Search This Blog

TESIS STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM REMUNERASI PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI

TESIS STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM REMUNERASI PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI

(KODE : PASCSARJ-0079) : TESIS STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM REMUNERASI PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI (PRODI : KAJIAN KETAHANAN NASIONAL)




PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara akademis dan praktis, batasan penelitian serta model operasional penelitian.

1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan politik dan demokrasi dewasa ini telah melahirkan tantangan-tantangan yang semakin besar, khususnya bagi lembaga-lembaga pemerintahan. Setiap lembaga pemerintah dituntut untuk mendefinisikan visi, misi, dan perannya sebagai lembaga publik agar mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Hal tersebut mengakibatkan adanya tuntutan atas perubahan internal birokrasi tersebut, menuju terwujudnya pemerintahan yang menjamin kepastian hukum, keterbukaan, profesional dan akuntabel sesuai dengan prinsip good governance. Prinsip tersebut memberikan pengaruh kuat dalam pemerintahan Indonesia, yaitu menuntut adanya perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan. Di samping itu, juga perlu adanya peningkatan sumber daya manusia aparatur yang mampu mencermati berbagai perubahan paradigma akibat perkembangan lingkungan yang strategis.
Aparatur pemerintah yang diharapkan antara lain bercirikan profesional, kompeten dan akuntabel yang dapat mendukung kondisi pemerintahan yang transparan, demokratis, berkeadilan, efektif dan efisien dengan menghormati hukum yang mendorong terciptanya partisipasi dan pemberdayaan.
Dalam hal peningkatan mutu aparatur pemerintah sebagai modal dasar pembangunan nasional, maka kinerja sumber daya manusia senantiasa harus ditingkatkan dan diarahkan agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Peningkatan mutu sumber daya manusia yang strategis terhadap ketrampilan, motivasi, pengembangan dan manajemen pengorganisasian sumber daya manusia merupakan syarat utama untuk mewujudkan kemampuan bersaing dan kemandirian. Sejalan dengan itu visi dalam konteks pembangunan bidang kepegawaian dimasa yang akan datang adalah mempersiapkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, mampu bersaing dan mampu mengantisipasi perkembangan dunia yang pesat diberbagai aspek kehidupan sehingga mampu meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja yang tinggi. (Maarif, 2003:2)
Kesadaran akan perlunya sumber daya manusia yang berkualitas, perlu ditindaklanjuti dengan berbagai strategi yang dapat meningkatkan kinerja pegawai. Salah satu strategi untuk menghadapi tantangan yang tidak ringan, setiap organisasi harus mendesain kembali perencanaan organisasinya, mendesain kembali prinsip fundamental jabatan dan pengelolaan manajemen kinerja serta pendayagunaan manusia. Dalam hal ini berarti mengupayakan agar sumber daya manusia itu mampu dan mau bekerjasama secara optimal demi tercapainya tujuan organisasi.
Unsur sumber daya manusia dan sistem pemerintahan yang adaptabilitas terhadap lingkungan perubahan menjadi semakin menentukan bagi keberhasilan pencapaian tujuan yang diharapkan. Beberapa pakar menyatakan bahwa salah satu penyebab keterpurukan perekonomian Indonesia adalah rendahnya komitmen dan kinerja penyelenggaraan negara. Kinerja pegawai merujuk pada tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas serta upaya yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja seseorang dapat menjadi optimal jika didukung oleh kemampuan yang baik dan motivasi yang kuat. Keberhasilan kinerja pegawai sebuah organisasi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Menurut Rothwell (2000:6), mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu : data dan informasi, sumber daya, peralatan dan lingkungan, konsekuensi hasil kerja, keahlian dan pengetahuan, kemampuan, motivasi serta insentif dan imbalan.
Komitmen dan kinerja yang rendah dari penyelenggara negara antara lain disebabkan rendahnya gaji yang diterima. Minimnya gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil diindikasikan sebagai salah satu penyebab belum tercapainya kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil secara layak dan merata. Berbagai sorotan dilontarkan terhadap gaji Pegawai Negeri Sipil, mulai dari keluhan Pegawai Negeri Sipil sendiri, sampai dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh "kecilnya" kesejahteraan yang diterima Pegawai Negeri Sipil.
Bagi suatu organisasi, gaji merupakan salah satu pengeluaran atau biaya untuk penggunaan tenaga kerja. Oleh karena itu, sistem balas jasa dapat dilihat sebagai suatu sistem yang berada pada hubungan timbal balik antara organisasi dengan pegawai. Selain itu, organisasi selalu mengaitkan antara balas jasa dengan kuantitas, kualitas dan manfaat balas jasa / gaji yang dipersembahkan pegawai kepada organisasi yang akan mempengaruhi pencapaian organisasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kelangsungan organisasi. Dari sisi pegawai, balas jasa dilihat sebagai sarana pemenuhan berbagai kebutuhan hidupnya, terutama hidup sehari-hari.
Sistem penggajian merupakan bagian dari sistem remunerasi dan merupakan salah satu implementasi atau penerapan hasil dari manajemen kinerja. Remunerasi sendiri memiliki pengertian sebagai setiap bentuk imbalan (reward) yang diterima pegawai sebagai akibat dari kinerja-kinerja tugas dalam organisasi, termasuk diantaranya hadiah, penghargaan atau promosi jabatan. Kinerja sendiri tidak dapat dicapai secara optimal apabila remunerasi diberikan tidak secara proposional (Ivancevich:2001:286-287). Pendekatan melalui pengembangan remunerasi ini dikenal sebagai cara yang efektif untuk mengurangi biaya dan menambah produktifitas pegawai.
Kenaikan gaji hanya akan efektif jika dilaksanakan bersamaan dengan penerapan manajemen kepegawaian yang berorientasi pada kinerja, sehingga ada kejelasan tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing pegawai, serta ukuran/target kinerja yang bagaimana yang harus dicapai, dengan demikian setiap pegawai memahami bahwa untuk mendapatkan imbalan tertentu harus mencapai kinerja tertentu pula.
Dengan pengembangan sistem remunerasi pegawai yang berdasarkan pada beban kerja dan tanggung jawab masing-masing pegawai serta kinerja pegawai maka diharapkan dapat mengeliminir terjadinya penyalahgunaan kewenangan berupa tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan, karena good governance erat kaitannya dengan moral individu. Dengan dasar seperti itu, maka remunerasi yang diterima oleh pegawai akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara adil dan layak. Di dalam penelitian ini, hanya difokuskan pada sitem remunerasi Pegawai Negeri Sipil tanpa dikaitkan dengan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme karena masalah tersebut memerlukan penelitian khusus.
Dalam hal ini maka diperlukan suatu analisis jabatan sebagai suatu proses, metode, dan teknik untuk memperoleh data jabatan yang diolah menjadi informasi jabatan dan disajikan untuk berbagai kepentingan program kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan. Dan adanya evaluasi jabatan sebagai suatu proses yang dilakukan dalam ruang lingkup manajemen sumber daya manusia yang menentukan nilai relatif dalam arti berat ringannya suatu pekerjaan dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain dalam sebuah organisasi (Ruky :2006:72). Analisis jabatan dan evaluasi jabatan akan menghasilkan nilai (point) jabatan di mana beban kerja dan kinerja Pegawai sebagai dasar penentuan pemberian remunerasi.
Pada tataran normatif gaji Pegawai Negeri Sipil tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yang mengemukakan bahwa struktur gaji Pegawai Negeri Sipil yang harus dipenuhi adalah struktur gaji yang adil dan layak. Gaji yang adil dan layak adalah bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Pengaturan gaji Pegawai Negeri Sipil yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antara Pegawai Negeri Sipil maupun antara Pegawai Negeri Sipil dengan swasta. Sedangkan gaji yang layak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok. Selain itu, gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil harus mampu memacu produktivitasnya yang pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat pelayanan kepada masyarakat.
Dilihat pada kenyataan yang terjadi, sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia belum mendukung tercapainya perubahan yang relatif signifikan terhadap kinerja, produktifitas dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian gaji yang sama, baik bagi pegawai berkinerja tinggi maupun pegawai berkinerja rendah. Penerapan gaji belum didasarkan pada beban kerja yang harus ditanggung oleh masing-masing pegawai. Selain itu, tidak adanya sanksi terhadap pegawai yang berkinerja rendah, mereka memiliki hak yang sama. Mengakibatkan belum profesionalnya Pelayanan Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Penerapan remunerasi ini masih menjadi mom ok yang menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pegawai, terlihat dari berbagai kondisi sebagai berikut :
1. Gaji Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang relatif kecil, telah menimbulkan Social & economy cost yang mahal melalui "maraknya" korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan birokrasi pemerintah.
2. Adanya tindakan tercela Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bukan semata-mata karena rendahnya moral tetapi karena terdesak kebutuhan hidup yang layak.
3. Sistem remunerasi yang berlaku pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kurang transparan karena di samping gaji ada pegawai yang menerima tunjangan khusus dan sejumlah honorarium dari pos non gaji sehingga:
- Terjadi ketidakadilan dalam penghasilan (tidak semua dapat tunjangan khusus atau honorarium).
- Jumlah anggaran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti dan sulit dipertanggungjawabkan kepada publik karena sebagian besar berasal dari sumber non gaji.
4. Struktur gaji pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kurang mendorong produktivitas, karena :
- Gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja.
- Jarak antara gaji terendah dan gaji tertinggi terlalu pendek, sehingga kenaikkan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti.
5. Sistem pensiun yang kurang menjamin kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil setelah memasuki masa pensiun.
Dalam rangka memperhatikan secara lebih intensif mengenai remunerasi yang berorientasi kinerja, sehingga dapat mendorong produktifitas Pegawai Negeri Sipil, maka dirasa penting untuk melakukan penelitian yang berjudul " Strategi Implementasi Sistem Remunerasi Pegawai Negeri Sipil Pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI "

1.2. Perumusan Masalah
Berpangkal dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dianggap perlu untuk mengembangkan suatu strategi yang dapat menjembatani antara penghargaan yang diharapkan pegawai dan kemampuan pegawai yang dibutuhkan oleh suatu organisasi pemerintah sehingga tercapai suatu sistem remunerasi pegawai yang berorientasi kinerja, sehingga mencerminkan keadilan baik secara internal den eksternal yang relevan dengan kondisi organisasi pemerintah.
Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sistem remunerasi pegawai yang adil dan layak pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ?
2. Bagaimanakah strategi implementasi sistem remunerasi pegawai pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia?

1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Merumuskan sistem remunerasi dalam upaya mewujudkan remunerasi Pegawai Negeri Sipil yang adil dan layak baik secara internal maupun eksternal.
2. Untuk mengetahui bagaimana strategi implementasi sistem remunerasi Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian-penelitian di bidang manajemen sumber daya manusia. Hasil penelitian ini terutama diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menganalisis penerapan sistem remunerasi pegawai yang adil dan layak. Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam meninjau kembali mengenai sistem remunerasi pegawai sehingga dapat memberikan reward yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pegawai.
Secara rinci, beberapa manfaat penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti;
Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai sistem remunerasi yang adil dan layak berdasarkan beban kerja dan kinerja pegawai.
2. Bagi Biro Kepegawaian;
Bagi Biro Kepegawaian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyempurnaan sistem remunerasi Pegawai Negeri Sipil yang berdasarkan beban kerja dan kinerja pegawai, sehingga mencerminkan keadilan baik secara internal maupun eksternal. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki sistem remunerasi yang terdapat di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI. Perbaikan yang dimaksud disini adalah upaya strategis yang dapat dilakukan secara internal lembaga pemerintah.

1.5 Model Operasional Penelitian
Laporan hasil penelitian ini mengikuti sistematika umum penulisan tesis.
Penulis mengelompokkan laporan ini ke dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan mengenai gambaran singkat tentang penelitian yang dilakukan yang terdiri dari uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan model operasional penelitian.
BAB II GAMBARAN UMUM ORGANISASI
Di dalam bab ini, penulis akan menerangkan mengenai struktur organisasi, tugas pokok serta fungsi Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI yang terdiri dari Biro Kepegawaian, Biro Perencanaan, Biro Keuangan, Biro perlengkapan, Biro Umum dan Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri.
BAB III KERANGKA TEORI
Menjelaskan teori dan rumusan yang melandasi penelitian yang berhubungan dengan tujuan penelitian, konsep-konsep pengolahan data, dan penulisan analisis.
BAB IV METODE PENELITIAN
Menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian yang meliputi : pendekatan dan jenis penelitian, tempat dan obyek penelitian, tehnik pengumpulan data, tehnik analisis data dan metode analisis yang dilakukan terhadap data penelitian yang didapat.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Menjelaskan tentang analisis hasil penelitian berdasarkan metode analisis yang ditetapkan dan kaitannya dengan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis menyajikan tentang tentang berbagai kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dikaitkan dengan pertanyaan penelitian. Selain kesimpulan, pada bab ini juga disajikan saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.
TESIS PERAN KOMUNIKASI KELUARGA TERHADAP KECENDERUNGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA STUDI KASUS PADA KELUARGA PECANDU DI KECAMATAN X

TESIS PERAN KOMUNIKASI KELUARGA TERHADAP KECENDERUNGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA STUDI KASUS PADA KELUARGA PECANDU DI KECAMATAN X

(KODE : PASCSARJ-0078) : TESIS PERAN KOMUNIKASI KELUARGA TERHADAP KECENDERUNGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA STUDI KASUS PADA KELUARGA PECANDU DI KECAMATAN X (PRODI : KAJIAN KETAHANAN NASIONAL)



BAB 1
PENDAHULUAN

Masalah penyalahgunaan narkotika telah sejak lama menjadi salah satu masalah global yang dihadapi banyak bangsa di dunia. Semula manfaat narkotika digunakan dalam dunia kedokteran, tetapi akibat penyalahgunaannya melahirkan banyak kerusakan dan kejahatan. Sebegitu mengkhawatirkannya masalah ini hingga PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) menyatakan perang melawan narkotika/narkoba (Fight Against Drugs) sebagai salah satu dari Millenium Development Goals (MDG/Tujuan Pembangunan Millenium) yang diharapkan dapat dicapai semua negara berkembang pada tahun 2015.
Dalam lingkup Asia Tenggara, semua negara ASEAN kecuali Brunei Darussalam telah mengakui adanya masalah yang mereka hadapi terkait dengan penyalahgunaan narkoba (UNODC Regional Workshop on Demand Reduction, X, Oktober 2007). Secara tradisional, Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk menjadi lahan subur penyalahgunaan narkoba dikarenakan adanya segitiga emas penghasil dan penyalur gelap narkoba di wilayah ini yang terdiri dari Myanmar, Kamboja dan Thailand (UNODC Regional Meeting, Myanmar, Juni 2006), yang memungkinkan distribusi produk narkotika melalui media transportasi darat, laut, maupun udara ke semua negara di wilayah ini, tak luput juga Indonesia.

1. Latar Belakang
Peredaran narkotika di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin marak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional dan Puslitkes UI tahun 2006, diasumsikan terdapat sekitar 3,2 juta orang penyalahguna narkotika di Indonesia (BNN: 2006). Diindikasikan, besarnya jumlah ini disebabkan Indonesia bukan lagi tempat transit, tetapi sudah menjadi daerah tujuan pasar narkotika Internasional bahkan menjadi produsen beberapa jenis narkotika tersebut (contoh: extacy dan shabu).
Mengkhawatirkannya, target utama pasar narkotika ini adalah para remaja. Misalnya di X saja, pada tahun 2000 ditenggarai ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Angka inipun masih akan lebih besar, karena fenomena ini seperti gunung es, yaitu yang tampak hanya permukaannya saja dan sebagian besar yang lain belum terlihat. Diperkirakan setiap 1 penyalahguna narkotika yang dapat diidentifikasi, ada 10 orang lainnya yang belum ketahuan.
Penyalahgunaan narkotika menjadi ancaman yang memprihatinkan dalam beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama dari sisi dampak buruk narkoba itu sendiri yang dapat mempengaruhi sisi fisik dan psikologis manusia, antara lain: dapat menghilangkan rasa sakit, rasa tidak enak, menimbulkan perasaan nikmat, gembira dan mengawang-awang di atas mimpi, menimbulkan rasa kuat, tegar dan percaya diri. Namun demikian dibalik sifat zatnya yang memabukkan, terdapat efek samping yang membahayakan bagi kesehatan penggunanya. Penyalahgunaan zat tersebut yang dapat merusak sel-sel syaraf otak sehingga terjadi perubahan perilaku dan penyimpangan norma-norma sosial, adat, agama dan kesusilaan.
Menurut American Psychiatric Association dalam Hawkins (1985), penyalahgunaan narkoba dapat mengakibatkan suatu gangguan pada kondisi mental dan fisik penggunanya yang ditandai dengan suatu keadaan dimana fisik dan jiwa pemakainya tidak dapat berfungsi secara normal tanpa penggunaan obat tersebut. Dengan kata lain, penyalahgunaan narkoba akan merusak fisik (organ tubuh, seperti jantung, lever, ginjal, dll), yang diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan dengan dosis tinggi dalam jangka waktu lama; serta penularan penyakit berbahaya akibat penggunaan jarum suntik tidak steril secara bersama-sama (HIV/AIDS dan Hepatitis C). Selain itu juga merusak mental baik secara permanen maupun parsial, yang disebabkan oleh kerusakan pada otak akibat penyalahgunaan narkoba tersebut.
Sudut pandang kedua dari sisi ekonomi, narkoba dapat mendatangkan uang dengan mudah dan cepat dalam jumlah yang besar, dikenal sebagai " Narko Dolar". Hal inilah yang menyebabkan orang tertarik memproduksi narkoba, karena dengan modal yang kecil dapat mendapatkan keuntungan hingga 20 (dua puluh) kali lipatnya. Perputaran uang yang cepat dan besar menjadikannya sulit untuk diberantas seperti jamur di musim hujan, selama masih ada permintaan maka pemasokan dan distribusi akan terus berjalan, meskipun dengan sembunyi-sembunyi. Dengan adanya keuntungan yang besar tersebut, sindikat narkoba dapat menerapkan sistem keamanan yang berlapis-lapis dan menggunakan alat modern, yang menyebabkan aparat keamanan tidak dapat menuntaskan pemutusan jaringan narkoba tersebut.
Sudut pandang ketiga terkait dengan keamanan negara, dimana narkoba dijadikan sebagai alat subversif untuk menghancurkan suatu negara melalui kekuatan dari dalam, yaitu untuk menghancurkan suatu bangsa dengan merusak generasi muda dan aparat pemerintah melalui ketergantungannya terhadap narkoba yang menyebabkan kerusakan mental dan otak. Dengan menjadikan generasi muda dan aparat pemerintahan tergantung pada narkoba, maka mereka cenderung mudah diarahkan sesuai kemauan pelaku subversif, karena generasi muda tersebut tidak memiliki kemampuan dalam berpikir secara kritis dan sehat.
Bagaimana narkoba dapat menjadi alat subversif, hal ini tidak lepas dari sifat narkoba yang membuat penggunanya menjadi ketergantungan atas zat tersebut. Sebagaimana yang diketahui dari akibat penyalahgunaan narkoba adalah ketergantungan untuk mengkonsumsi zat tersebut secara terus-menerus dalam dosis yang cenderung meningkat. Bila mengonsumsian terputus maka yang bersangkutan akan mengalami gejala putus zat/withdrawl sindrome yang sangat menyakitkan. Gejala sakaw inilah yang cenderung dihindari oleh penyalahguna-selain mencari efek "melayang" (perasaan bebas dari segala masalah yang mereka hadapi sebagai efek dari pemakaian narkotika)-sehingga mereka cenderung mengkonsumsi narkoba terus menerus meskipun sebenarnya ingin menghentikan pemakaian. Kecenderungan tidak dapat berhenti ini memicu tingginya angka kriminalitas-yaitu tindakan melanggar hukum untuk memberi narkoba dengan segala cara (merampok, mencuri, menjambret, dan tindakan kriminal lainnya)-yang pada gilirannya akan menimbulkan kerawanan sosial dan mengarah pada instabilitas keamanan negara. Situasi negara yang tidak aman dan didukung oleh generasi pemimpin yang tidak memiliki kecakapan dan kepiawaian akan memudahkan intervensi pihak asing untuk menjajah kembali.
Narkoba mencari pangsa pasar di tempat-tempat dinamika kehidupan masyarakat seperti lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat kerja, dan lingkungan pergaulan. Menurut penelitian Dadang Hawari (1997) bahwa permasalahan penyalahgunaan/ketergantungan narkoba sudah sedemikian kompleks sehingga dapat merupakan ancaman dari sudut pandang mikro (keluarga) maupun makro (masyarakat, bangsa dan negara) yang pada gilirannya membahayakan ketahanan nasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan ancaman bagi suatu bangsa yang apabila tidak segera ditangani secara serius dapat menghancurkan dan melenyapkan kelangsungan hidup suatu bangsa.
Mengatasi permasalahan ini, sudah banyak usaha yang dilakukan. Dari segi pencegahan, pihak-pihak yang berwenang sudah melakukan berbagai tindakan untuk menangkal masuknya zat-zat terlarang itu ke Indonesia. Namun, terlepas dari hasil tindakan para aparat tersebut, keluarga sendiri dapat menciptakan kondisi di mana narkotika sulit untuk masuk, seperti dengan membentuk kepribadian positif yang kuat pada anak.
Selain berpotensi mencegah anak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, keluarga juga dapat berperan sebaliknya, seperti membuka peluang penyalahgunaan pada anak. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan tim Atma Jaya (1995) terhadap beberapa mantan penyalahguna, bahwa faktor keluarga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap penyalahgunaan narkoba pada anak. Penelitian tersebut menyebutkan beberapa tipe keluarga yang memiliki resiko tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba pada anak, seperti keluarga tidak harmonis, keluarga dengan konflik, keluarga dengan orang tua yang memiliki riwayat penyalahgunaan zat dan keluarga neurosis.
Dengan demikian keluarga memiliki kontribusi yang besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Apakah seseorang akan memiliki kepribadian positif atau negatif, tergantung pada pola asuh yang diterapkan, pengetahuan orang tua dalam pengasuhan anak, pola interaksi dan komunikasi yang terbangun dalam keluarga tersebut.
Signifikansi hubungan antara keluarga dan penyalahgunaan narkoba antara lain tergambar dalam sebuah penelitian berjudul "Talking About Drugs: How Family and Media Shape Youth Risk Behavior" (Berbicara Tentang Narkoba: Bagaimana keluarga dan Media Membentuk Perilaku Beresiko Pada Remaja)" yang dilakukan oleh Granka, Laura dan Scheufele dan dibawakan pada Pertemuan Tahunan Asosiasi Komunikasi Internasional (Annual Meeting of The International Communication Association) di kota New York, 10 Oktober 2008. Penelitian yang dilakukan pada 233 mahasiswa di Amerika Serikat dan 187 Mahasiswa di Singapura yang berusia antara 18-27 tahun mendapatkan hasil sebagai berikut:
1. Nilai-nilai keluarga yang kuat akan menurunkan perilaku beresiko pada remaja
2. Keterikatan keluarga yang kuat dan pola komunikasi yang terbuka akan mendorong remaja untuk lebih sering mendiskusikan perilaku beresiko dengan orangtua mereka.
3. Peningkatan dalam pembicaraan keluarga tentang perilaku yang beresiko akan menurunkan kecenderungan remaja terhadap perilaku tersebut
4. Perilaku beresiko pada remaja cenderung meningkat pada saat orangtua tidak mendampingi.
Pada sebuah pertemuan tingkat Asia Tenggara yang diadakan oleh UNODC, Februari 2007, Malaysia dan Thailand mempresentasikan upaya pencegahan di masing-masing negara yang dititik beratkan pada keluarga sebagai target utama sebagai tindak lanjut penilaian kebutuhan (Need Assessment) yang telah dilakukan berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkoba pada remaja.
Di tingkat lokal, beberapa penelitian telah lebih dulu mengungkapkan adanya hubungan antara keluarga dengan masalah penyalahgunaan narkoba, antara lain penelitian yang dilakukan Yayasan Cinta Anak Bangsa pada Mei-Oktober 2003 di 90 kelurahan di 5 wilayah X dengan hasil bahwa 1 dari 10 keluarga di X terancam narkoba. Di Sulawesi Tenggara, Granat (Gerakan Anti Narkotika) mencatat banyak kasus keterlibatan anak dalam narkoba bermula dari masalah keluarga. Hal ini didukung juga dengan laporan dari Yayasan Pelita Ilmu yang menjalankan Program Penanganan Narkoba di wilayah Tanah Abang sejak tahun 2001, dimana hasil Konseling Pendahuluan (Pre-Counselling) kepada pasien yang datang untuk mengobati kecanduan menunjukkan hasil 18% dari mereka menggunakan narkoba sebagai pelarian dari masalah keluarga dan ketidaknyamanan di rumah, hasil yang jika dikalikan dengan 4593 jumlah dampingan akan mencatat jumlah 824 orang, sebuah jumlah yang cukup besar untuk ruang lingkup sebuah kecamatan.
Besarnya peranan keluarga dalam membentuk karakter dan kepribadian anak ini merupakan potensi yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk menangkal pengaruh buruk lingkungan yang akan dihadapi dikemudian hari. Selain itu merupakan tugas keluarga mempersiapkan anak untuk menghadapi berbagai situasi dan pergaulan yang ada di masyarakat, karena keluarga merupakan tempat anak pertama kali berinteraksi dan bersosialisasi sejak kecil. Salah satunya dengan penanaman nilai-nilai moral dan agama sejak usia dini, sehingga anak terbiasa mengikuti aturan dan norma yang berlaku di masyarakat dan merasa malu bila melanggar aturan tersebut.
Selain membekali dengan nilai-nilai moral dan etika, anak juga perlu dibekali dengan kemampuan interpersonal yang baik. Kemampuan ini bukan dalam hal sandang, pangan dan papan, namun lebih menekankan pada kemampuan berinteraksi dalam menjalani kehidupan dalam hubungannya dengan sosialisasi dan pemenuhan atas tugas-tugasnya dikemudian hari sebagai manusia dengan cara yang normal dan wajar. Hal ini penting mengingat anak-lah yang akan menjalani kehidupan dengan segala permasalahannya. Kemampuan yang dimaksud antara lain pengetahuan yang luas, kemampuan berkomunikasi yang baik, kemampuan membuat keputusan yang tepat, kemampuan untuk menolak dengan tegas, berani mengungkapkan pendapat, dan lain-lain.
Dengan demikian keluarga memikul tanggung jawab yang besar dalam mengarahkan pembentukan kepribadian seorang anak. Untuk itu diperlukan kerja sama yang baik antara kedua orang tua dalam pengasuhan anak tersebut agar hak-hak anak terpenuhi sehingga anak dapat memenuhi kewajibannya dikemudian hari dengan baik. Dalam hal pengasuhan, terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan kepribadian seseorang salah satunya adalah faktor komunikasi dalam keluarga.
Komunikasi dalam keluarga memegang peranan penting dalam membentuk pola pikir dan kepribadian anak. Hal ini masuk akal, karena hampir 80 % waktu kita digunakan untuk berkomunikasi. Berhasil tidaknya keluarga dalam mendidik anak sangat dipengaruhi oleh pola komunikasi yang terbentuk ada di dalamnya. Bila pesan yang disampaikan orang tua dapat ditangkap oleh anak secara jelas, berarti proses komunikasi berjalan dengan baik. Sebaliknya bila pesan tidak diterima dan tidak ditangkap dengan jelas oleh anak, maka komunikasi antar anggota keluarga tidak berjalan dengan baik. Bila hal ini terjadi akan berakibat kesalahpahaman dalam penerimaan pesan dan proses pengasuhan dapat terganggu bahkan terhambat.
Fenomena sekarang seringkali dihadapkan pada situasi di mana setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi "barang mahal dan barang langka" karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan), dimana yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya berbincang dengan orang-orang lainnya yang membuat hubungan antara orang tua-anak semakin berjarak dan semu.
Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang terkejut melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti penurunan prestasi belajar, memberontak, agresif, dan tindakan kenakalan anak (remaja) lainnya, termasuk penyalahgunaan narkoba. Orang tua yang merasa "kecolongan" cenderung akan bersikap defensif dengan mencari penyebab diluar dirinya sendiri, seperti menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain-sekolah, guru, teman, lingkungan atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah penyalahgunaan narkoba pada anak.
Melihat pentingnya faktor komunikasi keluarga dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang, maka penelitian ini bermaksud mengangkat model-model komunikasi yang terjadi dalam keluarga penyalahguna narkoba.
Penulis ingin mengetahui pola komunikasi keluarga yang bagimanakah yang dapat menyebabkan seorang anak (dalam hal ini anak remaja) cenderung pada penyalahgunaan narkoba.

2. Rumusan Permasalahan
Merujuk pada latar belakang yang disajikan, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang peran komunikasi dalam keluarga terhadap kecenderungan penyalahgunaan narkoba pada remaja. Adapun rumusan permasalahan yang ingin diteliti sebagai berikut:
a. Tipologi pola komunikasi keluarga yang bagaimanakah yang memiliki potensi tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba pada remaja?
b. Tipologi sistem keluarga yang bagaimanakah yang memiliki potensi tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba pada remaja?
c. Upaya-upaya apa sajakah yang dapat dilakukan keluarga untuk membentengi remaja dari bahaya penyalahgunaan narkoba dilihat dari sudut pandang komunikasi dan sistem keluarga?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Seperti telah disebutkan dalam latar belakang dan rumusan permasalahan, penelitian ini akan memfokuskan pada hubungan komunikasi keluarga dan penyalahgunaan narkoba pada anggota keluarga tersebut. Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan tersebut, maka tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis tipologi pola komunikasi keluarga yang berpotensi tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba pada remaja.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis sistem keluarga yang berpotensi tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba pada remaja.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan keluarga untuk membentengi remaja dari bahaya penyalahgunaan narkoba dari sudut pandang komunikasi dan sistem keluarga.
3.2. Manfaat Penelitian
a. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan penanganan bidang Narkoba dari sisi pencegahan.
b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan pemerintah khususnya Badan Narkotika Nasional dalam membuat strategi Pencegahan melalui unit terkecil yaitu keluarga.

4. Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian
Dalam sebuah penelitian, subyek yang akan diteliti haruslah memiliki kesesuaian dengan rumusan permasalahan dan hasil yang ingin diperoleh dari penelitian tersebut. Untuk itu, penulis menetapkan beberapa batasan dan ruang lingkup yang digunakan untuk menentukan keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini.
4.1. Batasan Penelitian
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penulis menetapkan beberapa batasan yang digunakan sebagai penyaring untuk memperoleh keluarga yang akan menjadi subyek dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Keluarga utuh dalam artian kedua orangtua tidak bercerai. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias karena perceraian orangtua sudah seringkali disebutkan dalam banyak penelitian sebagai penyebab kenakalan remaja, termasuk penyalahgunaan narkoba. Dengan batasan ini penulis mengharapkan dapat menjaga orisinalitas penelitian ini.
b. Mewakili kedua tipe perekonomian keluarga, baik menengah ke bawah maupun menengah ke atas
c. Mewakili keberagaman tipe tempat tinggal, karenanya dalam penelitian ini akan ditemukan subyek yang bertempat tinggal baik di perkampungan maupun kompleks perumahan.
d. Mewakili kelurahan yang berbeda di kecamatan Y sehingga diharapkan cukup mewakili untuk menggambarkan keseluruhan kecamatan Y.
4.2. Ruang Lingkup Wilayah
Responden yang diambil sebagai objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak penyalahguna narkoba yang berdomisili di Kecamatan Y.
4.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Pembahasan penelitian ini berkaitan dengan ruang lingkup komunikasi keluarga dalam keluarga pecandu untuk mencari hubungan dan menganalisis pola komunikasi dalam keluarga pecandu tersebut yang dapat mengarahkan remaja pada penyalahgunaan narkoba. Sedangkan batasan usia responden penyalahguna narkobanya dibatasi pada usia remaja, dengan batasan usia 15-24 tahun (WHO) pada saat pertama kali menggunakan narkoba.
Dengan demikian penelitian ini terkait dengan beberapa aspek, antara lain:
a. Aspek situasi penyalahgunaan narkoba di kecamatan Y dan gambaran keluarga pecandu
b. Aspek pola hubungan komunikasi keluarga pecandu antara ayah, ibu, anak, adik dan kakak (keluarga inti).
c. Aspek tipe sistem keluarga yang dapat menyebabkan remaja menyalahgunakan narkoba.
d. Aspek upaya yang dapat diterapkan untuk mencegah anggota keluarga pada penyalahgunaan narkoba.

5. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan sarana untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai dalam sebuah penelitian. Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya maka penulis menentukan metode penelitian sebagai berikut:
5.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian Kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya (Moelong).
5.2. Tipe Penelitian
Penulisan ini diuraikan secara deskriptif terhadap peran komunikasi keluarga terhadap kecenderungan penyalahgunaan narkoba pada anak. Dan memberikan gambaran mengenai langkah-langkah dalam membentengi keluarga terhadap penolakan penawaran Narkoba.
5.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Kecamatan Y dengan masing-masing keluarga yang menjadi subyek penelitian bertempat tinggal di kelurahan yang berbeda sehingga dapat mewakili Kecamatan ini secara keseluruhan. Karakteristik keluarga yang diamati dalam penelitian ini sesuai dengan batasan penelitian yaitu keluarga utuh yang kedua orangtua tidak bercerai dan mewkili baik ekonomi lemah maupun berkecukupan.
5.4. Teknik Pengumpulan Data
Sumber utama penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moelong). Dalam penelitian ini data primer adalah informasi dan data yang diperoleh informan kunci (key informan) dan informan yang ada di lapangan (field research).
5.4.1. Data Primer :
Data primer didapatkan melalui wawancara dan observasi. Wawancara merupakan metode penelitian yang datanya dikumpulkan melalui wawancara dengan responden/key informan. (Irawan). Dalam pencarian informan untuk diwawancarai, peneliti menyeleksi individu yang akan menjadi sasaran wawancara atau pengamatan untuk memperoleh keterangan dan data untuk keperluan informasi (informan). Sedangkan observasi yang akan dilakukan adalah dengan observasi non-partisipasi, artinya penulis tidak ikut ambil bagian secara langsung di dalam kehidupan atau situasi orang-orang yang diobservasi. Selanjutnya hasil wawancara dan observasi tesebut akan disusun dalam sebuah catatan lapangan untuk mendapatkan gambaran lengkap pelaksanaan penelitian.
5.4.2. Data Sekunder :
Data Sekunder di peroleh penulis dari perpustakaan dan dokumen-dokumen sumber yang membahas tentang Komunikasi Keluarga dan Penanganan Bahaya Narkoba.
5.5. Teknik Analisis Data
Setelah data yang diperoleh siap maka data tersebut akan dianalisa dengan pendekatan kualitatif yaitu pengolahan data berwujud kegiatan sistematik terhadap data baik primer maupun data sekunder kemudian dianalisa secara kritis untuk ditarik kesimpulan dan sarannya. Data yang terkumpul akan diinventarisir dan kemudian diklasifikasikan untuk dimasukkan ke dalam salah satu pola komunikasi model Mulyana dan sistem keluarga model Fitzpatrick. Nantinya kedua model tersebut akan digabungkan untuk dianalisis tingkat kerentanan anak (remaja) tersebut terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba.
6. Sistematika Penulisan
Bab 1, Pendahuluan. Menguraikan tentang latar belakang, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, kerangka teori dan konsep, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab 2, Tinjauan Pustaka. Membahas secara umum tentang pengertian analisa, peran, komunikasi keluarga di lingkungan keluarga yang gagal membentengi diri dari penolakan Narkoba.
Bab 3 memuat tentang profil umum keluarga penyalahguna yang menjadi sumber informasi penelitian ini. Bab ini akan menampilkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan kepada keluarga tersebut, yang juga akan mencakup tentang kondisi dan latar belakang orang tua penyalahguna tersebut.
Bab 4 merupakan bab yang akan membahas dan menganalisa hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti. Dalam bab ini akan dibahas dan dikaji secara mendalam komunikasi keluarga yang bagaimana yang memiliki resiko tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba pada anak serta upaya yang dapat dilakukan keluarga untuk menghindari hal tersebut.
Bab 5 adalah bab terakhir dalam penulisan laporan penelitian ini, yang akan berisi tentang kesimpulan atas uraian dan bab-bab terdahulu dan memberi saran yang bersifat implementasif.
TESIS PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA (KPPN) X

TESIS PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA (KPPN) X

(KODE : PASCSARJ-0077) : TESIS PENGARUH REMUNERASI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA (KPPN) X (PRODI : ILMU ADMINISTRASI)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik di Indonesia mempunyai peran penting bahkan vital pada kehidupan ekonomi dan politik. Pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Tetapi kualitas pelayanan publik sampai saat ini secara umum masih belum baik.
Buruknya kualitas pelayanan publik menimbulkan krisis kepercayaan di masyarakat terhadap birokrasi publik. Dwiyanto (2006: 1) mengatakan bahwa krisis kepercayaan ditunjukkan dengan munculnya berbagai bentuk protes dan demonstrasi kepada birokrasi baik di tingkat pusat maupun di daerah. Bentuk protes dan demonstrasi ini bahkan sudah sampai pada bentuk pendudukan dan perusakan kantor-kantor pemerintah. Hal ini menunjukkan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap buruknya kualitas pelayanan birokrasi pemerintah.
Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk oleh aparatur pemerintahan dalam berbagai segi pelayanan diakui oleh Faisal Tamin (pada saat itu sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) dalam seminar nasional "Menuju terciptanya single identity number" di Hotel Indonesia, Senin, 13 Oktober 2003. Faisal Tamim mengatakan masyarakat selama ini masih merasakan prosedur dan mekanisme pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu, dan biaya. (http://www.tempointeraktif.com/)
Buruknya kualitas pelayanan publik juga ditunjukkan pada beberapa jenis layanan publik masih ditemukan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa situasi yang mempengaruhi aparat pemerintahan melakukan KKN. Di satu sisi aparat pemerintahan memiliki tingkat penghasilan yang rendah dan di sisi yang lain dihadapkan dengan tingkat kebutuhan yang tinggi. Hal ini mendorong aparat pemerintahan untuk melakukan KKN guna memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya perilaku ini merupakan upaya darurat untuk memenuhi kebutuhan yang tidak tercukupi. Tetapi pada tahap selanjutnya berkembang menjadi perilaku dan budaya dari aparat pemerintahan.
Aparat pemerintahan melakukan korupsi secara terbuka misalnya dengan meminta "uang administrasi atau uang rokok" dari warga masyarakat yang memerlukan pelayanan. Perilaku korupsi ini diterima di masyarakat sebagai suatu hal yang normal dan wajar karena gaji pegawai negeri sipil yang tidak mencukupi (Prasojo, 2006: 298).
KKN merupakan ciri yang menonjol pada birokrasi yang buruk saat ini terutama di Indonesia. Hampir setiap hari media massa baik elektronik maupun cetak memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para aparat pemerintahan. Korupsi dilakukan secara berjamaah dari mulai level pegawai terendah sampai dengan pegawai level tertinggi di setiap unit pemerintah. Akhir-akhir ini tidak jarang terlihat pejabat-pejabat tinggi tertangkap tangan sedang melakukan KKN. Beberapa diantaranya sudah dijatuhi hukuman penjara, sedang sebagian yang lainnya masih dalam proses. Korupsi dalam pelayanan publik sudah menjadi praktek sehari-hari di Indonesia dan bahkan sudah terlembaga yang melibatkan semua pihak yang terkait yang saling menjaga rahasia dan saling melindungi (Prasojo, 2006: 298).
Menurut Adiningsih (2007), persoalan korupsi adalah masalah struktural dan berhubungan dengan sistem birokrasi. Sikap korup timbul karena gaji yang masih rendah, adanya iming-iming uang yang ditawarkan dalam jumlah yang besar kepada aparat, dan posisi kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan. Faktor kebutuhan hidup yang semakin besar dan godaan yang ada juga menjadi pemicu korupsi (http://www.antara.co.id).
Adanya persoalan yang dihadapi oleh aparat pemerintahan ini menjadikan pelayanan publik buruk. Prasojo (2006: 297) mengatakan bahwa perilaku korupsi dapat merugikan rakyat karena pada akhirnya merupakan prinsip zero sum game, yaitu ada pihak yang diuntungkan dan selalu ada pihak yang dirugikan. Pada awalnya perilaku korupsi ini hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Karena kesempatan terkait dengan posisi yang dimiliki besar maka korupsi dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri. Perilaku memanfaatkan kesempatan melakukan KKN terkait dengan posisi membuat tugas untuk melayani masyarakat diabaikan.
Tingkat korupsi di Indonesia memperlihatkan angka yang cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun. Hasil riset Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang melingkupi ratusan negara di dunia yang dilakukan oleh Transparency International, Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang termasuk dalam objek riset masih berada pada peringkat bawah (lihat tabel 1.1). Erry Riyana Hardjapamekas (waktu itu sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Temu Nasional dalam rangka memperingati "100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional" di Bandung, Sabtu, 21 Juni 2008 mengusulkan adanya prioritas reformasi birokrasi di lingkungan penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS). Political and Economic Risk Consultancy (PERC) juga menempatkan Indonesia pada posisi kedua negara terkorup di Asia, setelah Filipina tahun 2007. Data ini lebih baik dari tahun sebelumnya dimana Indonesia berada pada urutan pertama dalam daftar tahun 2006 (http ://www.pikiran-rakyat.com).

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Lebih lanjut Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, birokasi di Indonesia sangat mempengaruhi lemahnya gerak pembangunan dan daya saing bisnis. Hal itu akan terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada tahun 2005, IPM Indonesia menduduki peringkat ke-110 dari 177 negara. Sedangkan, tahun 2006 Indonesia menduduki peringkat ke-108 dari 189 negara. Ironisnya, pada tahun 2006 tersebut sejumlah negara tetangga Indonesia memiliki IPM yang cukup baik, sebagai contoh IPM Malaysia menduduki peringkat ke-63, IPM Singapura menduduki peringkat ke-25, dan IPM Thailand menduduki peringkat ke-77 (http://www.pikiran-rakyat.com).
Prestasi Indonesia di sektor ekonomi juga rendah. Hal ini disebabkan kemudahan berusaha di Indonesia rendah. Dalam survei tahunan bertajuk Doing Business 2008 yang dilakukan Bank Dunia (World Bank) dan International Finance Corporation (IFC) yang dilakukan pada 178 negara di dunia mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-135 pada tahun 2006 dan naik ke peringkat ke-123 pada tahun 2007 (http://www.seputar-indonesia.com).
Dalam laporan tersebut disebutkan, peringkat kemudahan berusaha di Indonesia posisi Indonesia masih tertinggal dibandingkan pencapaian negara-negara lain. Bahkan di tingkat Asia posisi Indonesia juga tertinggal.

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) tentang kualitas birokrasi Indonesia terhadap 1.000 ekspatriat di Asia menunjukkan buruknya birokrasi di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi, indikatornya adalah prosedur yang harus dilalui panjang dan membutuhkan biaya yang besar dalam penyelesaian administrasi. Indonesia memperoleh nilai indeks 8,20 dalam survei tersebut. Nilai ini hanya lebih baik dari India yang memperoleh nilai 8,95. Singapura menjadi negara dengan birokrasi terbaik dengan nilai 2,20. Usman Abdhali Mali mengatakan efek domino yang bersumber pada prototipe birokrasi Indonesia yang korup, lamban, preman, boros, dan tidak profesional, salah satunya adalah hengkangnya para investor asing yang berdampak pada PHK massal karyawan pabrik (http://www.sinarharapan.co.id).
Survey Litbang Media Group 2007 menunjukkan buruknya pelayanan publik. 65% responden menunjukkan ketidakpuasannya atas layanan birokrasi dimana dalam layanan responden diminta biaya ekstra untuk layanan penerbitan dokumen tertentu. Hal ini dirasakan memberatkan masyarakat dan merupakan penyimpangan karena sebenarnya 70% anggaran negara sudah dikeluarkan untuk membiayai birokrasi. Hanya 9% (dalam 15 tahun terakhir) pengeluaran umum pemerintah untuk melayani rakyat. Berbeda dengan Indonesia, Amerika yang mengalokasikan 16% dari produk domestik bruto untuk belanja pengeluaran umum, China dan India masing-masing mengalokasikan 13%, serta Inggris mengalokasikan 20% (http://www.sinarharapan.co.id).
Dalam persepsi masyarakat umum, apabila berurusan dengan birokrasi pasti cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal. Gambaran buruknya birokrasi antara lain berkutat pada permasalahan : organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antarlembaga tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Berbagai kondisi ini mengakibatkan pelayanan kepada publik menjadi tidak memadai sehingga sering dikeluhkan oleh masyarakat.
Permasalahan birokrasi terletak pada organ utamanya. Organ utama birokrasi adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal yang paling mendasar adalah kurang dipahaminya bahwa PNS adalah pelayan publik (abdi masyarakat) dan masyarakat merupakan pelanggan yang harus dilayani secara maksimal. Sebagian besar dana yang digunakan untuk membayar gaji PNS berasal dari masyarakat atau publik sehingga wajar apabila masyarakat menuntut pelayanan prima dari aparat pemerintahan. Kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan yang seharusnya terjadi. Masyarakat yang harus melayani aparat pemerintahan untuk mendapatkan pelayanan bukan aparat pemerintahan yang melayani masyarakat. Masyarakat harus mengeluarkan segala daya dan upaya untuk melayani PNS agar mendapatkan pelayanan yang diinginkan. Oleh karena itu muncul stigma yang melekat pada birokrasi yaitu adanya prinsip "jika masih bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah" (http://www.kompas.com).
Isa Sofyan Ardin (2007) menilai kualitas pelayanan kepada masyarakat selama reformasi dirasakan semakin menurun dan buruk ditandai dengan lamanya waktu pengurusan dan biaya siluman yang semakin tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, penyedia pelayanan kepada masyarakat di beberapa instansi pemerintah secara terang-terangan dan tanpa rasa malu meminta sejumlah uang tertentu yang tidak rasional jumlahnya. Biaya tidak resmi besarnya mencapai 3-5 kali dari biaya resmi. Biaya tidak resmi tersebut menjadi daya tarik banyak orang yang berlomba-lomba (bahkan dengan membayar uang pelicin jutaan rupiah) untuk menjadi seorang PNS yang sebenarnya memiliki struktur gaji yang kecil. Alasan yang sering dilontarkan adalah memang gaji kecil tetapi "sabetannya" besar (http://www.kompas.com). Alasan inilah yang menjadi pemicu terjadinya korupsi di lingkungan kerj a instansi pemerintah.
Penyebab kinerja aparat pemerintahan buruk diantaranya adalah gaji yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhannya. Zalbianis dan Sanusi (2006: 8) mengatakan bahwa hasil analisis data kualitatif yang berhubungan dengan take home pay dalam Penelitian Hubungan Besar Sisa Gaji yang Dibawa Pulang dan Komitmen Organisasi Dengan Ketidakhadiran Karyawan di Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, diperoleh informasi bahwa alasan paling banyak penyebab mereka tidak masuk kantor adalah karena ada kerj a sampingan. Hal ini dilakukan karena gaji yang mereka terima atau dibawa pulang (take home pay) tidak cukup untuk kebutuhan setiap bulannya. Banyaknya ketidakhadiran pegawai ini menyebabkan pelayanan publik instansi pemerintah terganggu.
Sebagaimana birokrasi pada umumnya, kualitas layanan di Departemen Keuangan juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Salah satu instansi yang bertugas memberikan pelayanan adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Layanan di KPPN sering dikeluhkan oleh para pihak yang menjadi mitra KPPN. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik adalah berbelit-belit, tidak transparan, adanya pungutan tidak resmi. Kualitas layanan KPPN yang buruk ini sudah menjadi stigma bagi KPPN (Majalah Treasury, 2007).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Direktur Jenderal Perbendaharaan Herry Purnomo mengakui stigma yang melekat pada KPPN yang buruk selama ini. Herry Purnomo (2007) dalam suatu wawancara mengatakan bahwa mindset yang dirasakan pada aparat KPPN dahulu adalah lebih dominan mindset untuk dilayani bukan melayani. Indikasinya kalau tidak ada duit dia tidak akan sungguh-sungguh atau secepatnya menyelesaikan pekerjaan. Kalau ada pemborong datang ke KPPN langsung membagi-bagi duit kepada aparat bahkan sampai kepada aparat yang tidak terlibat langsung dalam penyelesaian pekerjaan. Ada seorang pejabat eselon III minta usul dipindahkan ke KPPN tertentu (di X) agar mendapatkan "sangu/bekal pensiun".
Lambat, ketidakpastian dalam penyelesaian, prosedur yang tidak jelas, tidak transparan, penyelesaian berdasarkan pesanan dan persenan adalah stigma yang melekat pada KPPN selama ini. Pelayanan buruk ini sudah pasti akan membawa multiplier effect negative terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebagian dana APBN akan tidak mencapai sasaran pembangunan dan hilang dalam proses birokrasi yang buruk tadi.
Untuk mengatasi masalah pelayanan publik yang buruk ini maka dilakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi mendesak untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah pada masyarakat. Pemerintah telah menyiapkan delapan Undang-Undang untuk mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang tentang Kementerian dan Kementerian Negara.
b. Undang-Undang tentang Pelayanan Publik.
c. Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan.
d. Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara.
e. Undang-Undang tentang Kepegawaian Negara.
f. Undang-Undang tentang Badan Layanan Umum/Nirlaba.
g. Undang-Undang tentang Pengawasan Nasional.
h. Undang-Undang tentang Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Peraturan perundangan yang disiapkan diatas yang telah disahkan adalah UU No. 39/2008 tentang Kementerian dan Kementerian Negara. Saat ini, juga sudah diterbitkan grand design reformasi birokrasi dalam bentuk Peraturan Menpan No. 15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, yang merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025 (http://www.menpan.go.id).
Gambaran umum mengenai reformasi yang tertuang dalam Peraturan Menpan No. 15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi adalah sebagai berikut :
a. Latar belakang reformasi birokrasi
1) Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini.
2) Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik.
3) Tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan.
4) Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah.
5) Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah.
b. Visi dan Mi si Reformasi Birokrasi
Visi reformasi birokrasi adalah terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik tahun 2025.
Misi yang dijalankan untuk mencapai visi antara lain salah satunya adalah mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk perbaikan si stem remunerasi.
c. Tujuan Reformasi Birokrasi
1) Tujuan Umum
Membangun/membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan :
- integritas tinggi, produktivitas tinggi dan bertanggung jawab kemampuan memberikan pelayanan yang prima
2) Tujuan Khusus
Membangun/membentuk :
- birokrasi yang bersih
- birokrasi yang efisien, efektif, dan produktif
- birokrasi yang transparan
- birokrasi yang melayani masyarakat
- birokrasi yang akuntabel
d. Sasaran
Sasaran umum adalah mengubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen pemerintahan. Sedangkan secara khusus mencakup :

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

e. Prioritas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
1) Prioritas pertama, adalah kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, penegakan hukum, pemeriksaan dan pengawasan keuangan, dan penertiban aparatur negara.
2) Prioritas kedua, adalah kementerian/lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi, atau sumber penghasil penerimaan negara, dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung (termasuk pemerintah daerah).
3) Prioritas ketiga, adalah kementerian/lembaga yang tidak termasuk dalam prioritas pertama dan kedua.
Kerangka umum pelaksanaan birokrasi digambarkan pada gambar 1.1. sebagaimana tersebut di bawah ini.

* Gambar sengaja tidak ditampilkan *

Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan digulirkan dalam rangka pembenahan birokrasi secara utuh. Substansi dasar dari program reformasi birokrasi adalah mewujudkan pelayanan yang lebih baik di instansi pengelola keuangan negara ini sesuai harapan masyarakat. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia P. Nasution (2007) mengatakan program reformasi birokrasi di departemennya tidak hanya mencakup soal peningkatan kesejahteraan pegawai tetapi juga mencakup upaya untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik.
Menurut Mulia (2007) substansi dasar dari program reformasi birokrasi adalah mewujudkan pelayanan yang lebih baik sesuai harapan masyarakat. Dalam program reformasi birokrasi, setiap elemen organisasi ditata, prosedur kerja diperbaiki, dan ukuran-ukuran keberhasilan kinerja diefektifkan. Di Departemen Keuangan diharapkan tidak ada lagi istilah business as usual. Yang dimaksud business as usual adalah berbagai ketidakdisiplinan pegawai departemen, misalnya ada yang ngobyek, ada yang datang telat, dan sebagainya. Sistem baru yang dibangun akan mempertegas mekanisme reward and punishment. Para aparat dinaikkan tunjangannya karena selama ini aparatnya merasa tidak dapat bekerja serius karena penghasilannya tidak memadai.
Dengan sistem reward yang diterapkan tidak diperbolehkan lagi persoalan penghasilan menjadi alasan buruknya kinerja. Dibandingkan dengan pegawai departemen/lembaga lain, pegawai Departemen Keuangan memperoleh penghasilan yang lebih memadai. Dengan pemberian remunerasi jika masih ada yang tidak disiplin dan profesional, akan ditindak tegas. (http://www.suarakarya-online.com).
Departemen Keuangan merupakan departemen yang strategis sebagai pengelola fiskal. Instansi ini memiliki kantor vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia dan bersifat holding type organization, dengan jumlah pegawai sekitar 60.000 orang. Terkait dengan reformasi birokrasi, Departemen Keuangan menjadi salah satu pilot project program refomrasi birokrasi dimana apabila program ini berhasil akan dikembangkan/diterapkan pola yang sama di departemen/lembaga pemerintah yang lain. Departemen Keuangan mulai melakukan reformasi birokrasi, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan dan Nomor 31/KMK.01/2007 tentang Pembentukan Tim Reformasi Birokrasi Pusat Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2007.
Program utama dalam reformasi birokrasi tahun 2007 antara lain meliputi empat poin, yaitu penataan organisasi, perbaikan business process, peningkatan manajemen SDM dan perbaikan remunerasi. Jadi perbaikan remunerasi merupakan sistem reward yang menjadi bagian dari program reformasi birokrasi.
Sistem penggajian di Departemen Keuangan diberikan sebagaimana sistem penggajian PNS pada umumnya yang berlaku di departemen/lembaga negara yang lain. Tetapi pegawai Departemen Keuangan memperoleh tunjangan khusus yaitu Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) yang diberikan dengan pertimbangan :
a. Usaha peningkatan dan pengamanan penerimaan dan pengeluaran negara.
b. Usaha preventif sekaligus sebagai imbangan atas tindakan yang akan diambil guna menertibkan dan mendisiplinkan pegawai, sehingga penyimpangan dalam bidang penerimaan dapat ditekan seminimal mungkin.
c. Agar pegawai dapat melaksnaakan tugas jabatannya dengan keinsyafan sedalam-dalamnya dengan penuh rasa tanggung jawab serta dapat memberikan prestasi kerja seoptimal mungkin.
d. Penertiban dan pembersihan aparatur Departemen Keuangan.
Sebagai tindak lanjut dari reformasi birokrasi, dilakukan perbaikan struktur remunerasi melalui pemberian TKPKN. Dengan demikian, struktur remunerasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Struktur remunerasi tersebut berbasis kinerja (performance based remuneration) dan diberikan berdasarkan Job Grade (total terdapat 27 grade). Rincian grade dan besarnya tunjangan dapat dilihat pada tabel 1.3. Diharapkan pemberian remunerasi pegawai Departemen Keuangan dalam reformasi birokrasi ini akan meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan publik.
Adanya perkembangan modern dan tingkat persaingan yang cukup tinggi membuat pelayanan baik oleh pemerintah dan swasta dituntut terus memberikan sesuatu yang terbaik. Karyawan (pegawai) dapat bertahan dan ikut serta membangun institusi dalam mengembangkan pelayanan lebih baik jika diberikan sistem kompensasi yang memadai. Hasil survei Work Asia 2007/2008 yang dilakukan oleh konsultan sumber daya manusia, Watson Wyatt, menunjukkan salah satu pendorong utama engagement (keterikatan) karyawan, salah satunya adalah faktor kompensasi dan benefit (Majalah Human Capital No. 11/Februari 2005).

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Penelitian global tentang opini dan perilaku karyawan tersebut dilakukan di 11 negara Asia Pasifik ini, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Jepang, India, dan Australia. Penelitian tersebut menunjukkan tiga faktor pendorong utama keterikatan (engagement) karyawan di negara Asia Pasifik, yakni fokus kepada pelanggan (65%), kompensasi dan benefit (50%), serta komunikasi (49%). Faktor tersebut merupakan hasil opini karyawan yang menjadi partisipan dari riset ini. Lebih dari 6.500 responden, dimana mereka mewakili perusahaan yang minimal memiliki 250 karyawan.
Kondisi di Indonesia berdasarkan survai Work Indonesia terungkap bahwa tiga pendorong utama keterikatan karyawan di Indonesia adalah fokus kepada pelanggan (67%), komunikasi (43%) dan kompensasi & benefit (41%). Menurut Lilis Halim, karyawan di Indonesia merasa sudah memahami apa yang menjadi tugas dan pekerjaannya, serta melihat bahwa perusahaannya sudah mengutamakan fokus kepada pelanggan. Dijelaskan pula oleh Lilis Halim, tingkat engagement karyawan di Indonesia hampir sama dengan karyawan di negara tetangga, bahkan di Australia, China dan Hongkong dengan perbedaan tipis, Indonesia mencapai 64%, Australia 65%, China 67% dan Hongkong 68%. Namun, mayoritas karyawan di Indonesia rendah tingkat kepuasannya terhadap kompensasi dan benefit yang mereka terima dari perusahaan (51%) (Majalah Human Capital No. 11/Februari 2005).
Reformasi birokrasi mensyaratkan adanya penataan organisasi atau kelembagaan, perbaikan tata laksana, peningkatan sumber daya manusia (SDM), serta pembenahan sistem pengawasan. Perbaikan sistem remunerasi atau kesejahteraan adalah bagian dari manajemen SDM yang diawali sejak rekrutmen, pembinaan karier, hingga pensiun. Berkaitan dengan hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, memberikan pernyataan untuk menanggapi pertanyaan pers yang mempertanyakan upaya reformasi birokrasi dikaitkan dengan remunerasi (www.depkeu.go.id):
"Upaya reformasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan menjadi tidak kontraproduktif apabila cara pandang terhadap program reformasi tidak hanya dikerdilkan dan dikaitkan semata dengan pemberian remunerasi".
Apakah dengan pemberian remunerasi profesionalisme dan kinerja PNS sebagai abdi masyarakat akan membaik? Inilah pertanyaan yang selalu dilontarkan pada Departemen Keuangan. Pertanyaan itu menguat kembali dengan adanya beberapa kasus tentang pelayanan yang belum optimal dan penangkapan oknum yang menyalah gunakan wewenang muncul di media massa.
Salah satu instansi teknis di Departemen Keuangan yang menjadi pelaksana layanan unggulan Departemen Keuangan dalam program reformasi birokrasi adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) X. Sejak tanggal 30 Mi 2007, KPPN X ditetapkan menjadi KPPN Percontohan bersama 18 KPPN lainnya di seluruh Indonesia untuk merepresentasikan layanan unggulan di Departemen Keuangan. Instansi ini melayani kantor/instansi pemerintah lain dalam hal pembayaran tagihan belanja negara guna melaksanakan tugas pemerintahan untuk melayani masyarakat. KPPN Percontohan mengemban misi sebagai institusi pelayanan yang memenuhi unsur : transparansi, cepat, tepat dan tanpa biaya.

1.2. Perumusan Masalah
Dengan adanya perbaikan penghasilan melalui pemberian remunerasi diharapkan kualitas pelayanan di Departemen Keuangan khususnya KPPN X meningkat. Dampak pemberian remunerasi terhadap perbaikan kualitas pelayanan perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini penting karena pemberian remunerasi berdampak pada anggaran yang besar yang harus dikeluarkan pemerintah. Seluruh pegawai Departemen Keuangan mulai 1 Juli 2007 menerima kenaikan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN) yang nilainya bervariasi, mulai dari Rp1.330.000 per bulan untuk golongan terendah hingga Rp46,95 juta per bulan untuk eselon satu tertentu. Biaya yang diperlukan untuk TKPKN ini diperkirakan mencapai Rp4,3 triliun per tahun menurut seorang pejabat Departemen Keuangan (Bisnis Indonesia, Jumat, 06 Juli 2007).
Selain itu keberhasilan reformasi yang disertai pemberian remunerasi ini akan menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk pelaksanaan reformasi bagi seluruh instansi pemerintah. Apabila rencana reformasi dijalankan di seluruh instansi pemerintah maka anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pemberian remunerasi akan lebih besar lagi.
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
- Bagaimana pengaruh remunerasi terhadap kualitas pelayanan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) X ?

1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh remunerasi terhadap kualitas pelayanan KPPN Percontohan X. Selanjutnya penelitian ini akan menganalisis apakah pengaruh pemberian remunerasi tersebut terhadap kualitas pelayanan KPPN X signifikan atau tidak.
1.3.2. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat baik akademis maupun praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap teori remunerasi dan pelayanan publik. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran teori remunerasi dan pelayanan publik. Penelitian ini dimungkinkan untuk menambah sudut pandang baru bagi teori tersebut.
b. Penelitian ini akan menguji kesesuaian antara teori remunerasi dan pelayanan publik dengan praktek yang terjadi di lapangan. Praktek di lapangan seringkali berbeda dengan teori yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
c. Penelitian ini melengkapi penelitian terdahulu. Dengan penelitian ini maka pembahasan terhadap teori remunerasi dan pelayanan publik akan bertambah sehingga akan menambah referensi bagi kegiatan akademik. Penelitian ini juga dapat menjadi pijakan untuk penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen Keuangan untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi yang sedang berjalan.
b. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen/Lembaga di luar Departemen Keuangan untuk melaksanakan reformasi birokrasi.

1.4. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tinjauan pustaka atas teori administrasi publik, penelitian terdahulu, konsep remunerasi, pelayanan, dan motivasi, model analisis, hipotesis, dan operasionalisasi konsep.
Bab III METODE PENELITIAN
Bab ini membahas pendekatan penelitian yang dipilih, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, uji validitas dan reabilitas, teknik analisis data dan keterbatasan penelitian.
Bab IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Bab ini menguraikan gambaran umum mengenai objek penelitian.
Bab V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Bab ini membahas hasil penelitian dibandingkan dengan konsep-konsep yang menjadi acuan.
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran yang dapat diberikan berdasarkan pembahasan hasil penelitian.
TESIS PEMASANGAN JAMINAN HIPOTIK KAPAL LAUT DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA SEBAGAI PELUNASAN PINJAMAN

TESIS PEMASANGAN JAMINAN HIPOTIK KAPAL LAUT DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA SEBAGAI PELUNASAN PINJAMAN

(KODE : PASCSARJ-0076) : TESIS PEMASANGAN JAMINAN HIPOTIK KAPAL LAUT DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA SEBAGAI PELUNASAN PINJAMAN (PRODI : HUKUM KENOTARIATAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi harganya pula. Hal itulah, yang mendasari setiap orang untuk berusaha mencari nafkah demi kelangsungan hidup dan masing-masing perusahaan saling bersaing dalam dunia bisnis guna meningkatkan eksistensinya serta untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.
Dalam perjalanannya tiap perusahaan mungkin tidak mempunyai sejumlah dana yang cukup guna membiayai kegiatan usahanya. Hal ini dikarenakan, setiap pemilik perusahaan tidak ingin seluruh kekayaan pribadinya habis digunakan untuk membiayai perusahaan mereka, mengingat banyak resiko yang mungkin terjadi yang dapat saja membawa mereka jatuh ke dalam kemiskinan.
Resiko kegagalan ataupun ketidaksuksesan usaha yang mungkin terjadi, di mana pemilik perusahaan telah mengeluarkan sejumlah dana dari harta pribadinya dan ternyata di kemudian hari mereka mendapatkan hasil yang tidak diharapkan.
Ada banyak cara yang digunakan guna mendapatkan modal untuk menjalankan usaha mereka dengan jalan yang lebih aman, tanpa melibatkan harta pribadi mereka.
Salah satunya yaitu dengan meminjam sejumlah dana dari bank dengan pengembalian secara angsuran.
Hal tersebut sudah banyak sekali dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, namun ada persyaratan yang diajukan oleh pihak bank selaku kreditur dalam memberikan kredit yaitu mereka meminta suatu jaminan baik dalam bentuk benda bergerak maupun dalam bentuk benda tidak bergerak, yang nilai nominal jaminan tersebut lazimnya melebihi jumlah kredit yang diberikan kepada debitur serta tiap nominal pinjaman akan dikenakan bunga pinjaman.
Nilai jaminan yang lebih besar dari pinjaman tersebut menjadi pegangan bagi pihak bank, apabila pihak debitur lalai melakukan pembayaran angsuran kredit ataupun tidak mampu membayar kembali sejumlah uang yang sudah diterima dan dipinjam dari pihak bank.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan definisi agunan menurut Undang-Undang Perbankan, yaitu "agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Jaminan yang diperlukan oleh pihak bank selaku kreditur haruslah jaminan dalam bentuk benda dan mempunyai nilai yang cukup guna melunasi utang debitur. Ada beberapa pengertian tentang benda, yaitu:
Pengertian yang paling luas dari perkataan benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Di sini benda berarti obyek sebagai lawan dari subyek atau orang dalam hukum. Ada juga perkataan benda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja.
Benda dibagi dalam tiga macam menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Benda yang bertubuh dan tidak bertubuh (Pasal 503);
2. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504);
3. Benda yang dapat habis dan tidak dapat habis (Pasal 505).
Dari penggolongan macam-macam benda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas yang mempunyai akibat hukum dan yang sangat berkaitan dengan penulisan ini adalah penggolongan benda bergerak dan benda yang tidak bergerak. Suatu benda dapat tergolong dalam benda yang tidak bergerak yaitu karena sifatnya, tujuan pemakaiannya dan memang ditentukan demikian oleh undang-undang.
Adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah dan segala sesuatu yang melekat atau tumbuh di atasnya, misalnya pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan kecil. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah mesin alat-alat yang dipakai di dalam pabrik, yang sebetulnya benda bergerak tetapi oleh pemiliknya dalam pemakaian dihubungkan atau diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok.
Selanjutnya ialah benda tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, seperti kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik isi kotor dan hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda tak bergerak, hak memakai atas benda tak bergerak, hipotik dan lain-lain.
Suatu benda termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya dan ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya menurut Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, alat-alat perabot rumah tangga, perhiasan-perhiasan, dan lain-lain.
Benda bergerak karena ketentuan undang-undang menurut Pasal 511 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah hak-hak atas benda yang bergerak, misalnya hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas benda bergerak, hak pemakaian (gebruik) atas benda bergerak.
Uraian tentang benda bergerak dan tidak bergerak telah dijelaskan di atas. Jadi baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak dapat dijadikan jaminan atau agunan kepada bank atas pinjaman kredit yang diajukan oleh pihak debitur.
Telah diketahui bahwa suatu pemberian jaminan atau agunan dari debitur kepada bank selaku kreditur merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit.
Keberadaan perjanjian penjaminan tergantung pada perjanjian pokok, jika perjanjian pokok hapus karena telah dilunasinya utang, maka perjanjian penjaminan ikut hapus, namun apabila pihak debitur ingkar janji atau wanprestasi, pihak kreditur berhak melelang barang jaminan dan mengambil hasil lelang guna pelunasan utangnya.
Banyak benda yang dapat dijadikan jaminan guna pelunasan suatu kredit kepada bank, namun dalam penulisan ini benda yang akan dibahas lebih mendalam adalah benda tidak bergerak berupa kapal laut. Pada asasnya menurut Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kapal-kapal, perahu-perahu, perahu-tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dari benda sejenis itu adalah benda bergerak, akan tetapi jika kapal-kapal itu didaftar, kapal tersebut tidak mempunyai status yang sama lagi dengan benda bergerak.
Kapal-kapal yang dapat dibukukan dalam register kapal adalah kapal yang beratnya paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor (Pasal 314 ayat 1 KUHD). Kapal yang terdaftar ini diperlakukan seperti benda tidak bergerak, jika dijaminkan, lembaga yang dipergunakan adalah hipotik. Untuk kapal-kapal yang tidak didaftar lembaga jaminannya adalah gadai atau fidusia.
Lazimnya kapal laut yang dijaminkan kepada pihak bank digunakan sebagai jaminan dari sebuah perusahaan pelayaran yang membutuhkan sejumlah dana untuk pembiayaan pembelian kapal dan pembiayaan perbaikan kapal. Sama seperti benda-benda jaminan lainnya, pemberian jaminan berupa kapal laut haruslah didahului dengan adanya suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian pemberian fasilitas kredit antara pihak debitur dengan pihak kreditur.
Pengertian kapal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah:
Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun dan dari macam apapun juga, kecuali ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Yang dimaksudkan dengan alat perlengkapan kapal ialah segala benda yang bukan suatu bagian daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu.
Sedangkan pengertian kapal laut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu "kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu.”
Kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor, dapat dibukukan di dalam suatu register kapal menurut ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri.
Undang-Undang yang dimaksud di atas adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mulai berlaku tanggal 7 Mei 2008 sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Sebagimana diatur dalam Pasal 354 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tersebut yang menyebutkan bahwa "pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti yang baru berdasarkan undang-undang ini.
Sedangkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan dinyatakan tetap berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 353 bahwa:
Dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai pendaftaran kapal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
Dengan dijaminkannya kapal laut yang sudah terdaftar tersebut dengan hipotik guna menjamin pelunasan kredit dari pihak debitur, maka ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimulai dari Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 tentang hipotik berlaku bagi pembebanan jaminan hipotik atas kapal laut.
Terhadap hipotik kapal, ketentuan hipotik yang diatur dalam Pasal 314 ayat 4 dan Pasal 315 a, b, c Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan lex spesialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maka apabila Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengaturnya secara khusus, semua ketentuan hipotik yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetap berlaku.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, "hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan."15
Dari rumusan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak yang timbul karena perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu. Hipotik sebagai hak kebendaan hanya terbatas pada hak untuk mengambil penggantian dari benda tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu perikatan saja.16
Mengingat bentuk dari kapal laut yang sangat besar dan nilainya yang sangat tinggi, dalam praktek pengadaan kapal melalui pemberian kredit maupun pembebanan jaminan hipotik kapal laut memiliki berbagai kendala, terutama dalam hal penyediaan jaminan atas kredit yang diberikan. Kendala-kendala tersebut diharapkan oleh semua pihak yang terkait agar dapat segera diatasi sehingga dapat meningkatkan perekonomian negara kita khususnya di bidang perbankan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas mengenai pembebanan jaminan hipotik kapal laut, maka penulis sangat tertarik untuk membahas lebih mendalam mengenai jaminan kebendaan yang berupa jaminan hipotik kapal laut atas perjanjian kredit yang diberikan kepada perusahaan pelayaran dan meneliti kendala-kendala yang ada dalam pemasangan dan pelaksanaan eksekusinya. Penulis kemudian memberi judul pada penulisan tesis ini tentang Pemasangan Jaminan Hipotik Kapal Laut dan Pelaksanaan Eksekusinya Sebagai Pelunasan Pinjaman (Studi kasus PT Bank X dengan PT Pelayaran Y).

B. Pokok Permasalahan
Adapun beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu:
1. Bagaimana pemasangan jaminan hipotik kapal laut pada PT Bank X?
2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta hipotik kapal laut?

C. Metode Penelitian
Dalam menjawab pokok permasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan penelitian normatif. Penulisan normatif ini dimaksudkan untuk meneliti tentang asas-asas hukum dan sistematika hukum yang berlaku di Indonesia.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat publik. Sumber data sekunder dalam bidang hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari Penetapan Pengadilan No. 18/EKS/2005/PN.JKT.UT, dan Peraturan Perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, H.I.R., Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, dan Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993 dan Intruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional serta Keputusan Menteri Keuangan Perhubungan No. 14 Tahun 1996 tentang Penyederhanaan Tata Cara Pengadaan dan Pendaftaran Kapal.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa literatur-literatur dan buku-buku yang berkaitan dengan hukum benda, hukum perjanjian, hukum pendaftaran kapal, hukum jaminan hipotik kapal laut dan hukum acara perdata serta tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Analisis data dilakukan secara kualitatif, karena dari data yang diperoleh penulis menganalisanya dan kemudian memberikan kesimpulan-kesimpulan dari data yang telah dianalisa berupa uraian-uraian. Dengan demikian hasil penelitian yang diperoleh dalam penulisan ini bersifat analisa hukum.

D. Sistematika Penulisan
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan dari permasalahan, maka sistematika penulisan ini dibuat menjadi tiga bab, yaitu:
Bab pertama adalah bab mengenai pendahuluan yang memuat mengenai latar belakang, pokok permasalahan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah bab mengenai kapal laut sebagai jaminan pelunasan kredit dan pelaksanaan eksekusinya, yang dibagi menjadi tiga sub bab yaitu landasan teori tentang kapal laut sebagai jaminan, pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut pada PT Bank X dan pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta hipotik kapal laut.
Dalam landasan teori tentang kapal laut sebagai jaminan, penulis membahas mengenai pengertian kapal dan kapal laut, status hukum kapal laut dalam hukum perdata, sumber hukum pendaftaran kapal laut, proses pendaftaran kapal laut, jaminan hipotik atas kapal laut, akibat hukum pendaftaran hipotik atas kapal laut dan jaminan kebendaan lainnya atas kapal laut.
Dalam pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut pada PT Bank X, penulis membahas mengenai prosedur pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut bernama "XY" milik PT Pelayaran Y (debitur) yang dijadikan jaminan atas pinjaman kreditnya pada PT Bank X (kreditur).
Dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta hipotik kapal laut, penulis membahas mengenai eksekusi jaminan hipotik pada umumnya dan pelaksanaan eksekusi kapal laut "XY" berdasarkan Penetapan Pengadilan No. 18/Eks/2005/PN.JKT.UT.
Bab ketiga adalah bab penutup yang merupakan bab terakhir dari seluruh uraian yang berupa kesimpulan dari permasalahan-permasalahan yang telah dibahas.
TESIS INDEPENDENSI KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

TESIS INDEPENDENSI KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

(KODE : PASCSARJ-0075) : TESIS INDEPENDENSI KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT (PRODI : HUKUM KENOTARIATAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kurator memiliki peran utama dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit demi kepentingan Kreditor dan Debitor itu sendiri. Dalam Pasal 1 butir 5 UU KPKPU diberikan defenisi "Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pallit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini". Pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada Kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Hakim Pengadilan.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, seorang Kurator perlu memilah kewenangan yang dimilikinya berdasarkan undang-undang, yaitu:
a. kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukannya persetujuan dari instansi atau pihak lain;
b. kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari pihak lain, dalam hal ini Hakim Pengawas.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, Kurator paling tidak harus mempunyai kemampuan antara lain:
a. penguasaan hukum perdata yang memadai;
b. penguasaan hukum kepailitan;
c. penguasaan manajemen (jika Debitor pailit, apakah perusahaan masih dapat diselamatkan kegiatan usahanya atau tidak); dan
d. penguasaan dasar mengenai keuangan.
Kemampuan tersebut idealnya harus dimiliki oleh seorang Kurator karena dalam praktiknya masih ada beberapa Kurator yang kurang maksimal dalam pengurusan dan pemberesan budel pailit atau seringkali Kurator tidak didukung sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan due diligent dan/atau penelitian terhadap laporan keuangan Debitor pailit sehingga budel pailit pun menjadi tidak maksimal.
Kemampuan Kurator harus diikuti dengan integritas. Integritas berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk mentaati standar profesi dan etika sesuai isi dan semangatnya. Integritas merupakan salah satu ciri yang fundamental bagi pengakuan terhadap profesionalisme yang melandasi kepercayaan publik serta patokan (benchmark) bagi anggota (Kurator) dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan Kurator untuk bersikap jujur dan dapat dipercaya serta tidak mengorbankan kepercayaan publik demi kepentingan pribadi. Integritas mengharuskan Kurator bersikap objektif dan menjalankan profesinya secara cermat dan seksama.
Kurator yang diangkat harus mandiri dan tidak boleh mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor ataupun Kreditor. Seorang Kreditor atau Debitor yang mengajukan permohonan kepailitan dapat meminta penunjukan seorang Kurator kepada pengadilan. Apabila tidak ada permintaan, Hakim Pengadilan Niaga dapat menunjuk Kurator dan atau Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai Kurator.
Tugas Kurator tidak mudah atau dapat dijalankan dengan mulus seperti yang ditentukan dalam undang-undang. Masalah yang dihadapi oleh Kurator seringkali menghambat proses kinerja Kurator yang seharusnya, seperti menghadapi Debitor dengan tidak sukarela menjalankan putusan pengadilan, misalnya Debitor tidak memberi akses data dan informasi atas asetnya yang dinyatakan pailit.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah mengatur dengan jelas bagaimana kewenangan dan tugas serta tanggung jawab dari Kurator, namun dalam kenyataannya melaksanakan tugas sebagai Kurator tidaklah sesederhana yang digambarkan dalam undang-undang.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka general statement Penulis yang merupakan titik tolak dari penelitian ini adalah :
1. Seorang Kurator harus independent dan objektif, bebas dari pengaruh semua pihak untuk melaksanakan pengurusan dan pembereskan harta pailit dalam suatu kepailitan.
2. Kurator harus memiliki keahlian dan sumber daya yang cukup untuk dapat ditunjuk menjadi Kurator dalam suatu kepailitan.
3. Untuk memperlancar suatu proses pemberesan dan pengurusan harta pailit, seorang Kurator harus bisa menjalin kerja sama yang baik dengan Debitor pailit.

B. Pokok Permasalahan
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana independensi Kurator menurut Undang-undang nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan apabila Kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit tidak independent atau berpihak?
3. Apakah kewenangan Kurator terhadap Debitor pailit yang tidak kooperatif dalam suatu proses kepailitan?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengkaji independensi Kurator menurut Undang-undang nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Untuk mengkaji upaya hukum yang dapat dilakukan apabila Kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit tidak independent atau berpihak?
3. Untuk mengkaji kewenangan Kurator terhadap Debitor pailit yang tidak kooperatif dalam suatu proses kepailitan?


D. Kegunaan Penelitian
Diharapkan dari hasil penelitian ini akan diperoleh pemahaman yang kuat dan akurat mengenai independesi seorang Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit serta upaya hukum yang dapat dilakukan apabila Kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit tidak independent atau berpihak serta sejauh mana kewenangan Kurator terhadap Debitor pailit yang tidak kooperatif dalam suatu proses kepailitan, sehingga masyarakat dapat lebih memahami kedudukan Kurator dalam suatu kepailitan.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian dilakukan dengan menelaah data sekunder berupa bahan pustaka, yang mencakup bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tersier.
Atas keseluruhan data yang diperoleh (data sekunder dan data primer) tersebut, kemudian diolah secara sistematis dan kualitatif sehingga menghasilkan tulisan yang deskriptif analitis. Dalam hal ini Peneliti melakukan kajian yuridis analitis untuk melihat peranan dan tanggung j awab kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Asumsi :
1. Kurator dalam melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit mungkin saja tidak independent.
2. Kurator yang tidak independent atau berpihak melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit dalam suatu kepailitan, akan merugikan pihak lainnya sehingga tidak tercapai keinginan Undang-undang.
3. Debitor pailit berada dalam suatu posisi tersudut, sehingga mungkin akan menghalangi Kurator dalam pelaksanaan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit. Oleh karena itu Kurator sebaiknya mempunyai wewenang mengambil suatu tindakan terhadap Debitor pailit yang tidak kooperatif.
TESIS HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI DENGAN KINERJA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN KOPERASI KOTA X

TESIS HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI DENGAN KINERJA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN KOPERASI KOTA X

(KODE : PASCSARJ-0074) : TESIS HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI DENGAN KINERJA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN KOPERASI KOTA X (PRODI : ADMINISTRASI DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA)



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Tujuan penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dapat dipelajari dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin tinggi pertumbuhan PDRB di suatu daerah mengindikasikan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Hubungan kondisional ini terjadi karena indikator-indikator pertumbuhan PDRB di suatu daerah mencakup pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan hasil pembangunan.
Pertumbuhan PDRB di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang semakin mengglobal, tetapi dipengaruhi juga oleh kebijakan pemeritnah yang berupaya mengarahkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan Pemerintah Daerah yang mempengaruhi atau mengarahkan pertumbuhan ekonomi di daerah antara lain dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang perindustrian, perdagangan dan koperasi. Karena itu, pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi di suatu daerah menjadi sangat penting dalam proses penumbuhan perekonomian daerah. Bila pelaksanaan berbagai kebijakan dan kegiatan pembangunan di sektor perindustrian dan sektor perdagangan yang diselenggarakan oleh pemerintah berlangsung efektif, maka efektivitas pembangunan tersebut merupakan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam konteks ini, kinerja Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota X (Disperindagkop) menjadi sangat penting bagi penumbuhan perekonomian di Kota X.
Kinerja Disperindagkop yang optimal dalam melaksanakan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di bidang perindustrian, perdagangan dan koperasi tentu tidak hanya bertujuan mewujudkan kondisi perekonomian yang kondusif bagi para pelaku ekonomi, tetapi sekaligus juga menstimulasi perluasan lapangan kerja. Oleh sebab itu, pelaksanaan tugas dan fungsi Disprindagkop menjadi hal penting yang bernilai stratgis bagi penumbuhan perekonomian di Kota X yang dikenal dengan sebutan "Kota Hujan". Untuk itu Disperindagkop Kota X menyusun visi dan misi organisasi guna menjabarkan kebijakan Pemerintah Kota X di bidang perekonomian.
Untuk mewujudkan kinerja Disperindagkop Kota X yang optimal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, maka dengan sendirinya diperlukan dukungan kinerja pegawai yang maksimal. Dukungan kinerja pegawai yang maksimal hanya bisa diwujudkan melalui peningkatan produktivitas kerja pegawai yang tinggi, efektivitas kerja pegawai yang maksimal dalam melaksanakan kegiatan, dan efisiensi kerja pegawai yang optimal dalam menggunakan sumber daya anggaran, terutama efektif dan efisien dalam memberikan layanan publik kepada para pelaku ekonomi. Dengan demikian peningkatan kinerja pegawai Disperidagkop Kota X dapat dijadikan salah satu issue aktual untuk mengkritisi penyelenggaraan organisasi satuan kerja perangkat Daerah Kota X.
Peningkatan kinerja pegawai Disperindagkop Kota X yang optimal dalam melaksanakan berbagai program dan kegiatan pembangunan di bidang perindustrian, perdagangan dan koperasi sangat diperlukan, karena dari pengamatan langsung terungkap bahwa kinerja pegawai dinas tersebut belum optimal, terutama dalam memberikan layan publik kepada para pelaku ekonomi di Kota X. Belum optimalnya kinerja pegawai Disperindagkop Kota X antara lain terungkap dari :
- produktivitas kerja pegawai yang cenderung rendah; yang terungkap dari pemanfaat waktu kerja yang tidak maksimal, dan lambannya pelayanan publik kepada para pihak yang berkepentingan dengan perizinan usaha;
- efektivitas kerja pegawai tidak maksimal dalam melaksanakan kegiatan pembangunan; yang terungkap dari tidak masikmalnya capaian indikator kinerja pada sejumlah kegiatan yang bernilai strategis untuk meningkatkan peran koperasi dalam perekonomian masyarakat; dan
- efisiensi kerja pegawai yang cenderung rendah dalam melaksanakan fungsi anggaran kinerja pada masing-masing unit kerja; yang terungkap dari kinerja anggaran yang kurang transparan dan penyusunan laporan akuntabilitas kinerja yang kurang akurat.
Sementara itu, disiplin sejumlah pegawai dalam mematuhi dan melaksanakan peraturan juga tampak lemah. Lemahnya disiplin pegawai ini dapat menurunkan kualitas pelayanan publik yang profesional dan transparan. Pelayanan publik yang tidak profesional dan tidak transparan sering menjadi keluhan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut.
Dampak dari kinerja pegawai yang belum optimal itu tentu tidak terbatas hanya pada persoalan-persoalan internal Disperindagkop Kota X; tetapi dapat juga berdampak pada aktivitas-aktivitas para pelaku ekonomi di Kota X. Bahkan bisa lebih dari itu. Misalnya, pelayanan perizinan usaha yang berbelit-belit, menyita waktu lama dan menyerap biaya tinggi tentu tidak hanya menghambat kelancaran usaha tetapi sekaligus juga dapat menghambat upaya perluasan lapangan kerja melalui pengembangan berbagai usaha. Oleh sebab itu, upaya peningkatan kinerja pegawai Disperidagkop Kota X yang profesional dan akuntabel dalam melaksanakan berbagai program dan kegiatan pembangunan serta profesional dan transparan dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik perlu dilakukan secara terpola, menyeluruh dan berkesinambungan.
Dalam konteks itu, belum optimalnya kinerja pegawai Disperindagkop Kota X tampak menjadi suatu fenomena sumber daya manusia dalam birokrasi yang tidak berdiri sendiri. Artinya, terdapat sejumlah faktor yang berkorelasi dengan kinerja pegawai pada dinas tersebut.
Mengacu pada fenomena tersebut, peneliti berasumsi bahwa pola Kepemimpinan yang berlangsung dalam di antara atasan dan bawahan dan Motivasi kerja pegawai dalam melaksanakan pekerjaan merupakan dua faktor yang berkorelasi positif dan siginfikan dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X.
Asumsi terhadap fenomena kinerja pegawai tersebut didasarkan pada premise major atau argumen sebagai berikut :
Kepemimpinan sebagai suatu proses komunikasi dan interaksi sosial yang saling mempengaruhi di antara unsur-unsur pimpinan atau atasan dengan unsur-unsur staf atau bawahan yang berlangsung dalam situasi kerja tertentu, merupakan faktor determinan terhadap perilaku kerja para pegawai dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Oleh sebab itu, dalam dimensi situasional, kepemimpinan itu tentu dapat berkorelasi positif dan signifikan dengan kinerja pegawai. Artinya, kepemimpinan yang baik dapat mendukung terwujudnya kinerja pegawai yang baik juga; dan sebaliknya, kepemimpinan yang lemah dapat menyebabkan kinerja pegawai menjadi lemah. Premise major ini yang dikemukakan Soebagio (1999:19) berdasarkan beberapa pendapat berikut :
a. Ralph Stogdil : Leadership is the process of influencing group activities toward goal setting and goal achievement
b. Robert Tanebeum and Fred Massarik : Leadership is an interpersonal influences, exercised in situation and directed, through the communication process, toward the attainment of a specified goal or goals.
Motivasi yang dapat diartikan sebagai suatu dorongan kebutuhan, keinginan atau harapan pegawai dalam bekerja, merupakan faktor internal pegawai yang mempengaruhi perilaku kerja para pegawai dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Oleh sebab itu, dalam dimensi kondisional, motivasi itu dapat berkorelasi positif dan signifikan dengan kinerja pegawai. Artinya, motivasi kerja yang kuat dapat memperkuat kinerja pegawai; dan sebaliknya motivasi kerja yang lemah dapat menyebabkan kinerja pegawai menjadi lemah. Premise major ini merujuk pendapat Koontz yang mengatakan "Motivation refers to the drive and effort to statisfy a want or goal", dan Jones yang mengatakan bahwa "Motivation is concerned with how behavior is activated, maintened, directed and stopped."
Dalam perspektif pandangan yang demikian itu, jika Kepemimpinan dan Motivasi dipandang sebagai faktor penyebab (antecedent), dan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X dipandang sebagai akibat (konsekuensi), maka patut diasumsikan bahwa di antara Kepemimpinan dan Motivasi dengan Kinerja Pegawai pada dinas tersebut terjalin suatu hubungan kausalitas (causality correlation). Dengan pernyataan lain, lemahnya Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X disebabkan lemahnya kepemimpinan yang berlangsung di antara unsur-unsur pimpinan dengan unsur-unsur staf dan lemahnya motivasi kerja para pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Asumsi dan argumen yang terpapar di atas agaknya dapat dijadikan titik pangkal untuk menyusun suatu konsep penelitian. Selanjutnya, guna mengaktualisasikan asumsi tersebut dan berdasarkan asumsi disusun konsep penelitian dengan memilih judul penelitian berikut : "HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI DENGAN KINERJA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN KOPERASI KOTA X", Kajian hubungan kausalitas di antara Kepemimpinan dan Motivasi dengan Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota X. Judul penelitian ini dipilih dengan alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, fenomena Kinerja Disperindagkop Kota X dan korelasinya dengan lemahnya faktor kepemimpinan dan lemahnya faktor Motivasi merupakan obyek kajian bagi penerapan Ilmu Administrasi pada kekhususan pengembangan sumber daya manusia, karena fenomena tersebut dapat merepresentasikan permasalahan sumber daya manusia dalam birokrasi. Dengan demikian Kepemimpinan, Motivasi dan Kinerja Pegawai dapat diangkat sebagai obyek pengkajian untuk menerapkan Ilmu Administrasi pada kekhususan pengembangan sumber daya manusia.
Kedua, penelitian dengan judul yang dipilih diharapkan dapat mengahasilkan suatu temuan yang berguna untuk dijadikan rekomendasi bagi upaya peningkatan kinerja pegawai Disperindagkop Kota X.

B. Pokok Permasalahan
Kinerja pegawai Disperindagkop Kota X yang belum optimal tampak menjadi fenomena yang berkorelasi dengan sejumlah faktor. Sejumlah faktor yang dimaksud dapat diidentifikas dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang internal Disperindagkop dan sudut pandang eksternal dinas tersebut.
Dari sudut pandang internal organisasi beberapa faktor yang dapat berkorelasi positif dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop antara lain : deskripsi kewenangan, tugas dan fungsi organisasi; budaya organisasi; kepemimpinan yang berlangsung di antara unsur-unsur pimpinan dan unsur-unsur staf; kompetensi pegawai; motivasi pegawai; kondisi sumber daya anggaran; serta kondisi sarana dan prasarana organisasi. Dari sudut pandang eksternal organisasi beberapa faktor yang dapat berkorelasi positif dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop antara lain : Kebijakan daerah di bidang perindustrian, perdagangan dan koperasi; kebijakan kepala daerah yang mengatur penyelanggaraan sistem administrasi satuan kerja perangkat daerah; rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dinas; arah kebijakan umum daerah; kebijakan alokasi anggaran daerah untuk Diperindagkop; kondisi dinamis perekonomian daerah terutama kinerja para pelaku ekonomi; kondisi dinamis kehidupan sosial budaya masyarakat; dan sumber daya ekonomi daerah serta situasi perekonomian nasional.
Semua faktor yang teridentifikasi dapat berkorelasi positif dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X itu dapat saling mempengaruhi, namun semua tidak bisa diteliti sekaligus. Karena itu, dipandang perlu pembatasan masalah penelitian, agar masalah yang dijadikan obyek
penelitian menjadi jelas dan terfokus.
Selanjutnya, berdasarkan asumsi terhadap fenomena Kinerja Pegawai Disperindagkop, maka masalah yang dijadikan obyek penelitian dibatasi hanya pada analisis hubungan Kepemimpinan dan Motivasi dengan Kinerja Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota X. Berdasarkan batasan masalah yang ditetapkan, maka pokok permasalahan diangkat dengan pertanyaan (research questions) sebagai berikut :
1. Apakah terdapat hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X?
2. Apakah terdapat hubungan Motivasi dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X?
3. Apakah terdapat hubungan Kepemimpinan dan Motivasi secara bersama-sama dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X?

C. Tujuan dan Signikansi Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dan signifikansi penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
Dengan pokok permasalahan yang ditetapkan maka tujuan penelitian adalah untuk :
a. Membahas hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X.
b. Membahas hubungan Motivasi dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X.
c. Membahas hubungan Kepemimpinan dan Motivasi secara bersama-sama dengan Kinerja Pegawai Disperindagkop Kota X.
2. Signifikansi Penelitian
Signifikansi (kebermaknaan) yang diharapkan dari seluruh rangkaan kegiatan penelitian dan hasil penelitian adalah sebagai berikut :
a. Siginifikansi Praktis
Bagi pihak yang diteliti, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan rujukan konseptual untuk merumuskan kebijakan peningkatan kinerja pegawai melalui peningkatan efektivitas kepemimpinan dan peningkatan motivasi kerja pegawai. Bagi peneliti, seluruh rangkaian kegiatan penelitian serta hasil penelitian dapat memperluas wawasan keilmuan dan mengefektifkan penyelesaian tugas akhir studi.
b. Signifikansi Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat mencakup temuan-temuan empiric serta konsep baru yang dapat dijadikan rujukan studi tentang fenomena kinerja pegawai pada satuan kerja perangkat daerah dan korelasinya dengan masalah kepemimpinan birokrasi dan motivasi kerja pegawai. Hasil penelitian juga diharapkan dapat dapat dijadikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Administrasi yang terarah untuk pengembangan sumber daya manusia.

D. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian disusun dengan
sistematika penulisan sebagai berikut :
1. Bab I Pendahuluan : Berisi deskripsi Latar Belakang tentang fenomena kinerja pegawai Disperindagkop Kota X yang belum optimal dalam mendukung kinerja organisasi yang optimal dalam melaksanakan kebijakan dan kegiatan pembangunan di bidang perindustrian, perdagangan dan koperasi; Pokok Permasalah yang diajukan dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian; Tujuan dan Signifikansi Penelitian yang diharapkan dari seluruh proses dan hasil penelitian; dan Sistematika Penulisan.
2. Bab II Tinjauan Literatur dan Metode Penelitian : berisi Tinjauan Literatur yang mencakup deskripsi Teori Kepemimpinan, Teori Motivasi dan Teori Kinerja yang dijadikan landasan teoritik penyusunan konsep operasiobnal variable penelitian; dan deskripsi Metode Penelitian yang mencakup Model Analisis statistika, rancangan Hipotesis yang diuji, Operasional Konsep untuk pengukuran dan pengujian, serta uraian Metode Penelitian yang mencakup Pendekatan Penelitian, Jenis Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Populasi dan Sampel, Teknik Analisis Data dan Keterbatasan Penelitian
3. Bab III Gambaran Umum Obyek Penelitian : berisi deskripsi Stuktur Organisasi Diperindagkop; uraian Tugas Pokok dan Fungsi Disperindagkop; uraian Kegiatan Disprindakop dan Capaian Indikator Kinerja Disperindagkop Kota X.
4. Bab IV Pembahasan Hasil Penelitian : berisi deskripsi Karakteristik Responden Penelitian, dan Pembahasan Hasil Penelitian yang meiputi Analisis Hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Pegawai, Analisis Hubungan Motivasi dengan Kinerja Pegawai, dan Analisis Pembahasan Hubungan Kepemimpinan dan Motivasi secara bersama-sama dengan Kinerja Pegawai.
5. Bab V Kesimpulan dan Saran : berisi pokok-pokok Kesimpulan yang ditarik dari pembahasan hasil penlitian; dan Saran yang disampaikan kepada pihak yang diteliti serta pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.