Search This Blog

SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

(KODE KES-MASY-0032) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) dan berlangsung kurang dari 14 hari yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak balita dengan disertai muntah dan mencret, penyakit diare apabila tidak segera diberi pertolongan pada anak dapat mengakibatkan dehidrasi (Depkes RI, 2002).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (www.esp.or.id).
Berdasarkan data profil Kota X Tahun 2007, jumlah balita yang terkena diare sebanyak 26.888 jiwa sedangkan untuk wilayah Kecamatan X ada 1.434 balita yang terkena diare. Jumlah penderita balita diare di Kecamatan X termasuk urutan ketiga tinggi dari 12 Kecamatan yang ada di Kota X. Berdasarkan data profil Puskesmas X Tahun 2006-2008 bahwa jumlah penderita balita diare meningkat, yaitu sebanyak 1.547 menjadi 2.980 kasus.
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor, seperti sampah. Selain hinggap, lalat juga menghisap bahan-bahan kotor dan memuntahkan kembali dari mulutnya ketika hinggap di tempat berbeda. Jika makanan yang dihinggapi lalat akan tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat-lalat dan bila dimakan oleh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit diare (Andriani, 2007).
Pada pola hidup lalat, tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang basah, benda-benda organik, tinja, kotoran binatang. Selain itu, tempat yang disenangi oleh lalat adalah timbunan sampah yang sebagai tempat untuk bersarang dan berkembangbiak.
Sampah merupakan suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda-benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Notoatmodjo, 2007). Volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat meningkat terus sehingga terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Timbulan sampah dapat memburuk bila pengelolaan di masing-masing daerah masih kurang efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Keberadaan sampah dapat juga mengganggu kesehatan masyarakat karena sampah merupakan salah satu sumber penularan penyakit. Sampah juga menjadi tempat yang ideal untuk sarang dan tempat berkembangbiaknya vektor penyakit.
Kota X sebagai salah satu kota yang berkembang dengan pesat juga tak luput dari permasalahan penanganan sampah. Timbulan sampah yang terdapat di Kota X merupakan sampah domestik yaitu sampah yang berasal dari pemukiman dengan jumlah 3.408 ton/hari, sampah pasar/pertokoan 438 m3/hari, dan jumlah sampah lain-lain 719 m3.
Penanganan akhir dari sampah Kota X yaitu dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah X yang berdekatan dengan pemukiman penduduk Kelurahan Sumur Batu. TPA X mempunyai luas area 12 ha dengan kapasitas 3408 m3/hari.
Sistem penanganan sampah yang digunakan pada TPA X adalah sistem control landfill yang merupakan pengembangan dari pengeolahan open land dumping. Sistem control landfill sampah memiliki kelemahan, salah satunya menjadi tempat berkembangbiaknya lalat.
Menurut hasil pencatatan pengukuran tingkat kepadatan lalat yang dilakukan oleh Sie Penyehatan Lingkungan Dinkes X tahun 2004 di lingkungan TPA X dan sekitarnya adalah sangat padat.
Pengukuran rata-rata yang dilakukan seperti pada jarak 100 meter dari kantor masuk TPA berjumlah 22,6 ekor/grill, pemukiman RT 04/04 kelurahan Sumur Batu berjumlah 18,6 ekor/grill, dan pemukiman pemulung berjumlah 31,4 ekor/grill.
Jarak lokasi penanganan sampah akhir dengan pemukiman rumah penduduk ± 200 meter sedangkan jarak terbang lalat efektif adalah 450-900 meter sehingga mempermudahkan lalat untuk hinggap dimana saja, terutama di pemukiman penduduk.

1.2 Rumusan Masalah
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota X terletak berdekatan dengan rumah penduduk di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X. Dari observasi pendahuluan di rumah penduduk di sekitar lokasi TPA terlihat masih banyak lalat dan beradasarkan data Dinkes Kota X kepadatan lalat pada sekitar lokasi TPA termasuk kategori padat. Disisi lain, Kecamatan X merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota X dimana kasus diare menjadi masalah karena jumlah kasusnya yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 2.890 kasus

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya angka gambaran kepadatan lalat di rumah penduduk balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
2. Diketahuinya gambaran kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
3. Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
4. Diketahuinya faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA, meliputi: karakteristik balita (status gizi, imunisasi campak, dan pemberian ASI eksklusif), perilaku ibu balita (mencuci tangan dan menutup makanan), dan sumber air (air bersih dan air minum)

1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan penyusunan program lintas sektoral dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan TPA X.
2. Berguna dalam perencanaan dan penyusunan program pemberantasan penyakit diare dan antisipasi terhadap kejadian penyakit diare pada balita sekitar TPA X.
3. Sebagai wahana dalam pengembangan intelektual serta menambah pengalaman penulis

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TPA X, Kecamatan X Kota X. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni tahun XXXX dengan populasi penelitian adalah balita yang tinggal di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X Kota X. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional, dimana pengukuran tingkat kepadatan lalat dan penyakit diare diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan wawancara kepada responden dan pengukuran tingkat kepadatan lalat.
SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0031) : SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam GBHN 1993 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya. Pada Repelita VI tercantum bahwa tujuan pokok dari pembangunan kesehatan antara lain pengurangan angka kesakitan, kecacatan dan kematian serta peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau dan dapat diterima masyarakat. Salah satu target yang ingin dicapai dengan pembangunan kesehatan adalah penurunan angka kesakitan dan kematian pada kelompok rentan, salah satunya pada kelompok anak-anak di bawah lima tahun. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur adalah 280/1000 penduduk dan pada golongan balita adalah 1,5 kali pertahun (Depkes RI. 2000).
Dengan adanya rumusan tersebut, maka lingkungan yang diharapkan pada masa depan adalah lingkungan yang konduksif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa dan agama (Depkes RI, 1999).
Lingkungan yang tidak sehat akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Lingkungan juga sangat berperan terhadap tersedianya air bersih yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Air bersih yang dipergunakan oleh masyarakat harus memenuhi kualitas air yang diatur dalam Permenkes No. 416 Tahun1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan Kepmenkes No. 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2001, diare menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak dengan persentase sebesar 35%. Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta penderita diare setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak dibawah lima tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu 23,35 per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000 penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2004).
Secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita yaitu 55%. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur pada tahun 2000 adalah 301/1000 atau 3,01%, cenderung meningkat dibanding angka kesakitan diare pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alidan (2002) yang meunjukan bahwa cakupan air bersih dan insiden diare mempunyai hubungan yang sedang r = 0,365 dan berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pValue < α (0,048) dan berdasarkan hasil penelitian Sutomo (1986) yang mengemukakan bahwa penggunaan air tidak tercemar dan penggunaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat dapat mengurangi angka kejadian diare dan kematian diare.
Berdasarakan data Kecamatan X pada tahun XXXX-XXXX mengenai cakupan program kesehatan lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas X sebagai berikut :

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas X kasus diare tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 2.629 kasus dengan jumlah prevalensi 5,12% dan pada tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 3.265 kasus dengan jumlah prevalensi sebesar 5,36%.

1.2 Perumusan Masalah
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja (jamban), apabila kedua faktor tersebut tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Puskesmas X sebagai institusi yang berperan penting dalam deteksi dini kejadian penyakit dan pencegahan kejadian penyakit diwilayah kerjanya, telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare sesuai peraturan atau sesuai dengan syarat kesehatan, namun kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur sebesar 5,12% pada tahun XXXX dan 5,36% di Puskesmas X tahun XXXX. Karena itu diperlukan suatu identifikasi mengenai hubungan jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan jamban dengan kejadian diare agar upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dapat berlangsung dengan baik.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
2. Diketahuinya jenis sumber air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
3. Diketahuinya kondisi fisik air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
4. Diketahuinya karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
5. Diketahuinya perilaku responden tentang kebiasaan mencuci tangan (sebelum dan sesudah makan, setelah BAB) menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
6. Diketahuinya perilaku responden tentang mencuci peralatan makan menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
7. Diketahuinya jenis jamban di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
8. Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
9. Diketahuinya hubungan antara kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
10. Diketahuinya hubungan antara karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
11. Diketahuinya hubungan antara perilaku responden tentang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dan setelah BAB dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
12. Diketahuinya hubungan antara jenis jamban dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, terutama untuk :
1. Didapatnya informasi tentang jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan kejadian diare sebagai bahan evaluasi bagi Puskesmas dan sebagai bahan intervensi dalam pencegahan diare dan sebagai dasar pengambilan kebijakan pada tahun yang akan datang.
2. Sumber literatur bagi mahasiswa yang membutuhkan dan dapat menambah wacana penelitian dalam bidang kesehatan masyarakat dan tentang jenis dan kondisi air bersih dan kejadian diare.
3. Peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat selama pendidikan, menambah pengalaman dalam bidang penelitian dan mengetahui kondisi sanitasi dasar yang merupakan salah satu faktor untuk mencapai derajat kesehatan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisa data primer dan analisa data sekunder pada jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih serta kejadian diare. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder diperoleh dari data yang ada pada laporan Program Kesehatan Lingkungan dan Laporan Tahunan Diare Puskesmas X dan kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember XXXX dengan desain penelitian Cross Sectional dan analisa yang digunakan adalah analisa Univariat dan analisa Bivariat.
SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

(KODE KES-MASY-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sebelas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0,74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan (IPCC, 2007).
Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan. Hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah, kini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia, sehingga sifat kejadiannya pun menjadi lebih cepat dan drastis. Hal itu kemudian mendorong timbulnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan pada proses alam (Depkes, XXXX).
Masalah yang kini dihadapi manusia adalah sejak dimulainya revolusi industri 250 tahun yang lalu, emisi gas rumah kaca (GRK) semakin meningkat dan menebalkan selubung GRK di atmosfer dengan laju peningkatan yang signifikan. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya perubahan paling besar pada komposisi atmosfer selama 650.000 tahun. Iklim global akan terus mengalami pemanasan dengan laju yang cepat dalam dekade-dekade yang akan datang kecuali jika ada usaha untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfer (IPCC, 2007).
Efek rumah kaca merupakan fenomena dimana atmosfir bumi berfungsi seperti atap kaca pada sebuah rumah kaca. Sinar matahari dapat tembus masuk, namun panasnya tidak dapat keluar dari rumah kaca tersebut. Akibatnya, lama-kelamaan temperatur bumi terus meningkat dan terjadilah pemanasan global. Seperti es yang meleleh karena panas, salju di kutub pun mencair akibat memanasnya suhu bumi dan menimbulkan perubahan-perubahan di alam. Perubahan inilah yang kemudian memberikan dampak yang nyata pada kehidupan kita (Depkes, XXXX).
Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan, tingkat gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi lebih tinggi daripada yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah. Badan dunia yang bertugas memonitor isu ini Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (IPCC dalam UNDP, 2007).
Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi dan akan meningkatkan risiko baik bagi yang muda maupun para lansia karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya (Sintorini, 2007). Perubahan iklim memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru. Hal itu sudah terjadi di tahun El Niño 1997 ketika nyamuk berpindah ke dataran tinggi di Papua. Suhu lebih tinggi juga menyebabkan beberapa virus bermutasi, yang tampaknya sudah terjadi pada virus penyebab demam berdarah dengue, yang membuat penyakit ini makin sulit diatasi. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi. Kasus demam berdarah dengue di Indonesia juga sudah ditemukan meningkat secara tajam di tahun-tahun La Niña (UNDP, 2007).
Menurut ramalan cuaca dari Pusat Ramalan Iklim (CPC), Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), curah hujan di Indonesia akan berada di atas rata-rata selama Januari-Maret 2009, sebagai dampak dari fenomena La Nina, yang kini sedang berkembang di Belahan Bumi Utara Khatulistiwa. La Nina merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan Timur ekuator di Lautan Pasifik. Berdasarkan observasi dan kecenderungan-kecenderungan akhir-akhir ini, kondisi La Nina tampaknya akan terus berkembang di musim Semi 2009 di Belahan Bumi Utara. Salah satu dampak dari La Nina adalah curah hujan di Indonesia dia atas rata-rata.
Sejak berjangkit di Indonesia pada tahun 1968 penyakit DBD cenderung menyebar luas dan meningkat jumlah penderitanya. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan kepadatan penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi dan tersebar luasnya virus dengue serta nyamuk penularnya di berbagai wilayah (Ditjen P2M&PL, XXXX).
Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (vektor primer), Aedes albopictus (vektor sekunder) dan Aedes scutellaris (Indonesia Timur). Data WHO (2000) menunjukkan diperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue.
Di Asia Tenggara, penyakit DBD telah dikenal selama 40 tahun. Kasus terbanyak dilaporkan dari Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Ketiga negara tersebut telah memiliki sistem surveilans yang komprehensif. Setiap dekade, jumlah kasus DBD di Asia Tenggara meningkat dari 50.000 kasus per tahun (1970), 165.000 kasus per tahun (1980), dan 200.000 kasus per tahun (1990) (CDC).
Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Tanpa pengendalian yang efektif Demam Berdarah akan mengganggu perekonomian negara dan bangsa. Kunci pengendalian demam berdarah adalah pengendalian DBD berbasis wilayah, yakni pengendalian kasus dan berbagai faktor risiko secara simultan (Achmadi, 2007).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam timbul dan penyebaran penyakit DBD, baik lingkungan biologis maupun fisik. Pengaruh iklim misalnya berupa pengaruh hujan, yang dapat menyebabkan kelembaban naik dan menambah jumlah tempat perindukan (Kusumawati, 2007). Menurut Soegijanto S. (2003), faktor lingkungan fisik yang berperan terhadap timbulnya penyakit DBD meliputi kelembaban nisbi, cuaca, kepadatan larva dan nyamuk dewasa, lingkungan di dalam rumah, lingkungan di luar rumah dan ketinggian tempat tinggal. Unsur-unsur tersebut saling berperan dan terkait pada kejadian infeksi virus dengue.
Variabel iklim antara lain fenomena El Niño, kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim berpengaruh pada berkembangbiaknya populasi nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes albopictus.. Kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim sangat berpengaruh pada penyerapan dan kelembaban tanah. Kenaikan permukaan air laut di daerah Pasifik sangat terkait dengan perkembangbiakan nyamuk penyebab Demam Berdarah. Perubahan iklim menjadi penyebab penting terjadinya penyakit. (Fuller, 2009).
Lebih jauh lagi, iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan cara yang berbeda. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria dan demam kuning berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat (Sintorini, 2007). Banyak yang menduga bahwa KLB DBD yang terjadi setiap tahun hampir di seluruh Indonesia terkait erat dengan pola cuaca di Asia Tenggara. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi (Burke dalam Sintorini, 2007).
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menempati peringkat pertama sebagai daerah yang rentan perubahan iklim se-Asia Tenggara berdasarkan survei Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA). Wilayah Jakarta sangat rentan terhadap bencana yang terkait perubahan iklim, salah satunya akibat dari tingginya angka kepadatan penduduk. Hampir semua wilayah DKI masuk wilayah paling rentan dengan perubahan iklim. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji seperti Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos PDR, Vienam, Malaysia dan Philipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim. Dari 10 besar tersebut, tiga wilayah kota administrasi di DKI Jakarta menempati tiga urutan tertinggi, yaitu Jakarta Pusat menempati urutan pertama, posisi kedua Jakarta Utara, posisi ketiga Jakarta Barat. Sedangkan X masuk dalam urutan kelima, dan Jakarta Selatan masuk dalam urutan kedelapan. Sementara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak masuk dalam wilayah rentan perubahan iklim (www.metro.vivanews.com).
Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural), curah hujan akibat aliran konvektif sering terjadi di kota Jakarta sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural) yaitu sebesar 1-3 hari, serta arah dan kecepatan angin juga mengalami perubahan. Di Jakarta angin dengan laju angin rata-rata 4 knots sering bertiup, sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 6 knots jarang terjadi. Hal ini diakibatkan adanya gedung-gedung tinggi yang menghambat laju kecepatan angin (BMG).
Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue (UNDP, 2007).
Peningkatan hujan dapat meningkatkan keberadaan vektor penyakit dengan memperluas ukuran habitat larva yang ada dan membuat tempat pemberantasan nyamuk baru. Di tempat dengan iklim tropis basah, musim kemarau dapat menyebabkan arus sungai melambat dan menjadikannya kolam stagnan yang menjadi habitat ideal bagi vektor untuk tempat pemberantasan nyamuk. Sedangkan kelembaban dapat mempengaruhi transmisi vektor serangga. Nyamuk akan lebih mudah mengalami dehidrasi dan pertahanan hidup menurun pada kondisi kering (WHO, 2003).
Selain itu, DBD merupakan penyakit musiman yang biasanya berhubungan dengan cuaca lebih hangat dan lebih lembab. Suhu ekstrim mengancam ketahanan hidup virus penyebab penyakit, tetapi perubahan pada suhu memungkinkan efek bervariasi. Suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus hidup organisme vektor dan virus yang kemudian mampu meningkatkan transmisi potensial pada kejadian penyakit demam berdarah dengue. Jika suhu rendah dengan adanya sedikit peningkatan suhu akan meningkatkan perkembangan, inkubasi dan replikasi virus. Selain itu, suhu dapat memodifikasi pertumbuhan vektor pembawa penyakit dengan mengubah tingkat gigitan mereka. Sama seperti mempengaruhi dinamika populasi vektor dan mengubah tingkat kontak dengan manusia. Pergantian suhu dapat mengubah musim transmisi. Vektor pembawa penyakit bisa beradaptasi pada perubahan suhu dengan mengubah distribusi geografis (WHO, 2003).
Pada musim pancaroba, kasus DBD sangat meningkat, hal ini disebabkan oleh kelembapan udara yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dalam menggigit. Suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan virus dengue. Di seluruh dunia diasumsikan setiap tahunnya terdapat 50 sampai 100 juta penderita demam dengue (DD) dan 250 hingga 500.000 penderita DBD. Di samping itu, DBD merupakan penyebab utama perawatan dan kematian anak di Asia (www.menkokesra.go.id).
Demam berdarah dengue sudah empat puluh tahun ada di Indonesia, sejak tahun 1968 dan sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia karena terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Letak geografis dan iklim tropis di Indonesia sangat mendukung semakin berkembangnya penyakit ini. Penyakit DBD telah menjadi penyakit endemik di kota-kota besar di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Hingga saat ini jumlah kasus DBD dan daerah terjangkit terus meningkat. Setiap tahun terjadi KLB DBD dibeberapa provinsi.
Wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat DKI Jakarta. X masih tercatat sebagai wilayah yang masih berada di "zona merah", dengan jumlah pasien tertinggi. Pada tahun XXXX, di X tercatat 6.869 kasus, merupakan yang tertinggi di antara lima wilayah DKI yang lain. Demikian pula pada tahun 2005, kasus DBD di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun XXXX lebih tinggi dari 2005, tetapi jumlah kasus tertinggi tetap terjadi di X, yaitu 6.732 kasus. Begitu juga pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Pada bulan Februari 2009, X menempati urutan kedua dengan 14 kelurahan zona merah, yaitu, Jatinegara, Penggilingan, Pulo Gebang, Ciracas, Duren Sawit, Klender, Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Bidara Cina, Rawa Bunga, Cawang, Makasar, Pekayon, dan Kayu Putih (Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X, 2009).

1.2 Rumusan Masalah
Dalam 25 tahun terakhir suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C, suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural) dan curah hujan juga sering terjadi di kota Jakarta, sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural). Begitu juga dengan rata-rata suhu udara di Kota Administrasi X mengalami peningkatan, 27,4°C (XXXX) menjadi 27,5°C (XXXX), sedangkan rta-rata kelembaban mengalami penurunan 78% (XXXX) menjadi 74,2% (XXXX) dan rata-rata curah hujan terus mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya (BMKG, 2005). Angka kejadian kasus DBD di X, juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 per 100.000 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan perubahan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) dapat meningkatkan risiko kejadian DBD di X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah "Apakah ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara)".

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
2. Diperolehnya distribusi kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
3. Diperolehnya hubungan antara kejadian kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Penulis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang hubungan kejadian kasus demam berdarah dengue dengan faktor iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara), serta dapat menyajikan suatu studi di bidang kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan lingkungan dengan menggunakan kaidah ilmiah sebagai latihan untuk menerapkan disiplin ilmu yang sudah dipelajari dalam bentuk tulisan ilmiah.
1.5.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini menjadi bahan tambahan ilmu untuk pengembangan kompetensi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan dan dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemberantasan dan pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
1.5.3 Bagi Pemerintah Kota Administrasi X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kejadian penyakit demam berdarah dengue dan faktor-faktor iklim yang mempengaruhinya, sehingga dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembuatan program-program pencegahan dan pemberantasan DBD yang sesuai dengan keadaan lingkungan pada tahun-tahun yang akan datang.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan curah hujan, kelembaban dan suhu udara dengan kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X pada tahun XXXX-XXXX. Desain penelitian ini merupakan studi ekologi menurut waktu. Unit analisis penelitian ini adalah semua penderita demam berdarah dengue dan parameter kualitas udara ambien (curah hujan, kelembaban dan suhu udara). Data yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada data sekunder yaitu data angka tersangka kasus demam berdarah dengue tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X dan data iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi X.
SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0029) : SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pada dekade belakangan ini populasi lanjut usia meningkat di negara-negara sedang berkembang, yang awalnya hanya terjadi di negara maju. Demikian halnya di Indonesia populasi lanjut usia juga mengalami peningkatan (Tanaya, 1997).
Di negara-negara yang sudah maju, jumlah lansia relatif lebih besar dibanding dengan negara-negara berkembang, karena tingkat perekonomian yang lebih baik dan fasilitas pelayanan kesehatan sudah memadai (wordpress.com, XXXX). Salah satu ciri kependudukan abad ke-21 antara lain adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk lanjut usia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 penduduk lanjut usia diseluruh dunia diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8 persen. Jumlah ini akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025 yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau sekitar 9,7 persen dari total seluruh penduduk dunia (Wirakusumah, 2000).
Berdasarkan laporan data demografi penduduk Intemasional yang dikeluarkan oleh Bureau af the Census USA (1993, dikutip oleh Darmojo, 1999) bahwa di Indonesia pada kurun waktu tahun 1990-2025 akan terjadi kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414 %, suatu angka kenaikan tertinggi di seluruh dunia. Adanya peningkatan jumlah lansia, masalah kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi semakin kompleks, terutama yang berkaitan dengan gejala penuaan (Amiruddin dalam unair.ac.id, 2003).
Sedangkan data dari Menkokesra.go.Id tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Lansia di Indonesia pada tahun 1980 hanya 7,9 juta orang (5,45%) dengan usia harapan hidup 52,2 tahun. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lansia sekitar 11,3 juta (6,29%) dengan usia harapan hidup 59,8 tahun. Sedangkan pada tahun 2000, jumlahnya meningkat menjadi 7,18% (14,4 juta orang) dengan usia harapan hidup 64,5 tahun. Pada tahun 2006 angkanya meningkat hingga lebih dua kali lipat menjadi sebesar kurang lebih 19 juta (8,9%) dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun.
Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging struktured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk Lansianya sebanyak 7% adalah di pulau Jawa dan Bali. Peningkatan jumlah penduduk Lansia ini antara lain disebabkan antara lain karena 1) tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, 2) kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat (Menkokesra.go.id, 1998).
Jumlah lansia terbesar di Indonesia adalah Propinsi Jawa Timur dengan 3.740.000 penduduk, Propinsi Jawa Barat berjumlah 2.850.000 penduduk dan Propinsi Sulawesi Selatan berjumlah 771.500 penduduk. (BPS 1995-2005 dalam Anonim, 2000). Sedangkan di Kota X jumlah Lansia pada tahun 2007 adalah 194.452 jiwa.
Angka mortalitas (kematian) penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran mengenai derajat kesehatan penduduk secara umum. Pada tahun 1999 penduduk Kota X yang mati berjumlah 7.266 jiwa, terdiri atas wanita sebesar 562 jiwa dan laki-laki sebesar 704 jiwa. (Status Lingkungan Hidup (SoE) Kota X, Jawa Barat).
Sedangkan menurut data status kesehatan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X menggambarkan bahwa dari seluruh puskesmas yang ada di kota X, yaitu sebanyak 31 buah puskesmas, yang status kesehatan pada lansia nya paling rendah pada periode bulan Agustus-Desember 2007 adalah pada puskesmas X. (Tabel 1 terlampir)
Masalah kesehatan lansia sangat bervariasi, selain erat kaitannya dengan degeneratif juga secara progresif tubuh akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, disamping itu juga sesuai dengan bertambahnya usia muncul masalah-masalah psikologis yang menuntut adanya perubahan secara terus menerus. Di dalam suatu keluarga, lansia merupakan anggota keluarga yang rawan dipandang dari sudut kesehatan karena kepekaan dan kerentanannya yang tinggi terhadap gangguan kesehatan dan ancaman kematian (Dinkes Prop. Jabar, 2000).
Sejalan dengan bertambahnya umur mereka, mereka sudah tidak tidak produktif lagi, kemampuan fisik maupun mental mulai menurun, tidak mampu lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat, memasuki masa pensiun, ditinggal pasangan hidup, stress menghadapi kematian, munculnya berbagai macam penyakit, dan lain-lain. Karena sel-sel mengalami degeneratif maka fungsi dari sistem organ juga mengalami penurunan. Kulit menjadi keriput, rambut putih dan menipis, gigi berlubang dan tanggal, fungsi penglihatan, pendengaran, pengecapan atau pencernaan mulai menurun, osteoporosis, gangguan sistem kardiovaskuler dan lain-lain (wordpress.com, XXXX).
Menurut Bustan (1997), Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok lansia adalah:
- Gangguan pembuluh darah (dari hipertensi sampai stroke)
- Gangguan metabolik (Diabetes Mellitus)
- Gangguan persendian (arthritis, encok dan terjatuh)
- Gangguan psikososial (kurang penyesuaian diri dan merasa tidak berfungsi lagi)
Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia (Lansia) yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi (52,3%), hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23 %). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (kompas, XXXX).
Pada lansia terjadi kemunduran sel-sel lantaran proses penuaan yang dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai macam penyakit terutama penyakit degeneratif. Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial dan membebani perekonomian baik pada lanjut usia maupun pemerintah karena masing-masing penyakit itu perlu dana untuk terapi dan rehabilitasi (kompas.com, XXXX).
Untuk itu, rencana hidup seharusnya sudah dirancang jauh sebelum memasuki masa lanjut usia, paling tidak individu sudah punya bayangan aktivitas apa yang akan dilakukan kelak sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Diharapkan, para lansia melakukan pola hidup sehat yakni dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang, beraktivitas fisik atau olahraga secara teratur dan tidak merokok (kompas.com, XXXX).
Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah akibat proses penuaan. Oleh karena itu fenomena ini bukan lah suatu penyakit, melainkan keadaan yang wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik serta sosiobudaya. Walaupun demikian beberapa hal telah dapat diungkapkan, misalnya menjadi tua untuk sebagian orang ditentukan secara genetik dan dapat dipengaruhi oleh nutrisi, gaya hidup serta lingkungan (wordpress.com, XXXX).
Selain itu kerentanan yang dialami lanjut usia ditunjang oleh gaya hidup masyarakat yang berbeda (mengalami perubahan) dibanding zaman dahulu. Baik saat bekerja hingga aktivitas sehari-hari, dimana masyarakat sekarang terutama para lansia kurang melakukan aktivitas bila dibandingkan orang zaman dahulu. Kemajuan teknologi turut membantu kerentaan tersebut. Dalam hal pola makanan dan kebiasaan beristirahat pun demikian mengalami perubahan. Namun tidak perlu menghindari pada satu jenis makanan tertentu. Sepanjang orang tersebut dalam keadaan sehat atau tidak menderita suatu penyakit. Terpenting adalah selalu menerapkan pola hidup maupun pola makan yang sehat (Hariani dalam balipost.co.id, 2007).
Dari gambaran tersebut diatas, jelas terlihat bahwa sebagian orang lanjut usia banyak mengalami masalah-masalah yang dihadapi seiring bertambahnya usia mereka, terutama dalam masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh gaya hidup, yang berpengaruh pada status kesehatan pada lansia itu sendiri, dan belum banyaknya perhatian terhadap permasalahan pada lansia, khususnya masyarakat ilmiah di Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas X. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti tentang "Hubungan Antara Gaya Hidup Dengan Status Kesehatan Lansia Binaan Puskesmas X, Kota X Tahun XXXX".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan data status kesehatan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X yang menggambarkan bahwa dari seluruh puskesmas yang ada di kota X, yaitu sebanyak 34 buah puskesmas, yang status kesehatan pada lansia nya paling rendah pada periode bulan Agustus-Desember 2007 adalah pada puskesmas X. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengetahui hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lanjut usia binaan Puskesmas X, Kota X tahun XXXX.

1.3. Pertanyaan Penelitian
- Bagaimana gambaran status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X?
- Bagaimana hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan Lansia binaan Puskesmas X?

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana hubungan gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X Kota X tahun XXXX.
1.4.2. Tujuan Khusus
- Di peroleh gambaran status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara pola makan dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara aktivitas fisik dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara kebiasaan merokok dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara kebiasaan istirahat dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Aplikatif (Program)
Memberi masukan pada institusi pendidikan, khususnya program promosi kesehatan, tentang hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lanjut usia, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menyusun langkah-langkah strategi dalam mencegah terjadinya penurunan status kesehatan pada Lansia, yang nantinya dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan materi perkuliahan.
1.5.1. Manfaat Teoritis (Pengembangan Ilmu)
Hasil penelitian dapat memperkuat informasi tentang hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lansia, sehingga faktor-faktor yang berhubungan dengan status kesehatan pada lansia dapat diperhatikan dan apabila faktor-faktor tersebut berdampak buruk, maka dapat diminimalkan dengan metode yang efektif dan efisien.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Masalah kesehatan lansia sangat luas dan universal, karena tidak hanya menyangkut masalah degeneratif saja, tetapi juga menyangkut masalah psikologi, sosial ekonomi, dan masih banyak lagi yang dapat mempengaruhi status kesehatannya. Maka dari itu pada penelitian ini penulis hanya akan membahas mengenai gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) terhadap status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X tahun XXXX.
SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH DENGUE

SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH DENGUE

(KODE KES-MASY-0028) : SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH DENGUE




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun yang telah terukur sejak pertengahan abad ke-19 (Depkes, 2009). Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan, hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah. Namun kini perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (antropogenik), terutama yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Gas-gas tersebut yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju perubahan konsentrasi GRK (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim, khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan angin (Depkes, 2009). Begitu juga dalam hal distribusi dan kelimpahan dari organisme vektor dan host intermediate. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya jarak suhu di mana vektor dan parasit penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah kasus malaria di Asia hingga 27 persen dan DBD hingga 47 persen. Di Indonesia yang merupakan negara tropis, daerah-daerah baru yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya.
Penyakit DBD atau dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya (Depkes, XXXX). Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan angka insiden luar biasa (KLB) atau wabah.
Penyakit ini terus menyebar luas di negara tropis dan subtropis. Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan demam berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia (Depkes, XXXX).
Kasus DBD dilaporkan terjadi pada tahun 1953 di Filipina kemudian disusul negara Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam puluhan, penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara antara lain Singapura, Malaysia, Srilanka, dan Indonesia. Pada dekade tujuh puluhan, penyakit ini menyerang kawasan pasifik termasuk kepulauan Polinesia.
DBD merupakan salah satu penyakit infeksi yang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di negara kita, khususnya di kota-kota besar. Di Jakarta, DBD menunjukkan sifat endemis dengan jumlah kasus yang meningkat di saat awal dan akhir musim penghujan, serta adanya ledakan kasus setiap sekitar lima tahun yaitu pada tahun 1988, 1993 dan 1998 (Rezeki, 2000).
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timor telah terjangkit penyakit DBD. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi angka insiden luar biasa setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) atau angka angka insiden sebesar 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian sebesar 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003); 43,35 (tahun 2005) dan 52,48 (tahun 2006) (Depkes, XXXX). Sedangkan angka kematian DBD pada tahun 2005 adalah 1,4%, dan pada tahun 2006 adalah sebesar 1,04%.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun XXXX, jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun XXXX sebanyak 158.115 kasus dengan jumlah kematian 1.570 orang (CFR=1.01% dan IR=71,87 per 100.000 penduduk). Sampai akhir tahun XXXX, jumlah kabupaten/kota yang terjangkit DBD adalah 354 kabupaten/kota atau sekitar 76,1% dari seluruh wilayah kabupaten/kota. Tiga puluh ribu kasus DBD tercatat di Indonesia selama bulan Januari sampai April XXXX. Dari 30 ribu kasus tersebut, kasus kematian yang terjadi adalah berkisar antara 1 hingga 1,3 persen selama setahun (Depkes, 2009).
Pola perkembangan DBD di Indonesia pada tahun 2006 kasus cenderung menurun setiap bulannya sampai dengan bulan Oktober namun terjadi sedikit peningkatan pada bulan November dan Desember. Tahun XXXX kasus mulai Januari terus meningkat dengan puncaknya pada bulan Februari dan terus menurun sampai dengan bulan September dan Oktober (Depkes, XXXX).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, pada tahun XXXX tercatat dua propinsi menyatakan angka insiden luar biasa pada penyakit DBD, yaitu Banten dan Jawa Barat. Sementara enam provinsi lainnya, melaporkan peningkatan kasus DBD yang signifikan yaitu Lampung, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Status KLB tersebut didasarkan atas peningkatan kasus DBD sepanjang Januari hingga pertengahan Februari di Banten dan Jawa Barat yang meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2006.
Dinas Kesehatan Propinsi Banten, pada tahun 2003 melaporkan jumlah kasus DBD terjadi sebanyak 1.088 dengan jumlah kematian sebesar 35 kasus atau CFR 3,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi sebanyak 2.577 kasus dengan jumlah kematian sebesar 58 kasus atau CFR 2,25 per 100.000 penduduk. Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi sebanyak 2.045 kasus dengan jumlah kematian sebesar 26 kasus atau CFR 1,27 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2006, kasus DBD terjadi sebanyak 2.517 dengan kasus meninggal dunia sebanyak sembilan orang atau CFR 1,52 per 100.000 penduduk. Sedangkan, pada tahun XXXX korban DBD sebanyak 3.881 kasus, dengan kasus meninggal dunia sebanyak 24 orang. Pada tahun XXXX, tercatat 3.954 warga terX DBD dan 43 orang meninggal atau CFR 1,45 per 100.000 penduduk.
Kabupaten X merupakan wilayah di propinsi Banten yang memiliki jumlah kasus terbesar kedua setelah Kabupaten Tangerang. Kasus DBD yang terjadi pada tahun 2003 adalah sebanyak 252 dengan jumlah kematian sebesar 10 kasus. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi sebanyak 578 kasus dengan jumlah kematian sebesar 17 kasus. Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi sebanyak 569 kasus dengan jumlah kematian sebesar 6 kasus. Tahun 2006 terjadi sebanyak 517 warga terX DBD. Pada tahun XXXX korban DBD sebanyak 1597 kasus dengan jumlah kematian sebesar 29 kasus atau CFR sebesar 1,8 dan IR sebesar 7,5 per 10.000 penduduk. Dan pada tahun XXXX terjadi sebanyak 525 kasus DBD atau CFR sebesar 1,3 dan IR sebesar 3,3 per 10.000 penduduk (Dinkes Kabupaten X, XXXX).
Kota X yang pada tahun XXXX merupakan Kecamatan X, karena terdapat pemekaran wilayah Kabupaten X menjadi Kabupaten dan Kota X, memiliki kontribusi besar dalam peningkatan jumlah kasus. Tidak hanya Kecamatan X yang tidak lagi termasuk dalam wilayah Kabupaten X tetapi juga enam kecamatan lainnya yaitu Cipocok Jaya, Curug, Kasemen, X, Taktakan dan Walantaka. Oleh karena itu, terjadi penurunan jumlah kasus yang terjadi di Kabupaten X pada tahun XXXX. Selain itu program pemberantasan DBD yang dilaksanakan Dinas Kesehatan Kabupaten X berupa fogging focus untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dewasa sangat efektif. Dan antisipasi warga masyarakat dengan melakukan PSN sebelum musim penghujan datang memberi kontribusi dalam penurunan jumlah kasus DBD sehingga angka insiden DBD pun dapat menurun.
Hasil penelitian Gubler (2001) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, dan variasi iklim lain mempengaruhi vektor dan patogen yang ditularkannya. Faktor resiko yang berperan dalam peningkatan, penyebaran, morbiditas serta mortalitas infeksi virus dengue antara lain adalah faktor lingkungan ekosistem yaitu ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim, perubahan iklim global, dan letak geografis (Hasyim, XXXX). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian lain yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor iklim dengan kasus dan angka insidens DBD selama tahun 1997-2000 terutama untuk suhu udara di DKI Jakarta (Andriani, 2001).
Pada penelitian Yanti (2004) di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2000-2004 disimpulkan bahwa kelembaban udara, total curah hujan, jumlah hari hujan, indeks curah hujan mempunyai hubungan yang sedang dengan angka insiden DBD. Sama halnya dengan penelitian Silaban (2005) menyatakan bahwa variasi iklim (jumlah hari hujan, lama penyinaran matahari, dan kelembaban) memiliki hubungan bermakna dengan insiden DBD di Kota Bogor. Namun berbeda dengan penelitian Sungono (2004) di Jakarta Utara tahun 1999-2003 menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara faktor iklim yaitu suhu, curah hujan, lama hari hujan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara dengan angka insiden DBD.

1.2 Rumusan Masalah
Demam berdarah dengue sebagai penyakit berbasis vektor perlu diwaspadai karena penularan penyakit ini memiliki kemungkinan meningkat dengan perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pada faktor iklim. Tingginya jumlah kasus DBD di Kabupaten X yang ditandai dengan nilai CFR lebih besar dari satu per 10.000 penduduk. Kemudian jumlah kasus yang menduduki peringkat kedua terbanyak selama beberapa tahun terakhir setelah Kabupaten Tangerang di Propinsi Banten membuat peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keadaan faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
2. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan orang di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
3. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan wilayah di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
4. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan waktu di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
5. Adakah hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran dan hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran keadaan faktor iklim di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
2. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan orang di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
3. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan wilayah di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
4. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan waktu di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
5. Mengetahui hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memberi gambaran tentang masalah dan perkembangan angka insiden demam berdarah dengue pada masyarakat di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX dalam kaitannya dengan faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin). Penelitian dilaksanakan di Kabupaten X karena angka insiden demam berdarah dengue selalu muncul setiap tahun dan selalu menelan korban jiwa. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei melalui penelusuran dan analisis data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten X, Dinas Kesehatan Propinsi X serta Balai Besar Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah X.

1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten X mengenai penanggulangan angka insiden demam berdarah dengue.
1.6.2 Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kaitan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue.
1.6.3 Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan penelitian berikutnya dan menambah wawasan peneliti mengenai hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue.
SKRIPSI HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DG INSIDENS RATE KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH DENGUE DI TINGKAT KECAMATAN KOTAMADYA X

SKRIPSI HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DG INSIDENS RATE KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH DENGUE DI TINGKAT KECAMATAN KOTAMADYA X

(KODE KES-MASY-0027) : SKRIPSI HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DG INSIDENS RATE KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH DENGUE DI TINGKAT KECAMATAN KOTAMADYA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pembangunan sumber daya manusia yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) XXXX-2025 bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, dan masyarakat yang sejahtera (Bappenas, XXXX). Manusia Indonesia yang sehat dapat terwujud apabila mereka hidup dalam lingkungan yang sehat serta dapat mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes RI, 2003). Salah satu kriteria lingkungan sehat adalah lingkungan yang terbebas dari wabah penyakit menular.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 disebutkan bahwa salah satu program yang dilaksanakan dalam bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Bappenas, 2004). Penyakit menular yang menjadi prioritas pencegahan dan pemberantasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) XXXX-2025 diantaranya adalah malaria, diare, polio, filariasis, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Demam Berdarah Dengue (DBD) juga termasuk salah satu penyakit menular yang menjadi prioritas dalam upaya pencegahan dan pemberantasan (Bappenas, XXXX).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti atau nyamuk Aedes albopictus. Penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis (Djunaedi, 2006) .
Sudah lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami outbreak atau letusan demam dengue dan demam berdarah dengue. Setiap tahunnya terdapat lebih kurang 500.000 kasus yang dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. Letusan penyakit DBD ini mempunyai dampak terhadap bidang sosial-ekonomi termasuk devisa dari sektor pariwisata. Negara Kuba pada tahun 1981 diperkirakan mengalami kerugian sebesar US$ 103.000.000 akibat adanya wabah. Sedangkan Thailand diperkirakan mengalami kerugian sebesar US$ 16.000.000 pada tahun 1987 (Rezeki dan Irawan, 2000).
Menurut laporan WHO pada tahun 2000, DBD telah melanda semua negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, Caribbean, Cuba, Venezuela, Brazil, dan Afrika. Di Amerika, pada tahun 2001 dilaporkan terdapat lebih dari 600.000 kasus dengue dan sekitar 15.000 diantaranya adalah kasus DBD. Jumlah kasus ini meningkat 2 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 1995. Sedangkan di Brazil ditemukan 400.000 kasus dengue dan 670 kasus diantaranya adalah kasus DBD (Djunaedi, 2006).
Berdasarkan data dari laporan WHO, antara tahun 1991-1995, insidens akibat infeksi virus dengue di Indonesia menempati peringkat ke-3 diantara negara Vietnam, Thailand, India, Myanmar, Amerika, Kamboja, Malaysia, Singapura, Filipina, Sri Lanka, Laos, dan negara-negara di kepulauan Pasifik, yaitu sebanyak 110.043 kasus. Sedangkan untuk jumlah kematian akibat infeksi virus dengue, Indonesia menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 2.861 kematian dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) kasus DBD di Indonesia juga menempati urutan ke-4 dibandingkan dengan negara-negara tersebut, yaitu sebesar 2,6% (Djunaedi, 2006).
Antara tahun 1968-1988 angka kematian akibat DBD di Indonesia cenderung menurun (Djunaedi, 2006). Pada tahun 1984, CFR (Case Fatality Rate) DBD menurun secara drastis, yaitu menjadi 3% dari 41,3% pada tahun 1968. CFR relatif stabil di bawah 3% sejak tahun 1991 (Rezeki dan Irawan, 2000). Walaupun CFR relatif menurun, namun insidens DBD cenderung meningkat dengan angka kejadian yang tinggi pada tahun 1998 (Djunaedi, 2006).
Pada tahun 1998 terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) DBD dengan Incidens Rate (IR) sebesar 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 2%. Pada tahun 1999 terjadi penurunan Incidence Rate sebesar 10,17%. Namun pada tahun-tahun berikutnya Incidens Rate cenderung meningkat yaitu pada tahun 2000 sebesar 15,99 per 100.000 penduduk, tahun 2001 sebesar 21,66 per 100.000 penduduk, tahun 2002 sebesar 19,24 per 100.000 penduduk, dan tahun 2003 sebesar 23,87 per 100.000 penduduk (Wulandari, 2008).
Pada tahun 2004, Menteri Kesehatan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk 12 propinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Jambi, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, NTB, dan NTT. Sejak 1 Januari-9 Maret 2004 di 25 propinsi, jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) telah mencapai 29.643 orang dan 408 orang di antaranya meninggal dunia (Pdpersi, 2008)
Pada 10 Agustus XXXX Menteri Kesehatan mendapat laporan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah berjangkit di 30 propinsi dengan jumlah penderita 38.635 kasus dan 539 kasus meninggal dunia (CFR/Case Fatality Rate 1,4% dan Incidence Rate 17.6%). Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) tertinggi terjadi di Gorontalo (9,52%) disusul oleh Kalimantan Selatan (6,54%), dan Nangroe Aceh Darussalam (5,56%) (Wulandari, 2008). Tingkat kematian (CFR) DBD di Indonesia melebihi standar yang ditetapkan oleh WHO. WHO telah menetapkan bahwa CFR tidak lebih dari 1/100.000 (Sianturi, 2008).
Pada tahun XXXX, jumlah kasus DBD tertinggi dilaporkan terjadi di DKI Jakarta sebanyak 10.847 kasus dengan 57 kematian disusul oleh Jawa Timur dengan 6.007 kasus dengan 84 kematian. Angka kesakitan (Incidence Rate) tertinggi terjadi di DKI Jakarta (Incidence Rate 96,4 per 100.000 penduduk) disusul oleh Kalimantan Timur (61,7 per 100.000 penduduk), Sulawesi Utara (45,7 per 100.000 penduduk), Sulawesi Tenggara (35,2 per 100.000 penduduk), dan Bali (34,8 per 100.000 penduduk) (Depkes RI, 2008).
Pada tahun 2004 DKI Jakarta dinyatakan sebagai daerah KLB DBD dengan jumlah pasien DBD yang mencapai 20.640 orang dan 90 orang diantaranya meninggal dunia (Gatra, 2008). Propinsi DKI Jakarta dinyatakan kembali sebagai daerah KLB DBD (Demam Berdarah Dengue) pada XXXX. Sampai dengan bulan April XXXX, kawasan Jakarta Selatan menjadi daerah dengan jumlah pasien tertinggi, yaitu sebanyak 3.696 orang dengan 14 orang meninggal. Jumlah itu diikuti X dengan 3.066 pasien dan 10 orang meninggal, Jakarta Barat 1.717 orang dengan 7 orang meninggal, Jakarta Utara 1.439 dengan jumlah meninggal sebanyak 7 orang, dan Jakarta Pusat tercatat 1.176 pasien dan 3 orang meninggal (Gatra, 2008).
X sebagai wilayah dengan jumlah kasus DBD tertinggi ke-2 di DKI Jakarta pada tahun XXXX, memiliki beberapa kelurahan yang rawan DBD diantaranya yaitu Kelurahan Kramatjati, Cililitan, Cawang, dan Kampung Tengah. Dari keempat kelurahan tersebut terdapat 50 rukun warga (RW) yang rawan DBD. Menurut Cahyono, Seksi Penyakit Menular Sudin Kesmas X, sebagian besar penderita DBD adalah warga Kelurahan Cawang dan 20 persen dari total penderita DBD adalah anak usia sekolah dasar (5-14 tahun). Kelurahan Cawang rawan DBD karena ditemukan banyak genangan di tempat tersebut dan sering dilanda banjir. Bahkan Cawang telah dinyatakan sebagai wilayah endemis DBD (Pujiastuti, 2008).
Meningkatnya jumlah kasus Demam Berdarah Dengue berkaitan erat dengan dengan meningkatnya populasi nyamuk, terutama saat banyak turun hujan. Tingkat curah hujan yang tinggi turut memicu perkembangan populasi nyamuk. Karakter nyamuk Aedes yang menyukai bertelur di genangan air bersih menjadi salah satu faktor pemicu. Nyamuk Aedes biasanya hanya bertelur di bak-bak mandi dimana ada air bersih yang tergenang, namun ketika banyak turun hujan, tempat bersarang mereka bisa berpindah ke tempat-tempat saluran (got) yang airnya telah berganti akibat siraman hujan atau cekungan yang menampung air bersih (Pdpersi, 2008).
Sampai saat ini cara penanggulangan yang dilakukan untuk mencegah penyakit DBD masih terbatas pada memberantas nyamuk penularnya karena belum ada vaksin yang dapat mencegah DBD. Selain itu juga belum tersedianya obat yang dapat membasmi virus penyebabnya. Pemberantasan vektor dianggap sebagai cara yang paling memadai untuk memutuskan rantai penularan DBD (Dinkes DKI Jakarta, 2003).
Di negara-negara yang sering terjangkit DBD, pemberantasan nyamuk penular DBD dilakukan dengan berbagai macam cara. Di daerah Sarawak, Malaysia pemberantasan sarang nyamuk terutama Aedes albopictus dilakukan dengan cara menguras tempat-tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas, memotong bambu dan pemisahan kelopak tanaman coklat agar tidak ada air yang terkumpul didalamnya, serta menaburkan temephos pada tangki-tangki penampungan air hujan. Di Thailand, dilakukan perekrutan orang-orang dewasa yang memantau keberadaan jentik pada rumah-rumah yang dikunjungi. Mereka bertugas menyingkirkan tempat-tempat penampungan air yang tidak diperlukan dan menaburkan bubuk abate pada tempat-tempat yang mengandung larva nyamuk (Curtis, 1991).
Di Amerika, pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan memasukkan butiran temephos ke tempat-tempat penampungan air serta melakukan pengasapan di rumah dan di jalan dengan malathion. Selain itu juga dengan cara membuang barang-barang yang sudah tidak diperlukan yang dapat menampung air, menggunakan bunga tiruan untuk rumah dan kuburan agar tidak ada vas bunga yang menjadi tempat perindukan nyamuk, serta adanya sanksi hukum apabila ada pemilik rumah/bangunan yang di rumahnya terdapat jentik nyamuk (Curtis, 1991).
Di Singapura, pencegahan penyakit DBD dilakukan dengan cara mengadakan pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang didalamnya memuat pengetahuan-pengetahuan untuk memasang kain kasa pada jendela, mengganti air pada vas bunga, menambahkan garam pada perangkap semut, membuang tempat-tempat penampungan air yang sudah tidak berguna, membersihkan selokan agar aliran airnya tidak tersumbat, dan menaburkan temephos pada tempat-tempat yang diperkirakan akan menjadi tempat perindukan nyamuk. Selain itu juga adanya sanksi hukum bagi pemilik rumah/bangunan yang di dalam rumahnya terdapat jentik nyamuk (Curtis, 1991).
Dibandingkan dengan negara-negara di wilayah Asia Tenggara, Singapura merupakan negara yang mempunyai salah satu program kesehatan masyarakat terbaik. Angka House Indeks nyamuk Aedes aegypti di Singapura hanya sekitar 1-2% (Angka Bebas Jentiknya sekitar 98-99%). Negara-negara di wilayah Asia Tenggara lainnya, angka House Indeks nyamuk Aedes aegypti masih sekitar 30% bahkan lebih. Selain itu angka kesakitan DBD di Singapura adalah yang paling rendah meskipun kepadatan penduduknya tinggi (4500/km2) sehingga mudah untuk penularan virus (Curtis, 1991).
Di Indonesia, pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan cara memberantas Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3 M, larvasida selektif, memasang ovitrap (perangkap telur nyamuk), memelihara ikan pemakan jentik, serta dengan cara pengasapan atau penyemprotan (fogging) menggunakan insektisida. Walaupun demikian, Angka Bebas Jentik di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Singapura. Sampai bulan Juni XXXX, Angka Bebas Jentik di kota/kabupaten di Indonesia masih sekitar 60-80%, diantaranya yaitu Bogor (70%0, Denpasar (85%), Jakarta (80%), Kendari (65%), Mataram (62%), dan Surabaya (60%). Padahal target Angka Bebas Jentik yang harus dicapai adalah sebesar 95% (Subdirektorat Arbovirosis Ditjen P2M & PL, XXXX).
Angka Bebas Jentik di X dari tahun XXXX sampai tahun 2006 cenderung meningkat. Pada tahun XXXX Angka Bebas Jentik X sebesar 93,03% dan pada tahun 2006 Angka Bebas Jentiknya mencapai 96,63% (Sudinkesmas Kodya X, 2006).
Sejak adanya Surat Edaran Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 46 pada tanggal 4 November 2004 mengenai Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) di Propinsi DKI Jakarta yang diikuti dengan adanya Surat Keputusan Walikotamadya X, maka setiap hari Jumat mulai pukul 09.00 hingga pukul 09.30 di wilayah X selalu dilaksanakan kegiatan PSN.
Angka Bebas Jentik di wilayah X pada tahun 2006 yang cenderung meningkat (dari 93,03% pada tahun XXXX menjadi 96,63% pada tahun 2006) dan telah melebihi target Angka Bebas Jentik nasional (95%), maka dapat diasumsikan bahwa potensi penularan DBD di wilayah X cenderung menurun, sehingga Insidens Rate DBD juga akan menurun. Namun pada kenyataannya, peningkatan Angka Bebas Jentik ini tidak diikuti dengan penurunan Insidens Rate DBD. Insidens Rate DBD dari tahun XXXX sampai tahun 2006 cenderung meningkat. Pada tahun XXXX, Insidens Rate DBD X adalah 282,3 per 100.000 penduduk dan mengalami peningkatan menjadi 344 per 100.000 penduduk pada tahun 2006 (Sudinkesmas Kodya X, 2006).

1.2. Rumusan Masalah
Dari tahun XXXX sampai tahun 2006 di wilayah X terjadi peningkatan Angka Bebas Jentik yang melebihi target Angka Bebas Jentik Nasional. Namun peningkatan Angka Bebas Jentik ini tidak diikuti dengan penurunan Insidens Rate DBD di wilayah X. Insidens Rate DBD di wilayah X dari tahun XXXX sampai tahun 2006 cenderung meningkat. Berdasarkan masalah tersebut perlu diketahui apakah ada hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya X Tahun XXXX-XXXX.

1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut orang (umur dan jenis kelamin) di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
3. Bagaimana distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut bulan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
4. Bagaimana distribusi Insidens Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
5. Bagaimana distribusi Case Fatality Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
6. Bagaimana distribusi perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) pada masyarakat sekolah di Kotamadya X tahun XXXX?
7. Bagaimana distribusi Angka Bebas Jentik menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX?
8. Bagaimana hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun XXXX-XXXX?

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun XXXX-XXXX.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut orang (umur dan jenis kelamin) di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
2. Mengetahui distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
3. Mengetahui distribusi frekuensi kasus tersangka DBD menurut bulan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
4. Mengetahui distribusi Insidens Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
5. Mengetahui distribusi Case Fatality Rate kasus tersangka DBD menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
6. Mengetahui distribusi perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) pada masyarakat sekolah di Kotamadya X tahun XXXX.
7. Mengetahui distribusi Angka Bebas Jentik menurut kecamatan di Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
8. Mengetahui hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun XXXX-XXXX.

1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Bagi Institusi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dalam mengevaluasi dan menyusun langkah-langkah pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) bagi pengelola program Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (P2 DBD).
1.5.2. Manfaat Bagi FKM
Hasil penelitian ini sebagai tambahan referensi dalam mengakaji masalah kesehatan masyarakat khususnya masalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
1.5.3. Manfaat Bagi Penulis
Penelitian ini sebagai pembelajaran nyata dan berharga untuk memahami dan mengakaji masalah kesehatan yang ada di masyarakat dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat.

1.6.Ruang Lingkup
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan desain studi korelasi, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya X tahun XXXX-XXXX. Penelitian ini dilakukan melihat adanya Angka Bebas Jentik Kotamadya X pada tahun XXXX yang sudah sesuai dengan target yang ditentukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta yaitu >95%, namun Insidens Rate DBD terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Kotamadya X dan web site Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Data tersebut diolah dengan MS Excell dan dianalisis dengan SPSS 13.0 for Windows untuk menguji ada tidaknya hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya X tahun XXXX-XXXX.
SKRIPSI GAMBARAN PERENCANAAN KEBUTUHAN TENAGA DOKTER UMUM DAN DOKTER GIGI PUSKESMAS

SKRIPSI GAMBARAN PERENCANAAN KEBUTUHAN TENAGA DOKTER UMUM DAN DOKTER GIGI PUSKESMAS

(KODE KES-MASY-0026) : SKRIPSI GAMBARAN PERENCANAAN KEBUTUHAN TENAGA DOKTER UMUM DAN DOKTER GIGI PUSKESMAS




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dasar-dasar atau prinsip pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah nilai kebenaran dan aturan pokok sebagai landasan untuk berpikir atau bertindak dalam pembangunan kesehatan. Dasar-dasar ini merupakan landasan dalam penyusunan visi, misi dan strategi serta sebagai petunjuk pokok pelaksanaan pembangunan kesehatan secara nasional yang meliputi: dasar perikemanusiaan; dasar adil dan merata; dasar pemberdayaan dan kemandirian serta dasar pengutamaan dan manfaat (Depkes RI, 2000). Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Perencanaan tenaga kesehatan perlu mengutamakan kebutuhan tenaga untuk mewujudkan upaya-upaya preventif dan promotif yang proaktif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes RI, 2004).
Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan berperilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2000).
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan tersebut perlu didukung antara lain oleh pengembangan sumber daya tenaga kesehatan dari masyarakat dan pemerintah yang memadai (Depkes RI, 2000). Salah satu langkah yang dilakukan dalam pengembangan sumber daya tenaga kesehatan adalah perencanaan tenaga kesehatan. Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya untuk mengetahui kebutuhan tenaga kesehatan dewasa ini dan di masa mendatang, menyusun prioritas tenaga yang dibutuhkan dan menyusun alokasi sumber daya untuk menunjang prioritas tersebut (Depkes RI, 2000). Perencanaan tenaga kesehatan bertujuan untuk menyusun rencana kebutuhan tenaga kesehatan, baik jenis maupun jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2000).
Perencanaan tenaga kesehatan dewasa ini pada tingkat pusat, propinsi dan kabupaten serta kota masih sangat lemah. Peta kebutuhan tenaga kesehatan yang mengantisipasi perkembangan di masa depan, menyeluruh, spesifik dan jelas belum ada sehingga sukar dalam pengembangan tenaga kesehatan untuk mengadakan prioritas dan pengalokasian sumber daya tenaga yang semestinya (Depkes RI, 2000).
Perencanaan tenaga kesehatan perlu mengutamakan kebutuhan tenaga untuk mewujudkan upaya-upaya preventif dan promotif yang proaktif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes RI, 2000). Perencanaan tenaga kesehatan perlu memperhatikan dengan seksama keperluan komposisi yang tepat dari berbagai jenis tenaga kesehatan di masa mendatang yang diperlukan oleh masyarakat (Depkes RI, 2000).
Bila ditinjau secara lebih spesifik, pendistribusian untuk beberapa jenis tenaga kesehatan masih kurang merata, yaitu terutama dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, beberapa tenaga kesehatan masyarakat (termasuk epidemiolog kesehatan, administrator kesehatan, sanitarian dan asisten sanitarian), bidan, ahli gizi dan asisten analis kesehatan (Depkes RI, 2000).
Khusus untuk tenaga dokter umum dan dokter gigi, sejak tahun delapan puluhan permasalahannya telah berubah dari kekurangan ke masalah terbatasnya sumber daya untuk mempekerjakan dokter-dokter tersebut. Di pihak lain, lulusan-lulusan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi semakin meningkat jumlahnya setiap tahun dan secara hukum pemerintah bertanggung jawab untuk mempekerjakan dan mengatur mereka (Ilyas, 2002).
Pertumbuhan jumlah dokter umum dan dokter gigi di Indonesia secara keseluruhan tidak disertai dengan distribusinya ke daerah-daerah yang sangat membutuhkan. Adapun lainnya bekerja di kota kecil dan bagian (presentase) terkecil bekerja di puskesmas kecamatan (Ilyas, 2002).
Menurut Depkes (2004) yang dikutip oleh Adisasmito (2007), pada tahun 2001 diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,9 dokter umum dan 2,0 dokter gigi. Banyak puskesmas yang belum memiliki jumlah tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan memadai, apalagi tenaga dokter umum dan dokter gigi sangat dibutuhkan di daerah perkotaan yang penduduknya padat. Salah satu contoh kota yang penduduknya padat adalah Kota X. Letak Kota X sangat strategis, di mana wilayahnya berbatasan dengan propinsi DKI Jakarta. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota X memberikan akses menuju Jakarta telah menjadikan Kota X salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta. Dengan mobilitas yang cukup tinggi akibat kemudahan akses masuk dan keluar Kota X melalui perbatasan-perbatasan yang ada, maka perlu adanya penanganan bersama pada wilayah-wilayah perbatasan untuk mencegah meluasnya penularan penyakit. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan Dinas Kesehatan Kota X yaitu meningkatkan Upaya Pencegahan, Penanganan dan Pemberantasan Penyakit (Profil Kesehatan Kota X Tahun 2006).
Dinas Kesehatan Kota X mempunyai visi "Unggul dalam Pelayanan Kesehatan Prima Menuju Masyarakat Kota X Sehat Tahun 2010". Salah satu penjelasan visinya adalah diharapkan seluruh masyarakat Kota X sadar akan pentingnya kesehatan dengan perilaku sehat, mudah mendapatkan informasi kesehatan serta memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata (Profil Kesehatan Kota X Tahun 2006). Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan sumber daya manusia, khususnya tenaga dokter umum dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan medis, yang berkualitas dan kuantitasnya memadai untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dinas Kesehatan Kota X melimpahkan upaya pembangunan kesehatan tingkat pertama kepada seluruh puskesmas di Kota X yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (selanjutnya disingkat UPT). Salah satu tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh Dinas Kesehatan Kota X adalah menyediakan tenaga kesehatan, khususnya dokter umum dan dokter gigi, yang sesuai dengan kebutuhan, seimbang dan merata karena merupakan kunci keberhasilan pembangunan kesehatan yang diharapkan dapat menjamin meningkatnya kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Kota X. Untuk menyediakan tenaga kesehatan, khususnya dokter umum dan dokter gigi, yang sesuai dengan kebutuhan, seimbang dan merata tersebut perlu dilihat jumlah kunjungan pasien pada masing-masing puskesmas di Kota X karena jumlah kunjungannya pasti berbeda-beda. Jumlah kunjungan pasien ke Balai Pengobatan (selanjutnya disingkat BP) umum dan BP gigi pada tahun 2007 terangkum dalam Rekapitulasi Laporan Kunjungan Puskesmas di Kota X Tahun 2007 berikut ini:

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan tabel I.1, dapat diketahui bahwa puskesmas yang jumlah kunjungannya tertinggi adalah Puskesmas X karena wilayah kerjanya mencakup 4 kelurahan. Selain itu, Puskesmas X merupakan salah satu puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP) yang waktu operasionalnya 9 jam sehingga jumlah kunjungan pasiennya sangat tinggi.
Untuk memenuhi kebutuhan setiap puskesmas yang berdasarkan jumlah kunjungan tersebut perlu didistribusikan tenaga dokter umum dan dokter gigi yang memadai sesuai dengan beban kerjanya. Distribusi tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X dapat dilihat pada tabel berikut ini:

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

(Data Kepegawaian Dinas Kesehatan Kota X Tahun XXXX)
Berdasarkan Tabel I.2, sebagian besar jumlah dokter umum lebih banyak daripada dokter gigi karena disesuaikan dengan jumlah kunjungan di BP Umum yang lebih tinggi daripada BP Gigi yang bisa dilihat pada tabel sebelumnya.
Jumlah dokter umum dan dokter gigi tersebut sudah termasuk dengan dokter umum dan dokter gigi yang merangkap menjadi kepala puskesmas. Jumlah dokter umum dan dokter gigi berbeda-beda antara puskesmas yang satu dengan yang lain karena jumlah kunjungan masing-masing juga berbeda-beda.
Fungsi dokter di negara-negara berkembang, terutama yang bekerja di puskesmas, mempunyai tugas dan kewajiban ganda yaitu fungsi administratif (kerja manajemen) dan fungsi medis (kerja langsung). Mereka harus mempunyai kinerja yang baik dalam kedua fungsi tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi kesehatan dengan sumber daya yang terbatas. Tentu saja ini bukan tugas dan kewajiban yang mudah untuk dicapai sekaligus (Ilyas, 2002). Oleh karena itu, diperlukan perencanaan kebutuhan tenaga dokter yang melihat kedua fungsi tersebut.
Perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X yang dilakukan selama ini oleh tim perencana dari Dinas Kesehatan Kota X belum secara tegas menggunakan metode tertentu karena mereka belum mendapat pelatihan mengenai metode perhitungan tenaga kesehatan. Perencanaan yang dilakukan adalah dengan cara memperkirakan jumlah tenaga dokter umum dan dokter gigi yang dibutuhkan berdasarkan usulan dari puskesmas. Namun, Dinas Kesehatan Kota X hanya berperan sebagai perantara usulan tersebut karena yang mempunyai kewenangan dalam perekrutan tenaga kesehatan, khususnya tenaga dokter umum dan dokter gigi adalah Badan Kepegawaian Daerah (selanjutnya disingkat BKD). Kewenangan BKD tersebut tidak terlepas dari ketersediaan anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Namun apabila terjadi kekurangan anggaran, penambahan anggaran bisa diajukan melalui Anggaran Belanja Tambahan (selanjutnya disingkat ABT).
Walaupun semua berpangkal kepada anggaran, ada baiknya jika tim perencana mencoba menghitung kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas dengan metode perhitungan kuantitatif terlebih dahulu yang kemudian hasilnya bisa dikroscek secara kualitatif kepada puskesmas yang bersangkutan, baru kemudian disesuaikan dengan anggaran yang ada dan kalau perlu diajukan penambahan anggaran.
Metode perhitungan kuantitatif yang direkomendasikan penulis merupakan metode pengkajian kebutuhan unit pelayanan seperti di puskesmas berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan di Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit adalah metode Workload Indicator Staff Need (selanjutnya disingkat WISN) atau metode Kebutuhan SDM Kesehatan Berdasarkan Indikator Beban Kerja. Metode WISN adalah suatu metode perhitungan kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan pada beban pekerjaan nyata yang dilaksanakan oleh tiap kategori SDM kesehatan pada tiap unit kerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Metode ini meliputi lima langkah, yakni: menetapkan waktu kerja tersedia; menetapkan unit kerja dan kategori SDM; menyusun standar beban kerja; menyusun standar kelonggaran dan perhitungan kebutuhan tenaga per unit kerja (Depkes, 2004). Langkah-langkah tersebut menjabarkan setiap kegiatan dokter yang meliputi fungsi administratif dan fungsi medis. Kelebihan metode ini adalah secara teknis mudah diterapkan, komprehensif dan realistis.
Dari semua kelebihannya, metode WISN juga memiliki kekurangan yaitu terletak pada kelima langkah tersebut yang terlalu panjang dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Karena, jika terjadi kesalahan perhitungan pada salah satu langkah, maka kesalahan juga akan berimbas pada hasil untuk langkah selanjutnya. Selain itu, untuk mendapatkan data yang akurat untuk bahan perhitungan tidak mudah karena data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X kurang lengkap sehingga harus dicek ulang ke puskesmas yang bersangkutan.

1.2 Rumusan Masalah
Perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X yang dilakukan selama ini oleh tim perencana dari Dinas Kesehatan Kota X belum secara tegas menggunakan metode tertentu karena mereka belum mendapat pelatihan mengenai metode perhitungan tenaga kesehatan. Ada beberapa puskesmas yang jumlah dokter umum dan dokter giginya sama padahal jumlah kunjungannya berbeda jauh. Seharusnya penempatan dokter umum dan dokter giginya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing puskesmas. Selain itu, pertambahan jumlah penduduk menyebabkan jumlah kunjungan puskesmas di Kota X semakin lama semakin meningkat sehingga diperlukan penyesuaian kembali mengenai jumlah tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
Adapun cara yang dilakukan oleh tim perencana dari Dinas Kesehatan Kota X selama ini adalah dengan memperkirakan jumlah tenaga dokter umum dan dokter gigi yang dibutuhkan berdasarkan usulan dari puskesmas-puskesmas tanpa dilakukan perhitungan terlebih dahulu. Dinas Kesehatan Kota X sendiri tidak mempunyai kewenangan dalam perekrutan tenaga kesehatan, khususnya tenaga dokter umum dan dokter gigi, karena semua tergantung pada keputusan BKD berdasarkan anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Apabila terjadi kekurangan anggaran, maka bisa diajukan penambahan anggaran melalui Anggaran Belanja Tambahan (selanjutnya disingkat ABT).
Walaupun demikian, perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X harus tetap dilakukan dengan benar guna memenuhi kebutuhan yang sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melihat gambaran perencaaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X secara keseluruhan dengan pengamatan secara langsung terhadap sistem gambaran perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota Xtu sendiri.
Selain itu, penulis juga tertarik untuk mencoba menghitung jumlah kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X dengan metode Workload Indicator Staff Need (WISN) atau metode Kebutuhan SDM Kesehatan Berdasarkan Indikator Beban Kerja sebagai rekomendasi kepada tim perencana dari Dinas Kesehatan Kota X. Metode ini mudah dioperasikan, mudah digunakan, secara teknis mudah diterapkan, komprehensif dan realistis.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum puskesmas serta analisis perhitungannya dengan metode WISN di Kota X tahun XXXX.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya tim perencana pada perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
2. Diketahuinya anggaran pada perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
3. Diketahuinya alat dan bahan yang digunakan pada perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
4. Diketahuinya metode yang digunakan perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
5. Diketahuinya mesin yang digunakan pada perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
6. Diketahuinya fungsi perencanaan pada proses perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
7. Diketahuinya fungsi penganggaran pada proses perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
8. Diketahuinya fungsi pelaksanaan pada proses perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
9. Diketahuinya fungsi pengendalian pada proses perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
10. Diketahuinya fungsi pengkoordinasian pada proses perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
11. Diketahuinya fungsi evaluasi pada proses perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
12. Diketahuinya gambaran perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X yang dilakukan oleh tim perencana di Dinas Kesehatan Kota X.
13. Diketahuinya analisis kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan metode WISN pada tiga puskesmas di Kota X tahun XXXX yang dilakukan oleh penulis.
14. Diketahuinya pendapat dari tim perencana kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X tentang metode WISN.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa
1. Diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa tentang bagaimana cara melakukan perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X.
2. Diharapkan dapat menambah pengalaman mahasiswa dalam melakukan penelitian di lapangan dan terjun ke masyarakat.
1.4.2 Manfaat Bagi Fakultas
1. Diharapkan dapat menambah perbendaharaan keilmuan yang sudah ada.
2. Diharapkan dapat mengetahui sejauh mana hasil proses belajar mengajar yang dilakukan selama ini di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas X dengan aplikasi yang dilakukan oleh mahasiswa di lapangan.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi
1. Diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota X mengenai kapasitas tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau beban kerjanya sehingga pemberian pelayanan kesehatan bisa maksimal.
2. Diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota X mengenai metode perhitungan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X yang mungkin bisa digunakan dalam perencanaan yang mendatang.

1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini memberikan gambaran tentang perencanaan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota X serta melakukan analisis perhitungan kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi dengan metode WISN pada tiga puskesmas di Kota X tahun XXXX yang dilakukan oleh penulis melalui pendekatan sistem: input, proses dan output. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji data primer yang merupakan hasil wawancara mendalam dengan tim perencana kebutuhan tenaga dokter umum dan dokter gigi puskesmas di Kota X. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota X dan Puskesmas (W, Y dan Z). Penelitian ini dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota X pada bulan Maret-Juni XXXX serta di Puskesmas Y, Puskesmas W dan Puskesmas Z pada bulan Juni XXXX.
SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA

SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA

(KODE KES-MASY-0025) : SKRIPSI GAMBARAN EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA INSIDENNYA




BAB 1
PENDAHULUAN


I. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang lebih dikenal dengan singkatan DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan merupakan vector borne disease atau ditularkan melalui vektor, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama karena dapat menyerang semua gologngan umur dan menyebabkan kematian khususnya pada anak dan kejadian luar biasa (wabah). Namun dalam dekade terakhir terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Gejalanya antara lain demam/panas tinggi mendadak disertai dengan pendarahan, kebocoran plasma dan berisiko menimbulkan syok.
WHO memperkirakan tiap tahunnya sebanyak 500.000 pasien DBD membutuhkan perawatan di rumah sakit dimana sebagian besar pasiennya adalah anak-anak. Sekitar 2,5% diantara pasien anak tersebut diperkirakan meninggal dunia. Tanpa perawatan yang tepat, case fatality rate (CFR) DBD dapat saja melampaui angka 20%. Adanya akses yang lebih baik untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan dan penanganan yang tepat baik sejak gejala awal maupun perawatan lanjutan serta peningkatan pengetahuan tentang DBD dapat menurunkan tingkat kematiannya hingga di bawah 1% (WHO, 2009).
Beberapa dekade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat di seluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk dunia berisiko terserang demam dengue. Sebanyak 1,6 milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya. Pada tahun 2007 di Amerika terdapat lebih dari 890.000 kasus dengue yang dilaporkan dimana 26.000 kasus diantaranya tergolong dalam demam berdarah dengue (DBD).
Di Indonesia kasus demam berdarah dilaporkan pertama kali di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 orang (IR = 0,05 per 100.000) dan 24 orang diantaranya meninggal (CFR = 41,3%). Tahun demi tahun daerah penyebarannya bertambah luas dan angka kasus yang dilaporkan terus meningkat walaupun Case Fatality Rate cenderung menurun. Seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko untuk terjangkit penyakit DBD, karena virus penyebab dan vektor penularnya tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum, kecuali daerah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Ditjen P2PL Depkes RI, 1999).
Selama tahun 2003-2007, angka kasus DBD menunjukan kenaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2003 tercatat 51.516 kasus (IR= 23,87; CFR= 1,5); tahun 2004 tercatat 79.462 kasus (IR= 37,11; CFR= 1,2); tahun 2005 tercatat 95.279 kasus (IR= 43,42; CFR= 1,36); tahun 2006 tercatat 114.656 kasus (IR= 52,48; CFR= 1,04); dan tahun 2007 tercatat 158.115 kasus (IR= 71,78; CFR= 1,01) (sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007).
Namun begitu, tingkat kermatian atau CFR yang ditimbulkan oleh DBD cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada awal mula munculnya penyakit ini di Indonesia tahun 1968, CFR mencapai angka 41,3 namun selang waktu berganti CFR mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing bernilai 1,36; 1,04; dan 1,01. Angka ini menunjukkan bahwa CFR semakin mendekati CFR nasional, yakni < 1 (sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007).
Pada tahun 2008, angka kasus DBD di Indonesia tercatat sebanyak 135.871 kasus. Di propinsi Jawa Barat sendiri tercatat sebanyak 23.248 kasus selama tahun 2008. Angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana angka kasus berjumlah sebesar 31. 836 (sumber: Kompas, 2 Maret 2009). Kota X adalah bagian dari propinsi Jawa Barat, mengalami peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, angka insiden DBD adalah sebesar 61,44 (per 100.000 penduduk). Lalu menurun tajam pada tahun 2002 menjadi 37,44. Tetapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2003 dan 2004 sebesar 73,14 dan 78,18 secara berturut-turut. Jumlah kematian yang ditimbulkan juga cukup menyita perhatian, walau tidak sebesar case fatality rate (CFR) di DKI Jakarta. Dalam kurun waktu empat tahun (2001-2004), penyakit DBD di Kota X telah merenggut sebanyak 42 korban jiwa, dengan rata-rata CFR sebesar 1,44% (Agustiena, 2004).
Salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah Kota X, yakni kecamatan X dimana memiliki jumlah penduduk sebesar 326.305 jiwa dengan tingkat kepadatan 6.451 jiwa/km2. Dari tahun 2001 sampai tahun 2004, angka insiden di kecamatan tersebut cukup melonjak dengan tajam. Pada tahun 2001 angka insiden sebesar 24,27 (per 100.000 penduduk) lalu merangkak naik ke angka 28,16; 159,34; dan 240,22 pada tiga tahun selanjutnya (Agustiena, 2004).
Tingginya angka kasus maupun kematian yang disebabkan oleh penyakit ini menurut WHO merupakan petunjuk bahwa masalah kesehatan masyarakat masih merupakan beban. Dalam teori Bloom disebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pengaruh kualitas lingkungan yang merupakan determinan dari status kesehatan. Faktor lainnya yang turut mempengaruhi status kesehatan manusia ialah pelayanan kesehatan, hereditas, dan perilaku manusia itu sendiri.
Determinan penyakit DBD juga mengikuti konsep Bloom di atas. Faktor lingkungan yang berpengaruh tidak hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga meliputi lingkungan sosial ekonomi budaya dimana pendidikan, pekerjaan, pemilikan barang, mobilitas, nilai penyakit dan konsep penyakit termasuk di dalamnya. Faktor perilaku masyarakat meliputi pengetahuan dan kebiasaan serta peran dalam PSN dan fogging. Faktor pelayanan kesehatan meliputi upaya penyuluhan dan upaya pencegahan. Sedangkan faktor keturunan adalah kepekaan masyarakat sebagai host dan nyamuk sebagai perantara vektor dari virus dengue (Majalah Kesehatan Masyarakat, 2002).
Upaya pemberantasan penyakit DBD terus dilakukan hingga kini antara lain adalah usaha untuk memutuskan mata rantai penularan dengan memberantas vektor penularnya, yaitu nyamuk Aedes aegypti dengan cara kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kemudian untuk mendukung kegiatan pemberantasan vektor tersebut dilakukan kegiatan pemeriksaan jentik berkala di rumah-rumah penduduk serta tempat-tempat umum untuk mengetahui angka bebas jentik (ABJ) di wilayah tersebut. Selain gerakan PSN yang digalakan oleh pemerintah, upaya pencegahan dan pemberantasan lainnya yang telah dilakukan antara lain porgram penyelidikan epidemiologi, abatisasi selektif, fogging focus, dan penyuluhan kesehatan masyarakat (Ditjen P2PL DepKes RI, 1992).
Selain faktor pelayanan kesehatan yang telah diuraikan di atas, faktor lingkungan juga berperan penting dalam penyebaran penyakit DBD. Sebuah penelitian di Thailand menyebutkan bahwa suhu dan kelembaban udara serta curah hujan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap angka insiden DBD (Prompou dan Jaroensutasinee, 2005). Dalam sebuah penelitian di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara jumlah hari hujan, suhu dan kelembaban udara berhubungan secara bermakna dengan angka insiden DBD. Sedangkan di Kecamatan Penjaringan, ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kecepatan angin dengan angka insiden DBD (Sungono, 2004).
Tidak hanya faktor lingkungan alamiah seperti yang disebutkan, namun faktor lainnya yang termasuk dalam lingkungan adalah angka bebas jentik (ABJ) dan kepadatan penduduk. ABJ tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan program pemberantasan vektor penular DBD. Angka bebas jentik (ABJ) sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melalui gerakan PSN-3M menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Rata-rata ABJ yang masih di bawah 95% menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat untuk mencegah penyakit DBD dengan cara 3M di lingkungannya masing-masing belum optimal, sehingga kasus DBD masih sering terjadi (Ditjen P2PL DepkesRI, 2007). Penelitian di Kecamatan Koja dan Cilincing, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ABJ dengan insiden DBD (Sungono, 2004). Penelitian lain di Jakarta Timur menyebutkan juga terdapat hubungan yang bermakna antara ABJ dengan angka insiden DBD (Asmara, 2008).
Haryadi (2007) menyebutkan bahwa faktor paling dominan mempengaruhi tingginya kejadian DBD adalah kepadatan penduduk dan angka bebas jentik (ABJ) yang rendah. Kepadatan penduduk dapat meningkatkan penularan kasus DBD dimana dengan semakin banyak manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk Aedes aegypti menggigit, sehingga penyebaran kasus DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu wilayah (Yusmariami, 2004).

II. Rumusan Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir ini, angka insiden DBD di Kecamatan X dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2001 angka insiden sebesar 24,27 (per 100.000 penduduk) lalu merangkak naik ke angka 28,16; 159,34; dan 240,22 pada tiga tahun selanjutnya. Angka insiden pada tahun 2004 merupakan yang tertinggi jika dibandingkan beberapa kecamatan lain di Kota X. Masih tingginya angka insiden dicurigai dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain faktor pelayanan kesehatan dimana di dalamnya termasuk program pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD. Faktor lainnya yang dilansir berpengaruh bagi peningkatan insiden adalah faktor lingkungan. Beberapa penelitian sebelumnya di daerah yang berbeda, menyebutkan adanya hubungan yang bermakna antara angka insiden DBD dengan beberapa faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban, curah hujan, angka bebas jentik (ABJ), serta kepadatan penduduk. Di wilayah Kecamatan X sendiri dalam beberapa tahun ini belum pernah diadakan penelitan serupa. Berdasarkan masalah tersebut, belum diketahui bagaimana gambaran epidemiologi kasus DBD berdasarkan orang, tempat, waktu serta faktor-faktor yang berpengaruh pada angka insiden DBD di Kecamatan X tahun XXXX-XXXX.

III. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran epidemiologi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX?

IV. Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran epidemiologi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX.
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan karakteristik umur penderita di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
2. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan karakteristik jenis kelamin penderita di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
3. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
4. Mengetahui distribusi frekuensi kasus DBD berdasarkan waktu (bulan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
5. Mengetahui frekuensi angka insiden DBD berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
6. Mengetahui frekuensi angka insiden DBD berdasarkan waktu (tahun) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
7. Mengetahui distribusi kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
8. Mengetahui frekuensi pelakasanaan program penyelidikan epidemiologi DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
9. Mengetahui distribusi pelakasanaan program pemantauan jentik berkala (PJB) DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
10. Mengetahui distribusi pelakasanaan program fogging fokus DBD wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
11. Mengetahui frekuensi Angka Bebas Jentik (ABJ) berdasarkan tempat (kelurahan) di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
12. Mengetahui frekuensi curah hujan di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
13. Mengetahui frekuensi suhu udara di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
14. Mengetahui frekuensi kelembaban udara di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
15. Mengetahui hubungan kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
16. Mengetahui hubungan pelakasanaan program penyelidikan epidemiologi DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
17. Mengetahui hubungan pelakasanaan program pemantauan jentik berkala (PJB) DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
18. Mengetahui hubungan pelakasanaan program fogging fokus DBD dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
19. Mengetahui hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan angka insiden DBD di di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
20. Mengetahui hubungan curah hujan dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
21. Mengetahui hubungan suhu udara dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX
22. Mengetahui hubungan kelembaban udara dengan angka insiden DBD di wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX

V. Manfaat Penelitian
A. Bagi Instansi Pemerintah
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengevaluasi dan meningkatkan peningkatan pelayanan kesehatan khususnya bagi program pengendalian dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Kecamatan X, Kota X.
B. Bagi Akademisi
Penelitian ini sebagai pengalaman dalam praktek belajar lapangan untuk mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat.

VI. Ruang Lingkup
Pada beberapa tahun terakhir ini, angka insiden DBD di Kecamatan X, Kota X mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Angka insiden pada tahun 2004 mencapai 240,22. Angka tersebut adalah yang tertinggi jika dibandingkan beberapa kecamatan lain di Kota X. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi demam berdarah dengue (DBD) dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka insidennya di Kecamatan X tahun XXXX-XXXX. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009. Jenis penelitian yang digunakan adalah desain observasional dan studi deskriptif korelasi/ekologi untuk mengetahui kekuatan dan pola hubungan antara variabel indpenden dengan dependen. Selain itu, dilakukan pula analisis serial kasus untuk mengetahui perkembangan kasus dan insiden DBD, pelaksanaan program pengendaliaan dan pemberantasan penyakit tersebut, serta variabilitas iklim dari tahun ke tahun. Variabel independen yang diukur adalah faktor demografi (kepadatan penduduk), pelayanan kesehatan (pelaksanaan program pemberantasan DBD) serta faktor lingkungan (ABJ, temperatur, curah hujan dan kelembaban udara). Sedangkan variabel dependen adalah angka insiden DBD di tingkat kelurahan wilayah Kecamatan X, Kota X tahun XXXX-XXXX.