Search This Blog

Showing posts with label bimbingan orangtua. Show all posts
Showing posts with label bimbingan orangtua. Show all posts

SKRIPSI PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR ORANGTUA TERHADAP TANGGUNG JAWAB BELAJAR ANAK KELAS IV

(KODE : PENDPGSD-0015) : SKRIPSI PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR ORANGTUA TERHADAP TANGGUNG JAWAB BELAJAR ANAK KELAS IV

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak memulai kehidupannya dengan sedikit sumber daya untuk menjaga diri sendiri dan tanpa tanggung jawab untuk keselamatan atau kebahagiaan dirinya dan orang lain. Anak dapat hidup dan berkembang dengan bantuan dari orang tuanya, karena anak merupakan harapan orang tua yang akan melanjutkan cita-cita dan eksistensi kehidupannya, maka orang tua dituntut memiliki kemampuan dalam merawat, menjaga keamanan, memelihara, membimbing, mendidik dan memberikan pertolongan.
Dengan kemampuan orang tua tersebut anak secara berangsur-angsur dididik dan diarahkan, agar tumbuh rasa tanggung jawab. Untuk menumbuhkannya, dimulai dari pemberian berbagai tugas kecil dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah tangga, misalnya : membersihkan meja, merapikan tempat tidur dan lain-lain.
Anak yang diberi tugas tertentu akan berkembang rasa tanggung jawabnya (Benyamin Spock, 1991 : 38). Untuk mengubah sikap anak secara jitu, orang tualah yang pertama-tama harus mengubah tanggapannya. Teriakan anak, malasnya merapikan tempat tidur, dan lain-lain tidak perlu ditanggapi, dengan mengubah reaksi, seluruh pola akan berubah termasuk si anak. Anak akan belajar dari tanggapan yang baru dari orang tuanya. Dengan demikian akan memungkinkan pembimbingan anak untuk bertindak secara tepat dan bertanggung jawab.
Menurut Dak (1987 : 64) dalam mengajar anak untuk bertindak secara tanggung jawab, pendidik perlu memperhatikan 2 hal yaitu : (1) Melihat tindakan yang tidak tepat dari anak sebagai suatu usaha untuk memperoleh peranannya; (2) Relasi terhadap tindakan anaklah yang menentukan. Bimbingan terletak dalam relasi dengan anak-anak.
Orang tua yang penuh perhatian tidak akan membiarkan anak untuk mengerjakan sesuatu sendiri, melainkan orang tua harus menemani dan memberi bimbingan sampai ia mencapai usia yang cukup untuk bertanggung jawab. Bimbingan itu meliputi bimbingan pribadi, sosial, dan karier. Bimbingan belajar sebaiknya diberikan orang sejak dini. Usia dini merupakan kesempatan emas bagi anak untuk belajar (golden age). Oleh karena itu kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk proses belajar anak. Namun demikian satu hal perlu mendapatkan perhatian, bahwa orientasi belajar anak yang sesungguhnya adalah mengembangkan rasa tanggung jawab belajar.
Tugas dan pekerjaan membersihkan rumah merupakan ramuan dasar untuk membantu anak belajar bertanggung jawab. Pekerjaan dan tugas adalah hal yang konkret, bagaimana, bilamana, dan oleh siapa pekerjaan harus dilakukan bisa ditentukan. Dengan demikian anak dapat mengembangkan model mental dan meningkatkan ketrampilan untuk melakukan pekerjaan atau tugas. Orang tua harus menyediakan waktu, perhatian, dukungan, dan itikad baik agar anak tidak kecewa.
Setiap orang tua harus memperhatikan karakteristik anak. Anak akan mendapat pengertian mengenai pentingnya sikap bertanggung jawab melalui interaksi sehari-hari dengan orang tua, guru, dan teman-teman sebaya. Jika orangtua dan guru bisa menyadari bahwa anak akan membuat kesalahan dan karenanya perlu diberitahu apa kesalahan serta alternatif yang bisa mereka ambil, maka anak bisa dipastikan anak akan tumbuh dewasa dengan rasa tanggung jawab yang kuat (Anton Adiwiyoto, 2001 : 12). Terlebih apa yang ditunjukkan itu mengenai belajar, maka akan tumbuh rasa tanggung jawab belajar yang benar.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kelak hari anak akan memasuki dunia sekolah dengan banyak sikap dan kemampuan yang kompleks. Berhasil tidaknya mereka di sekolah sangat ditentukan oleh cara mereka menanggapi batasan dan aturan, serta bagaimana mereka menerima tanggung jawab. Jika anak terbiasa memiliki rasa tanggung jawab dan bimbingan belajar dari orang tua, guru di sekolah akan memberikan dukungan positif dalam mengembangkan pengetahuan dan berbagai macam kegiatan belajar baik kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan ekstrakurikuler. Perjalanan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan diperlukan belajar. Agar lebih efektif dalam belajar, setiap anak harus memiliki rasa tanggung jawab. Memiliki rasa tanggung jawab erat kaitannya dengan prestasi di sekolah. Tanggung jawab anak yang telah ditanamkan dan diterimanya sejak dini oleh orang tua akan membantu kegiatan belajar anak di sekolah lebih bermakna yakni memperoleh hasil belajar yang memuaskan semua pihak.
Hasil pengamatan dan pengalaman peneliti sebagai guru kelas IV menunjukkan 7 siswa dari 45 siswa hasil belajar dan tanggung jawab dalam belajar masih kurang memuaskan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh guru untuk meningkatkan tanggung jawab dalam belajar dan prestasi belajar siswa antara lain : pemberian tugas, belajar kelompok dan PR, tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk skripsi ini dengan judul "PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR ORANG TUA TERHADAP TANGGUNG JAWAB BELAJAR ANAK KELAS IV SD".

SKRIPSI POLA BIMBINGAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI PADA KELUARGA

(KODE : PG-PAUD-0090) : SKRIPSI POLA BIMBINGAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI PADA KELUARGA

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah merupakan bagian dari keluarga yang secara sosial dan psikolog tidak terlepas dari pembinaan dan pendidikan orangtua, masyarakat dan lembaga pendidikan. Para pakar dan ahli berpendapat bahwa anak usia nol sampai enam tahun merupakan area masa peka atau masa keemasan (golden age), sekaligus masa kritis dari seluruh siklus kehidupan manusia. Artinya pada usia-usia tersebut selain gizi yang cukup dan layanan kesehatan yang baik, rangsangan-rangsangan intelektual-spiritual juga amat diperlukan, karena akan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Masa ini merupakan yang tepat untuk meletakan dasar-dasar pembangunan fisik, bahasa, sosio-emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai-nilai agama. Sehingga upaya pengembangan seluruh potensi anak usia dini harus dimulai agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal.
Pengaruh paling besar selama lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemampuan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Sedang kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak. Saat ini di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial budaya berkaitan dengan peranan ayah dan ibu berkaitan dengan fungsinya di dalam keluarga. Isu-isu kesetaraan gender yang mulai digulirkan sejak saat era R.A Kartini sampai dengan saat ini mengakibatkan semakin banyak wanita yang ikut terlibat secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Sehingga hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kualitas pola asuh terhadap sang anak.
Di sisi lain sosok ayah belum tentu telah siap menggantikan ataupun membantu peran ibu dalam mengasuh anak baik dari segi psikologis, fisiologis maupun sosial. Dalam situasi demikian untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan anak muncullah sosok-sosok yang lain seperti kakek, nenek, kakak, saudara, bahkan mungkin seorang pengasuh anak profesional (baby sitter). Namun demikian sosok pengasuh ini dalam banyak hal kenyataannya tidak sebaik apabila pengasuhan dilakukan oleh orang tua kandung, walaupun keberadaannya dalam konteks saat ini sangat dibutuhkan untuk membantu dalam pengasuhan anak. Dengan kata lain sosok pengasuh anak berfungsi untuk membantu orang tua kandung, sedangkan fungsi utama pengasuhan anak bagaimanapun juga merupakan peran dan tanggung jawab orang tua kandung. Bagi orang tua kandung (ayah dan ibu) yang mempunyai pekerjaan ataupun kegiatan rutin di luar rumah harus kompak berbagi tugas. Seorang ibu tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan suami dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di rumah.
Adanya persamaan persepsi dan komunikasi yang baik dalam hal pembagian tugas dan tanggung jawab ini merupakan kunci, sehingga diperoleh suatu kerja sama yang baik dalam melaksanakan peran ayah dan ibu sebagai orang tua. Adanya pembagian tanggung jawab pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga antara istri dan suami, berdampak positif bagi si kecil. Dengan keterlibatan seorang ayah dalam mengurus dan mengasuh si kecil maka akan tercipta pula hubungan yang erat dan hangat antara ayah dan anak. Hal ini akan membawa pengaruh yang baik pula bagi proses tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah dan ibu yang bersama-sama dalam mengasuh anak akan membuat pertumbuhan dan perkembangannya semakin sehat.
Pengasuhan juga lebih seimbang bila pekerjaan kedua orang tua berada pada tingkat yang sejajar. Oleh karena itu sebetulnya, keberadaan ibu di dunia kerja bukan alasan rendahnya kualitas pengasuhan ibu. Pembagian tanggung jawab bersama ini akan berhasil tidak saja oleh komunikasi dan kesepakatan kedua orang tua, tetapi juga bergantung pada beberapa hal, seperti sikap setuju dan sikap mendukung yang ditunjukkan ayah kepada ibu yang bekerja, sikap dan fleksibilitas tempat bekerja, dan sistem pendukung misalnya pengasuh anak, nenek, kakek, atau kerabat yang dilibatkan dalam pengasuhan anak. 
Selain itu seluruh komponen masyarakat bersama dengan pemerintah harus memberikan apresiasi yang positif dalam hal pengasuhan anak. Sekali lagi masyarakat harus disadarkan akan arti penting proses pengasuhan anak ini. Bahwa untuk kemajuan bangsa dan negara, untuk kualitas hidup yang lebih baik, ditengah-tengah dunia yang semakin mengglobal, agar bangsa kita bisa hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia ini perlu dipersiapkan dengan sedini dan sebaik mungkin. Jangan sampai pada saatnya nanti bangsa ini menjadi bangsa yang lemah, hanya menjadi penonton ditengah-tengah kancah kehidupan dunia, hanya bersikap konsumtif dengan produktifitas dan kualitas yang rendah yang pada akhirnya “siap” untuk terjajah dalam segala hal.
Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi. Keluarga lah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.
Kedua orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Islam menawarkan metode-metode yang banyak di bawah rubrik aqidah atau keyakinan, norma atau akhlak serta fikih sebagai dasar dan prinsip serta cara untuk mendidik anak. Dan awal mula pelaksanaannya bisa dilakukan dalam keluarga. 
Berkaitan dengan pendidikan, Islam menyuguhkan aturan-aturan di antaranya pada masa pra kelahiran yang mencakup cara memilih pasangan hidup dan adab berhubungan seks sampai masa pasca kelahiran yang mencakup pembacaan azan dan iqamat pada telinga bayi yang baru lahir, teknik (meletakkan buah kurma pada langit-langit bayi, mendoakan bayi, memberikan nama yang bagus buat bayi, aqiqah (menyembelih kambing dan dibagikan kepada fakir miskin), khitan dan mencukur rambut bayi dan memberikan sedekah seharga emas atau perak yang ditimbang dengan berat rambut. Pelaksanaan amalan-amalan ini sangat berpengaruh pada jiwa anak. Orang tua sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak dengan cara mengembangkan pola komunikasi dan interaksi dengan sesamanya agar menjadi pribadi yang mantap dan kaffah (utuh).
Keluarga sebagai satuan unit sosial terkecil merupakan lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama, dalam arti keluarga merupakan lingkungan yang paling bertanggung jawa mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan orangtua pada anak seharusnya memberikan dasar bagi pendidikan, proses sosialisasi dan kehidupannya di masyarakat. Dalam hal ini keluarga tetap menjadi kelompok pertama (primary group) tempat meletakan dasar kepribadian di dalam keluarga. Orang tua memegang peranan membentuk sistem interaksi intim dan berlangsung lama yang ditandai loyalitas pribadi, cinta kasih dan hubungan yang penuh kasih sayang. Peran orang tua adalah dengan membenahi mental anak. Terbentuknya kepribadian dan aktivitas anak merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dan lingkungannya dan tentunya memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara menyeluruh.
Sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari suami (ayah), seorang istri (ibu) dan anak-anak mereka. Kedua orangtua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapat cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orangtuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan terbiasa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua orangtua terlalu ikut campur dalam urusan mereka memaksakan anak-anaknya untuk mentaati mereka, maka prilaku kedua orangtua yang demikian ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.
Ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orangtua disini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka sendiri harus mengamalkannya. Peran orang tua atau lingkungan terhadap tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan hal yang penting. Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orang tua dan latihan-latihan keterampilan menuju kemandiriannya.
Selain itu, untuk menjadi pribadi mandiri, seorang anak juga perlu mendapat kesempatan untuk berlatih secara konsisten mengerjakan sesuatu sendiri atau menghabiskannya melakukan tugas-tugas yang sesuai dengan tahapan usianya. Orang tua atau lingkungan tidak perlu bersikap cemas, terlalu melindungi, terlalu membantu atau bahkan selalu alih tugas-tugas yang seharusnya dilakukan anak, karena hal ini dapat menghambat proses pencapaian kemandirian anak. Kesempatan untuk belajar mandiri dapat diberikan orang tua atau lingkungan dengan memberikan kebebasan dan kepercayaan pada anak untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya. 
Namun demikian peran orang tua atau lingkungan dalam mengawasi, membimbing, mengarahkan dan memberi contoh teladan tetap sangat diperlukan, agar anak tetap berada dalam kondisi atau situasi yang tidak membahayakan keselamatannya. Bagi anak-anak usia dini, latihan kemandirian ini bisa dilakukan dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-hari di rumah, seperti melatih anak mengambil air minumnya sendiri, melatih anak untuk membersihkan kamar tidurnya sendiri, melatih anak buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap makanannya sendiri, melatih anak untuk naik dan turun tangga sendiri, dan sebagainya.
Semakin dini usia anak untuk berlatih mandiri dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan nilai-nilai serta ketrampilan mandiri akan lebih mudah dikuasai dan dapat tertanam kuat dalam diri anak. Untuk menjadi pribadi mandiri, memang diperlukan suatu proses atau usaha yang dimulai dari melakukan tugas-tugas yang sederhana sampai akhirnya dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan yang lebih kompleks atau lebih menantang, yang membutuhkan tingkat penguasaan motorik dan mental yang lebih tinggi. Dalam proses untuk membantu anak menjadi pribadi mandiri itulah diperlukan sikap bijaksana orang tua atau lingkungan agar anak dapat terus termotivasi dalam meningkatkan kemandiriannya. Seseorang yang berkepribadian mantap adalah orang yang menguasai lingkungan secara aktif, memperhatikan kesatuan dan segenap kepribadiannya. Memiliki kesanggupan menerima secara tepat dunia lingkungannya dan dirinya sendiri, bersifat mandiri tanpa terlalu banyak terpengaruh orang lain.

TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI

(KODE : PASCSARJ-0303) : TESIS KONTRIBUSI BIMBINGAN ORANGTUA DAN GURU TERHADAP PERILAKU KEMANDIRIAN ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)



BAB II 
KAJIAN TEORETIS

A. Perilaku Kemandirian Anak Usia Dini 

1. Pengertian Kemandirian Anak

Kemandirian harus mulai dikenalkan kepada anak sedini mungkin. Dengan kemandirian akan menghindarkan anak dari sifat ketergantungan pada orang lain, dan yang terpenting adalah menumbuhkan keberanian dan motivasi pada anak untuk terus mengeksploitasi pengetahuan-pengetahuan baru.
Menurut Bachrudin Musthafa (2008 : 75) kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil pilihan dan menerima konsekuensi yang menyertainya. Kemandirian pada anak-anak mewujud ketika mereka menggunakan pikirannya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan : dari memilih perlengkapan belajar yang ingin digunakannya, memilih teman bermain, sampai hal-hal yang relatif lebih rumit dan menyertakan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang lebih serius.
Selanjutnya Musthafa menjelaskan bahwa tumbuhnya kemandirian pada anak-anak, bersamaan dengan munculnya rasa takut (kekuatiran) dalam berbagai bentuk dan intensitasnya yang berbeda-beda. Rasa takut (kekuatiran) dalam takarannya yang wajar dapat berfungsi sebagai "emosi perlindungan" (protective emotion) bagi anak-anak, yang memungkinkannya mengetahui kapan waktunya meminta perlindungan kepada orang dewasa atau orangtuanya.
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf (2008 : 130) bahwa kemandirian (otonomi) merupakan karakteristik dari kepribadian yang sehat (healthy personality). Kemandirian individu tercermin dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri, serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Megan Northrop, dalam Research Assistant, dan disunting oleh Stephen F. Duncan, Profesor, School of Family Life, Brigham Young University, menjelaskan : 
As children grow, they should be given more and more independence. At a young age children can select the clothes they wear, food they eat, places to sit, and other small decisions. Older children can have more of a say in choosing appropriate times to be at home, when and where to study, and which friends to associate with. The goal is to prepare children for the day they will leave their family and live without parental control. (www.foreverfamilies.net/xml/articles/teaching_children_self_regulation)
Berdasarkan pengertian di atas bahwa kemandirian adalah (a) kemampuan untuk menentukan pilihan, (b) berani memutuskan atas pilihannya sendiri, (c) bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya, (d) percaya diri, (e) mengarahkan diri, (f) mengembangkan diri (g) menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan (h) berani mengambil resiko atas pilihannya. Hal ini pada anak usia dini masih dalam tarap yang sangat sederhana tentunya, sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Dalam mendorong tumbuhnya kemandirian anak usia dini, orangtua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila memungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks persekolahan atau Taman Kanak-kanak, ini aspirasi dan kemauan anak-anak pembelajar perlu didengar dan diakomodasi. Dalam konteks lingkungan keluarga di rumah, ini menuntut orangtua untuk lebih telaten dan sabar dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan penting. Semua ini diharapkan agar anak dapat membuat keputusan secara mandiri dan belajar dari konsekuensi yang ditimbulkan keputusan yang diambilnya (Bachrudin Musthafa, 2008 : 75).

2. Ciri-ciri Kemandirian Anak

Anak yang mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan dan motivasi yang tinggi. Zimmerman (Tillman dan Weiss, 2000) mengatakan bahwa anak yang mandiri yaitu anak yang mempunyai kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi. Selain itu, Pintrich (1999) menekankan pentingnya integrasi komponen motivasi dan kognitif dalam kemandirian anak, sehingga dapat dikatakan bahwa menjadi anak yang mandiri tergantung pada kepercayaan terhadap diri sendiri dan motivasinya.
Ada beberapa ciri khas anak mandiri antara lain (1) mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah, (2) tidak takut mengambil risiko karena sudah mempertimbangkan baik buruknya, (3) percaya terhadap penilaian sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau minta bantuan, dan (4) mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap hidupnya (Tim Pustaka Familia, 2006 : 45).
Kasiram (1994) mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Sylvia Rimm (2003 : 47) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan percaya diri adalah "rasa senang melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk mereka merupakan alat paling efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orangtua yang realistis menyadari, ada kalanya mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak".
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa ciri-ciri kemandirian adalah sebagai berikut : 
a. Kepercayaan pada diri sendiri
Anak yang memiliki kepercayaan diri lebih berani untuk melakukan sesuatu, menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang ditimbulkan karena pilihannya. Kepercayaan diri sangat terkait dengan kemandirian anak.
b. Motivasi intrinsik yang tinggi
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tumbuh dalam diri untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik biasanya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua motivasi itu kadang berkurang kadang bertambah. Kekuatan yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.
c. Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri
Anak mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihan sendiri. Misalnya dalam memilih alat bermain atau alat belajar yang akan digunakannya.
d. Kreatif dan Inovatif
Kreatif dan inovatif pada anak Taman Kanak-kanak merupakan ciri anak yang memiliki kemandirian, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak ketergantungan kepada orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai pada hal-hal yang baru yang semula dia belum tahu, dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.
e. Bertanggungjawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya
Di dalam mengambil keputusan atau pilihan tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri dia bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi tentu saja bagi anak TK tanggungjawab pada tarap yang wajar. Misalnya tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan yang lain yang diinginkannya.
f. Menyesuaikan diri dengan lingkungan
Lingkungan sekolah (TK) merupakan lingkungan baru bagi anak-anak. Sering kita menemukan anak menangis ketika pertama masuk sekolah karena mereka merasa asing dengan lingkungan di TK bahkan tidak sedikit anak yang ingin ditunggu oleh orangtuanya ketika sedang belajar. Anak yang memiliki kemandirian, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
g. Tidak ketergantungan kepada orang lain
Anak mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan sesuatu tidak bergantung pada orang lain dan anak tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain, setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, baru anak meminta bantuan orang lain. Seperti mengambil alat mainan yang berada di tempat yang tidak terjangkau oleh anak.
3. Kiat Mengembangkan Kemandirian Anak
Mengembangkan kemandirian pada anak pada prinsipnya adalah dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin terampil mengembangkan skillnya sehingga lebih percaya diri. Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 49) terdapat beberapa hal yang seharusnya dilakukan, yaitu : 
a. Anak-anak didorong agar mau melakukan sendiri kegiatan sehari-hari yang ia jalani seperti gosok gigi, makan sendiri, bersisir, berpakaian, dan lain sebagainya segera setelah mereka mampu melakukannya sendiri.
b. Anak diberi kesempatan sesekali mengambil keputusan sendiri, misalnya memilih baju yang akan dipakai.
c. Anak diberi kesempatan untuk bermain sendiri tanpa ditemani sehingga terlatih untuk mengembangkan ide dan berpikir untuk dirinya. Agar tidak terjadi kecelakaan maka atur ruangan tempat bermain anak sehingga tidak ada barang yang berbahaya.
d. Biarkan anak mengerjakan segala sesuatu sendiri walaupun sering membuat kesalahan 
e. Ketika bermain bersama bermainlah sesuai keinginan anak, jika anak tergantung pada kita maka beri dorongan untuk berinisiatif dan dukung keputusannya.
f. Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan idenya 
g. Latihlah anak untuk mensosialisasi, sehingga anak belajar menghadapi problem sosial yang lebih kompleks. Jika anak ragu-ragu atau takut cobalah menemaninya terlebih dahulu, sehingga anak tidak terpaksa.
h. Untuk anak yang lebih besar, mulai ajak anak untuk mengurus rumah misalnya menyiram tanaman, membersihkan meja, menyapu dan lain-lain.
i. Ketika anak mulai memahami konsep waktu dorong mereka untuk mengatur jadwal pribadinya, misalnya kapan akan belajar, bermain dan sebagainya. Orangtua bisa mendampingi dengan menanyakan alasan-alasan pengaturan waktunya.