Search This Blog

SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

(KODE : PTK-0131) : SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa usia prasekolah adalah merupakan masa yang sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Di usia ini sangat penting untuk meletakan dasar-dasar kepribadian anak yang akan menjadi pembentukan kepribadian anak di masa dewasa. Oleh karena itu masa usia prasekolah disebut juga masa keemasan bagi anak (golden age) dimana perkembangan otak pada anak sangat berkembang pesat yaitu sekitar 50% pada usia 0-5 tahun, sehingga dapat menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitarnya dan sangat terbuka dalam menerima berbagai macam pembelajaran dan stimulasi yang diberikan (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004).
Pada tahap perkembangan usia prasekolah ini, anak mulai menguasai berbagai keterampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya (Hurlock, 1997).
Dalam pemerolehannya, anak tentu memerlukan orangtua atau orang dewasa serta lingkungan yang mendukung untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Seiring dengan berjalannya waktu serta bertambahnya usia, anak perlahan-lahan akan melepaskan ketergantungannya pada orang tua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri.
Salah satu tahapan penting dalam masa perkembangan anak adalah fase otonomi. Fase ini ditandai dengan antusiasme anak untuk melakukan segala sesuatunya sendiri dan munculnya hasrat untuk mandiri (Erikson dalam Hadis, 37).
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak sejak usia dini, apabila anak tidak belajar mandiri sejak usia dini akan sangat memungkinkan anak merasa bingung bahkan tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Sartini (1992) mengungkapkan bahwa kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, hal ini berarti bahwa kemandirian terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak selanjutnya.
Ketika kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai oleh anak pada usia tertentu pada kenyataannya anak belum mau dan belum mampu melakukan, maka dapat dikategorikan bahwa anak tersebut belum mandiri (Nakita, 2005). Sebagai contoh nyata yang sering ditemukan adalah ketika anak usia SD atau anak usia 6-9 tahun yang masih dibantu dalam kegiatan yang seharusnya dapat dilakukan sendiri seperti memakai baju, kegiatan makan, dan memakai sepatu. Kemampuan motorik anak usia 6-9 tahun ini pada umumnya sudah matang dan kemandirian anak pada usia ini seharusnya sudah berkembang lebih baik dibandingkan ketika usia anak berusia 2-4 tahun. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh Hurlock (1980 : 111) yaitu : 
Awal masa kanak-kanak dapat dianggap sebagai saat belajar untuk belajar keterampilan. Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari keterampilan tertentu, dimana perkembangan kemampuannya sudah memungkinkan untuk melakukan berbagai hal, dan berkembangnya keinginan pada diri anak untuk mandiri, maka anak tidak saja akan kurang memiliki dasar keterampilan yang telah dipelajari oleh teman-teman sebayanya tetapi juga akan kurang memiliki motivasi untuk mempelajari pelbagai keterampilan pada saat diberi kesempatan.
Istichomah (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kebiasaan mengompol pada anak dibawah usia 2 tahun masih dianggap wajar karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara sempurna. Tetapi disamping itu kebiasaan mengompol tersebut tidak jarang masih terbawa sampai anak berusia 4-5 tahun, bahkan di Indonesia kasus anak yang masih mengompol hingga di usia 6 tahun mencapai 12%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran orang tua dan orang dewasa dalam mengajarkan toilet training kepada anak sejak usia dini. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Istichomah, Hidayat (Faidah, 2009) mengatakan bahwa kemandirian toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orang tua semakin sulit untuk mengajarkan kepada anak ketika anak bertambah usianya.
Vygotsky dalam teori pembelajaran konstruktivismenya (dalam Isabella, 2007) menyebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini anak memerlukan scaffolding, yaitu bantuan yang tepat waktu dan ditarik kembali tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi. Pemberian scaffolding ini dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini.
Scaffolding itu sendiri dapat diberikan oleh guru sebagai orang yang lebih dahulu tahu atau orang dewasa dengan memberikan dukungan maupun fasilitas kepada anak dalam proses perkembangannya hingga anak dapat melakukan aktivitasnya sendiri secara mandiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Olson & Part (Stuyf, 2002) :
"In scaffolding instruction a more knowledgeable other provides scaffolds or supports to facilitate the learner's development. The scaffolds facilitate a student's ability to build on prior knowledge and internalize new information. The activities provided in scaffolding instruction are just beyond the level of what the learner can do alone".
Kebalikan dari pemberian scaffolding adalah interferensi (gangguan atau campur tangan yang tidak dikehendaki). Sering kali orang dewasa baik guru maupun orangtua mengambil tindakan secara spontan atau langsung datang untuk membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan yang diberikan akan menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak (Isabella, 2007). Akan tetapi apabila interferensi terus dilakukan kemungkinan besar anak akan selalu tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, anak akan mengharapkan bantuan orang lain, begitupun dalam mengambil keputusan dan dalam memecahkan masalah (problem solving).
Isabella (2007) telah melakukan observasi pada daily plan sebuah playgroup di Surabaya dengan mengambil tema "My Vegetable" dengan sub tema "Cauliflower" hal yang diobservasi adalah kemampuan anak untuk memetik kuntum bunga kol paling sedikit 8 kuntum. Dalam 5-10 menit pertama anak mengalami kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa memetik bunga kol, disini guru tidak langsung memberikan bantuan, sampai pada akhirnya anak sendiri yang meminta bantuan. Guru menerapkan scaffolding dengan memegang jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk memetik kuntum bunga kol bersama (scaffolding action), setelah itu guru memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba memetik sendiri dan pada waktu bersamaan guru menarik scaffolding secara bertahap. Setelah anak dapat memetik 8 kuntum bunga kol maka anak telah mencapai level of potential development. Dalam observasi tersebut juga terlihat anak yang berusaha menolong temannya untuk memetik kuntum bunga kol, membagikan keterampilan yang baru saja dikuasai yang merupakan bentuk internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam dirinya. Berdasarkan hasil observasi Isabella tersebut, maka scaffolding memiliki peran yang sangat penting pada setiap aspek menuju pada pencapaian perkembangan anak.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, kemandirian anak-anak yang belum berkembang secara optimal diantaranya yaitu kemandirian untuk memakai sepatu sendiri tanpa bantuan dari orangtua atau pengasuh, mencuci tangan sendiri, toilet training (membuka celana, memakai celana, membersihkan diri, dan menyiram kloset secara mandiri), membersihkan tumpahan makanan secara mandiri, serta membereskan mainan setelah selesai bermain. Guru berpendapat bahwa ketika anak memasuki playgroup maka itu menjadi tahap awal pada anak dalam mengenal lingkungan yang baru di luar lingkungan rumah dan merupakan hal pertama kali bagi anak dalam mengenal lingkungan sekolah, hal ini menjadikan setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan stimulus yang diperoleh sebelumnya di lingkungan rumah atau di lingkungan terdekat dengan anak selain lingkungan sekolah, sehingga guru memandang perlunya untuk memfasilitasi hal tersebut agar setiap anak dapat mengoptimalkan kemampuan kemandiriannya sesuai dengan perkembangan usia dan kebutuhannya.
Hal di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Siskandar (2003) bahwa program kegiatan di prasekolah seharusnya menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Oleh karena itu maka, pendidik dapat mengembangkan kemandirian anak dengan intensitas yang sering karena aktivitas tersebut pun dilakukan oleh anak pada setiap harinya, maka pendidik dapat mengajarkan secara bertahap dan berkesinambungan serta konsisten dilakukan, sehingga pendidik dapat mengevaluasi level bantuan yang diberikan kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak pada setiap harinya.
Melalui kegiatan pengembangan kemandirian, pendidik diharapkan dapat menerapkan scaffolding yang sesuai bagi setiap individu anak, hal ini dikarenakan setiap anak dalam setiap situasi membutuhkan scaffolding yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik seyogyanya memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai tahapan dan perkembangan anak serta memiliki kemampuan untuk mengenal karakteristik setiap individu anak, sehingga dapat menerapkan scaffolding pada pelaksanaan aktivitas di sekolah untuk mencapai kemandirian anak sesuai dengan perkembangan usianya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dibahas, maka untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian mengenai proses scaffolding yang tepat dalam mengembangkan kemandirian anak. Oleh karena itu penelitian ini diberi judul "UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING".

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah secara umum adalah "bagaimana proses scaffolding pada pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak usia playgroup".
Adapun secara lebih khusus mengenai rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah kondisi awal perkembangan kemandirian anak di Playgroup X sebelum diberikan scaffolding ?
2. Bagaimanakah proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak Playgroup X ?
3. Bagaimanakah kemandirian anak di Playgroup X setelah diberikan scaffolding ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dialami oleh guru dalam menerapkan scaffolding di Playgroup X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran kondisi yang sebenarnya mengenai kemandirian yang dimiliki oleh anak Playgroup X sebelum diberikan scaffolding dan memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang seyogyanya dimiliki oleh anak Playgroup X.
2. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak.
3. Memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang dimiliki anak setelah diberikan scaffolding.
4. Mengetahui kendala-kendala yang dial ami oleh guru dalam upaya mengembangkan kemandirian anak dengan scaffolding.

SKRIPSI PTK PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK

SKRIPSI PTK PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK

(KODE : PTK-0130) : SKRIPSI PTK PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK DI RAUDLATUL ATHFAL (PGTK) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan pada anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat penting karena pendidikan anak usia dini merupakan pijakan dasar pendidikan selanjutnya. Raudhatul Athfal (RA) merupakan bagian dari pendidikan anak usia dini pada jalur formal di bawah naungan Departemen Agama dengan sasaran usia 4-7 tahun. Menurut Froebel, 'masa anak adalah masa emas (golden age) bagi penyelenggara pendidikan' (Solehuddin, 2000 : 33) karena mengalami perkembangan yang pesat. Orangtua dan pendidik haruslah menjadi fasilitator bagi perkembangan anak yang sedang pesat dengan cara memberikan stimulus yang tepat sesuai dengan tahap perkembangannya. Namun, kurangnya pengetahuan orangtua atau pendidik mengenai tahapan perkembangan anak, maka dalam memberikan stimulus pada anak terkadang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Ada beberapa aspek perkembangan dalam setiap perkembangan anak dan salah satunya adalah aspek perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif merupakan mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia. Salah satu pembelajaran yang dapat merangsang aspek perkembangan kognitif anak usia Raudhatul Athfal (RA) yaitu pembelajaran matematika atau daya pikir. Pembelajaran Matematika di Raudhatul Athfal (RA) sudah sering dilaksanakan dengan tujuan agar anak memiliki kesiapan untuk mempelajari matematika pada tahap selanjutnya melalui pemberian stimulus pada anak dalam kemampuan berpikir untuk mengembangkan aspek perkembangan kognitif anak.
Kegiatan untuk pembelajaran matematika di RA X yang biasa digunakan yaitu melalui Lembar Kegiatan Anak (LKA) yang telah disediakan oleh seksi pendidikan di IGRA (Ikatan Guru Raudhatul Athfal). Sebenarnya, kegiatan yang ada dalam buku LKA tersebut sudah sesuai dengan kurikulum di RA namun karena tuntutan Sekolah Dasar di sekitar RA X dan orangtua murid yang menyekolahkan anaknya di RA X menginginkan anaknya jika masuk Sekolah Dasar dapat menguasai keterampilan matematika yang seharusnya anak dapatkan di Sekolah Dasar sehingga pihak sekolah dan guru menambahkan pembelajaran matematika yaitu pelajaran tambahan (les) dan menekankan calistung yang seharusnya disampaikan di Sekolah Dasar. Padahal, kegiatan matematika seperti itu tidak diperbolehkan untuk diterapkan pada anak usia Raudhatul Athfal (RA). Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan dari Ace Suryadi yang mengungkapkan bahwa : 
Pembelajaran membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung hal itu sah-sah saja" (Sriningsih, 2008 : 2).
Kegiatan penguasaan keterampilan matematika di RA X telah berlangsung sejak awal didirikannya RA X pada tahun 1998 dan memang terbukti bahwa lulusan dari RA X dapat meraih juara dalam bidang akademik di tingkat Sekolah Dasar. Namun, ada beberapa anak yang mengalami kejenuhan belajar pada saat kelas IV (empat) SD. Padahal, menurut Sriningsih (2008 : 8) bahwa "pembelajaran untuk anak usia dini memegang peranan yang sangat penting bagi pembentukan kemampuan dan sikap belajar pada tahap yang lebih lanjut sehingga keberhasilan belajar pada tahap awal sangat menentukan keberhasilan belajar pada tahap berikutnya dan kegagalan belajar pada tahap awal merupakan penyebab paling besar terhadap kegagalan belajar pada tahap berikutnya".
Di RA X, guru hanya menekankan keterampilan berhitung pada anak didiknya terlebih lagi pada anak kelompok A. Padahal dalam pembelajaran matematika yang telah direkomendasikan oleh The National Council of Teacher of Mathematic (NCTM) bahwa : 
Ada sepuluh standar pembelajaran untuk anak usia dini meliputi standar isi dan standar proses pembelajaran matematika antara lain yaitu bilangan dan operasional bilangan, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data dan probabilitas, problem solving, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi dan representasi" (Sriningsih, 2008 : 5).
Pembelajaran pengukuran yang disampaikan oleh guru kelompok A di RA X yaitu melalui kegiatan mengerjakan LKA. Dalam LKA tersebut, anak hanya membandingkan panjang-pendeknya gambar dan besar-kecilnya gambar kemudian anak mewarnai gambar tersebut. Kurang variatifnya kegiatan dan media yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam pengukuran menjadikan kemampuan anak masih rendah. Padahal "pemahaman anak terhadap konsep hampir sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman yang bersifat langsung (hand-on experiences) " (Solehuddin, 2000; Sriningsih, 2008).
Tepat kiranya apabila upaya pengembangan kecerdasan logika-matematika untuk anak usia dini dijadikan sebagai salah satu upaya pemberian rangsangan pendidikan yang dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas bermain bukan melalui metode pembelajaran klasik yang menekankan pada penguasaan fakta dengan menggunakan kegiatan drill yang bersifat instan dan berdampak negatif terhadap perkembangan anak. (Sriningsih, 2008 : 3).
Kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan anak dalam mengukur adalah salah satunya melalui kegiatan memasak. Hal ini sesuai dengan pendapat Griffiths (1992 : 105) bahwa "anak-anak dapat belajar tentang pengukuran melalui berbagai aktifitas yang menyenangkan, seperti bermain dengan air, memasak, mengukur tinggi badan dan lain-lain". Kegiatan memasak mempunyai manfaat untuk keterampilan anak yang dapat digunakan seumur hidup mereka karena kegiatan memasak merupakan kegiatan yang tidak lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Selain itu, kegiatan memasak dapat membantu mengembangkan semua aspek perkembangan anak termasuk aspek perkembangan kognitif.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis terdorong untuk menulis skripsi dengan judul "MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK DI RAUDHATUL ATHFAL (RA)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif proses belajar mengajar di RA X dalam mengenalkan konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A ?
2. Bagaimana kondisi objektif kemampuan anak kelompok A di RA X dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) ?
3. Bagaimana implementasi kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A di Raudhatul Athfal (RA) ?
4. Bagaimana kemampuan anak dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) setelah diterapkan kegiatan memasak di RA X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak usia Raudhatul Athfal (RA).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kondisi objektif proses belajar mengajar di RA X dalam mengenalkan konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A.
b. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan anak kelompok A di RA X dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku).
c. Untuk mengetahui implementasi kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A di Raudhatul Athfal (RA).
d. Untuk mengetahui kemampuan anak dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) setelah diterapkan kegiatan memasak di RA X.

D. Manfaat Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat diperoleh manfaat atau pentingnya penelitian. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu juga dapat memberikan pemahaman psikologis terhadap guru-guru mengenai kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) melalui kegiatan memasak di Raudhatul Athfal (RA).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan berbagai sarana dalam menerapkan pembelajaran matematika khususnya pengenalan konsep pengukuran non standar (tidak baku) di Raudhatul Athfal (RA).
b. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada pihak sekolah, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memacu belajar siswa di Raudhatul Athfal (RA).
c. Bagi Prodi Pendidikan Anak Usia Dini
Dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan pengetahuan serta bahan perbandingan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian, khususnya tentang kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) untuk anak usia Raudhatul Athfal (RA) yang dipadukan dalam kegiatan belajar mengajar.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF

(KODE : PTK-0129) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dalam perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia dini, untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun dengan berbagai jenis layanan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada, baik dalam jalur pendidikan formal maupun pendidikan non formal (Depdiknas, 2009 : 1).
Penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk usia 4-6 tahun. Sedangkan penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan non formal berbentuk Tempat Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 0-2 tahun, 2-4 tahun, 4-6 tahun dan Program Pengasuhan untuk anak usia 0-6 tahun. Kelompok Bermain (KB) dan bentuk lain yang sederajat, menggunakan program untuk anak usia 2-4 tahun dan 4-6 tahun (Depdiknas, 2009 : 1).
Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan lembaga pendidikan formal sebelum anak memasuki sekolah dasar, lembaga ini dianggap penting karena masa usia ini merupakan golden age (usia emas) yang di dalamnya terdapat "masa peka" yang hanya datang satu kali. Masa peka adalah suatu masa yang menuntut perkembangan anak dikembangkan secara optimal. Penelitian menunjukkan bahwa 80% perkembangan mental, kecerdasan anak berlangsung pada usia ini. Kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa anak yang tinggal kelas, drop out, khususnya pada kelas rendah disebabkan anak yang bersangkutan tidak melalui pendidikan di TK (Depdiknas 2007 : 1).
Kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-Kanak mengutamakan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Secara alamiah bermain memotivasi anak untuk mengetahui segala sesuatu lebih mendalam, dan secara spontan anak mengembangkan kemampuannya. Bermain pada dasarnya mementingkan proses dari pada hasil. Menurut Bredekamp (1997), " Play is an important vehicle for children, social, emotional and cognitive development". Artinya bermain merupakan wahana yang penting untuk perkembangan sosial, emosi dan kognitif anak yang direfleksikan pada kegiatan (Masitoh 2005 A).
Salah satu bidang pengembangan yang dilakukan di TK adalah aspek pengembangan kognitif. Pengembangan ini bertujuan agar anak mampu mengolah perolehan belajarnya, menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, mengembangkan kemampuan logika matematika, pengetahuan ruang dan waktu, kemampuan memilah dan mengelompokkan dan persiapan pengembangan kemampuan berpikir teliti (Depdiknas, 2007 : 1).
Pada aspek pengembangan kognitif ini, salah satu kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan berhitung. Depdiknas (2007) dalam Pedoman Pembelajaran Permainan Berhitung Permulaan di Taman Kanak-Kanak menjelaskan bahwa berhitung di Taman Kanak-Kanak diharapkan tidak hanya berkaitan dengan kemampuan kognitif saja, tetapi juga kesiapan mental, sosial dan emosional. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, berhitung di Taman Kanak-Kanak harus dilakukan secara menarik dan bervariasi.
Pada usia tiga tahun, minat anak terhadap angka pada umumnya sangat besar. Di sekitar lingkungan kehidupan anak berbagai bentuk angka seringkali ditemui dimana-mana, misalnya pada jam dinding, mata uang dan kalender. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa angka telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat inilah berhitung seyogianya mulai diperkenalkan pada anak (Harizal, 2009).
Depdiknas (2007) menjelaskan bahwa berhitung sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematis. Berhitung di Taman Kanak-Kanak diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan dasar matematika lebih lanjut di sekolah dasar, seperti pengenalan konsep bilangan, lambang bilangan, warna, bentuk, ukuran, ruang dan posisi melalui berbagai bentuk alat dan kegiatan yang menyenangkan. Selain itu, berhitung juga diperlukan untuk membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin pada diri anak. Namun, banyak sekali para guru yang belum bisa memanfaatkan bahan-bahan yang ada untuk dijadikan media pembelajaran yang menarik untuk anak dalam mengajarkan keterampilan berhitung, sehingga anak-anak akan merasa senang dan nyaman untuk belajar berhitung.
Hasil penelitian Sukmanasa, E (2009) mengenai dampak metode bermain dengan menggunakan media flashcard terhadap kemampuan berhitung permulaan anak usia dini, menunjukkan bahwa metode bermain dengan menggunakan media flashcard berdampak positif dalam meningkatkan kemampuan berhitung di RA. Al-Muhajirin. Hasil post tes kemampuan berhitung permulaan di kelompok B RA. Al-muhajirin terdapat selisih antara skor sebesar 1,194 antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen.
Berkaitan dengan masalah tersebut, untuk meningkatkan keterampilan berhitung anak TK, peneliti ingin mengungkapkan salah satu metode pembelajaran yang dipandang efektif bagi peningkatan keterampilan berhitung anak TK. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah metode demonstrasi.
Menurut Roestiyah (2008 : 83) metode demonstrasi adalah cara mengajar dimana seorang instruktur atau tim guru menunjukkan, memperlihatkan suatu proses, sehingga seluruh siswa dapat melihat, mengamati (mendengar dan mungkin meraba-raba) dan merasakan proses yang dipertunjukkan oleh guru tersebut.
Roestiyah (2008), mengungkapkan bahwa penggunaan metode demonstrasi sangat menunjang proses interaksi belajar mengajar di kelas. Keuntungan yang diperoleh ialah ; dengan demonstrasi perhatian siswa lebih dapat terpusatkan pada pelajaran yang sedang diberikan, kesalahan-kesalahan terjadi bila pelajaran itu diceramahkan dapat diatasi melalui pengamatan dan contoh yang konkrit. Sehingga kesan yang diterima siswa lebih mendalam dan tinggal lebih lama pada jiwanya. Keuntungan lainnya adalah dapat memberikan motivasi yang kuat untuk siswa agar lebih giat belajar. Jadi dengan demonstrasi itu siswa dapat berpartisipasi secara aktif, dan memperoleh pengalaman langsung, serta dapat mengembangkan kecakapannya.
Rohanah (2009), meneliti bahwa metode demonstrasi pada anak sangatlah berbeda dengan metode demonstrasi lainnya karena anak lebih menyukai hal-hal yang nyata, sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, serta anak lebih senang kepada suatu kegiatan yang langsung melibatkan anak.
Dalam sebuah metode pembelajaran, media pembelajaran merupakan hal yang paling penting dalam proses belajar mengajar, seperti yang telah dikemukakan oleh Rohani (Susilawati dalam Anggraeni, 2011 : 4) menjelaskan bahwa media merupakan segala sesuatu yang dapat diindra yang berfungsi sebagai perantara/sarana/alat dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Gagne (Susilawati dalam Anggraeni, 2011 : 4) mengemukakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan anak yang dapat merangsang anak untuk belajar.
Dalam mengenalkan konsep berhitung melalui metode demonstrasi pada anak usia dini sebaiknya menggunakan media yang konkrit sehingga anak lebih mudah untuk memahami kegiatan berhitung. Media yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah media manipulatif.
Montalalu (Anggraeni, 2011 : 5) mengemukakan bahwa media manipulatif besar artinya dalam perkembangan anak terutama dalam berhitung, seperti membandingkan, melihat hubungan dan menarik kesimpulan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Heddens (Sumarni dalam Anggraeni, 2011 : 5) bahwa media manipulatif adalah benda (model konkrit) yang dapat disentuh dan digerak-gerakkan oleh siswa dalam mempelajari konsep bilangan sehingga menimbulkan keinginan untuk berflkir.
Penulis telah melakukan observasi di TK X mengenai pembelajaran berhitung dan metode yang digunakan untuk mengajarkannya. Hasil observasi menunjukkan bahwa pembelajaran berhitung di TK X masih merujuk pada lembar kerja. Selain itu, media yang dipergunakan untuk menunjang pembelajaran berhitung ini pun sangat minim. Diakui oleh guru di TK X, bahwa sampai saat ini para guru masih kesulitan dalam mengajarkan berhitung kepada anak-anak, dan juga belum menemukan cara dan media pembelajaran yang tepat dalam kegiatan berhitung di TK X. Sehingga kegiatan berhitung yang diterapkan di TK X masih menggunakan metode konvensional atau pengerjaan latihan di buku tulis. Anak dipaksa harus mengingat beberapa angka yang harus diingatnya kemudian menjumlahkannya dengan angka melalui jari, sehingga ada beberapa anak yang merasa kesulitan dalam menjumlahkan hasil penambahan dan pengurangan yang diinstruksikan oleh guru.
Berdasarkan hasil refleksi awal melalui diskusi dengan guru, disepakati bahwa tindakan untuk memecahkan masalah tersebut adalah melalui metode demonstrasi dengan media manipulatif. Selain bermanfaat bagi anak dalam melaksanakan metode baru dengan tambahan media yang dapat menumbuhkan rasa antusias atau minat anak terhadap pembelajaran, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat juga sebagai bahan masukan bagi guru dalam memilih dan memanfaatkan bahan-bahan bekas yang menarik dan bervariasi dalam mengajarkan berhitung pada anak Taman Kanak-Kanak, sehingga guru tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian di TK X yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berhitung di Taman Kanak-Kanak dengan menggunakan metode demonstrasi dan media manipulatif.
Atas dasar uraian di atas, peneliti mengangkat judul dalam penelitian ini, yaitu : “PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF”.

B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang terdapat dalam latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran berhitung di TK X ?
2. Bagaimana pelaksanaan metode demonstrasi dengan media manipulatif untuk meningkatkan keterampilan berhitung anak TK X ?
3. Bagaimana keterampilan berhitung anak TK X setelah diterapkan metode demonstrasi dengan media manipulatif ?
4. Kendala apa saja yang dihadapi guru dan anak dalam pembelajaran berhitung melalui metode demonstrasi dengan media manipulatif ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui kondisi objektif pembelajaran berhitung di TK X.
2. Mengetahui pelaksanaan metode demonstrasi dengan media manipulatif untuk meningkatkan keterampilan berhitung anak TK X.
3. Mengetahui keterampilan berhitung anak Taman Kanak-Kanak X setelah diterapkannya metode demonstrasi dengan media manipulatif.
4. Mengetahui kendala apa saja yang dihadapi guru dan anak dalam pembelajaran berhitung dengan menggunakan metode demonstrasi dengan media manipulatif.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan keilmuan dalam memahami penerapan metode demonstrasi dengan media manipulatif dalam meningkatkan keterampilan berhitung di Taman Kanak-Kanak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis
Memberikan wawasan pribadi dalam meningkatkan keterampilan berhitung anak melalui metode demonstrasi dengan media manipulatif.
b. Bagi guru
Sebagai bahan masukan bagi guru dalam memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan keterampilan berhitung anak Taman Kanak-Kanak.

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

(KODE : PTK-0128) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan seorang pembelajar aktif. Anak aktif membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan dan bermain. Dunia bermain merupakan dunia yang penuh spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan.
Bermain merupakan hal yang sangat penting bagi anak, karena bermain merupakan suasana belajar anak yang bermakna. Dijelaskan oleh Greenberg (dalam Solehuddin, 2002 : 7) yaitu : "Children learn as they live, work, play, and converse with peers. As they exchange ideas, they challenge each other every bit as much as many adults challenge them-to think, to reconstruct their ideas because they have new information and view points".
Sesuai dengan pendapat Greenberg tersebut, maka bermain merupakan saat belajar bagi anak. Pada saat bermain anak mengkreasikan ide bersama teman sebaya dan anak lainnya, sama halnya seperti orang dewasa yang menantang mereka untuk berpikir, untuk membangun gagasan atau ide mereka, karena mereka memiliki informasi dan pandangan baru.
Cara anak belajar haruslah menyenangkan. Salah satu pembelajaran di Taman Kanak-kanak yang menyenangkan adalah melalui pendekatan bermain sambil belajar. Bermain merupakan sarana yang efektif dalam upaya mengembangkan seluruh potensi anak. Melalui bermain seluruh aspek perkembangan anak baik fisik, motorik, sosial emosional, kognitif dan bahasa dapat berkembang. Bermain membuat anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan ide dan pikirannya. Melalui kegiatan bermain ini dapat memberikan peluang belajar kepada anak untuk mengembangkan keterampilan-keterampilannya. Salah satu keterampilan yang dikembangkan di Taman Kanak-kanak adalah keterampilan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa dapat diajarkan sejak dini, dimana kemampuan berbahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman anak berinteraksi dengan lingkungan baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa lainnya membuat perbendaharaan kata anak bertambah, disamping akan memperlancar kemampuan berkomunikasi juga dapat menyampaikan maksud atau keinginan tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah anak peroleh ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk memperkaya kemampuan membaca dini.
Pada Hakekatnya membaca dini merupakan suatu proses yang melibatkan aktivitas-aktivitas fisik. Sejalan dengan pendapat Mediani (2006 : 1) bahwa membaca dini merupakan proses yang melibatkan aktivitas auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan) untuk memperoleh makna dari simbol berupa huruf atau kata. Didukung pula oleh pendapat Tampubolon (1993 : 62) bahwa membaca dini merupakan kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan. Lebih lanjut Pflaum (Tampubolon, 1993 : 43) menyatakan bahwa anak dapat diajarkan membaca apabila anak sudah mempunyai minat, dapat menyebutkan bunyi huruf, dapat mengingat kata-kata, memiliki kemampuan membedakan dengan baik, dan memiliki perkembangan bahasa lisan serta kosa kata yang memadai. Ditambahkan lagi oleh Hainstock (2008 : 87) bahwa anak-anak prasekolah tidak hanya dapat diajarkan membaca, tetapi masa prasekolah adalah masa puncak anak secara alamiah dan antusias menyerap kecakapan-kecakapan membaca. Kemampuan membaca ini merupakan tingkat keterampilan membaca dasar yang diupayakan sedemikian rupa, dimana anak memiliki kecakapan untuk memahami lambang-lambang bunyi dan kata sehingga anak dapat mengenal dan melafalkannya. Hal ini merupakan awal keterampilan membaca yang dipakai untuk melangkah ke tingkat membaca berikutnya.
Kemampuan membaca akan berhasil apabila dalam pembelajaran membaca dirancang dan dilaksanakan secara menyenangkan (joyful learning) dan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Freud (Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman emosional anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak, oleh karena itu pembelajaran yang menyenangkan akan memberikan pengalaman yang positif bagi anak. Sedangkan menurut Rose dan Nicholl (dalam Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman belajar yang menyenangkan adalah : "... use games and activities emotional and music, relaxation, play, color and learning map, learning become joyful, stress-free event. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Teale dan Sulzby (dalam Irawati, 2007 : 2) merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di rumah maupun di sekolah untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis : (1) mendengarkan cerita, (2) menulis pesan-pesan, (3) menceritakan kembali suatu cerita, (4) melibatkan diri dalam permainan drama yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis otentik, (5) belajar mengeja nama-nama orang, dan (6) mengenal tulisan yang ada di sekelilingnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar membaca menjadi menyenangkan apabila dilakukan dengan suasana yang santai, memperhatikan pengalaman emosi anak, serta penggunaan media akan mempermudah anak menangkap apa yang diajarkan.
Cara lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kemampuan membaca dini adalah melalui kegiatan bercerita. Sesuai dengan pendapat Goodman (Irawati, 2007 : 3) bahwa di negara maju dalam kelas-kelas rendah dan pendidikan prasekolah seperti di Eropa, Amerika dan Australia, kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan anak. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan. Mendukung pendapat Goodman, Purbo (2003 : 4) mengemukakan Bahwa : 
Selain bercerita pembelajaran membaca dapat dilakukan melalui kegiatan menempelkan gambar-gambar yang berhubungan dengan huruf atau tulisan pada ruang bermain, mencoba meniru bentuk lingkaran/garis atau huruf tertentu, mengajak anak menonton film yang bersifat mendidik sekaligus menghibur sehubungan dengan pelajaran baca tulis, bermain tebak-tebakan huruf, dan menelusuri bentuk huruf dengan jari.
Pendapat Goodman dan Purbo mengindikasikan bahwa media belajar dalam bentuk konkret dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan membaca. Pembelajarannya pun tak luput dari unsur kesenangan dan bermain sehingga pada akhirnya belajar membaca bukanlah hal yang menakutkan dan menyeramkan, tetapi merupakan hal yang menyenangkan bagi anak.
Riset lebih lanjut dari Nicole Niamic (Irawati, 2007 : 3) menyatakan bahwa anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK atau SD, memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dibandingkan dengan anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu, serta memiliki kemampuan matematika lebih baik. Berdasarkan sumber dari www.balipost.co.id menunjukkan bahwa hasil tes awal kemampuan membaca anak SD/MI kelas I pada umumnya anak yang pernah masuk TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak dari TK. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu dari Tatat Hartati dan Oho Garda (Masitoh, 2002 : 7). Hasil penelitian Tatat Hartati (1998) menyimpulkan bahwa program membaca dini Steinberg efektif dan dapat digunakan untuk mengajar dan meningkatkan keterampilan membaca untuk anak usia prasekolah. Sedangkan hasil penelitian Oho Garda (1996) menyimpulkan bahwa menggambar dan bermain huruf dikatakan oleh penciptaan lingkungan yang kondusif, kegemaran baca tulis pada anak dapat dipupuk.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang diajari keterampilan membaca sejak usia dini menjadi individu yang dapat meraih banyak kesempatan berwawasan luas ketika masuk sekolah, dengan catatan pendekatan yang digunakan hendaknya sesuai dengan karakteristik perkembangan anak dan bahasa sebagai alat komunikasi.
Selain kegiatan-kegiatan membaca yang dirancang secara menyenangkan, kemampuan membaca dini juga di dukung oleh lingkungan yang kaya akan bahan bacaan. Solehuddin (2000 : 72) mengungkapkan bahwa : 
Untuk mengembangkan aspek keterampilan baca-tulis awal, para guru dan orang tua dapat melakukannya dengan menyediakan lingkungan kelas dan rumah yang kaya dengan bahan-bahan tulisan dan bacaan yang menstimulasi perkembangan bahasa dan keterampilan baca tulis anak dalam suatu konteks yang bermakna. Jadi, bila pengembangan membacanya dilakukan hanya dengan mengajarkan abjad, membunyikan huruf, suasana yang memaksa dan kurang menyenangkan, maka dinilai kurang tepat.
Lingkungan kelas yang kaya akan bahan bacaan dan tulisan di peroleh dari materi yang beragam untuk tujuan menulis, label dan kata-kata kunci di sekitar ruangan yang sejajar dengan mata anak-anak, memajang hasil karya anak di papan buletin sehingga anak dapat melihatnya, serta buku-buku bacaan di perpustakaan, Asosiasi Membaca Internasional (1999) menyarankan jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah anak. Adapun untuk perpustakaan kelas idealnya ada tujuh buku untuk satu anak (Witdarmono, 2008 : 4). Sedangkan bahan bacaan di lingkungan rumah tidak berbeda jauh dengan bahan bacaan di sekolah. Lingkungan rumah dapat menyediakan kartu-kartu permainan huruf, buku-buku bergambar yang di dalamnya ada tulisan-tulisan pendek tentang gambar-gambar tersebut, buku cerita dan sebagainya.
Berdasarkan sudut pandang di atas pembelajaran membaca seyogyanya memperhatikan perkembangan anak, dirancang secara menyenangkan dan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar anak. Melalui bermain sambil belajar merupakan cara terbaik menuju kemampuan membaca dan menulis pada anak TK. Guru dan orang tua hendaknya saling bekerjasama untuk dapat memberikan cara belajar dan mengajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
Pada kenyataannya di lapangan, sebagian Taman Kanak-kanak menerapkan pembelajaran membaca yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Guru menerapkan pembelajaran yang konvensional, dimana pembelajaran didominasi oleh guru {teacher centered), kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk berekspresi, berkreasi dan bereksplorasi sehingga kurang merangsang anak dalam mengembangkan minat dan gairah untuk belajar, terpaku pada buku teks, mengerjakan soal (drilling) atau privat cepat membaca dan lingkungan belajar yang kurang sesuai, dimana anak merasa tidak nyaman dalam belajar, tidak akrab, membuat anak tertekan dan jenuh. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan Solehuddin (2002 : 1) bahwa : 
Pembelajaran sering dipahami secara sempit dan terbatas pada kegiatan akademik membaca, menulis dan berhitung. Banyak diantara pendidik berlomba untuk cepat mencapai hasil belajar dalam arti sempit. Anak dipacu untuk cepat bisa membaca, menulis dan berhitung yang hasilnya direfleksikan dengan angka di rapor. Tingginya angka-angka rapor itulah yang pada akhirnya di anggap sebagai supremasi dari keberhasilan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan prasekolah. Tidak cukup di sekolah, di luar sekolah pun berjamur pula kegiatan-kegiatan kursus dan bimbingan tes.
Memperkuat pernyataan Solehuddin, Supriadi (2004 : 46) mengungkapkan bahwa : Kecenderungan salah kaprah dalam pendidikan prasekolah di Indonesia karena kuatnya tekanan dari lingkungan (tuntutan orang tua dan masyarakat) dan pandangan pendidik sendiri bahwa TK merupakan pendidikan prasekolah, maka fungsi TK pun lebih mengutamakan penyiapan anak untuk masuk SD daripada pengembangan kepribadian secara utuh. Karena di SD anak akan diajari materi akademis, maka kegiatan pembelajaran di TK pun sarat dengan muatan akademis.
Akibatnya misi utama TK sebagai wahana pengembangan seluruh aspek kepribadian anak menjadi terkalahkan oleh kepentingan yang pragmatis.
Sutomo (2004 : 5) menyatakan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia tidak banyak membaca dan belajar, sehingga sulit untuk mengerti, menguasai, mentransfer serta menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai sumber data yang ditemukan cukup memberikan gambaran bahwa sumber daya manusia Indonesia memiliki mutu yang rendah. Hal ini diindikasikan dengan angka partisipasi buta huruf mencapai 9, 8% dan kemampuan baca tulis di Indonesia berada di urutan ke dua terendah (36%) setelah negara Venezuela (33, 9%). Ironisnya, Joni (Irawati, 2007 : 1) International Education Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang diteliti. Di dukung pula oleh responden hasil polling milis Nakita (Maulani, 2007) 61, 5% orang tua merasa gelisah kalau anaknya belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena tuntutan dari sebagian orang tua yang menginginkan anaknya untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Hal lain yang tampak dengan sistem pendidikan di sebagian lembaga sekolah salah satunya taman kanak-kanak yang lebih mengutamakan kemampuan anak dalam membaca menulis dan berhitung, dimana anak dibawa ke dalam suasana formal yang menitikberatkan pada orientasi persiapan masuk sekolah. Kadang-kadang sistem pendidikan seperti ini ditemukan pola-pola pembelajaran yang memasung kebebasan anak untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dengan berbagai aturan-aturan yang kaku sehingga anak sulit untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dengan sistem pendidikan seperti ini, maka potensi-potensi anak kurang berkembang dan sering kali kurang diperhatikan. Ironisnya lagi sebagian orang tua menuntut lembaga pendidikan tempat anak belajar tersebut memberikan les calistung sebagai persiapan masuk SD. Padahal tidak seharusnya anak TK bisa membaca menulis, dan berhitung dengan memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini membuat aktivitas bermain anak yang seyogyanya dominan untuk usia mereka, menjadi berkurang atau bahkan terabaikan. Kondisi seperti ini dirasakan kurang sesuai dengan prinsip pembelajaran di TK yaitu bermain sambil belajar. Padahal masa TK adalah masa ketika anak-anak ingin bermain, bereksplorasi, berimajinasi, serta bereksperimen dengan melakukan banyak kesalahan dan belajar dari kesalahannya.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di TK X dari hasil diskusi dengan guru kelas bahwa kemampuan membaca dini masih rendah dan belum optimal. Hal ini terlihat dalam anak-anak masih sedikit yang mampu mengenal simbol-simbol huruf untuk persiapan membaca, pembelajaran masih menggunakan metode yang konvensional. Metode yang digunakan sebatas ceramah, bercakap-cakap dan pemberian tugas. Materi disampaikan dengan bantuan buku-buku latihan membaca, sehingga pembelajaran membaca kurang menyenangkan. Adanya permasalahan ini, sudah selayaknya para pendidik diantaranya guru memikirkan metode yang tepat dalam pembelajaran membaca, karena metode pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan suatu program pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djunaidi, (1987 : 27) bahwa " Berhasil tidaknya suatu program pembelajaran bahasa seringkali di nilai dari segi metode yang digunakan, karena metodelah yang menentukan isi dan cara mengajar bahasa".
Metode yang baik adalah metode yang dapat membuat anak aktif untuk terus mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. Tentunya metode pembelajaran membaca pada anak TK memiliki karakteristik tersendiri. Metode membaca dini seyogyanya disesuaikan dengan gaya dan kebutuhan anak. Hal ini mengingat bahwa setiap anak mempunyai kepekaan cara membaca yang berbeda satu sama lain. Aktivitas membaca dilakukan dalam suasana bermain sambil belajar, dimana anak tidak dibebani dengan aktivitas pembelajaran formal yang menegangkan karena mengingat kemampuan anak untuk berkonsentrasi pada satu topik bahasan biasanya masih sangat terbatas.
Salah satu metode pembelajaran membaca dini adalah metode Montessori. Hainstock (2008 : 32) menyatakan bahwa metode Montessori adalah suatu bentuk pembelajaran yang menggunakan pendekatan individual, dimana anak memimpin atau mengatur belajarnya sendiri, memanfaatkan media pembelajaran yang dapat diawasi dan diperbaiki bila salah oleh mereka sendiri, guru cukup memantau kapasitas dan gaya anak. Metode ini di desain untuk merangsang minat anak dalam belajar, menggali segala potensi dan kemampuan anak baik fisik maupun psikisnya. Metode Montessori khususnya pembelajaran membaca, membiarkan anak belajar membaca sesuai dengan cara dan kesempatan yang ada. Inisiatif belajar anak didukung oleh bimbingan guru yang menjadikan anak bisa membaca (melek huruf) secara bertahap. Alat peraga atau alat permainan yang dirancang menunjang belajar abstrak melalui pengalaman sensorik. Interaksi dengan alat peraga dapat memperkenalkan, memperkuat ingatan anak terhadap huruf dan kata serta memberikan fondasi kongkret untuk membangun pengetahuan abstrak. Anak terus di tantang dengan materi dan latihan yang menarik dan semakin kompleks, memperhatikan keunikan setiap anak dan menghindari sekolah yang formal sampai fondasi belajar anak benar-benar kokoh.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pembelajaran berbahasa salah satunya kemampuan membaca dini di pandang perlu untuk diperbaiki proses dan hasilnya. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya melalui metode Montessori sebagai metode alternatif untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang ada. Melalui metode ini pembelajaran membaca dini di TK X diharapkan mengalami peningkatan dan perubahan yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai "PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, batasan masalah dalam penelitian ini adalah "apakah penggunaan metode Montessori dapat meningkatkan kemampuan membaca dini di TK ?". Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X ?
2. Bagaimana implementasi penggunaan metode Montessori di TK X ?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori ?

C. Tujuan Penelitian
1. Secara umum penelitian ini bertujuan : untuk mengetahui penggunaan metode Montessori dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dini.
2. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 
a. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X
b. Untuk mengetahui implementasi penggunaan metode Montessori di TK X
c. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 
1. Bagi peneliti.
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang metode pembelajaran pada umumnya, dan penggunaan metode Montessori dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK pada khususnya.
2. Bagi Guru.
Menjadi bahan masukan dalam menggunakan metode alternatif pembelajaran bahasa untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK.
3. Bagi Lembaga Pendidikan.
Menjadi bahan rujukan untuk menggunakan metode alternatif sebagai metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.

SKRIPSI PTK PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN

SKRIPSI PTK PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN

(KODE : PTK-0127) : SKRIPSI PTK PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun atau disebut usia keemasan {Golden Age), yaitu masa ini merupakan masa kritis bagi anak yang apabila kebutuhan tumbuh kembangnya tidak dipenuhi dengan baik niscaya akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada tahap selanjutnya berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan anak harus mendapatkan stimulus yang baik agar dapat berkembang secara optimal karena setiap aspek perkembangan saling berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Salah satu aspek perkembangan yang perlu mendapatkan stimulus dengan baik adalah aspek perkembangan kognitif anak (Musliddin 2007 : 29).
Menurut Cavanagh (Muslihuddin & Agustin, 2008 : 11) kognitif merupakan bagian intelegensi yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan, pengkhayalan, pengambilan keputusan, dan penalaran dengan kemampuan kognitif inilah individu mampu memberikan respon terhadap kejadian yang terjadi secara internal dan eksternal. Sejalan pendapat Witherington (Sujino, dkk 2004 : 1.12) mengemukakan bahwa "kognitif adalah pikiran, kognitif (kecerdasan pikiran) melalui pikiran dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi untuk memecahkan masalah". Sedangkan perkembangan kognitif (perkembangan mental, adalah perkembangan pikiran.
Pikiran adalah bagian dari proses berpikir dari otak. Pikiran untuk mengenali, mengetahui dan memahami. Salah satu pembelajaran yang bertujuan untuk menstimulasi perkembangan aspek kognitif adalah pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika terdapat materi tentang pengenalan bentuk geometri. Pengenalan bentuk geometri merupakan salah satu standar isi pembelajaran matematika yang direkomendasikan oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). Lebih lanjut disebutkan bahwa pembelajaran untuk anak prasekolah pada standar geometri bertujuan agar anak dapat menganalisa karakteristik dan sifat-sifat bentuk geometri dua atau tiga dimensi dan mengembangkan argumentasi matematika mengenai hubungan-hubungan geometri (Sriningsih, 2008 : 56).
Menurut Solehuddin (2000 : 46) Anak mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, rasa ingin tahu yang antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang menonjol pada anak TK, ia akan banyak memperhatikan, membicarakan, atau bertanya tentang berbagai hal yang sempat dilihat atau didengarnya. Maka dengan demikian anak TK akan diberikan pengenalan konsep bentuk geometri melalui kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak atau belajar dengan pengalaman anak misalnya pada saat anak mengenal bentuk lingkaran, persegi panjang, segi empat, segitiga, jajar genjang, belah ketupat, trapesium. Namun, pengenalan geometri masih merupakan kesulitan yang dihadapi bagi anak TK. Sedangkan menurut Ruseffendi (Nirmala 2009 : 58) upaya pengajian pembelajaran geometri dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu caranya dengan menggunakan media pembelajaran yang beranekaragam. Sehingga dalam kegiatan pembelajaran menjelaskan konsep bentuk geometri pada anak dapat mengembangkan penerapan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan, agar pemahaman anak tentang konsep bentuk geometri akan semakin meningkat.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru sebagai suatu upaya meningkatkan pengenalan anak TK tentang konsep bentuk geometri, yakni melalui model pembelajaran kooperatif yang mana menurut Soleh (Karti dan Yuliariatiningsih, 2009 : 17) merupakan suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif ini memiliki beragam teknik, yang mana satu diantaranya yang dapat digunakan dalam rangka upaya meningkatkan pengenalan anak TK mengenai konsep bentuk geometri adalah pembelajaran kooperatif dengan teknik mencari pasangan.
Pentingnya pembelajaran geometri dikaitkan dengan teknik mencari pasangan yang dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif dapat memacu semangat siswa untuk saling membantu untuk mengenalkan halnya dengan pengenalan konsep bentuk geometri, pada pembelajaran pengenalan konsep bentuk geometri anak mengenal beberapa bentuk seperti : lingkaran, bujur sangkar, segitiga, bujur sangkar panjang, belah ketupat, segi lima, jajar genjang. Pengenalan geometri tersebut dirasakan sangat penting karena, merupakan pengenalan bentuk-bentuk yang dirancang untuk mencari pasangan sambil mempelajari suatu konsep geometri.
Menurut Yudha & Rudianto (2005 : 69) Model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan adalah suatu pembelajaran kelompok yang beranggotakan empat orang yang heterogen. Konsep pembelajaran diberikan kepada setiap kelompok dalam bentuk kartu pasangan berupa gambar yang menunjukan bentuk geometri lingkaran, segitiga, segi empat, persegi panjang, jajar genjang, dan belah ketupat. Setiap kelompok harus mampu memasangkan kartu tersebut dengan benar sesuai dengan pasangan kartunya.
Hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan telah menghasilkan temuan-temuan yang positif dalam proses belajar mengajar yaitu adanya peningkatan pengenalan materi tentang konsep bentuk geometri. Sebagaimana hasil penelitian Mulryan (1992) dalam penelitiannya bahwa pembelajaran kooperatif memberikan dampak yang baik, pada mata pelajaran matematika, yakni siswa lebih aktif dilihat dari keterlibatan dan keikutsertaannya di kelompok kecil dibandingkan belajar dalam kelas secara utuh, (Rosliyanti, Lena, 2008 : 45). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Nirmala (2009) di TK Angkasa I, bahwa hasil penelitian tersebut menunjukan pemahaman konsep bentuk geometri anak TK tersebut dapat meningkatkan aspek perkembangan kognitif anak sebanyak 73%, dimana hasil penelitian ini juga menunjukan hampir semua anak memahami bentuk geometri melalui media realita. Berdasarkan penelitian tersebut terlihat bahwa pemahaman konsep bentuk geometri pada anak taman kanak-kanak dapat ditingkatkan melalui media pembelajaran yang salah satunya adalah media realita. Dengan demikian secara tidak langsung anak TK dapat mengenal, mengetahui, dan mengaplikasikan dalam kehidupan anak sehari-hari. Mengacu pada hal tersebut penelitian ini difokuskan pada pengenalan konsep bentuk geometri melalui model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan.
Berdasarkan observasi di TK X model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan khususnya dalam pengenalan konsep bentuk geometri proses pembelajaran dilihat dari media yang digunakan dalam proses pembelajaran kognitif di TK ini menggunakan media yang masih terbatas dan kurang menarik sehingga anak sulit untuk memahaminya, selain itu guru juga hanya menggunakan metode ceramah yang membuat anak bosan dan tidak tertarik dalam mempelajari bentuk geometri, kemampuan anak dalam pengenalan konsep bentuk geometri masih kurang, seperti anak merasa kesulitan mengingat dan mengenal bentuk geometri, (mengenal dan membedakan lingkaran, segitiga, persegi panjang, belah ketupat, jajar genjang, belah ketupat, trapesium). Berdasarkan kondisi tersebut, maka proses pembelajaran bentuk geometri yang sudah sering dilakukan di TK ini kurang dapat meningkatkan pemahaman anak mengenai konsep bentuk geometri. Oleh karena itu, pembelajaran mengenai konsep bentuk geometri harus lebih menarik dan menyenangkan sehingga anak tidak merasa bosan.
Untuk mengetahui sejauh mana anak TK X mampu mengenal materi pembelajaran tentang konsep bentuk geometri dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan, yang diterapkan dalam proses pembelajaran, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul : “PENINGKATAN PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, bahwa permasalahan yang paling utama muncul yaitu rendahnya kemampuan dalam mengenal anak mengenalkan konsep bentuk geometri maka dari itu penulis akan mencoba memecahkan masalah tersebut melalui model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan. Agar permasalahan lebih fokus, maka penulis mencoba mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran bentuk geometri di TK X ?
2. Bagaimana kondisi awal kemampuan anak TK X dalam mengenal bentuk geometri ?
3. Bagaimana pelaksanaan model kooperatif dalam pembelajaran bentuk geometri di TK X ?
4. Bagaimana peningkatan pengenalan bentuk geometri melalui model kooperatif teknik mencari pasangan ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengenalan anak terhadap konsep bentuk geometri dan meningkatkan pemahaman guru dalam mengadaptasi keragaman model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan untuk mengajarkan konsep geometri di TK X. 
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran bentuk geometri di TK X.
b. Untuk mengetahui kondisi awal kemampuan anak TK X dalam mengenal bentuk geometri.
c. Untuk mengetahui pelaksanaan model kooperatif dalam pembelajaran bentuk geometri di TK X
d. Untuk mengetahui peningkatan pengenalan bentuk geometri melalui model kooperatif teknik mencari pasangan

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Memperoleh gambaran tentang pengenalan konsep bentuk geometri anak
Taman Kanak-kanak di TK X.
b. Memperoleh gambaran tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif, teknik mencari pasangan untuk meningkatkan pengenalan konsep bentuk geometri di TK X.
2. Bagi Guru
a. Mengembangkan model pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa dapat mengenal konsep bentuk geometri dengan baik.
b. Meningkatkan minat untuk melakukan penelitian dalam upaya pengembangan profesionalisme guru.
3. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di lembaga penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan TK X pada khususnya.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya mengenai hal yang sama secara lebih mendalam.

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA TENTANG WUJUD BENDA DAN PERUBAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA TENTANG WUJUD BENDA DAN PERUBAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

(KODE : PTK-0126) : SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA TENTANG WUJUD BENDA DAN PERUBAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA (IPA KLS IV)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan Nasional di bidang pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas melalui pendidikan merupakan upaya yang sungguh-sungguh dan terus-menerus dilakukan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Sumber daya yang berkualitas akan menentukan mutu kehidupan pribadi, masyarakat, dan bangsa dalam rangka mengantisipasi, mengatasi persoalan-persoalan, dan tantangan-tantangan yang terjadi dalam masyarakat pada masa kini dan masa depan.
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan lain, dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang memadai.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak pernah berhenti. Berbagai terobosan baru terus dilakukan oleh pemerintah melalui Depdiknas. Upaya itu antara lain dalam pengelolaan sekolah, peningkatan sumber daya tenaga pendidikan, pengembangan/penulisan materi ajar, serta pengembangan paradigma baru dalam metodologi pengajaran.
Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan meningkatkan hasil belajar. Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa secara optimal adalah pendekatan kontekstual.
Pada saat ini pembelajaran IPA hanya berorientasi pada guru (teacher centered) dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung hanya pada pencapaian target kurikulum dengan mengesampingkan kemampuan anak untuk dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam menyampaikan materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat dan mendengarkan. Sedikit sekali peluang siswa untuk menjadi aktif dan berpartisipasi melakukan diskusi baik dengan guru maupun dengan teman, sehingga siswa menjadi pasif dan pembelajaran menjadi kurang bermakna.
Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan kondisi serupa dialami pula pada siswa di kelas IV tempat penulis mengajar. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala siswa yang kurang berminat terhadap mata pelajaran IPA yang ditunjukkan oleh sikap mereka saat menerima pelajaran, siswa cenderung pasif di kelas seolah-olah belum siap untuk menerima pelajaran, siswa tidak mau bertanya walaupun mereka belum memperoleh kejelasan materi pelajaran tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai hasil belajar siswa Kelas IV, terutama mata pelajaran IPA dari 30 siswa hanya ada 60% yang memenuhi kriteria ketuntasan minimum (KKM) yaitu 60. Nilai terendah di Kelas IV adalah 46, sedangkan nilai tertingginya adalah 78 dan untuk rata-rata kelasnya adalah 63. Hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil Ulangan Tengah Semester I.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi paradigma pembelajaran di sekolah ini pun telah banyak mengalami perubahan antara lain perubahan proses pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran kontekstual. Sebagai suatu konsep pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan dunia nyata serta mendorong siswa membangun antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan paradigma tersebut, pembelajaran IPA pada jenjang SD ditujukan untuk menumbuh kembangkan keterampilan siswa dalam mempersiapkan, membina, dan mengoptimalkan kemampuan peserta didik, menguasai kemampuan dasar yang diperlukan bagi kehidupannya di masyarakat. Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL) dapat dijadikan salah satu alternatif agar siswa dapat belajar dengan kreatif dan lebih mudah memahami konsep-konsep IPA. sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, baik ketika mereka sekolah maupun ketika sudah di lingkungan masyarakat.
Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL), memiliki kelebihan diantaranya, siswa dapat lebih termotivasi karena materi yang disajikan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Juga merupakan sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengkaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. (Johnson, 2002) 
Pada intinya Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan upaya inovasi pendidikan yang menekankan pada meaningful learning atau pembelajaran yang bermakna dengan cara mengkaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata {contextual). Sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mencoba memperbaiki proses pembelajaran yang dirasa belum optimal dilaksanakan oleh penulis di lapangan. Sehingga diharapkan dengan menerapkan Pendekatan Kontekstual sebagai salah satu pendekatan pembelajaran di SD dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA, khususnya dalam konsep wujud benda dan perubahannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi secara umum adalah : "Bagaimana hasil belajar siswa dalam pembelajaran IP A melalui penerapan Pendekatan Kontekstual di SD X ?".
Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPA menggunakan pendekatan kontekstual ?
2. Apakah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran IPA tentang wujud benda dan perubahannya dapat meningkatkan hasil belajar siswa ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan kontekstual, sehingga pembelajaran IPA menjadi tidak verbalisme, tetapi dapat lebih menyenangkan, menimbulkan kreatifitas dan dapat lebih bermakna bagi siswa.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan pendekatan kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL).
2. Mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL).

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa
a. Pembelajaran lebih bermakna bagi siswa karena berkenaan langsung dengan kehidupan sehari-hari.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep yang bermanfaat bagi siswa dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Meningkatkan motivasi belajar siswa kelas IV SD X dalam pembelajaran IPA.
2. Bagi Peneliti
a. Dapat meningkatkan keterampilan mengajar dan memperluas wawasan pengetahuan mengenai pendekatan kontekstual.
b. Dapat menumbuhkan motivasi untuk melakukan inovasi-inovasi pembelajaran.
3. Bagi Guru
a. Memberikan pengalaman bagi guru dalam menggunakan pendekatan kontekstual untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran IPA.
b. Dapat menumbuhkan dan meningkatkan profesionalisme guru, dan pemahaman tentang penelitian tindakan kelas.
4. Bagi Sekolah
a. Memberikan Kesempatan kepada guru-guru untuk mengikuti berbagai diklat dan pelatihan-pelatihan yang berkenaan dengan pembelajaran.
b. Mendorong sekolah untuk dapat meningkatkan proses dengan pembelajaran.

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK

(KODE : PTK-0125) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah kunci peradaban suatu bangsa, artinya pendidikan merupakan proses awal untuk mengembangkan suatu negara. Tipikal ataupun pola pendidikan di suatu negara juga tidak terlepas dari historis bangsa itu sendiri, sama halnya dengan negara Indonesia. Pendidikan merupakan sisi lain dalam kehidupan berbangsa yang sangat mutlak untuk dilaksanakan mengingat setiap negara memiliki cita-cita sendiri, terutama di Indonesia yang mempunyai Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Pendidikan perlu dimulai sejak dini. Sejalan dengan pendapat Plato (Jamaris, 2003 : 1), bahwa waktu yang tepat untuk mendidik anak adalah sebelum usia enam tahun. Comenius (Jamaris, 2003 : 1) mengemukakan bahwa "pendidikan harus dimulai sejak dini karena usia dini merupakan masa emas {golden age), dimana seluruh aspek perkembangan anak berjalan pesat". Masa kanak-kanak adalah masa yang peka untuk menerima berbagai rangsangan dari lingkungan guna menunjang perkembangan jasmani dan rohani yang ikut menentukan keberhasilan peserta didik dalam mengikuti pendidikan di kemudian hari.
Anak usia TK memiliki rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu serta memiliki sikap berpetualang serta minat yang kuat untuk mengobservasi lingkungan. Pengenalan terhadap lingkungan di sekitarnya merupakan pengalaman yang positif untuk mengembangkan minat keilmuan anak usia TK.
Menurut Bredecamp & Copple, (Masitoh, 2007 : 21) anak usia TK memiliki sifat relatif spontan dalam mengekspresikan perilakunya, bersifat aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu dan antusias yang tinggi terhadap berbagai objek, bersifat eksploratif dan berjiwa petualang, kaya akan imajinasi, serta merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya. Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah.
Pembelajaran anak usia TK pada hakikatnya adalah pembelajaran yang berorientasi pada bermain, (belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar). Pembelajaran yang berorientasi perkembangan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat belajar dengan cara-cara yang tepat. Pendekatan yang paling tepat adalah pembelajaran yang berpusat pada anak. Senada dengan hal tersebut, Masitoh (2007), pendidikan di TK harus bersifat holistik, yaitu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan baik koordinasi motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak, (multiple intelligence), maupun kecerdasan spiritual. Menurut (Solehuddin, 2000 : 36) tujuan pendidikan TK memfokuskan pada upaya mengembangkan seluruh dimensi kecerdasan anak. Adapun yang menjadi penekanannya adalah pada pengembangan aspek-aspek perkembangan pribadi yang diperlukan untuk proses perkembangan anak pada saat ini dan selanjutnya. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
Anak merupakan penerus yang akan membangun bangsa. Oleh karena itu pendidikan harus ditanamkan sejak dini. Pengenalan pada alam, lingkungan sekitar, merupakan hal penting untuk meningkatkan kesadaran anak bahwa alam perlu dijaga dan dilestarikan, mereka harus dituntun agar cinta terhadap alam. Cherry, (Rachmawati & Kurniati 2005 : 32) menyatakan tentang pentingnya lingkungan yang sehat dalam menumbuhkan kreatifitas anak.
Pengenalan terhadap alam akan menumbuhkan kesadaran lingkungan anak TK. Menurut Mjolnir (2009), kesadaran lingkungan adalah pengertian yang mendalam pada diri seseorang atau sekelompok orang yang terwujud dalam pemikiran, sikap, dan tingkah laku yang mendukung pengembangan lingkungan, sehingga individu tersebut akan menjaga dan melestarikan lingkungan tempat ia berada. Jika anak dengan mudah dapat menandai pola benda-benda alam, dan mengingat benda-benda alam yang ada di sekitarnya, maka anak dapat dikatakan memiliki kesadaran lingkungan tinggi Anwar kholil (2008). Adapun indikator kesadaran lingkungan bagi anak TK yaitu anak adalah menjaga lingkungan, mencintai flora dan fauna dan peka terhadap alam sekitar.
Kesadaran lingkungan menjadi satu hal yang sangat penting untuk dikembangkan karena dengan adanya potensi kesadaran lingkungan, individu akan memiliki perilaku yang positif (positive attitude) yang akan menjauhkan dari pribadi yang hidup dan berkembang dengan mengeksploitasi alam (Armstrong, 2005 : 35). Dalam upaya menjadikan anak tumbuh menjadi individu yang bisa melindungi bumi dari kerusakan, anak perlu diajak ke alam luar atau lingkungan sekitar untuk mencoba mengolah kebun, merawat hewan, mempelajari sistem kehidupan dan memikirkan bagaimana cara menjaga alam dengan baik.
Permasalahan yang terjadi di TK X terkait dengan kesadaran lingkungan, anak kurang mempunyai rasa peduli terhadap lingkungan, kurang menghargai lingkungan, dan anak tidak memiliki kecintaan terhadap lingkungan. Dalam hal ini, guru kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapat ataupun melakukan percobaan-percobaan sederhana, pembelajaran lebih cenderung bersifat pemberian tugas. Guru kurang memahami bagaimana cara menyampaikan materi pembelajaran terkait kesadaran lingkungan. Disamping itu, pemilihan metode pembelajaran yang disajikan oleh guru kurang bervariasi, hanya sebatas tanya jawab, ceramah dan penugasan. Anak hanya menerima informasi yang diberikan oleh guru, tidak diberikan pemahaman akan pentingnya kesadaran lingkungan. Hal itu sering terjadi sampai berulang-ulang, sehingga menyebabkan anak jenuh mengikuti kegiatan pembelajaran.
Menurut (Rostina, 2000 : 3) menyatakan bahwa, pembelajaran di TK masih cenderung bersifat ceramah serta berpusat pada guru (teacher centered). Dampak dari pembelajaran yang seperti ini hampir tidak ada unsur penemuan (discovery) pada anak usia TK, sehingga pembelajaran akan menjadi sesuatu yang membosankan. Seharusnya pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, akan tetapi harus memberikan ruang kepada anak untuk mencari dan menyelidiki masalah yang pada akhirnya menuntun anak untuk menemukan jawabannya sendiri.
Penulis memilih salah satu metode pembelajaran yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran lingkungan anak khususnya di TK X yaitu dengan menerapkan metode eksperimen. Dimana kegiatan mengenal lingkungan bisa dilakukan dengan cara mengajak anak untuk melakukan kegiatan percobaan yang tentunya membuat anak dapat menemukan jawaban sendiri dari informasi yang telah didapatkan. Misalnya menanam tanaman baik di kebun maupun di dalam pot untuk diteliti, mengobservasi perkembangbiakan binatang dan melakukan percobaan-percobaan berhubungan dengan alam sekitar.
Metode eksperimen menurut Djamarah (Martiningsih, 2007) adalah cara penyajian pelajaran dimana anak melakukan percobaan, dengan mengalami sendiri sesuatu yang dipelajari. Kegiatan mencoba ini tidak hanya memberikan kesenangan bagi anak melainkan juga memberi pengalaman yang lebih baik tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh suatu benda. Oleh karena itu, bila anak diberi kesempatan untuk bereksperimen, mencoba, menguji dengan berbagai sumber belajar mereka akan memperoleh penyempurnaan dalam cara kerja mereka dan juga dapat mengapresiasi cara kerja anak lain. Maka dari itu, penggunaan metode eksperimen terkait dengan kesadaran lingkungan itu penting untuk anak agar bisa mengapresiasi lingkungan sekitar. Dalam proses belajar mengajar dengan metode eksperimen, anak diberi kesempatan melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, keadaan atau proses sesuatu dan menarik kesimpulan dari proses yang dialaminya tersebut. Dengan demikian anak dapat mengenal dan mengetahui pentingnya sesuatu yang sedang diteliti.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini memfokuskan pada "PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, secara umum rumusan masalah dari penelitian ini yaitu "Bagaimana penerapan metode eksperimen dapat meningkatkan kesadaran lingkungan anak TK ?”, yang secara khusus dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif kesadaran lingkungan anak sebelum diterapkan metode eksperimen di TK X ?
2. Bagaimana langkah-langkah penerapan metode eksperimen dalam meningkatkan kesadaran lingkungan anak di TK X ?
3. Bagaimana kesadaran lingkungan anak setelah diterapkan metode eksperimen di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian bertujuan untuk "mengetahui penerapan metode eksperimen untuk meningkatkan kesadaran lingkungan anak TK". Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan : 
1. Memperoleh gambaran mengenai kondisi objektif kesadaran lingkungan anak sebelum diterapkan metode eksperimen di TK X.
2. Mengetahui bagaimana langkah-langkah penerapan metode eksperimen dalam meningkatkan kesadaran lingkungan anak di TK.
3. Mengetahui bagaimana kesadaran lingkungan anak setelah diterapkan metode eksperimen di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat teoritis penelitian ini yakni, memberikan kontribusi dan informasi secara ilmiah tentang penerapan metode eksperimen untuk meningkatkan kesadaran lingkungan anak. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Bagi penulis
Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman mengenai penerapan metode eksperimen dalam meningkatkan kesadaran lingkungan anak.
2. Bagi guru
Untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta pemahaman mengenai kesadaran lingkungan anak TK, juga sebagai masukan dalam memfasilitasi aspek perkembangan kesadaran lingkungan anak melalui penerapan metode eksperimen.
3. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi positif kepada lembaga penyelenggara pendidikan khususnya di TK X dalam rangka meningkatkan kesadaran lingkungan anak TK melalui penerapan metode eksperimen.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Memberikan gambaran tentang penerapan metode eksperimen terhadap peningkatan kesadaran lingkungan sebagai bahan masukan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF

(KODE : PTK-0124) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia dari 0 sampai dengan usia 8 tahun (Solehuddin, 1997 : 23). Rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang menonjol pada anak usia ini. Anak usia prasekolah adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan sangat pesat dan sangat mendasar dalam kehidupannya (Solehuddin, 1997 : 42).
Pada hakekatnya Taman Kanak-kanak adalah tempat anak-anak bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Program pendidikan prasekolah bukan usaha percepatan untuk menguasai pelajaran. Atas dasar konsep bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain dengan berbagai alat bantu belajar serta metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan minat, kemampuan serta tingkat perkembangan anak (Depdikbud dalam Desfina, 2005 : 2).
Sasaran yang diarahkan pada anak usia taman kanak-kanak lebih pada pengembangan berpikir dan kreativitas anak secara optimal. Anak usia prasekolah merupakan anak usia bermain, dimana bermain dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor, karena bermain merupakan suatu kebutuhan bagi anak. Hal ini juga diungkapkan oleh Abdurrahman (Yulianti, 2006 : 30) bahwa "Anak pada usia dini merupakan awal pertumbuhan perkembangan pribadi yang dipusatkan pada kreativitas, melalui bermain adalah bentuk ekspresi kreatif bebas yang sangat esensial bagi anak yang tumbuh melalui kesenian".
Kreativitas dapat dipandang dari perspektif yang berbeda berdasarkan latar belakang disiplin ilmu. Pada umumnya orang mendefinisikan kreatif sebagai daya cipta atau kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan, daya imajinasi, maupun hasil karya. Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Munandar (1992 : 33) bahwa : 
Kreativitas adalah kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Kreativitas perlu dikembangkan dalam pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Seperti yang dikemukakan oleh Hasan (Hayati, 2011 : 2) : 
Pendidikan adalah suatu proses pengembangan dasar atau pengembangan bakat/kreativitas anak, dan proses tersebut berjalan sesuai dengan hukum-hukum perkembangan. Bakat atau kreativitas anak tidak datang secara stimulan atau tiba-tiba, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan hukum alam yang ada, bahwa manusia tumbuh dan berkembang setahap demi setahap.
Pendapat lain dikemukakan oleh seorang psikolog terkenal Erikson (Mariyana, 2008 : 2) mengatakan bahwa masa usia tiga setengah tahun hingga enam tahun adalah masa penting bagi seorang anak untuk mengembangkan kreativitasnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, kegiatan yang dapat mengembangkan kreativitas anak salah satunya yaitu dengan tari. Menurut pakar tari yaitu Soedarsono (Desfina, 2005 : 4) tari adalah ungkapan perasaan jiwa manusia yang dilahirkan dalam bentuk gerak ritmis dan indah. Dengan demikian unsur yang paling utama dari sebuah tarian adalah gerak tubuh manusia. Pembelajaran tari untuk anak usia Taman Kanak-kanak, diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya sehingga kreativitas anak dapat berkembang dalam menciptakan suatu gerakan dari ide-ide dan gagasannya.
Rangsangan yang dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan kreativitas gerak anak perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan usia anak Taman Kanak-kanak. Rangsangan yang tepat pada anak Taman Kanak-kanak harus memudahkan anak dalam menimbulkan respon gerak yang bisa berupa ungkapan dari ide-idenya, imajinasinya, pendapat dan fantasinya. Dari respon itu anak akan memiliki pengalaman, kreativitas untuk bergerak, serta peka terhadap lingkungan sekitarnya. Salah satu rangsangan yang dapat memotivasi anak untuk mau bergerak secara kreatif adalah rangsangan auditif atau rangsangan dengar. Pada umumnya anak lebih mudah merespon suara yang didengarnya. Rangsangan yang dapat didengar bisa berupa musik, suara alam, suara binatang, sehingga memotivasi anak untuk bergerak lebih aktif dan kreatif.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, khususnya pada anak kelompok B di TK X, sejauh ini penyelenggaraan pembelajaran di TK masih dapat ditemukan bahwa kreativitas gerak anak belum dapat berkembang dengan optimal khususnya dalam pembelajaran tari. Guru masih cenderung memberikan materi tari bentuk. Guru kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan idenya, guru kurang memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi dan mencoba gerak-gerak yang baru yang diciptakan oleh anak. Secara keseluruhan kegiatan menari di TK X masih kurang variatif, anak-anak hanya melakukan kegiatan menari dengan mencontoh gerakan yang diperagakan oleh guru tanpa adanya rangsangan awal terlebih dahulu sebagai penciptaan gerak dalam tari. Oleh karena itu diperlukan kegiatan menari yang lebih bervariatif.
Banyak cara yang dapat dilakukan guru untuk menciptakan pembelajaran tari yang menyenangkan, salah satunya adalah melalui pemberian rangsangan dalam pembelajaran. Rangsangan merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar secara aktif dan kreatif. Berbagai rangsangan yang dapat memotivasi anak untuk bergerak kreatif yaitu rangsangan auditif, rangsangan visual, rangsangan gagasan, rangsangan rabaan atau kinestetik (Smith dalam Narawati dan Masunah, 2003 : 47).
Rangsangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rangsangan auditif. Pemilihan rangsangan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang diharapkan dalam penelitian yang dilakukan, tentunya dengan menggunakan metode pembelajaran yang disesuaikan pula.
Seperti yang dikemukakan oleh Smith (Narawati dan Masunah, 2003 : 254) bahwa : Rangsangan auditif atau rangsangan dengar yaitu suatu rangsangan yang dapat membangkitkan semangat melalui pengamatan pendengaran. Rangsangan auditif atau rangsangan dengar meliputi berbagai bunyi suara atau bunyi-bunyian, seperti suara manusia, suara binatang, suara angin atau air, bunyi alat atau instrumen, kata-kata, puisi, musik dan sebagainya. Rangsangan tersebut dapat dijadikan bahan untuk memotivasi anak untuk mau bergerak dan perkembangan kreativitas gerak. Suasana, karakter dan gerak tari dapat muncul melalui rangsangan auditif tersebut.
Penggunaan musik dan bunyi suara binatang sebagai rangsangan merupakan media yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui kreativitas gerak anak taman kanak-kanak dalam merespon musik yang didengarnya menjadi bentuk gerak. Adapun alasan mengapa peneliti memilih stimulus musik dalam kegiatan belajar tari, sebab musik dapat menstimulasi gerakan dan mengembangkan koordinasi fisik serta pengendaliannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sheppard (2007 : 121) bahwa : 
Musik membantu perkembangan mental, meningkatkan kemampuan koordinasi pada tingkat tinggi, mendatangkan banyak kemampuan sosial, memberikan kreativitas dan pemahaman diri, serta bahkan dapat bermanfaat bagi kesehatan. musik merupakan wadah yang baik untuk mengeksplorasi kreativitas alami karena secara alamiah menstimulasi rasa imajinasi dan keingintahuan anak.
Melalui penelitian ini penulis mencoba menerapkan proses pembelajaran dengan menggunakan rangsangan auditif, yang diharapkan menjadi sumber inspirasi dan daya imajinasi anak dalam penciptaan gerak-gerak tari yang mereka kehendaki, selain dapat menumbuhkan kreativitas anak dalam mengikuti proses pembelajaran juga memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi gerak sesuai dengan apa yang mereka inginkan sesuai dengan stimulus yang diberikan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini memfokuskan kajian pada "MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah umum dirumuskan sebagai berikut "Bagaimana meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari melalui rangsangan auditif ?".
Adapun secara lebih khusus rumusan masalah dituangkan dalam pernyataan, yaitu : 
1. Bagaimana kondisi objektif kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X ?
2. Bagaimana proses pembelajaran melalui rangsangan auditif dalam meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X ?
3. Bagaimana peningkatan kreativitas gerak anak setelah diberikan rangsangan auditif dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 
1. Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari melalui rangsangan auditif.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kondisi objektif kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X
b. Untuk mengetahui proses pembelajaran melalui rangsangan auditif dalam meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X.
c. Untuk mengetahui peningkatan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari setelah diberikan rangsangan auditif pada anak kelompok B di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah : 
1. Manfaat Teoritis
Meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan belajar tari pada anak usia dini melalui rangsangan auditif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kreativitas gerak anak dengan menggunakan rangsangan auditif.
b. Bagi Guru
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam kegiatan pembelajaran tari di TK X.
c. Bagi Lembaga
Diharapkan mampu bekerjasama dengan guru kelas untuk memperbaiki permasalahan dalam pengembangan seluruh aspek perkembangan anak.