana diharapkan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di satu pihak, fungsi KPK, sebagai lembaga Super Body institusi penegak hukum kejahatan korupsi telah mendapatkan pembenaran yuridis. Sehingga kehadiran KPK, umumnya cenderung menimbulkan kontroversial dalam praktek penegakan hukum kejahatan korupsi di tingkat lapangan.
Hal tersebut dalam perkembangan ada kesan tebang pilih yang tidak dapat dihilangkan jejaknya. Di pihak lain, peran institusi penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan merasa terkurangi, sebab dalam waktu lalu merupakan kewenangan bersama Polisi, Jaksa dan Pengadilan Umum. Akan tetapi, sejak keluarnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan korupsi, dalam ukuran tertentu (di atas 1 miliar) merupakan yurisdiksi kompetensi KPK.
Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada institusi penegak hukum. Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi, Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%).
Prosentase tingkat kejahatan korupsi di kalangan penegak hukum tidak akan berkembang mustahil tanpa kontribusi budaya masyarakat, terutama terkait dengan praktek budaya upeti, suap dan hutang budi, juga jalan pintas untuk memperoleh pelayanan yang lebih cepat dan diutamakan. Dalam penelitiannya, Farouk Muhammad mengungkapkan bahwa faktor-faktor penyebab yang dapat menjelaskan fenomena korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, utamanya terkait dengan faktor rendahnya kesejahteraan. Meskipun faktor penyebabnya tidak harus semata-mata atas alasan kesejahteraan, motivasi memperkaya diri akan tetap relevan sebagai faktor relevan dalam timbulnya kejahatan korupsi. 
Kejahatan korupsi yang semula dipandang sebagai kejahatan biasa (Ordinary Crime), masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula. Penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari koridor the rule of law. Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat diberlakukan.
Dalam perspektif hukum nasional paska reformasi, UU No. 31 tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi rumusan kejahatan korupsi lebih komprehensif. Kejahatan korupsi dipandang, sebagai setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Secara substansif, pasal tersebut mengandung perbuatan seseorang, baik aparat pemerintah atau bukan, tetapi perbuatan yang menyalahi kewenangan tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat berakibat timbulnya kerugian negara.
Seiring dengan itu, Muhammad Faraouk dalam kajiannya menyebutkan bahwa bentuk-bentuk korupsi ke dalam dua sifat. (1) general dengan misal : merajalela dimana-mana, relatif terbuka (mudah diketahui), menyangkut publik (banyak orang), dengan jumlah uang yang relatif kecil serta pada umumnya melibatkan pegawai/pejabat rendahan dan didorong oleh kebutuhan primer baik pribadi maupun institusi. (2) Spesifik/terbatas : hanya pada kesempatan/menyangkut kasus tertentu (eksklusif), relatif tertutup dengan modus yang canggih (sulit dibuktikan), melibatkan orang tertentu (bisnis) dan pejabat yang berwenang yang lebih tinggi dengan jumlah uang yang relatif besar dan biasanya lebih didorong oleh kesepakatan dari pada primer.
Selanjutnya Romli Atmasasmita, sebagai pakar hukum pidana internasional menegaskan bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan empat (4) pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Begitu kompleksnya penyebab kejahatan korupsi, maka pemberantasan korupsi dengan pendekatan konvensional dipandang sudah tidak relevan lagi. Sehingga modus operasi tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana kita harus dijadikan suatu kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crimes). Sebab, upaya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi merupakan bentuk kewajiban negara untuk memenuhi tuntutan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh pasal 29 Deklarasi PBB.
Dalam perspektif internasional, yang direkomendasikan oleh PBB, melalui Centre for International Crime Prevention secara lebih rinci bahwa kejahatan korupsi sangat terkait dengan sepuluh perbuatan pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut antara lain pemberian suap (Bribery), penggelapan (Embezzlement), pemalsuan (Fraud), pemerasan (Extortion), penyalahgunaan jabatan atau wewenang (Abuse of Discretion), pertentangan kepentingan/memiliki usaha sendiri (Internal Trading), pilih kasih atau tebang pilih (Favoritisme), menerima komisi, nepotisme (Nepotism), kontribusi atau sumbangan ilegal (Illegal Contribution). Secara faktual, perbuatan korupsi yang dapat menimbulkan kerugian negara ditemukan di lapangan hampir 90% kejahatan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat publik.
Terkait dengan sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan korupsi, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional dan internasional di Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan hukumnya. Oleh karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task Force for Combating Corruption) menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak efektif. Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan tanggung jawab kepada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara, dan juga menghambat pembangunan nasional.
Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki kewenangan lebih credible dan profesional UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3). Kedua, KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4). Ketiga, asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan KPK yang melebihi penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6) yaitu KPK mempunyai tugas, (a) koordinasi dengan instansi yang berwewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dari ketentuan UU inilah kemudian timbul kesan bahwa KPK dalam kaitannya dengan kompetensi tugas dan fungsi di lapangan dipandang sebagai Lembaga Negara Terkuat (Super Body). Status dan sifat KPK yang terkesan Super Body tersebut antara lain dikarenakan tiga ciri dominan. Pertama, KPK sebagai lembaga Negara (Special State Agency) yang secara khusus melakukan tugas dalam tindak pidana korupsi. Kedua, keberadaan KPK melebihi peran dan fungsi yang berada pada lembaga penegak hukum, antara Polisi, Kejaksaan, dan bahkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. KPK memiliki kewenangan untuk tidak saja melakukan koordinasi dan supervisi dengan institusi penegak hukum dan lembaga negara lainnya dalam tindak pidana korupsi.
Ketiga, KPK dapat menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam kewenangan Kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan dalam hal penyidikan dan penuntutan. KPK dalam membatasi segala tugas dan kewenangannya terhadap kasus kerugian negara dengan nominal Rp. 1.000.000.000,-(Satu Milyar).
Namun, tiadanya sanksi hukuman yang lebih berat, seperti adanya hukuman mati diberlakukan berbagai negara seperti China adalah merupakan alat pengerem kejahatan korupsi juga termurah yang melemahkan keberadaan UU KPK.
Sebagaimana masyarakat memandang KPK yang oleh UU ditempatkan sebagai lembaga negara extra power dalam perjalanannya selama tiga tahun belum juga memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Tanpa mengurangi makna dan arti kehadiran KPK dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebagaimana juga timbul di berbagai negara seperti Thailand, Singapura dan juga Malaysia dan Australia, KPK selain memperoleh peluang juga tantangan yang tidak cukup ringan. Terdapat empat persoalan utama yang dihadapi KPK yang kemudian peran dan fungsinya belum dapat diperoleh secara optimal sesuai dengan UU. 
Pertama, tantangan internal di kalangan penegak hukum. Kecemburuan kelembagaan ini tidak dapat dihindarkan karena maksud dan tujuan dari UU Pembentukan KPK inkonsisten dengan ketentuan UU Kepolisian dan Kejaksaan. Misalnya, dalam konteks penyidikan dan penuntutan yang semula menjadi kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan sepertinya telah memberikan peluang akan tak terbatasnya kewenangan KPK, meskipun jumlah 1 Milyar (Pasal 11) cukup jelas. Namun, dalam arti pembagian dan pemisahan kewenangan tampak kurang konsisten dan berpeluang UU membuat kevakuman hukum dalam mensinergikan fungsi kerjasama di satu pihak, KPK dan pihak lain dengan Polisi dalam konteks penyelidikan dan penyidikan.
Terdapat beberapa pihak yang menengarai jika peran KPK yang berlebihan tidak segera diantisipasi tidak saja akan berdampak pada timbulnya kecemburuan di lembaga penegak hukum yang lebih dulu berperan dan sistem pidana Indonesia (Indonesian Criminal Justice System), melainkan akan berpengaruh pada proses deligitimisasi institusi penegak hukum. Hal ini didasarkan kepada, pertama KPK sebagai institusi terobosan (breaking through) terhadap kemandegan kredibilitas penegak hukum di Indonesia, yang sampai hari ini tidak dibatasi pemberlakuannya. Kedua, timbulnya konflik internal penegak hukum akibat peran luar biasa KPK juga tidak akan memberikan jaminan efisiensi dan efektifitas dari ketiga lembaga tersebut. Apalagi indikasi sebagaimana disebutkan di atas, bahwa lembaga penegak hukum juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, secara khusus terdapat kecenderungan kedudukan peran Polri dalam penyelidikan dan penyidikan termasuk penggunaan intelegensi polisi dalam persoalan tindak pidana korupsi semakin tereliminir oleh peran KPK berduet dengan Kejaksaan Agung.
Kedua, KPK memiliki tantangan yang berat karena kepercayaan masyarakat dengan kesan tebang pilih dilakukan KPK belum pupus. Apalagi hasil KPK untuk mengembalikan uang negara dan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat memang masih merupakan impian belaka. Dalam beberapa media, menyebutkan bahwa jumlah pengeluaran dan biaya operasional dari KPK melebih 1 (satu) Trilyun rupiah, sementara hasil yang diperoleh baru sekitar ratusan milyar. Misalnya, dalam tahun ke II KPK telah menemukan 70 kasus dugaan korupsi di Departemen Sosial dengan nilai Rp 287,89 Milyar. Dari jumlah tersebut sekitar 63 kasus dengan nilai 189,28 miliar telah ditindak lanjuti. Sama halnya peran KPK terkait dengan temuan Audit BPKP dimana terdapat kerugian negara sebanyak 2,5 Trilyun sejak 2006 belum ada tindak lanjut. Pada tahun 2006, Audit BPKP menemukan adanya dugaan korupsi sebanyak 181 kasus sehingga negara dirugikan sebesar Rp 666,69 Trilyun. Hanya sebagian kecil telah dilakukan proses hukum yaitu dari 146 kasus baru 32 kasus dan hanya 3 kasus saja yang telah diputus.
Keterlambatan ini tentu saja terkait dengan selain, persoalan terbatasnya tenaga penyidik, (yang saat ini sedang dibutuhkan sekitar 30 orang) juga sistem pembuktian dalam kasus korupsi di pengadilan tidaklah cukup mudah. Memang keterlambatan ini juga tidak dapat ditudingkan kepada KPK, sebab sangat tergantung kepada lembaga negara itu sendiri.
Ketiga, tantangan KPK ke depan karena timbulnya kompleksitas hubungan fungsional antara lembaga negara yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian utama dalam membangun pemerintahan yang baik dan bersih. Keberadaan KPK di tingkat pusat dengan keterbatasan struktur dan fungsi KPK secara organisatoris mustahil dapat diandalkan. Misalnya, bagaimana peran KPK dapat meningkat sekiranya pelayanan standar kriminal bagi masyarakat menuntut untuk dilayani. Misalnya, percepatan di bidang pelayanan publik (percepatan layanan identitas, layanan kepolisian, layanan pertanahan, layanan usaha dan penanaman modal, layanan kesehatan, layanan perpajakan, layanan pendidikan, layanan transportasi, dan layanan utilitas dan layanan usia senja).
Dalam konteks ini diupayakan layanan pemerintah dapat dilakukan dengan tanpa birokrasi yang berbelit-belit, dan juga proses pencepatan tanpa ada penyuapan.
Kejaksaan dan Kepolisian RI merupakan lembaga penegak hukum di Indonesia. Kejaksaan khususnya, memiliki kedudukan sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) di Indonesia hanya mengenal 4 (empat) subsistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Tugas dan kewenangan kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik perkara tersebut. Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak, disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.
Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan karena dalam praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur banyak kendala. Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Di sisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

B. Perumusan Masalah
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut : 
1. Bagaimana kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyelesaian tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
2. Bagaimana sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.
3. Bagaimana analisa kasus BLBI dalam kaitannya dengan sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyelesaian tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
2. Untuk mengetahui sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.
3. Untuk mengetahui analisa kasus BLBI dalam kaitannya dengan sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu : 
1. Secara Teoritis
Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat gencar dilakukan oleh Pemerintah.
2. Secara Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah agar segera merumuskan peraturan perundang-undangan yang untuk selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing lembaga (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian), sehingga masing-masing lembaga memiliki standar yang jelas dalam melaksanakan peran, fungsi dan wewenangnya. Permasalahan ini sangat penting dikemukakan karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan antara KPK dengan institusi/tim pemberantasan korupsi yang sudah ada atau bahkan terjadi tumpang tindih (over lapping). Kita tidak bisa bayangkan apabila semuanya memeriksa kasus yang sama, dalam hal ini tindak pidana korupsi dengan mekanisme yang sama akan tetapi menyimpulkan hasil pemeriksaan yang berbeda. Tentunya hal ini akan berimplikasi terhadap ketidakpastian hukum dalam penyelesaian kasus-kasus terkait yaitu tindak pidana korupsi, dan pasti akan menimbulkan akibat-akibat hukum lain.
b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi
Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum anti korupsi dan kesadaran hukum untuk berperan memberantas korupsi.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya terhadap political will pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

(KODE : PASCSARJ-0199) : TESIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang "aman".
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa : 
Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazardous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development".
Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan Iain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau Iain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan Iain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain : 
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar {reasonable).
Di sisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial {social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain : Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah.
Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen hams memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan si stem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.
Dalam pasal 1 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa "Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman"
Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.
Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
Selain diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan " Halal " pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Di dalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut di dalam pasal 2 ditentukan bahwa : 
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Kemudian di dalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : 
(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : 
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan : 
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. 
Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.
Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.
Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya.
Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.
Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.
Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum.
Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya, Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan minuman kedaluwarsa.
Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.
Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum ada standar baku. Ada yang sudah menggunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu : 
1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya
2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya
3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes.
4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kadaluarsa.
Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 18 : 
• Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf latin, terutama produk impor.
• Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
• Tidak mencantumkan waktu kadaluarsa
• Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
• Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang tidak konsisten.
• Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono, Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?
1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen.
b. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan bagi pelaku usaha.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang pelabelan. 
2. Manfaat Praktis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.